BAB 1
EDWARD L. THORNDIKE
Ahmad Haris Susanto, Aziz Purnomo, Nurul Choiriyah
Konsep
Primer
Teori belajar menurut Edward L. Thorndike
1.
Koneksionisme
Thorndike
memplokamirkan teorinya dalam belajar. Ia mengungkapkan bahwasannya setiap
makhluk hidup dalam tingkah lakunya itu merupakan hubungan antara stimulus dan
respon. Adapun teori Thorndike ini disebut teori koneksionisme, koneksi disebut
sebagai koneksi saraf yang disebut sambungan saraf antara stimuli(S) dan
respon(R). Agar tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya
kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui percobaan-percobaan (
trials ) dan kegagalan-kegagalan ( error ) terlebih dahulu.
2.
Selecting and
Connecting (Memilih dan Menghubungkan),
Teori
Thorndhike yang paling mendasar adalah trial dan eror belajar, atau pada
awalnya disebut selecting and connecting. (memilih dan menghubungan). Ia
mencapai gagasan dasar ini melalui percobaan awalnya, menempatkan hewan ke
dalam “puzzle box” (seperti gambar di bawah) yang diatur sedemikian rupa,
sehingga binatang membuat jenis respon melarikan diri.
Ciri-ciri
belajar dengan trial and error :
·
Ada motif pendorong
aktivitas
·
ada berbagai respon
terhadap situasi
·
ada aliminasi
respon-respon yang gagal atau salah
·
ada kemajuan
reaksi-reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu
3.
Belajar merupakan
Penambahan (Incremental), bukan secara Mendalam (Insightful),
Tidak
ada penurunan waktu yang lambat untuk mencari solusi yang terdapat dari
percobaan di atas. Thorndike menyimpulkan bahwa belajar lebih pada suatu
tambahan daripada mendalam. Dengan kata lain, belajar terjadi dalam
langkah-langkah sistematis yang sangat kecil daripada lompatan besar. Ia
mencatat bahwa jika belajar mendalam, grafik akan menunjukkan bahwa waktu untuk
solusi akan tetap relatif stabil dan akan tinggi ketika binatang tidak
memperoleh latihan.
4.
Belajar Tidak Ditengahi
Oleh Ide-Ide,
Berdasarkan
penelitiannya, Thorndike (1898) juga menyimpulkan bahwa belajar merupakan
proses langsung dan tidak dipengaruhi oleh proses berpikir atau suatu alasan.
Berdasarkan percobaan di atas, kucing tidak melihat situasi, apalagi memikirkan
hal itu untuk memutuskan apa yang harus dilakukan. Perilaku tersebut diperoleh
dari naluri dan pengalaman yang telah menetap sebagai reaksi yang cocok untuk situasi
"kurungan ketika lapar dengan makanan di luar".
5.
Semua mamalia belajar
dalam cara yang sama(termasuk manusia).
Banyak
yang terganggu oleh desakan Thorndike bahwa semua pembelajaran merupakan proses
langsung dan tidak dimediasi oleh ide-ide, terutama karena ia juga mempelajari
semua mamalia termasuk manusia mengikuti hukum yang sama.
Hukum
– hukum yang dipakai oleh edward L
Thorndike
a)
Hukum
Kesiapan (The Laws of Readiness),
Hukum
Kesiapan (The Laws of Readiness), yang diusulkan dalam bukunya The Original
Nature Of Man (Thorndike, 1913b), memiliki tiga bagian, disingkat sebagai
berikut:
1)
Ketika sebuah unit konduksi siap melakukan, konduksi tersebutmemuaskan.
2)
Untuk unit konduksi siap untuk melakukan, tidak melakukan menyebalkan
3) Ketika sebuah unit konduksi
belum siap untuk konduksi dan dipaksa untuk melakukan, konduksi dengan itu menjengkelkan
Apa
yang dimaksudkan di sini dengan "unit konduksi siap melakukan"
hanyalah kesiapan untuk tindakan atau tujuan diarahkan. Menggunakan terminologi
saat ini kita dapat menyatakan kembali hukum Thorndike tentang kesiapan sebagai
berikut:
1. Ketika seseorang siap untuk
melakukan tindakan tertentu, untuk melakukannya adalah memuaskan
2. Ketika seseorang siap
untuk melakukan tindakan tertentu, tidak untuk melakukannya adalah
menjengkelkan
3. Ketika seseorang tidak siap
untuk melakukan tindakan tertentu dan dipaksa untuk melakukannya, itu
menjengkelkan
Secara
umum, kita dapat mengatakan bahwa tujuan perilaku yang diarahkan menyebabkan
frustrasi dan menyebabkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang mereka tidak
ingin lakukan adalah juga frustasi.
b)
Hukum
Latihan (The Law of Exercise),
Teori Thorndike yang
termasuk The Law of Exercise, yang memiliki dua bagian:
·
Hubungan antara
stimulus dan respon diperkuat ketika mereka digunakan. Dengan kata lain,
melalui latihan berulang-ulang maka hubungan stimulus dan respons semakin kuat.
Ini adalah bagian dari hukum latihan yang disebut hukum penggunaan (Law Of
Use).
·
Hubungan antara
stimulus dan respon melemah ketika praktik dihentikan atau mereka tidak
digunakan. Ini adalah bagian dari hukum latihan yang disebut hukum tidak
digunakan (Law Of Disuse)
Apa
yang dimaksud Thorndike dengan penguatan atau melemahnya koneksi? Ia
mendefinisikan penguatan sebagai peningkatan probabilitas, bahwa respon akan
dibuat ketika stimulus berulang. Jika ikatan antara stimulus dan respon yang
diperkuat, waktu berikutnya stimulus yang terjadi ada kemungkinan peningkatan
bahwa respon akan terjadi. Jika ikatan itu melemah, ada kemungkinan menurun bahwa
waktu berikutnya terjadi stimulus respon akan terjadi. Secara singkat, hukum
kesiapan mengatakan bahwa kita belajar dengan melakukannya dan melupakan dengan
tidak melakukannya.
c)
Hukum
efek (The Law of Effect)
Hukum
efek, mengacu pada penguatan atau melemahnya
suatu hubungan antara stimulus dan respons sebagai akibat dari konsekuensi
respon. Sebagai contoh, jika respon yang diikuti oleh kepuasan latihan dari
suatu keadaan, kekuatan sambungan meningkat. Jika respon diikuti oleh latihan
dari suatu keadaan yang menjengkelkan, kekuatan sambungan menurun. Dalam
terminologi modern, Jika stimulus mengarah ke respon, yang pada gilirannya
menyebabkan penguatan, koneksi SR adalah penguatan. Di sisi lain, jika stimulus
mengarah ke respon yang mengarah ke hukuman, koneksi SR melemah.
Eksperimen Edward
Thorndike
Gambaran
eksperimen thorndike terhadap hewan (kucing) yang menjadi dasar teorinya:
·
Percobaan dilakukan
terhadap seekor kucing yang lapar.
·
Kucing itu ditaruh
dalam kandang, yang mana terdapat celah-celah kecil di kandang tersebut,
sehingga seekor kucing itu bisa melihat makakanan yang berada diluar kandang.
·
Puzzle box yang
merupakan sebuah kurungan kecil dengan pintu yang akan terbuka jika kucing
menarik tali yang tergantung di dalam kurungan.
Tugas kucing ialah keluar dari kurungan untuk mendapatkan makanan
(hadiah) yang ditempatkan di luar kurungan.
·
Mula-mula, kucing akan
berjalan di sekeliling kurungan, mencakar-cakar lantai, meloncat ke kiri-kanan
hingga sampai pada gerakan yang tidak sengaja dia menarik tali pembuka pintu
kurungan. Thorndike mengulang percobaan ini beberapa kali, dan kucing pun masih
lari sekitar kandangnya, tetapi menarik tali lebih cepat.
·
Setelah beberapa
percobaan, kucing memusatkan tingkah lakunya di sekeliling tali, akhirnya
menarik tali, pintu terbuka, dan mendapatkan makanan.
Konsep Sekunder Sebelum 1930
Kelima hukum sekunder tersebut
merupakan prinsip-prinsip yang penting di dalam proses belajar, akan tetapi
tidak sepenting hukum-hukum primer. Hubungan antara hukum-hukum pokok/primer
dan hukum-hukum sekunder itu tidak
begitu jelas, dan dalam tulisan-tulisan Thorndike yang lebih kemudian
hukum-hukum sekunder tersebut
kadang-kadang dipakai lagi. Adapun ke lima hukum sekunder tersebut adalah:
1. Law of multiple respon,
Merupakan langkah permulaan dalam
proses belajar. Melalui proses “ trial and error “ seseorang akan melakukan bermacam
– macam respons sebelum memperoleh respons
yang tepat dalam memecahkan masalah yang di hadapi. Hal itu kembali pada fakta ketika respon pertama tidak memecahkan sebuah permasalahan, maka kita akan mencoba respon lain yang lebih cocok untuk digunakan dan tentunya lebih bisa untuk memecahkan sebuah masalah yang ada. Trial and error learning, tentunya tergantung pada percobaan pertama pada sebuah respon yang di tunjukkan oleh binatang (sebagai model percobaan) sampai menemukan sebuah respon yang cocok. Ketika muncul suatu kemungkinan dari respon untuk dibuat lebih baik dari sebelumnya. Dengan kata lain,melaluiproses trial and error seseorang akan terus melakukanrespons sebelum memperoleh respon yang tepat dalammemecahkan masalah yang dihadapi.
yang tepat dalam memecahkan masalah yang di hadapi. Hal itu kembali pada fakta ketika respon pertama tidak memecahkan sebuah permasalahan, maka kita akan mencoba respon lain yang lebih cocok untuk digunakan dan tentunya lebih bisa untuk memecahkan sebuah masalah yang ada. Trial and error learning, tentunya tergantung pada percobaan pertama pada sebuah respon yang di tunjukkan oleh binatang (sebagai model percobaan) sampai menemukan sebuah respon yang cocok. Ketika muncul suatu kemungkinan dari respon untuk dibuat lebih baik dari sebelumnya. Dengan kata lain,melaluiproses trial and error seseorang akan terus melakukanrespons sebelum memperoleh respon yang tepat dalammemecahkan masalah yang dihadapi.
2. Law of attitude (law of set, law of disposition),
Merupakan situasi di dalam diri
individu yang menentukan apakah sesuatu itu menyenangkan atau tidak bagi
individu tersebut. Proses belajar individu dapat berlangsung
dengan baik, lancar, bila situasi menyenangkan dan terganggu
bila situasi tidak menyenangkan.
Hukum ini menjelaskan bahwa
perilakku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus
dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu
baik kognitif, emosi, sosial, maupun
psikomotornya.
3. Law of partial activity (law of prepotency element),
Merupakan prinsip yang menyatakan
bahwa manusia memberikan respons hanya pada aspek tertentu sesuai dengan
presepsinya dari keseluruhan situasi ( respons selektif ), dengan
demikiaian orang dapat memberi respons yang berbeda pada stimulus yang
sama.
4. Law of respon by analog (law of assimilation), dan
Menurut thorndike, manusia dalam melakukan respon pada situasi yang belum pernah dialami
karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah
dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau
perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin
mudah.
5. Law of associative shifting.
Perpindahan Asosiasi adalah proses
peralihan suatu situasi yang telah dikenal ke situasi yang belum
dikenal secara bertahap, dengan cara ditambahkanya sedikit demi
sedikit unsur – unsur ( elemen ) baru dan membuang unsur – unsur lama
sedikit demi sedikit, yang menyebabkan suatu respons dipindahkan
dari suatu situasi yang sudah dikenal ke situasi lain yang baru sama
sekali.
Konsep Sekunder Pasca 1930
Pada bulan September 1929, Thorndike berdiri di depan Kongres
Internasional Psikologi di New Haven, Connecticut, dan memulai pidatonya dengan
mengatakan, "Saya salah”.Pengakuan ini menunjukkan suatu aspek penting
dari praktek ilmiah yang baik, yaknipara ilmuwan diwajibkan untuk mengubah
kesimpulan mereka jika data yang ada menuntut demikian.
1. Revisi
Law of Exercise (Hukum Latihan),
Hukum
latihan ditinggalkan, karena ditemuka bila pengulangan saja tidak cukup untuk
memperkuat hubungan stimulus dan respons. Meskipun demikian, Thorndike masih
mempertahankan bahwa latihan menyebabkan peningkatan kecil dan bahwa kurangnya
latihan menyebabkan sedikit lupa.
2. Revisi
Law of Effect (Hukum Efek),
Setelah
tahun 1930, hukum efek menyatakan bahwa respon diikuti oleh keadaan memuaskan
dari stimulus yang diperkuat. Selain itu, Thorndike menemukan bahwa respon
menghukum tidak berpengaruh pada kekuatan hubungan. Law of Effect direvisi menjadi,
efek penguatan (reward) dapat meningkatkan kekuatan hubungan, sedangkan hukuman
(punishment) tidak berpengaruh apapun tehadap kekuatan hubungan.
3. Belongingness,
Thorndike
mengamati bahwa dalam belajar asosiasi, di samping faktor kedekatan, hukum efek
sering terlibat. Menurutnya, konsep belongingness yakni terjadinya hubungan
stimulus respon bukannya kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara kedua
hal tersebut. Situasi belajar akan mempengaruhi hasil belajar. Kita dapat
mengatakan, misalnya, bahwa binatang lapar akan mencari makanan yang memuaskan
dan binatang haus akan menemukan air yang memuaskan.
Thorndike
menggunakan konsep belongingness dalam dua cara. Pertama, ia menggunakannya
untuk menjelaskan mengapa ketika belajar materi verbal, seseorang cenderung
untuk mengatur apa yang telah dipelajari ke dalam unit yang dianggap sebagai
milik bersama. Kedua, ia mengatakan bahwa jika efek yang dihasilkan oleh respon
yang terkait dengan kebutuhan organisme, pembelajaran akan lebih efektif
daripada efek yang dihasilkan oleh respon yang tidak berhubungan dengan
kebutuhan organisme.
Thorndike
juga menyatakan bahwa respon dipelajari paling mudah diberikan dalam arah yang
terbentuk. Sebagai contoh, hampir semua orang bisa melafalkan alfabet maju,
tapi jarang seseorang bisa membacanya mundur. Demikian juga, sebagian besar
anak sekolah pun bisa melafalkan ikrar kesetiaan maju, tetapi akan jarang
menemukan seorang anak dapat membacanya mundur.
4. Spread
of effect (Sebaran Efek)
Setelah
tahun 1930, Thorndike memberikan konsep teoritis penting lainnya yang ia sebut
dengan sebaran efek, yaitu bahwa akibat dari suatu perbuatan dapat menular.
Dalam salah satu ekperimennya Thorndike secara tidak sengaja menemukan bahwa
kondisi yang memuaskan tidak hanya meningkatkan peluang terulangnya respon yang
mengarah ke kondisi yang memuaskan tersebut. Akan tetapi juga meningkatkan
peluang terulangnya respon disekitar respon yang dikuatkan.
Salah
satu eksperimen yang menunjukan efek ini menampilkan sepuluh kata diantaranya
adalah catnip, debate, dan dazzle kepada subyek yang diperintahkan untuk
merespon dari angka 1 sampai 10. Jika subyek merespon sebuah kata dengan angka
yang sebelumnya telah dipilih oleh peneliti, peneliti akan berkata “benar”.
Jika subyek merespon dengan angka lain, peneliti akan berkata “salah”.
Eksperimen ini dilakukan sampai beberapa uji coba. Dua hasil pengamatan
ditemukan dari penelitian ini. Pertama, ternyata penguatan (peneliti berkata
“benar”) meningkatkan peluang pengulangan angka yang sama ketika kata stimulus
diberikan, tetapi hukuman (peniliti berkata “salah”) tidak mengurangi peluang
pengulangan angka yang salah. Sebagian dengan dasar penelitian inilah,
Thorndike merevisi hukum efeknya sebelumnya.
Yang
kedua, ternyata peluang pengulangan angka sebelum dan setelah angka yang
dikuatkan meningkat, meskipun angka itu tidak mendapatkan penguatan dan bahkan
angka-angka didekat angka yang sebenarnya dihubungkan dengan hukuman. Oleh
sebab itu Thorndike menyebut kondisi yang memuaskan “menyebar” dari respon yang
dikuatkan ke respon di sekelilingnya. Dia menyebut fenomena ini dengan nama
spread of effect (sebaran efek). Thorndike juga menemukan bahwa efek ini akan
menghilang seiring bertambahnya jarak. Dengan kata lain, respon yang dikuatkan
memiliki peluang pengulangan terbesar, kemudian respon yang paling dekat dengan
respon yang dikuatkan, kemudian respon didekat respon itu, dan begitu
seterusnya.
Ketika
menemukan sebaran efek, Thorndike merasa dia telah menemukan penegasan lain
untuk hukum efeknya, karena penguatan tidak hanya meningkatkan peluang respon
yang dikuatkan tetapi juga meningkatkan peluang respon-respon didekatnya,
meskipun respon-respon ini memperoleh hukuman. Dia juga merasa bahwa sebaran
efek lebih jauh menunjukan sifat belajar yang langsung dan otomatis.
Penerapan Teori Thorndike dalam Pembelajaran Matematika
Aplikasi
teori Thorndike sebagai slaah satu aliran psikologi tingkah laku dalam
pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat
materi pembelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang
tersedia. Setiap pembelajaran yang berpegang pada teori belajar behavioristik
telah terstruktur rapi, dan mengarah pada bertambahnya pengetahuan pada
siswa.Penerapan yang sebaiknya dilakukan dalam pembelajaran matematika adlah
sebagai berikut:
a. Sebelum
memulai proses belajar mengajar, pendidik harus memastikan siswanya siap
mengikluti pembelajaran tersebut. Jadi setidaknya ada aktivitas yang dapat
menarik perhatian siswa untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar.
b. Pembelajaran
yang diberikan sebaiknya berupa pemebelajaran yang kontinu, hal ini dimaksudkan
agar materi lampau dapat tetap diingat oleh siswa.
c. Dalam
proses belajar, pendidik hendaknya menyampaikan materi matematika denagn cara
yang menyenangkan, contoh dan soal latihan yang diberikan tingkat kesulitannya
bertahap, dari yang mudah sampai yang sulit. Hal ini agar siswa mampiu menyerap
materi yang diberikan.
d. Pengulangan
terhadap penyampaian materi dan latihan, dapat membantu siswa mengingat materi
terkait lebih lama.
e. Supaya
peserta didik dapat mengikuti proses pembelajaran, proses hars bertahap dari
yang sederhana hingga yang kompleks.
f. Peserta
didik yang telah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah, dan yang belum
baik harus segera diperbaiki.
g. Dalam
belajar, motivasi tidak begitu penting, karena perilaku peserta didik terutama
ditentukan oleh penghargaan eksternal dan bukan oleh intrinsic
motivation. Yang lebih penting dari ini ialah adanya respon yang benar
terhadap stimulus.
h. Materi
yang diberikan kepada peserta didik harus ada manfaatnya untuk kehidupan anak
kelak setelah dari sekolah
i. Thorndike
berpendapat, bahwa cara mengajar yang baik bukanlah mengharapkan murid tahu
bahwa apa yang telah di ajarkan, tetapi guru harus tahu apa yang hendak
diajarkan. Dengan ini guru harus tahu materi apa yang harus diberikan, respon
apa yang diharapkan dan kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respons
yang salah.
j. Tujuan
pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik dan harus
terbagi dalam unit – unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan
menurut bermacam – macam situasi.
Penerapan Teori Thorndike dalam
pembelajaran
Thorndike berpendapat, cara mengajar
yang baik bukanlah mengharapkan murid tahu apa yang telah diajarkan, tetapi
guru harus tahu apa yang hendak diajarkan. Dengan ini guru harus mengerti
materi apa yang hendak diajarkan, respon apa yang diharapkan dan kapan harus
memberi hadiah atau membetulkan respons yang salah. Maka tujuan pendidikan
harus dirumuskan dengan jelas.
Tujuan pendidikan
harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didikan dan harus terbagi
dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan menurut
bermacam-macam situasi. Supaya peserta didik dapat mengikuti pelajaran, proses
belajar harus bertahap dari yang sederhana sampai yang kompleks.
Dalam
belajar, motivasi tidak begitu penting karena perilaku peserta didik terutama
ditentukan oleh external rewards dan bukan oleh intrinsic motivation. Yang
lebih penting dari ini ialah adanya respon yang bener terhadap stimulus. Bila
peserta didikan melakukan respon yang salah, harus segera diperbaiki, sebelum
sempat diulang-ulang. Dengan demikian ulangan yang teratur diperlukan sebagai
kontrol bagi guru, untuk mengetahui apakah peserta didik sudah melakukan respon
yang benar atau belum terhadap stimulus yang diberikan oleh guru.
Supaya guru
mempunyai gambaran yang jelas dan tidak keliru terhadap kemajuan anak, ulangan
harus dilakukan dengan mengingat hukum kesepian. Peserta didik yang sudah
belajar dengan baik harus segera diberi hadiah, dan bila belum baik harus
segera diperbaiki. Situasi belajar harus dibuat menyenangkan dan mirip dengan
kehidupan dalam masyarakat sebanyak mungkin, sehingga dapat terjadi transfer
dari kelas ke lingkungan di luar kelas. Materi pelajaran yang diberikan kepada
peserta didik harus ada manfaatnya untuk kehidupan anak kelak setelah keluar
dari sekolah.
Dengan
diberikannya pelajaran-pelajaran yang sulit, yang melebihi kemampuan anak,
tidak akan meningkatkan kemampuan penalarannya.
Aplikasi Teori Thorndike
1. Thorndike dan
pendidikan
Thorndike
percaya bahwa praktek pendidikan harus dipelajari secara ilmiah. Jelas baginya
bahwa harus ada hubungan erat antara pengetahuan proses belajar dengan praktek
mengajar. Oleh sebab itu, dia berharap seiring bertambahnya hal yang telah
ditemukan mengenai sifat belajar, semakin banyak juga yang harus diterapkan
untuk meningkatkan praktek mengajar. Thorndike (1906) berpendapat:
Tentu
saja pengetahuan psikologi saat ini lebih mendekati angka nol daripada
kesempurnaan dan aplikasinya untuk pengajaran tidaklah lengkap. Tidak menentu
dan berubah-ubah. Penerapan psikologi kedalam pengajaran lebih seperti ilmu
tumbuhan dan ilmu kimia yang diterapkan untuk pertanian daripada lmu psiologi
dan patologi yang diterapkan untuk kedokteran. Seorang dapat bercocok tanam
dengan baik tanpa ilmu pengetahuan dan seorang dapat mengajar dengan baik tanpa
harus mengenal dan menerapkan ilmu psikologi. Tetapi petani yang memiliki
pengetahuan cara menerapkan ilmu tumbuhan dan ilmu kimia kedalam bercocok tanam
akan menjadi petani yang lebih berhasil daripada petani yang tidak memiliki
ilmu tersebut dan hal yang sama juga terjadi untuk guru dimana guru yang dapat
menerapkan ilmu psikologi, ilmu sifat manusia kedalam masalah di sekolah akan
menjadi guru yang lebih berhasil.
Pada
banyak hal, pemikiran Thorndike bertentangan dengan pandangan tradisional
tentang pendidikan; salah satu contohnya dapat dilihat dalam teori elemen
identik transfernya. Thorndike (1912) juga memiliki pandangan yang berbeda
untuk pengajaran dengan teknik ceramah yang begitu terkenal saat itu (sampai
sekarang):
Metode
ceramah dan demonstrasi menampilkan pendekatan yang memiliki kelemahan dimana
guru hanya memberitahu siswa apa yang guru sampaikan saja. Guru menyampaikan
kesimpulan dan percaya siswa akan menggunakan kesimpulan itu untuk belajar
lebih banyak. Guru meminta siswa memperhatikan dia, melakukan yang terbaik
untuk memahami pertanyaan yang tidak datang sendiri dari mereka dan jawaban
yang tidak berasal dari mereka. Guru hanya mendidik siswa seperti seseorang
yang memberikan warisan.
Dia
juga berkata, kesalahan
yang paling umum yang dilakukan orang yang tidak berpengalaman dalam hal
mengajar adalah berharap siswa mereka memahami apa yang diberitahukan oleh
guru. Tetapi memberitahu bukanlah mengajarkan. Ekspresi fakta yang ada dalam
pikiran seseorang adalah dorongan alami ketika seseorang ingin orang lain
mengetahui fakta-fakta ini, sama halnya dengan menggendong dan menidurkan anak
yang sakit yang muncul karena dorongan alami juga. Tetapi memberitahu fakta
kepada anak tidak akan menyembuhkan dia dari keacuhan sama halnya dengan
tepukan tidak akan menyembuhkan anak yang terkena demam.
Lalu
apa yang dimaksud dengan pengajaran yang baik? Untuk mewujudkan pengajaran yang
baik, pertama kali Anda harus benar-benar tahu apa yang ingin Anda ajarkan.
Jika Anda tidak benar-benar mengetahui apa yang Anda akan ajarkan, Anda
tidakakan tahu materi apa yang akan Anda sajikan, respon apa yang Anda cari,
dan kapan harus memberikan pemuas kepada siswa. Prinsip ini tidak sejelas
seperti kelihatannya. Meskipun tujuh aturan Thorndike (1992) didesain untuk
mengajarkan aritmatika, aturan ini menampilkan saran dia untuk pengajaran
secara umum:
1.
Pertimbangkan situasi yang dihadapi oleh siswa.
2.
Pertimbangkan respon yang ingin Anda hubungkan.
3.
Bentuklah pertalian: Jangan berharap pertalian muncul karena keajaiban.
4.
Jangan buat pertalian yang harus diputus.
5.
Jangan buat dua atau tiga pertalian jika satu saja sudah cukup.
6.
Buatlah pertalian yang nanti dibutuhkan lagi.
7.
Pilihlah situasi yang cocok dengan hidup dan respon yang penting untuk hidup.
2.
Penerapan Teori Belajar Koneksionisme
a.
Guru dalam proses pembelajaran harus tahu apayang hendak diberikan kepada
siswa.
b. Dalam proses
pembelajaran, tujuan yang akandicapai harus dirumuskan dengan jelas, masihdalam
jangkauan kemampuan siswa.
c. Motivasi dalam belajar tidak
begitu penting, yanglebih penting ialah adanya respon-respons yangbenar
terhadap stimuli.
d. Ulangan yang teratur perlu
sebagai umpan balikbagi guru, apakah proses pembelajaran sudahsesuai dengan
tujuan yang ingin dicapai atau belum.
e.
Siswa yang sudah belajar dengan baik segeradiarahkan.
f. Situasi belajar dibuat mirip
dengan kehidupan nyata,sehingga terjadi transfer dari kelas ke lingkunganluar.
g.
Materi pembelajaran yang diberikan harus dapatditerapkan dalam kehidupan
sehari-hari.
h. Tugas yang melebihi kemampuan
peserta didiktidak akan meningkatkan kemampuan siswa dalammemecahkan
permasalahannya
3.
Implikasi Hukum Kesiapan dalam Pendidikan
a. Sebelum gurudalam kelas mulai
mengajar, maka anak – anak disiapkan mentalnya terlebih dahulu. Misalnya anak
disuruh duduk yang rapi, tenang dan sebagainya.
b. Penggunaan tes bakat sangat
membantu untuk menyalurkan bakat anak. Sebab mendidik sesuai dengan bakatnya
akan lebih lancar dibandingkan dengan bila tidak berbakat.
4.
Implikasi Hukum Kesiapan dalam Pendidikan
Penggunaan
hukum latihan dalam proses belajar mengajar adalah prinsip ulangan, misalnya :
a. Memberi keterampilan kepada para
siswa agar sering atau makin banyak menggunakan pengetahuan yang telah
diperolehnya.
b.
Diadakan latihan resitasi dari bahan – bahan yang dipelajari.
c. Diadakan ulangan – ulangan yang
teratur dan bahkan dengan ulangan yang ketat atau system drill, ini akan
memperkuat hubungan S-R.
5.
Implikasi Hukum Efek dalam Pendidikan
a. Pengalaman/situasi kelas/kampus
buatlah sedemikian rupa sehingga menyenangkan bagi para siswa/mahasiswa/guru
maupun karyawan sekolah. Penghuni sekolah merasa puas, aman, dan mereka senang
pada tugasnya masing – masing.
b. Bahan–bahan pengajaran buatlah
ada artinya, dapat diterima atau dimengerti berguna bagi kehidupan.
c. Tugas–tugas sekolah diatur
dengan tahap–tahap pencapaian hasilnya dan memberi keyakinan bagi para pelajar,
guru, maupun petugas lainnya.
d. Tugas-tugas sekolah ditata
dengan tahap-tahap kesukarannya sehingga para siswa dapat maju tanpa mengalami
kegagalan
e. Bahan-bahan pelajaran diadakan
variasi dan metode pengajaran juga dapat dibuat bervariasi agar
pengalaman-pengalaman belajar mengajar menjadi segar dan menyenangkan, tidak
menjemukan.
f. Bimbingan, pemberian hadiah,
pujian, bahkan bila perlu hukuman tentulah akan dapat memberi motivasi proses
belajar mengajar.
BAB 2
BURRHUS
FREDERICK SKINNER
Ana
Zahrotun Nisa’, Ikha Fauziyah, dan Istiqomah
Teori Utama B.F. Skinner
Perilaku
Responden dan Operant
B.F.
Skinner membedakan dua jenis perilaku yaitu respond behavior
(perilaku responden) yang ditimbulkan oleh suatu stimulus yang dikenali, dan operant
behavior (perilaku operan), perilaku yang tidak diakibatkan oleh
stimulus yang dikenali tetapi dilakukan sendiri oleh organisme. Perilaku
responden merupakan perilaku yang responnya ditimbulkan oleh stimulus yang
tidak terkendalikan atau bisa juga disebut gerak refleks. Contohnya seperti
menarik tangan ketika tertusuk jarum, menutupnya kelopak mata saat terkena
cahaya yang menyilaukan dan keluarnya air liur saat ada makanan. Karena pada
awalnya perilaku operan tidak berkorelasi dengan stimulus yang dikenali, maka
perilaku tersebut tampak spontanitas. Contohnya berdiri lalu berjalan atau anak
kecil meninggalkan mainan dan beralih ke mainan yang lain.
Dengan
adanya dua macam perilaku tersebut diatas maka muncul dua jenis pengkondisian
yaitu pengkondisian Tipe S dan pengkondisian Tipe R. Pengkondisian Tipe S juga
disebut respondent conditioning (pengkondisian responden) dan
identik dengan pengkondisian klasik. Disebut pengkondisian Tipe S karena
menekankan penting pada stimulus dalam menimbulkan respon yang diinginkan.
Pengkondisian Tipe R juga dinamakan operant conditioning (pengkondisian
operan). Tipe R ini menekankan menyangkut perilaku operan karena penekanannya
adalah respons. Perlu dicatat bahwa dalam pengkondisian Tipe R, kekuatan
pengkondisiannya ditunjukkan dengan tingkat respons (response rate), sedangkan
dalam pengkondisian Tipe S kekuatan pengkondisiannya biasanya ditentukan
berdasarkan besaran (magnitude) dari respons yang terkondisikan.
Ada
dua prinsip umum dalam pengkondisian Tipe R yaitu; setiap respons yang diikuti
dengan stimulus yang menguatkan cenderung akan diulang dan stimulus yang
mengkuatkan adalah segala sesuatu yang memperbesarkan rata-rata terjadinya
respon operan. Dalam pengkondisian operan, penekanannya adalah pada perilaku
dan pada konsekuensinya, dengan pengkondisian operan, organism pasti merespon
dengan cara tertentu untuk memproduksi stimulus yang mengkuatkan.
Kebanyakan
Skinner melakukan percobaan di ruang tes kecil yang kmeudian dikenal dengan Skinner
box (kotak Skinner). Kotak Skinner biasanya menggunakan lantai
berkisi-kisi, cahaya, tuas/pengungkit, dan cangkir makanan. Untuk menghitung
perilaku hewan dalam kotak skinner menggunakan cumulative recording (pencatatan
komulatif). Biasanya pengkondisian respons penekanan tuas menggunakan 3 langkah
yaitu Deprivasi, Magazine Training, dan Penekanan Tuas. Maksudnya hewan diletakkan dalam jadwal
deprivasi dan menjalani magazine, dan menggunakan tombol untuk memicu mekanisme
pemberi makan dari luar. Dalam hal ini ada pendekatan lain untuk pengkodissian
operan yang disebut dengan shaping (pembentukan) yang tidak membutuhkan
waktu yang lama. Pembentukan terdiri dari dua komponen yaitu: differential
reinforcement (penguatan differensial) yang berarti sebagian respons
diperkuat dan sebagian yang lainnya tidak, dan successive approximation (kedekatan
suksesif), yaitu fakta bahwa hanya respons-respons yang semakin sama dengan
yang diinginkan oleh eksperimenterlah yang akan diperkuat. Penguatan dicabut dari situasi pengkondisian
operan, disini berarti melakukan extinction (pelenyapan). Yang maksudnya
pemberian makanan diberhentikan dan penekanan tuas tidak menghasilkan makanan
maka disebut pelenyapan.
Menurut prinsip penguatan sekunder,
pemasangan cahaya dengan makanan maka menyebabkan cahaya memiliki properti
penguatan sendiri. Selain mempertahankan respons penekanan tuas bisa
menggunakan cahaya yang mengkondisikan respons lain. Keller dan Schoenfeld
(1950) memberikan ringkasan penguatan sekunder ini sebagai berikut:
1. Sebuah
stimulus yang kadang terjadi atau mengiringi sebuah penguatan akan mendapatkan
karakteristik sebagai penguat tersendiri dan bisa disebut dengan penguatan
terkondisikan sekunder.
2. Penguatan
sekunder adalah positif apabila penguatan yang berkorelasi dengannya adalah
positif dan negative jika penguatan yang berkorelasi dengannya negatif.
3. Penguatan
sekunder adalah independen dan nonspesifik, bukan hanya memperkuat respons yang
sama yang menghasilkan penguatan awaltetapi ia juga akan mengondisikan respons
yang baru dan tak terkait dengan respons sebelumnya.
4. Melalui
generalisasikan, banyak stimuli di luar stimuli yang berkorelasi dengan
penguatan akan mendapatkan nilai penguatan sendiri baik positif maupun negatif.
Untuk
meringkas pandangan Skinner tentang penguatanada dua tipe penguatan yaitu primary
positive reinforcement (penguatan positif primer) adalah sesuatau yang
secara alamiah memperkuat bagi organism dan berkaitan dengan survival, dan primary
negative reinforce (penguatan negatif primer) adalah sesuatu yang
membahayakn secara tidak alamiah bagi organism. Sebuah penguatan positif baik
primer maupun negative adalah sesuatu yang apabila ditambahkan ke situasi oleh
suatu respons tertentu, akan meningkatkan probabilitas terulangnya respons
tersebut. Sedangkan penguatan negatif baik primer maupun sekunder adalah
sesuatu yang, jika dihilangkan dari situasi oleh respons tertentu akan
meningkatkan probabilitas terulangnya respons tersebut.
Hukuman
(Punishment)
Punishment (hukuman)
terjadi ketika suatu respons menghilangkan sesuatu yang positif dari situasi
atau menambahkan sesuatu negatif. Argument utama Skinner yang menentang
penggunaan hukuman adalah bahwa hukuman itu dalam jangka panjang tidak akan
efektif. Tampak bahwa hukuman hanya menekan perilaku, dan ketika ancaman
hukuman dihilangkan, tingkat perilaku akan kembali ke level semula. Jadi
hukuman sering kelihatannya sangat berhasil padahal ia sebenarnya hanya
menghasilkan afek temporer. Argument lain yang menentang hukuman adalah sebagai
berikut:
1. Hukuman
menyebabkan efek samping emosional yang buruk.
2. Hukuman
menunjukkan apa yang tidak boleh dilakukan organism, bukan apa yang seharusnya
dilakukan.
3. Hukuamn
menjustifikasi tindakan menyakiti pihak lain.
4. Berada
dalam situasi dimana perilaku yang dahulu di hukum kini dapat dilakukan tanpa
mendapat hukuman lagi mungkin akan menyebabkan anak merasa diperbolehkan
melakukannya lagi.
5. Hukuman
akan menimbulkan agresi terhadap pelaku penghukum dan pihak lain.
6. Hukuman
sering mengganti respons yang tidak diinginkan dengan respons yang tak
diingnkan lainnya.
Jadwal
Penguatan
Penguatan
parsial Skinner akan meyebabkan reisitensi yang lebih besar terhadap pelenyapan
ketimbang penguatan yang berkelanjutan atau penguatan 100 persen, dan fakta ii
dinamakan partial reinforcement effect (PRE). Ada beberapa jadwal
penguatan yang lazim dipakai dan mereka dideskripsikan dibawah ini:
1. Continuous
Reinforcement Schedule. Dengan menggunakan Continuous
Reinforcement Schedule (CRF) (jadwal penguatan berkelanjutan), setiap
respon yang tepat selama akuisasi akan diperkuat.
2. Fixed
Interval Reinforcement Schedule. Dengan
menggunakan Fixed Interval Reinforcement Schedule (FI) (jadwal penguatan
interval tetap).
3. Fixed
Ration Reinforcement Schedule. Dengan
menggunakan Fixed Ration Reinforcement Schedula (FR) (jadwal penguatan
rasio tetap), setiap respons ke-n yang dilakuakn hewan akan diperkuat FR5.
Untuk jadwal penguatan FI dan FR, respons yang diperkuat diikuti oleh depresi
(penurunan) tingkat respon yang bisa disebut postreinforcement pause.
4. Variabel
Interval Reinforcement Schedule. Dengan variabel Variabel
Interval Reinforcement Schedule (VI) (jadwal penguatan interval variabel),
hewan diperkuat setelah memberi respons pada akhir interval dari durasi
variabel.
5. Variabel
Ratio Reinforcement Schedule. Variabel Ratio
Reinforcement Schedule (VR) (jadwal penguatan
rasio variabel) ini mengeliminasi bentuk undak-undakan dalam catatan kumulatif
seperti yang dijumpai pada jadwal FR dan menghasilkan tingkat respons yang
tertinggi di antara lima jadwal yang telah dibahas sejauh ini.
6. Concurrent
Schedules and the Matching Law. Dengan
menggunakan Concurrent Schedules and the Matching Law (jadwal penguatan
secara bersama).
7. Concurrent
Chain Reinforcement Schedule. jadwal
penguatan bersama dipakai untuk meneliti perilaku pilihan sederhana, sedangkan concurrent
chain reinforcement schedule (jadwal penguatan rantai secara bersamaan)
dipakai untuk meneliti perilaku pilihan kompleks.
8. Progressive
Ratio Schedules and Behavioral Economics.
Dengan Progressive Ratio Schedules and Behavioral Economics (jadwal
penguatan rasio progresif), hewan percobaan memulai dengan jadwal rasio rendah
(biasanya FR), dan rasio respons terhadap penguatan secara sistematis
ditingkatkan selama sesi training selanjutnya.
Skinner
mengolongkan respons verbal berdasarkan bagaimana mereka terkait dengan
penguatan, yakni dari segi apa yang mesti dilakukan agar respons itu diperkuat.
Klasifikasi ini didikusikan secara singkat berikut ini:
1. Mand.
Kata mand berasal dari fakta bahwa ada
permintaan (demand). Ketika permintaan dipenuhi, ucapan (mand)
diperkuat, dan saat kebutuhan seseorang muncul lagi di waktu yang lain, orang
itu kemungkinan akan mengulangi mand tersebut. Tentang mand ini. Skinner (1957) mengatakan, mand
dicirikan oleh hubungan unik antara bentuk respons dengan penguatan yang secara
khas diterima dalam komunikasi verbal tertentu. Terkadang untuk menyebut relasi
ini kita bisa mengatakan bahwa sebuah mand “menspesifikasikan”
penguatannya.
2. Tact.
Secara umum, tact adalah penamanan objek atau kejadian di lingkungan dengan
tepat, dan penguatannya berasal dari penguatan kesesuaian antara lingkungan dan
perilaku verbal seseorang. Istilah ini mengandung kesan mnemonic dari perilaku
yang membuat kontak dengan dunia fisik. suatu tact bisa didefinisikan sebagai
operan verbal dimana suatu respons bentuk tertentu dimunculkan (atau setidaknya
diperkuat) oleh objek atau property atau kejadian tertentu.
3. Echoic
Behavior. Suatu echoic behavior adalah perilaku verbal yang diperkuat saat
perilaku verbal orang lain diulang secara verbatim (persisi kata demi kata). Echoic
behavior sering merupakan prasyarat untuk perilaku verbal yang lebih
kompleks.
4. Autoclitik
Behavior. Menurut Skinner (1957), istilah auticlitik
dimaksudkan untuk menunjukkan perilaku yang didasarkan pada atau
bergantungan pada, perilaku verbal lain. Fungsi utama autoclitik behavior adalah
untuk mengkualifikasikan respons, mengekspresikan relasi, dan menyediakan
kerangka gramatikal untuk perlaku verbal.
Relativitas Penguatan
David
Premack
Secara
tradisional, penguat dianggap sebagai stimuli atau perangsang. Penguat primer
biasanya dianggap terkait dengan keberlangsungan hidup organisme, dan penguat
sekunder adalah stimulus yang secara konsisten dipasangkan dengan penguat
primer. Tetapi Premack menunjukkan bahwa semua respons harus dianggap sebagai
penguat potensial. Secara spesifik dia menunjukkan bahwa setiap respons yang
terjadi dengan frekuensi yang cukup tinggi dapat dipakai untuk memperkuat
respons yang terjadi dengan frekuensi relatif rendah. Dengan menggunakan
gagasan penguatan Premack, orang bisa membiarkan suatu organisme melakukan
aktivitas apapun yang diinginkannya dan mencatat dengan cermat apa aktivitas
itu dan bagaimana frekuensinya. Setelah itu, berbagai macam aktivitas yang
dilakukan organisme itu akan disusun dalam hierarki. Aktivitas yang paling
sering dilakukan akan diletakkan di
urutan pertama, kemudian diurutkan berdasakan frekuensi dari yang sering ke yang
paling kurang sering. Dengan merujuk pada daftar urutan ini, eksperimenter
dapat mengetahui pasti apa yang bisa dipakai dan tidak bisa dipakai sebagai
penguat organisme itu.
Menurut
Premack, cara untuk mengetahui apa yang bisa dipakai sebagai penguat adalah
dengan mengamati perilaku organisme saat ia melakukan sejumlah aktivitas, dan
aktivitas yang paling sering dilakukan dapat dipakai sebagai penguat untuk
memperkuat aktivitas yang kurang sering dilakukan. Dan dapat dikatakan bahwa
jika suatu aktivitas terjadi lebih sering ketimbang aktivitas-aktivitas lain
maka aktivitas itu dapat digunakan sebagai penguat untuk meperkuat aktivitas
yang kurang sering dilakukan. Ini dinamakan
Premack Principle (Prinsip
Premack) dan tampaknya prinsip ini juga berlaku utuk manusia. Untuk menguji
teorinya, Premack (1959) membiarkan 31 anak kelas satu SD bermain mesin pinball
atau mengoperasikan mesin permen sebanyak yang mereka suka. Beberapa anak lebih
senang bermain dengan mesin permen dinamakan pemakan. Fase pertama studi ini
adalah untuk mengetahu prefensi murid.
Dalam
fase kedua, kelompok manipulator dan pemakan masing-masing dibagi menjadi dua
kelompok. Satu kelompok ditempatkan di kontigensi manipulasi-makan, dimana anak
harus memainkan mesin pinball sebelum mereka diizinkan mengoperasikan mesin
permen. Kelompok lainnya ditempatkan pada kontigensi makan-manipulasi, dimana
anak harus mengoperasikan mesin permen sebelum mereka diperbolehkan bermain
mesin pinball. Ditemukan manipulator, situasi manipulasi makan-manipulasi tidak
banyak menghasilkan perbedaan dalam perilaku mereka. Mereka hanya langsung main
mesin pinball seperti sebelumnya. Namun dalam kondisi makan-manipulasi,
frekuensi makan manipulator bertambah karena mereka tahu bahwa mereka harus
makan dahulu agar bisa memainkan mesin pinball. Ditemukan bahwa manipulator,
situasi manipulasi-makan tidak banyak menghasilkan perbedaan. Mereka hanya
makan langsung seperti sebelumnya. Tetapi dalam kondisi manipulasi-makan,
frekuensi memainkan pinball meningkat. Jadi, Premack menemukan bukti pendukung
untuk pendapatnya bahwa aktivitas kurang sering dilakukan dapat diperkuat
dengan memberi mereka kesempatan melakukan aktivitas yang lebih sering
dilakukan. Ketika prefensi berubah, penguat juga berubah.
Implikasi
dari Premack cukup luas. Misalnya, apa yang dapat bertindak sebagai penguat
menjadi sangat personal terus menerus sangat berubah. Guru dapat
mengaplikasikan pengetahuan ini dengan memerhatikan prefensi murid dalam
situasi pilihan-bebas dan menemukan penguatnya. Bagi satu anak, kesempatan
untuk lari-lari dan bermain mungkin merupakan penguat, sedangkan bagi anak
lainnya penguatnya adalah kesempatan bermain dengan tanah lempung.
William
Timberlake
Timberlake
membedakan antara hipotesis probabilitas-diferensial, pendapat yang dianut oleh
Premack, dengan disequilibrum hypothesis
(hipotesis ekuilibrum), pendapat yang berasal dari studi Premack (1962)
yang dideskripsikan sebelumnya. Berbeda dengan pendapat Premack yang menyatakan
bahwa aktivitas yang disukai dapat memepkuat aktivitas yang kurang disukai,
hipotesis disekuilibrum menyatakan bahwa setiap aktivitas dapat menjadi penguat
jika suatu jadwal kontigensi membatasi akses hewan keativitas itu. Misalnya
kita melihat seekor tikus melakukan kegiatan bebas selama beberapa hari.
Kemudian diketahui, misalnya tikus menghabiskan 30 persen waktunya untuk makan,
20 persen untuk minum, dan 10 pesen lari di roda putar. Sedangkan. 40 persen
sisanya dipakai untuk berbagai macam aktivitas lainnya. Menurut Timberlake,
distribusi proposional aktivitas itu merupakan ekuilibrum keadaan aktivitas
yang seimbang yang diperhankan secara bebas dan disukai oleh hewan. Jika kita
menetapkan kontigensi seperti waktu untuk makan diredukasi dibawah 30 persen,
maka kita menciptakan (disekuilibrum), sebuah kondisi yang mengandung
konsekuensi motivasional. Dalam kondisi disekuilibrum ini, makan dapat dipakai
sebagai penguat untuk aktivitas lain, dan ia akan terus memeiliji daya penguat
sampai hewan itu kembali ke ekuilibrum, yakni menghabiskan 30 persen waktu
untuk makan.
Di
lain pihak, hipotesis ekulibrum memprediksikan bahwa kegiatan lari di roda
putar, kegiatan yang paling sedikit dilakukan, juga dapat menjadi penguat.
Hipotesis disekuilibrum juga menerangkan kondisi dimana aktivitas spesifik
dapat menjadi hukuman. Untuk mengahasilkan hukuman (punishment), harus didesain
suatu jadwal dimana pelaksanaan suatu aktivitas akan meningkatkan aktivitas
lain melampaui basis dasarnya. Pandangan
Timberlake memberi perspektif baru yang penting mengenai penguatan dan kontigensi
penguatan. Seperti Premack, riset Timberlake dengan jelas menunjukkan bahwa
argumen transitusional tentang penguatan adalah tidak benar. Dari perspektif
ini, peran jadwal kontigensi adalah menghasilkan disekuilibrum, bukan
memberikan informasi yang menghubungkan respons dengan penguat atau memberi
kontiguitas antara respons dan penguat. Dan dari riset Timberlake kita melihat
bahwa deprivasi makanan dan minuman saja tidak esensial untuk menjadikannya
sebagai penguat. Tetapi, retriksi terhadap hal-hal itulah yang menjadikannya
sebagai penguat.
Kesalahan Perilaku
Organisme
Thorndike
menyimpulkan bahwa hukum belajar yang sama berlaku untuk semua mamalia,
termasuk manusia. Skinner, sepertii teoritisi belajar lainnya, sepakat dengan
kesimpulan Thorndike.
Pandangan
yang berbeda dengan pendapat bahwa hukum belajar yang sama berlaku untuk semua
mamalia tampaknya adalah pandangan yang berkaitan dengan konsep insting. Mereka
yang percaya pada adanya insting mengatakan bahwa spesies yang berebda memiliki
kecenderungan bawaan yang berbeda yang berinteraksi dengan hukum belajar, atau
bahkan menolak hukum itu. Dengan kata lain, karena ada tendensi bawaan ini,
spesies tertentu dapat dikondisikan untuk melakukan sesuatu hal tetapi tidak
bisa untuk hal lain. Menurut sudut pandamg ini, beberapa respons akan lebih
mudah untuk dikondisikan bagi beberapa spesies ketimbang spesies lain karena
responnya mungkin terjadi secara alamiah bagi beberapa dibanding spesies
lainnya. Prinsip umumnya adalah setiap kali hewan memiliki perilaku naluriah
yang kuat di area respons yang dikondisikan, setelah beberapa waktu hewan akan
terdorong kembali keperilaku naluriah dan karenanya perilaku yang dikondisikan
melemah bahkan menghilangkannya. Secara sederhana dapat dikatakan “perilaku
yang dipelajari terserap menuju perilaku naluriah”.
Breland
menentang tiga asumsi dasar behavioris, diantaranya:
1. Bahwa
hewan mempelajari situasi sebagai tabula rasa (lembaran kosong)
2. Bahwa
perbedaan diantara berbagai spesies adalah tak penting
3. Bahwa
setiap respons dapat dikondisikan untuk setiap stimulus
Fenomena
lainnya yang tampaknya menunjukkan pentingnya perilaku naluriah dalam situasai
belajar adala authoshoping. Jika kita menerima penjelasan autoshaping, maka
kita harus menyimpulkan bahwa tidak ada proses belejar yang terjadi. Hewan
hanya menjadi terlalu sensitif situasi dan mengeluarka respons bawaan terhadap
stimuli yang paling menonjol dalam lingkungan tersebut.
Pandangan Skinner
tentang pendidikan
Menurut
Skinner, belajar akan berlangsung sangat efektif apabila, (1)informasi yang
dipelajari disajikan secara bertahap, (2) pembelajar segera diberi umpan balik
(feedback) mengenali akurasi pembelajaran mereka; yakni, setelah belajar mereka
segera diberi tahu apakah mereka sudah memehami informasi denge benar atau
tidak, dan (3) pembelajar mampu belajar
dengan caranya sendiri. Skinner menegaskan bahwa tujuan belajar seharusnya
dispesifikasikan dahulu sebelum pelajran dimulai. Dia menegaskan bahwa tujuan
belajar itu didefinisikan secara behavioral. Seperti behavioris lainnya,
Skinner memulai dengan langlah yang sederhana ke arah yang kompleks. Perilaku
kompleks dianggap terdiri dari bentuk-bentuk perilaku sederhana. Karena selain
motivasi yang digunakan untuk menentukan apa yang akan bertindak sebagai
penguat siswa. Penguat sekunder adalah bentuk pujian verval, ekspresi yang
menyenangkan, pemberian penghargaan, menghargai kesuksesan, memberi nilai,
peringkat, dan memberi kesempatan murid untuk mengerjakan sesuatu yang
diinginkannya. Seperti Thorndike, Skinner menekankan penggunaan penguat ekstrinsik
dalan dunia pendidikan. Bagi guru Skinnerian, fungsi utama pendidikan adala
mengatur kontigensi penguatan sehingga perilaku yang dianggap penting bisa
ditingkatkan. Semua behavioris S-R menyarankan suatu lingkungan belajar yang
memeungkinkan individu belajar dengan kecepatan yang berebda-beda. Mereka ingin
menagani siswa secara individual atau memeberi satu kelompok dengan materi yang
memungkinkan siswa belajar sesuai dengan kemampuannya sendiri, sperti mesin
pengajar atau buku yang dosusun khusus. Behavioris cenderung menghindari
tekhnik pengajaran ala ceramah karena dengan cara ini tidak akan diketahui
apakah proses belajar sudaj terjajadi dan karenanya tidak diketahui kapan mesto
mengatur penguatan. Guru Skinnerian menghindari pemberian hukuman. Menurut
Skinneria, problem perilaku di sekolah adalah akibat dari perencanaan
pendidikan yang buruk, seperti kegagalan untuk memberikan pendidikan yang
sesuai dengan kemampuan murid, memeberi terlalu banyak paket pelajaran yang
tidak mudah dipahami, menggunakan disiplin keras untuk mengontrol perilaku,
meggunakan perencanaan yang kaku yang harus dipatuhi oleh semua murid, atu
mengharuskan muid melakukan sesuatu yang tidak reasonable.
Sistem Instruksi
Personal
Pendektan
yang disebut Prsonalized Systems of Onstructios (PSI) pada mulanya dinamakan
Keller Plan yang diambil nama Fred Keller (1899-1996), yang mengembangkan
metode ini. Seperti belajat terprogam, metode PSI mengindivudulisasikan dan
memberikan umpan balik yang seing dan mengenai kinerja siswa. Memberikan
pelajaran secara individual biasanya menggunakan empat langkah:
1. Menentukan
materi yang diajarkan
2. Membagi
materi menjadi segmen-segmen tersendiri
3. Menciptakan
metode evaluasi sejauh mana siswa telah menguasai amteri dalam segmen tertentu
4. Mengizinkan
siswa melangkah dari satu segmen kesegmen lainnya sesuai kemampuan mereka
Penekanan
dalam pengajaran PSI adalah pada penguasaan materi segmen yang diajarkan,
biasanya ditunjukkan dengan ujian ringkas dan terfokus. Instruktur dapat
memeinta siswa menguasai materi secara menyeluruh sebelum brpindah kesegmen
lain. Atau instruktur mungkin menetapkan syaray minimum.
Instruksi Berbasis
Komputer
Ketika
komputer dipakai untuk menyajikan pengajaran terprogam atau jenis materi
pelajaran laiinya, proses ini dinamakan computer based instructions (CBI).
Komputer bukan hanya dapat digunakan untuk menyajikan materi instruksional,
tetapi juga bisa digunakan untuk mengevaluasi sebrapa baikkah yang telah
dipelajari. Setelah satu segmenprogram telah diselesaikan, komputer dapat
memebrikan tes, menilainya, dan membnadingkan nilainya dengan nilai siswa lain
yang menjalankan program yang sama. Jadi, komputer tida hanya memebrikan
tanggapan langsung selama prose belajar tetapi juga memberi hasil tes ecara
langsung baik itu kepada siswa maupun kepada guru.
Dengan
memebrikan tanggapan langsung, perhatiaan personal, display visual yang menari,
dan suasana seperti bermain, CBI dapat memotivasi siswa untuk belajar dengan
cara amat berbeda dengan metode tradisional.
CBI
memang semakin canggih sehingga banyak orang yang kini percaya bahwa ia bisa
dipakai untuk mengajarkan apapun dengan cara seperti yang dilakukan oleh guru
yang terbaik. Format pndidikan yang terkait dengan CBI adalah “kelas virtual”,
terkadang disebut sebagai on-line education. Berkat teknologi komputer yang
makin canggih, modem, dam internet kini siswa duduk didepan komputer dengan
jarak ribuan mil dari sumber informasi untuk melakukan interaksi. Dalam belajar
“jarak jauh” insi siswa mempunyai kesempatan untuk membaca teks materi atau
memebaca bahan kuliah yang disusun oleh instruktur, melakukan latihan, dan
tugas lab dengan menggunakan komputer, berinteraksi dengan instruktur dan siswa
lain disesi chat, atau mengerjaan CBI yang telah disiapakan instruktur.
Kemajuan teknlogi komputer memungkinkan untuk mengamati dan mendengar kemajuan
kelas, dan berpartisipasi secara verbal.
Implikasi Teori
B.F Skinner
Kondisioning
operant
Mark
adalah seorang siswa dalam kelas geografi Bu
Ferguson. Inilah yang
terjadi pada Mark
selama minggu pertama bulan oktober
Senin,
Bu Ferguson menanyakan
kepada para siswa di kelasnya letak Kolumbia
pada bola dunia. Mark mengetahui letak Kolumbia,
dan dia duduk berpangku tangan sambil tersenyum, dengan berharap Bu Ferguson akan memamnggil
namanya. Namun, Bu
Ferguson memanggil siswa
lain.
Selasa,
Bu Ferguson menanyakan
kepada para siswa di kelasnya asal-usul nama Kolumbia. Mark mengetahui bahwa nama Kolumbia diambil dari
nama Christopher Columbus, karena itu dia memangangkat tangannya beberapa
senti. Bu Ferguson
memanggil siswa lain
Rabu,
Bu Ferguson menanyakan
kepada para siswa di kelasnya mengapa masyarakat di Kolumbia berbicara
bahasa Spanyol ketimbang bahasa
Inggris atau Perancis. Mark
mengetahui masyarakat Kolumbia
berbicara bahasa Spanyol
karena banyak pendatang awal Eropa
berasal dari Spanyol.
Dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Bu Ferguson
memanggil siswa lain
Kamis,
Bu Ferguson menanyakan
kepada para siswa di
kelasnya mengapa masyarakat di Kolumbia dapat ditanami kopi
tetapi di Kanada
tidak. Mark mengetahui kopi hanya dapat ditanam di daerah-daerah yang memiliki
iklim tertentu saka. Dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan melambaikannya
dengan liar ke depan dan ke belakang. Bu Ferguson
memanggil namanya.
Jum’at,
setiap kali Bu
Ferguson menanyakan
sebuah pertanyaan dan Mark
dapat menjawabnya. Mark
mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan melambaikannya
dengan liar.
Perhatikan
bahwa beberapa perialku Mark
dalam kelas geografi, seperti duduk diam, tersenyum, dan mengangkat tangan dengan
sopan, tidak memberikan hasil. Melambaikan tangan dengan liar memberikan hasil
yang diinginkan Mark:
perhatian gurunya. Jadi, respon yang menarik perhatian Bu Ferguson akan berlanjut, respon-respon lainnya
menghilang.
Perubahan
pada perilaku Mark
menggambarkan kondisioning operant, sebuah bentuk pembelajaran yang digambarkan
oleh banyak ahli perilaku dan yang terkenal adalah B.F Skinner. (Ormrod, 2008: 431)
Daftar
Pustaka
Ormrod,
Jeanne Ellis. 2008. Psikologi pendidikan membantu siswa tumbuh dan berkembang.
Penerbit Erlangga
BAB 3
CLARK LEONARD HULL
Bayu, Mauludiyah, dan Iftitah Banin
Pendekatan Teorisasi Hull
Sebagai langkah pertama dalam menyusun teorinya,
Hull menyelesaikan ulasan mendalam terhadap riset-riset belajar yang sudah ada.
Lalu dia berusaha mendeduksi konsekuensi yang dapat diuji berdasarkan ringkasan
yang sudah dibuatnya. Pendekatan Hull dalam membangun suatu teori dinamakan
hypothetical deductive (deduksi hipoteris) atau logical deductive. Teori
belajar ini dikembangkan Hull dengan menggunakan metode deduktif. Hull percaya
bahwa pengembangan ilmu psikologi harus didasarkan pada teori dan tidak semata-mata
berdasarkan fenomena individual atau secara induktif.
Tipe teorisasi ini menghasilkan sistem yang dinamis
dan terbuka (open-ended). Hipotesis selalu dibuat, beberapa diantaranya
dikuatkan oleh hasil eksperimen dan beberapa lainnya ditolak. Ketika eksperimen
mengarah ke arah yang diprediksikan, maka seluruh teori, termasuk postulat dan
teorema menjadi kuat. Ketika eksperimen menghasilkan hal-hal yang sudah
diprediksikan, maka teori dianggap lemah dan harus direvisi.
Sebuah teori harus terus menerus diperbarui sesuai
dengan hasil dari penelitian ilmiah. Nilai dasar teori ditentukan oleh seberapa
kuatkah ia sesuai dengan fakta yang teramati. Seberapapun abstraknya teori,
pada akhirnya mesti menghasilkan proposisi yang dapat diverifikasi secara empiris,
itulah yang terjadi dalam teori Hull.
KONSEP TEORETIS UTAMA HULL
Teori Hull mengandung struktur postulat dan teorema
yang logis mirip seperti geometri Euclid. Postulat itu adalah pernyataan umum
tentang perilaku yang tidak dapat diverifikasi secara langsung, meskipun
teorema yang secara logis berasal dari postulat itu dapat diuji. Hull
mengajukan enam belas postulat dalam cakupan enam hal yakni sebagai berikut:
1. Tanda-tanda
luar yang mendorong atau membimbing tingkah laku dan representasi neuralnya
atau saraf.
Postulat 1: Impuls
saraf afferent dan bekas lanjutannya.
Jika suatu perangsang mengenai reseptor, maka
timbullah impuls saraf afferent dengan cepat mencapai puncak intensitasnya dan
kemudian berkurang secara berangsur-angsur. Sesaat saraf afferent berisi impuls
dan diteruskan kepada saraf sentral dalam beberapa detik dan seterusnya timbul
respon. S-R diubah menjadi S-s-R atau S-s-r-R. Simbol s adalah impuls atau
stimulus trace dalam saraf sensoris, dan simbol r adalah impuls respon yang masih
dalam saraf afferent.
Postulat 2: Interaksi
saraf afferent.
Impuls dalam suatu saraf afferent dapat diteruskan
ke satu atau lebih saraf afferent lainnya. R timbul tidak hanya karena satu
stimulus, tetapi lebih dari satu S yang lalu terjadi kombinasi berbagai
stimulus. Rumusnya akan berubah menjadi S-r-R.
2. Respon
terhadap kebutuhan, hadiah dan kekuatan kebiasaan.
Postulat 3: Respon-respon
bawaan terhadap kebutuhan (tingkah laku yang tidak dipelajari).
Sejak lahir organisme mempunyai hierarki respon penentu
kebutuhannya yang timbul karena ada rangsangan-rangsangan dan dorongan. Respon
terhadap kebutuhan tertentu bukan merupakan respon pilihan secara random,
tetapi respon yang memang ditentukan oleh kebutuhannya, misalnya mata kena debu
maka secara otomatis mata berkedip dan keluar air mata. Jika pola respons
bawaan pertama tidak memenuhi kebutuhan, maka akan muncul pola lainnya. Jika
tidak ada satupun pola-pola perilaku bawaan itu yang efektif dalam memenuhi
kebutuhan, maka organisme harus mempelajari pola respons baru.
Postulat 4: Hadiah
dan kekuatan kebiasaan; kontiguitas dan reduksi dorongan sebagai
kondisi-kondisi untuk belajar.
Kekuatan kebiasaan akan bertambah jika
kegiatan-kegiatan reseptor dan efektor terjadi dalam persamaan waktu yang
menyebabkan hubungan kontiguitif dengan hadiah pertama dan hadiah kedua. Jika
satu stimulus diikuti dengan satu respons yang kemudian diikuti dengan
penguatan, maka asosiasi antara stimulus dan respons itu akan semakin kuat yang
disebut dengan habit strength (kekuatan kebiasaan) [SHR].
Rumusan matematis yang mendeskripsikan hubungan antara SHR dan
jumlah pasangan S dan R yang diperkuat adalah :
SHR = 1 – 10 -0.0305N
N adalah jumlah pemasangan antara S dan R yag
diperkuat. Rumusan ini menghasilkan kurva belajar yang terakselerasi secara
negatif, yang berarti bahwa pasangan yang lebih dahulu diperkuat memiliki lebih
banyak efek terhadap belajar ketimbang pasangan selanjutnya.
3. Stimulus
pengganti (ekuaivalen)
Postulat 5: Generalisasi
(penyamarataan).
Kekuatan kebiasaan yang efektif timbul karena
stimulus lain daripada stimulus pertama yang menjadi persyaratan bergantung
kepada penindakan stimulus kedua dari yang pertama dalam kesatuan yang terus
menerus dari ambang perbedaan, dengan kata lain yang ingin dibentuk merupakan
hasil rata-rata persyaratan stimulus berikutnya. Generalisasi stimulus ini juga
mengindikasikan bahwa pengalaman sebelumnya akan mempengaruhi proses belajar
yang sekarang. Hull menyebutnya sebagai generalized habit strength (kekuatan
kebiasaan yang digeneralisasikan).
4. Dorongan-dorongan sebagai akitivator respon.
Postulat 6: Stimulus
dorongan.
Hubungan dengan tiap-tiap dorongan adalah stimulus
dorongan karakteristik yang intensitasnya meningkat dengan kekuatan dorongan.
Contohnya bibir dan tenggorokan kering yang mengiringi dorongan haus.
Postulat 7: Potensi
reaksi yang ditimbulkan oleh dorongan.
Kekuatan kebiasaan disintesiskan kedalam potensi
reaksi dengan dorongan-dorongan primer yang timbul pada saat tertentu.
Rumusannya adalah :
Potensi reaksi = SER = SHR
x D
Jadi, potensi reaksi adalah fungsi dari seberapa
sering respons diperkuat dalam situasi itu dan sejauh mana dorongannya ada.
5.
Faktor-faktor yang melawan respon-respon.
Postulat 8: Pengekangan
reaksi
Respon memerlukan kerja, dan kerja menyebabkan
keletihan yang pada akhirnya akan menghambat respons. Reactive inhibiton
(hambatan reaktif) [IR] disebabkan kelelahan, tetapi secara otomatis
akan hilang jika organisme berhenti beraktivitas.
Timbulnya suatu reaksi menyebabkan pengekangan
reaksi yang lain. Suatu kejemuan untuk mengulangi respon. Pengekangan reaksi
adalah penghamburan waktu yang spontan.
Postulat 9: Pengekangan
yang dikondisikan (diisyaratkan).
Stimuli yang dihubungkan dengan penghentian respon
menjadi pengekangan yang dikondisikan. Respon untuk tidak merespon dinamakan
conditioned inhibition (SIR) (hambatan yang
dikondisikan). Baik itu IR maupun SIR beroperasi
melawan munculnya respons yang telah dipelajari dan karenanya merupakan
pengurangan dari potensi reaksi (SER). Ketika IR
dan SIR dikurangkan dari SER,
hasilnya adalah potensi reaksi efektif (SER).
Potensi reaksi efektif = SER =
SHR x D – (IR+ SIR)
Postulat 10: Osilasi
pengekangan.
Potensial pengekangan dihubungkan dengan potensial
reaksi yang bergoyang terus menerus pada waktu itu. Potensi penghambat itu
dinamakan efek guncangan (SOR) yang membahas sifat
probabilistik dan prediksi perilaku.
Potensi reaksi efektif sementara = SER
= (SHR x D – [IR + SIR])
- SOR
6. Bangkitnya
respon.
Postulat 11: Reaksi
ambang perangsang.
Potensi reaksi efektif yang momentum harus melampaui
reaksi ambang perangsang sebelum stimulus membangkitkan reaksi.
Postulat 12: Kemungkinan
reaksi diatas ambang perangsang.
Kemungkinan respon adalah fungsi normal dari potensi
reaksi efektif melampaui reaksi ambang perangsang.
Postulat 13: Latensi
(keadaan diam atau berhenti).
Latensi [STR] adalah waktu
antara presentasi stimulus ke organisme dan respon yang dipelajarinya. Makin
potensi reaksi efektif melampaui reaksi ambang perangsang makin pendek latensi
respon, artinya respon makin cepat timbul.
Postulat 14: Hambatan
berhenti (ekstingsi).
Makin besar potensi reaksi efektif, makin besar
respon yang timbul tanpa perkuatan, sebelum berhenti atau ekstingsi.
Postulat 15: Amplitudo
respon (besarnya respon).
Besarnya dorongan dilantari atau disebabkan oleh
peningkatan kekuatan potensi efektif reaksi dalam sistem saraf otonom.
Postulat 16: Respon-respon
yang bertentangan.
Jika potensi-potensi reaksi kepada dua atau lebih
respon-respon yang bertentangan terjadi dalam organisme pada waktu yang sama,
maka hanya reaksi yang mempunyai potensi reaksi yang lebih besar akan terjadi
responnya.
Teori belajar hull adalah teori reduksi dorongan
atau reduksi stimulus dorongan. Mengenai soal spesifiabilitas tujuan,
ketertiban kelas, dan proses belajar dari yang sederhana ke yang kompleks.
Namun menurutnya, belajar melibatkan dorongan yang dapat direduksi. Sulit
membayangkan bagaimana dorongan primer dapat berperan dalam belajar di kelas,
tetapi beberapa pengikut hull menekankan kecemasan sebagai sebentuk dorongan
dalam proses belajar manusia. Latihan harus didistribusikan dengan cermat agar
hambatan tidak muncul. Guru hullian akan membagi topik-topik yang diajarkannya
sehingga pembelajar (siswa) tidak akan kelelahan yang bisa mengganggu proses
belajar.
Konsep Sekunder Teori Belajar Clark Hull
Seperti
halnya dengan Skinner,
maka Clurk C. Hull mengikuti jejak Thorndike dalam usahanya mengembangkan teori
belajar. Prinsip-prinsip yang digunakana mirip dengan apa yang dikemukakan oleh
para behavioris yaitu dasar stimulus respon dan adanya reinforcement.
Clark
C. Hull mengemukakan teorinya yaitu bahwa suatu kebutuhan atau keadaan
terdorong (oleh motif, tujuan, maksud, aspirasi, ambisi) harus ada dalam diri
seseorang yang belajar, sebelum suatu respon dapat diperkuat dasar pengurangan
kebutuhan itu. dalam hal ini efisiensi belajar tergantung pada besarnya tingkat
pengurangan dan kepuasan motif yang menyebabkan timbulnya usaha belajar itu
respon-respon yang dibuat individu itu. setiap obyek, kejadian atau situasi
dapat mempunyai nilai sebagai penguat apabila hal itu dihubungkan individu itu, yaitu jika obyek, kejadian atau
situasi tadi dapat menjawab suatu kebutuhan pada saat individu itu melakukan
respon.
Prinsip
penguat menggunakakan seluruh situasi yang memotivasi, mulai dari dorongan
biologis yang merupakan kebutuhan utama seseorang sampai pada hasil-hasil yang
memberikan ganjaran bagi seseorang. Jadi prinsip yang utama adalah suatu
kebutuhan atau motif harus ada pada seseorang sebelum belajar itu terjadi dan
bahwa apa yang dipelajarai itu harus diamati oleh orang yang belajar sebagai
sesuatu yang dapat mengurangi keuatan kebutuhan atau memuaskan kebutuhannya.
Dua hal yang sangat penting dalam proses belajar dari Hull adalah adanya
incentive motivation (motivasi insentif) dan drive stimulus reduction
(pengurangan stimulus pendorong). Kecepatan berespon berubah bila besarnya
hadiah berubah. ( Purwanto, 2006: 97 )
Hull
mengembangkan beberapa definisi, antara lain:
1.
Kebutuhan (Need)
Kebutuhan
merupakan keadaan organisme yang menyimpang dari kondisi biologis optimum pada
umumnya yang digunakan untuk melangsungkan hidupnya. Jika kebutuhan tersebut
timbul maka organisme akan bertindak untuk memenuhi kebutuhannya, hal tersebut
dinamakan mereduksi kebutuhan dan teori belajarnya disebut teori reduksi
kebutuhan atau need reduction theory.
2.
Dorongan (Drive)
Kondisi
kekosongan ganda organisme sehingga mendorong untuk melakukan sesuatu. Istilah
lain dari dorongan adalah motiv. Adakalanya seseorang merasa ingin melakukan
sesuatu namun orang tersebut tidak memiliki dorongan untuk melakukannya.
3.
Perkuatan (Reinforcement)
Sesuatu yang
dapat memperkuat hubungan S-R, dan respon terhadap stimulus tersebut dapat
mengurangi ketegangan kebutuhan. Perkuatan biasanya berupa hadiah.
Konsep
Teoretis utama Hull mengandung struktur postulat dan teorema yang logis mirip
seperti geometri Euclid. Postulat adalah pernyataan umum tentang perilaku yang
tidak dapat diverifikasi secara langsung, meskipun teorema yang secara logis
berasal dari postulat itu dapat diuji. Postulat itu terdiri dari 16 postulat
yang dikemukakan pada tahun 1943 dan kemudian ke revisi utama yang dilakukan
Hull pada tahun 1952. (Olson, 2008: 142)
Motivasi
Insentif (K)
Tahun 1943, Hull membahas
besaran penguatan sebagai variable belajar. Semakin besar jumlah penguatan,
semakin besar jumlah reduksi dorongan. Dan karenanya semakin besar peningkatan
dalam sHr. Eksperimen mengidentifikasikan bahwa kinerja berubah secara dramatis
saat besarnya penguatan divariasikan setelah belajar selesai. Perubahan kinerja
setelah perubahan besaran penguatan tidak dapat dijelaskan dalam term perubahan
sHr karena perubahan itu terlampau cepat. Kecuali satu atau lebih faktor
beroperasi melawan sHr, nilainya tidak akan turun. Hull mengambil kesimpulan
bahwa organisme belajar sama cepatnya untuk insentif kecil dan insentif besar,
namun binatang melakukannya secara berbeda sesuai dengan variasi besarnya
insentif (K). Perubahan kinerja yang cepat setelah adanya perubahan ukuran
penguatan ini disebut sebagai Crespi Effect .
Dinamisme
Intensitas-Stimulus
Menurut Hull, stimulus-itensity dynamism adalah variable pengintervensi yang
bervariasi menurut intensitas stimulus eksternal (S). Secara sederhana dinamisme
intensitas-stimulus menunjukkan bahwa semakin besar intensitas dari suatu
stimulus, semakin besar kemungkinan munculnya respons yang telah dipelajari.
Perubahan
dari Reduksi Dorongan ke Reduksi Stimulus Dorongan
Pada mulanya
Hull menganut teori reduksi belajar, namun kemudian merevisi menjadi teori
drive stimulus reduction ( reduksi stimulus dorongan ) dalam belajar. Hull
menyimpulkan bahwa reduksi dorongan tidak memadai untuk menjelaskan proses
belajar, yang dibutuhkan untuk menjelaskan belajar adalah sesuatu yang terjadi
setelah penyajian penguat dan sesuatu itu adalah reduksi drive stimuli (stimuli
dorongan).
Respons
Tujuan Pendahulu Fraksional
Ketika
stimulus neural secara konsisten dipasangkan dengan penguatan primer, ia akan
memiliki properti penguatan sendiri yakni menjadi penguat sekunder. Konsep
penguat sekunder sangat penting untuk memahami operasi fractional abtedating
goal response (respon tujuan pendahuku fraksional) yang merupakan salah satu
konsep terpenting dari Hull.
Misalnya
kita melihat tikus untuk mencari suatu makanan lewat jalan yang ruwet. Kita
meletakkan tikus dikotak awal dan akhirnya mencapai kotak tujuan yang berisi
makanan, penguat primer. Semua stimuli dalam kotak tujuan yang dirasakan
sebelum penguatan primer (makanan) karenanya, melalui proses pengkondisian
klasik akan menjadi penguat sekunder). Berdasarkan prinsip pengkondisian klasik
tikus akan mengembangkan respon yang tak
terkondisikan. Respon yang tak terkondisikan adalah keluarnya air liur,
mengunyah dan menjilat yang ditimbulkan oleh adanya makanan yang diberikan
kepada hewan yang lapar. Respon terkondosikan juga melibatkan keluarnya air
liur, pengunyahan dan penjilatan akan dimunculkan oleh berbagai stimuli dalam
kotak tujuan saat tikus mendekati makanan. Respon tujuan pendahulu fraksional
adalah respon terkondisikan terhadap stimuli yang dialami sebelum pencernaan
makanan.
Setelah
hewan meninggalkan kotak awal akan bertemu dengan berbagai macam stimuli,
beberapa diantaranya memiliki properti penguatan. Respon-respon yang
mendekatkan hewan ke stimuli penguatan cenderung akan diulang dan respon
lainnya akan lenyap. Jad proses belajar melibatkan baik itu pengkondisian
klasik maupun pengondisian instrumental. Pengkondisian klasik menghasilkan
penguat sekunder dan rG. Pengkondisian instrumental menghasilkan
respon motor yang benar yang mmbuat hewan mendekati penguat primer dan penguat
sekunder.
Dua
karakteristik dari rG harus dicatat. Pertama rG harus
selalu merupakan beberapa fraksi (bagian) dari respon tujuan (rG).
Kedua dan lebih penting, rG menghasilkan stimulasi. Respon yang
tegas mengaktifkan reseptor kinestetik diotot, tendon dan sendi. Secara lebih
teknis, pengaktifan reseptor kinestetik menimbulkan propriceptive stimuli.
(Olson, 2008: 151-154)
Hierarki
Rumpun Kebiasaan
Hierarki
rumpun kebiasaan merujuk pada fakta bahwa dalam situasi belajar apapun ada
banyak kemungkinan respon, dan respon yang paling mungkin adalah respon yang
menimbulkan penguatan paling cepat dan dengan paling sedikit membutuhkan usaha.
Ada hubungan
erat antara hierarki rumpun kebiasaan dengan bagaimana respon tujuan pendahulu
fraksional (rG) dan stimulus dan menimbulkannya (sG)
beroperasi dalam proses berantai. Respon yang nyata dapat berasal dari
terjadinya sG. Beberapa respon ini akan langsung muncul saat menemui
penguat sekunder dan yang lainnya tidak. Pada akhirnya respon yang cepat akn
berjumpa dengan penguat sekunder akan menjadi respon sekunder karena respon itu
memiliki nilai SER tertinggi. Semakin lama penundaan
penguatan semakin rendah nilai SER.
Ada 3 macam
variabel dalam teori Hull :
1.
Variabel bebas (independen)
merupakan kejadian stimulus yang secara sistematis dimanipulasi oleh eksperimenter
2.
Variabel pengintervensi
(intervening) yakni proses yang dianggap terjadi didalam organisme tetapi tidak
dapat diamati secara langsung.
3.
Variabel terikat (dependen) yakni
beberapa aspek dari perilaku yang diukurvoleh eksperimenter dalam rangka menentukan
apakah varabel bebas punya efek atau tidak.
Pandangan
Hull Tentang Pendidikan
Teori belajar Hull adalah teori reduksi dorongan atau reduksi stimulus
dorongan. Belajar melibatkan dorongan yang dapat direduksi. Beberapa pengikut
Hull menekankan kecemasan sebagai bentuk dorongan proses belajar manusia.
Mereduksi kecemasan murid adalah syarat yang diperlukan untuk belajar dikelas.
Tapi terlalu sedikit kecemasan tidak akan menimbulkan proses belajar karena
tidak ada dorongan yang akan direduksi.
Miller dan
Dollard (1941) meringkaskan aplikasi teori Hull untuk pendidikan sebagai
berikut :
Drive :
pembelajar harus menginginkan sesuatu
Cue :
pembelajar harus memperhaitikan sesuatu
Response :
pembelajar harus melakukan sesuatu
Reinforcement : respon pembelajar harus membuatnya mendapatkab sesuatu yang didinginkannya
Menurut Hull
penguatan bergantung pada reduksi dorongan atau stimuli dorongan yang
dihasilkan oleh kondisi kebutuhan fisiologis. Hipotesis reduksi dorongan adalah
usaha pertama untuk membedakan diri dari
definisi pemuas/penguat yang kurang tegas yang menjadi ciri teori Thorndike dan
Skinner.
Kritik
Meski
pengaruh besar teori Hull mengandung masalah dikritik karena kurang teorinya
kecil sekali manfaatnya untuk menjelaskan perilaku diluar laboratorium karena
terlalu menekankan pada konsep yang didefinisikan secara operasional dan karena
memberikan prediksi yang tidak konsisten. Meskipun ada langkah pembelaan riset
selanjutnya akan menunjukkan bahwa penguatan terjadi dengan atau tanpa reduksi
dorongan atau stimuli dorongan.. salah satu keterangan yang menarik mengatakan
bahwa Hull membangunteori secara terbalik. Namun, dengan keliruanya tepri Hull
termasuk salah satu dari teori paling heuristik dalam sejarah psikologi. Selain
memicu banyak eksperimen penjelasan Hull mengenai penguatan. Dorongan,
pelenyapan dan generalisasi telah menjadi kerangka standar acuan dalam diskusi
konsep. (Olson, 2008: 159)
Implikasi Teori Belajar Hull
Sebagai
langkah pertama dalam menyusun teorinya, Hull menyelesaikan ulasan mendalam
terhadap riset-riset belajar yang sudah ada. Lalu dia berusaha mendeduksi
konsekuensi yang dapat diuji berdasarkan ringkasan yang sudah dibuatnya.
Pendekatan Hull dalam membangun suatu teori dinamakan hypothetical deductive
(deduksi hipoteris) atau logical deductive. Teori belajar ini dikembangkan
Hull dengan menggunakan metode deduktif. Hull percaya bahwa pengembangan ilmu
psikologi harus didasarkan pada teori dan tidak semata-mata berdasarkan
fenomena individual atau secara induktif.
Tipe
teorisasi ini menghasilkan sistem yang dinamis dan terbuka (open-ended).
Hipotesis selalu dibuat, beberapa diantaranya dikuatkan oleh hasil eksperimen
dan beberapa lainnya ditolak. Ketika eksperimen mengarah ke arah yang
diprediksikan, maka seluruh teori, termasuk postulat dan teorema menjadi kuat.
Ketika eksperimen menghasilkan hal-hal yang sudah diprediksikan, maka teori
dianggap lemah dan harus direvisi.
Sebuah teori
harus terus menerus diperbarui sesuai dengan hasil dari penelitian ilmiah.
Nilai dasar teori ditentukan oleh seberapa kuatkah ia sesuai dengan fakta yang
teramati. Seberapapun abstraknya teori, pada akhirnya mesti menghasilkan
proposisi yang dapat diverifikasi secara empiris, itulah yang terjadi dalam
teori Hull.
Kontribusi teori belajar Hull
Teori
Belajar Hull berpengaruh besar terhadap psikologi. Marx dan Cronan Hilix
(1987), berkata :
“Kontribusi terpenting dari Hull
untuk psikologi adalah dia menunjukkan manfaat dari mengarahkan pandangan
seseorang terhadap tujuan utama dari teori perilaku yang sistematis dan
Ilmiah”. Dia mempopulerkan pendekatan behafioristik yang amat obyektif.
Cakupan
teori Hull ini adalah perpaduan antara definisi variabel yang detail,
mengundang banyak penelitian empiris. Teori Hull adalah teori pertama yang
memenuhi kriteria Popper. Penegasan Hull pada definisi yang tepat dan
pernyataan matematika yang menghubungkan konsep – konsepnya dengan perilaku
telah memberi arah yang jelas untuk pengujian teorinya. Menurut Hull, penguatan
bergantung pada reduksi dorongan atau stimuli dorongan yang dihasilkan oleh
kondisi kebutuhan psikologis. Hipotesis reduksi dorongan adalah usaha pertama
untuk membedakan diri definisi pemuas atau penguat yang kurang tegas yang
menjadi ciri teori Thorndike dan Skinner. Hull juga merupakan orang pertama
yang membuat prediksi yang persis tentang efek gabungan dari belajar dan
dorongan terhadap perilaku dan tentang efek keletihan (via hambatan reaktif dan
terkondisikan).
Contoh
kasus di awal pembelajaran mata pelajaran yang diampu oleh guru yang ahli
dibidangnya , seorang pendidik baiknya memperhatikan perkembangan peserta
didiknya, karana jika dari awal peserta didik merespon baik dan mendapatkan
hasil yang baik dalam awal pembelajaran maka ditingkat-tingkat pembelajaran yang
lebih lanjut peserta didik akan dapat hasil yang baik, sebaliknya jika dari
awal pembelajaran saja peserta didik sudah menunjukan hasil yang buruk maka
peserta didikpun akan mendapatkan kesulitan dalam belajar. Oleh karena itu,
perhatian pendidik terhadap peserta didik di sini sangat penting. Dari analisis
pendidik terhadap anak didiknya dilingkungan kelas yang ada saat itu termasuk
mengidentifikasi pengetahuan awal siswa.
Seorang
pendidik wajib mengenal karakteristik murid-muridnya juga daya tangkap
murid-muridnya dalam pembelajaran yang diberikan.Memberikan stimulus, dapat
berupa: pertanyaan baik lisan maupun tertulis, tes/kuis, latihan, atau
tugas-tugas. Di dalam pelajaran yang diberikan di atas pendidik bisa memberikan
perhatian pada peserta didik berupa memberikan tugas menghafal dengan tuntutan
peserta didik-peserta didik nantinya maju ke depan dan diberikan
pertanyaan-pertanyaan tentang tugas-tugas hafalan itu sendiri dan untuk
menambah semangat peserta didik, pendidik bisa memberikan nilai bagi peserta
didik yang hafal lebih banyak dan peserta didik yang kurang hafal pendidik bisa
memberikan teguran atau diberikan tugas-tugas agar bisa belajar lagi di rumah.
Pendidik juga bisa membuat kuis atau permainan agar peserta didik bisa lebih
semangat dalam belajar, misalnya pendidik membuat beberapa kelompok dari murid
yang ada kemudian dari tiap kelompok wajib menunjuk satu anggotanya untuk
memperagakan soal-soal yang ada di atas sesuai perintah pendidik kemudian
teman-temannya menjawab apa yang diperagakan oleh temannya itu, apabila
teman-temannya tidak bisa menjawab maka bisa dijawab kelompok lain jadi jika
mereka tidak bisa menjawab nilai akan diambil kelompok lain, dengan begitu
peserta didik akan berusaha berfikir lebih keras untuk mengingat.
Mengamati
dan mengkaji respons yang diberikan peserta didik. Jika ada peserta didik yang
bertanya pendidik harus bisa menjawab dan menjelaskannya hingga peserta didik
bener-benar mengerti, dan bila ada peserta didik yang kurang mengerti atau
kurang aktif pendidik perlu memberikan pertanyaan-pertnyaan untuk memaksa
peserta didik aktif di kalas.
Memberikan
penguatan/reinforcement (mungkin
penguatan positif ataupun penguatan negatif), ataupun hukuman yang bersifat
mendidik. Jika di dalam kalas atau di dalam pelajaran itu peserta didik ada
yang kurang memperhatikan atau mengabaikan pelajaran pendidik, pendidik bisa
memberikan hukuman agar peserta didik jerah dan tidak berani mengulanginya lagi
juga lebih memperhatikan pendidik saat pendidik mengajar.
Evaluasi hasil belajar.
Setelah
pendidik melakukan langkah-langkah pembelajaran, pendidik hendaknya melakukan
evaluasi tentang bagaimana hasil belajar peserta didiknya untuk mengetahui seberapa
jauh peserta didik dapat mengetahui dan memahami pembelajaran yang telah
diberikan. Jika
hasil evaluasi belajar peserta didik dapat merespon dengan baik dan menjadikan
peserta didik merasa nyaman dalam belajar maka pembelajaran dianggap berhasil, tetapi sebaliknya
jika hasil evaluasi belajar peserta didik tidak dapat merespon dengan baik
dengan apa yang telah diberikan dan peserta didik tidak bisa nyaman dalam
belajar,maka pembelajaran dianggap gagal yang berakibat peserta didik kurang
aktif dan hasil belajar atau nilai yang kurang memuaskan.
Aplikasi
teori belajar behavioristik sangat cocok untuk perolehan kemampuan yang
membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti :
Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya sehingga
model yang paling cocok adalah Drill
and Practice, contohnya: dimanfaatkan di pendidikan anak usia dini, TK untuk
melatih kebiasaan baik, karena anak-anak sangat mudah meniru perilaku yang ada
dilingkungannya dan sangat suka dengan pujian dan penghargaan. Sedangkan untuk
pendidikan menengah dan pendidikan tinggi teori behavioristik ini banyak
digunakan antara lain untuk melatih percakapan bahasa asing, mengetik, menari,
menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya.
Teori
behavioristik cenderung mengarahkan peserta didik untuk berfikir linier,
konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Peserta didik juga tidak dapat
berimajinasi dan berkreasi sehingga teori belajar behavioristik cenderung
membatasi peserta didik. Pembelajaran behavioristik cenderung dikaitkan dengan
penegakan disiplin, kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan
dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu hukuman, dan keberhasilan belajar
atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.
BAB 4
IVAN PETROVICH PAVLOV
Khoirotun
Niswah, Lailatul Fitriyah, Lusi Widiastutik
Konsep Utama Teori Pavlov
Dalam merumuskan teori belajar, Ivan
Pavlov mengelompokkan konsep teori ke dalam 4 (empat) macam :
1. Eksistensi
(kegairahan) dan hambatan
Menurut Pavlov, dua proses dasar yang mengatur semua
aktivitas sistem
syaraf sentral adalah excitation (eksitasi) dan inhibition
(hambatan). Babkin (1949), mengatakan:
Dua konsep dasar dari
Pavlov mengenai property fungsional dari system syaraf, dan cerebral cortex pada khususnya,
adalah bahwa mereka didasarkan pada dua proses yang sama sama penting: proses
eksitasi (kegairahan) dan proses hambatan. Eksitasi dan hambatan adalah sisi
sisi dari proses yang sama; keduanya selalu ada secara bersamaan, namun
proporsinya bervariasi di setiap saat, kadang yang satu lebih menonjol, dan
kadang yang satunya lagi yang lebih menonjol. Secara fungsional cerebral cortek adalah menurut
Pavlov, sebuah mosaic, yang terdiri dari titik titik eksitasi dan hambatan yang
terus menerus berubah.(h.313)
Pavlov berspekulasi bahwa setiap kejadian di lingkungan berhubungan
dengan beberapa titik otak di otak dan saat kejadian ini dialami, ia cenderung
menggairahkan atau menghambat aktivitas
otak, jadi, otak terus menerus dirangsang atau dihambat, tergantung pada apa
yang dialami oleh organisme. Pola eksitasi dan hambatan yang menjadi
karakteristik otak ini oleh Pavlov disebut cortical misaik
(mosaic kortikal). Mosaic kortikal pada satu momen akan menentukan bagaimana
organisme merespon lingkungan. Setelah lingkungan eksternal atau internal
berubah, mosaic kortikal akan berubah dan perilaku juga berubah.
Mozaik
kortikal dapat menjadi konfigurasi yang relatif stabil, sebab menurut Pavlov
pusat otak yang berkali-kali aktif bersama akan membentuk koneksi temporer dan
kebangkitan satu poin akan membangkitkan poin lainnya. Jadi, jika satu nada
terus menerus diperdengarkan kepada seekor anjing sebelum ia diberikan makan,
area di otak yang merespon ke makanan. Ketika koneksi-koneksi ini terbentuk,
presentase nada akan menyebabkan hewan bertindak seolah-olah makanan akan
disajikan. Pada poin ini kita mengatakan refleks yang dikondisikan sudah terjadi.
Dengan kata lain jika satu nada terus menerus
diperdengarkan kepada seekor anjing sebelum ia diberikan makan, area di otak
yang merespon ke makanan. Ketika koneksi-koneksi ini terbentuk, presentase nada
akan menyebabkan hewan bertindak seolah-olah makanan akan disajikan. Pada poin
ini kita juga bisa mengatakan refleks yang dikondisikan sudah terjadi.
2. Steorotip
dinamis
Ketika kejadian terjadi secara
konsisten dalam suatu lingkungan, mereka akan memiliki representasi neurologis
dan respon terhadap mereka akan lebih mungkin terjadi dan lebih efisien. Jadi,
respons terhadap lingkungan yang sudah di kenal akan makin cepat dan otomatis
kietika ini terjadi, dynamic stereotype stereotype (stereotip dinamis)dikatakan
telah terjadi. Secara garis besar, stereotip dinamis adalah mosaic kortikal
yang menjadi stabil karena organisme berada dalam lingkungan yang dapat di
prediksi selama periode waktu tertentu yang lumayan panjang. Selama pemetaan
kortikal ini dengan akurat merefleksikan lingkungan dan menghasilkan respon
yang tepat, maka segala sesuatau akan bak baik saja. Tetapi jika lingkungan
berubah secara radikal, organisme mungkin kesulitan untuk mengubah stereotip
dinamis, Pavlov (1995) mengatakan:
Seluruh susunan
dan distribusi keadaan kegairahan dan hambatan dalam korteks, yang terjadi
dalam suatu priode tertentu dalam stimuli eksternal dan internal, menjadi makin
menetap dalam kondisi yang sama dan terus berulang ulang dan akan terjadi
dengan semakin lancer dan otomatis. Jadi, tampaknya ada stereotip dinamis (sistematis)
dalam korteks, dan pemeliharaannya akan semakin mudah dilakukan; namun
stereotip dinamis ini menjadi lamban, sulit berubah dan resisten terhadap
kondisi dan stimuli baru. Usaha untuk memperbarui stereotip akan lebih sulit
untuk dilakukan, tergantung pada kompleksitas system stimuli. (h.259)
Secara garis besar streotip dinamis adalah mosaik
kortikal yang menjadi stabil karena organisme berada dalam lingkungan yang
dapat diprediksi selama periode waktu tertentu yang lumayan panjang. Selama
pemetaan kritikal ini dengan akurat merefleksikan lingkungan dan menghasilkan
respons yang tetap, maka segala sesuatu akan baik-baik saja. Tetapi, jika
lingkungan berubah secara radikal, organisme mungkin kesulitan untuk mengubah
stereotif dinamis. yang dikuti oleh kejadian lingkungan lainnya, dan selama
hubungan ini terus terjadi, asosiasi antara keduanya pada level neural akan
menguat. (perhatikan kemiripan dengan pemikiran Thorndike tentang efek dari
latihan terhadap ikatan neural). Jadi, lingkungan berubah cepat, jalur neural
baru harus dibentuk, dan itu bukan tugas yang mudah.
3. Iradiasi dan konsentrasi
Pavlov menggunakan istilah analyer
untuk mendeskripsikan jalur dari satu reseptor indrawi ke area otak tertentu.
Suatu analyer terdiri dari reseptor indrawi, jalur konsensoris dari reseptor ke
otak, dan area otak yang di proyeksikan oleh aktivitas sensoris. Informasi
sensoris (indrawi) yang diproyeksikan (diteruskan) kebebrapa area otak akan
menimbulkan eksitasi di area itu. Pada awalnya terjadi irradiation of
excitation (iradiasi eksitasi); dengan kata lain, eksitasi ini akan
meluber ke area otak lain di dekatnya. Ini adalah proses yang di pakai Pavlov
untuk menjelaskan generalisasi. Dalam contoh generalisasi tersebut, kita
mencatat bahwa hewan dikondisikan untuk merespon nada berfrekuensi 2.000 cps,
ia bukan hanya akan merespon nada itu, tetapi juga nada yang lain yang terkait
dengannya. Besaran respon akan ditentukan oleh kemiripan antara nada yang
disajikan dan CS actual yang di pakai selama training. Semakin besar
kemiripannya, semakin besar CS-nya.
Penjelasan
lain mengenai iridasi, Pada awalnya terjadi iradiasi akan melebur ke arah otak
lain di dekatnya. Iradiasi adalah proses yang dipakai Ivan Pavlov
untuk menjelaskan generalisasi, yaitu: ketika hewan dikondisikan untuk merespon
nada itu, tapi juga merespon nada yang lain yang terkait dengannya. Ivan Pavlov
mengasumsikan bahwa nada yang paling dekat dengan nada yang dipresentasekan
dalam daerah otak yang dekat dengan area yang menerima nada. Saat nada menjadi
makin berbeda, daerah otak yang mempresentasekannya akan semakin jauh dari area
yang menerima. Selain itu, pavlov mengasumsikan bahwa eksitasi akan hilang
karena jarak. Pavlov juga menemukan bahwa konsenterasi sebuah proses yang
berlawanan dengan iradiasi.
Pavlov
juga menemukan bahwa concentration (konsentrasi), sebuah
proses yang berlawanan dengan iradiasi, mengatur eksitasi dan hambatan. Dia
menegaskan bahwa dalam situasi tertentu baik eksitasi maupun hambatan
dikonsentrasikan pada area spesifik di otak. Proses iradiasi ini di pakai untuk
menjelaskan generalisasi, sedangkan proses konsentrasi dipakai untuk
menjelaskan diskriminasi.
Pertama
tama organisme punya tendensi umum untuk merespon CS selama pengkondisian.
Misalnya, jika sinyal diikuti dengan penguat, maka tendensi yang telah
dipelajari akan merespon sinyal itu dan sinyal yang terkait dengannya. Demikian
pula, jika sinyal disajikan dan tidak diikuti dengan penguat, maka tendensi
yang telah dipelajari tidak akan meresponnya. Karena kita mengatakan bahwa baik
itu eksitasi maupun hambatan telah beriradiasi. Tetapi dengan latihan lama,
tendensi untuk merespon dan tak merespon akan emnjadi kurang umum (less
general) dan semakin spesifik ke daerah stimuli tertentu. Dalam kasus ini, kita
mengatakan eksitasi dan hambatan telah terkonsentrasi.
4.
Pengkondisian Eksitateris dan
Inhibitoris
Ivan
Pavlov mengidentifikasi dua tipe umum dari pengkondisian , yaitu pertama: excitatory
conditioning akan tampak ketika pasangan CS-US menimbulkan suatu respon
(sebuah bell (CS) yang dipasangkan berulang kali dengan makanan (US) sehingga
penyajian CS akan menerbitkan air liur (CR), satu nada (CS) dipasangkan
berulang kali dengan tiupan angin (US) langsung ke mata yang menyebabkan mata
secara refleks berkedip (UR) sehingga penyajian CS saja akan menyebabkan mata
berkedip.
Conditioned
inhibition tampak training CS atau menekan suatu respon misalnya, Pavlov
berspekulasi bahwa pelenyapan mungkin disebabkan oleh munculnya hambatan
setelah CS menimbulkan respon itu diulang tanpa suatu penguat.
Ekternal
inhibition (hambatan ekternal) adalah istilah yang di pakai Pavlov untuk
mendeskripsikan efek disruktif yang terjadi ketika sti,mulus baru disajikan
bersama dengan CS yang sudah ada. tetapi efeknya tidak terbatas hnaya pada
eksitasi yang dikondisikan. Jika CS adalah penghambat yang dikondisikan,
pengenalan stimulus tidak terduga bersama dengan CS akan menghasilkan disinhibition
yang merupakan disrupsi (gangguan) terhadap hamabatan yang
dikondisikan.dengan kata lain jika kita memasangkan satu stimulus baru dengan
penghambat yang dikondisikan, penghambat akan gagal untuk menghambat.
Berdasarkan
percobaan yang dilakukan oleh Ivan Pavlov maka terlihat bahwa pentingnya
mengkondisi stimulus agar terjadi respon. Dengan demikian pengontrolan stimulus
jauh lebih penting daripada pengontrolan respon. Konsep ini mengisyaratkan
bahwa proses belajar lebih mengutamakan faktor lingkungan (eksternal) daripada
motivasi (internal).
Dalam
eksperimennya yang lain, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan
antara conditional stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned
response (CR), dan unconditioned response (UCS). CS adalah rangsangan yang
mampu mendatangkan respons yang dipelajari, sedangkan respons yang dipelajari
itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang menimbulkan respons
yang tidak dipelajari, dan respons yang tidak dipelajari itu disebut UCR.
Anjing
percobaan itu mula-mula diikat sedemikian rupa dan pada salah satu kelenjar air
liurnya diberi alat penampung cairan yang dihubungkan dengan pipa kecil (tube).
Perlu diketahui bahwa sebelum dilatih (dikenal eksperimen), secara alami anjing
itu selalu mengeluarkan air liur setiap kali mulutnya berisi makanan. Ketika,
bel dibunyikan secara alami pula anjing itu menunjukkan reaksinya yang relevan,
yakni tidak mengeluarkan air liur.
Kemudian,
dilakukan eksperimen berupa latihan pembiasaan mendengarkan bel (CS)
bersama-sama dengan pemberian makanan berupa serbuk daging (UCS). Setelah
latihan yang berulang-ulang ini selesai, suara bel tadi (CS) diperdengarkan
lagi tanpa disertai makanan (UCS). Apa yang terjadi? Ternyata anjing percobaan
tadi mengeluarkan air liur juga (CR), meskipun hanya mendengar suara bel (CS).
Jadi, CS akan menghasilkan CR apabia CS dan UCS telah berkali-kali dihadirkan
bersama-sama.
Berdasarkan
eksperimen di atas, semakin jelaslah bahwa belajar adalah perubahan yang
ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Kesimpulan yang
dapat kita tarik dari hasil eksperimen pavlov ialah apabila stimulus yang
diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS)
cepat atau lambat akhirnya akan menimbulkan respons atau perubahan yang kita
kehendaki (Muhibbin,2001)
Teori Belajar Aliran Asosiatif Ivan
Petrovich Pavlov
Konsep Utama
Teori Ivan P. Pavlov
1.
Eksitasi (kegairahan) dan Hambatan
2. Stereotip Dinamis
3. Iradiasi dan Konsentrasi
4.
Pengkondisian Eksitatoris dan Inhibitoris
Berikut ini adalah telaah kritis
terhadap teori belajar Pavlov. Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing
menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
A. Hukum-Hukum
Yang Digunakan Pavlov
Behaviorisme
merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi
fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain,
behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan
individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih
refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai
individu.
Beberapa
hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :
Ivan Pavlov “classical conditioning”nya:
Dari eksperimen yang dilakukan
Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :18
1. Law of
Respondent Conditioning, berarti hukum pembiasaan pembiasaan yang dituntut.
Menurut Hintzman (1978), yang dimaksud dengan law of respondent conditioning
ialah, jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya
berfungsi sebagai reinforcer) maka refleks ketiga yang terbentuk dari respons
atas penguatan refleks dan stimulus lainnya akan meningkat. Yang dimaksud
dengan dua stimulus tadi adalah CS dan CR.
2. Law of
Respondent Extinction, berarti hokum pemusnahan yang dituntut. Yaitu jika
refleks yang sudah diperkuat melalui respomdent conditioning itu didatangkan
kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
Ringkasan
Pandangan Pavlov tentang Fungi Otak
Pavlov memandang otak sebagai semacam mosaik titik – titik
eksitesi dan hambatan. Setiap poin di otak berhubungan dengan satu kejadian
enviromental. Berdasarkan pada apa yang dialami pada suatu saat, pola eksitasi
dan hambatan yang berbeda akan muncul di otak dan pola itu akan menjadi
perilaku. Ketika koneksi temporer pertama kali dibentuk oleh otak, ada tendensi
bagi stimulus yang dikondisikan untuk memberi efek umum di otak. Setelah proses
belajar berlanjut eksitasi yang disebabkan oleh stimulus positif dan hambatan
yang disebabkan oleh stimulus negatif menjadi terkonsentrasi di area spesifik
di otak.
Pavlov tidak pernah menjelaskan bagaimana semua prosedur ini
berinteraksi untuk menimbulkan perilaku yang terkoordinasi baik yang kita lihat
dari semua organisme namun dia menunjukkan keheranannya bahwa perilaku yang
sistematis tidak muncul dari banyak faktor pengaruh tersebut.
Sistem
Sinyal Pertama dan Kedua
Karya Pavlov mengenai pengkondisian telah menyediakan
kerangka untuk memahami bagaimana organisme mengantisipasi kejadian di masa
depan. Karena CS mendahului kejadian yang signifikan secara biologis (UR) maka
mereka menjadi sinyal untuk kejadian yang memungkinkan organisme itu
mempersiapkan diri dan menjalankan perilaku yang tepat. Pavlov, menyebut
stimuli yang memberi sinyal kejadian yang penting secara biologis (CS) ini
sebagai first signal system. Selain itu, manusia juga menggunakan bahasa yang
terdiri dari simbol – simbol realitas. Seseorang mungkin merespon kata bahaya
sebagaimana merespon situasi yang aktual yang berbahaya. Pavlov menyebut kata
yang melambangkan realitas itu sebagai sinyal dari sinya atau second signal
system. Sinyal – sinyal yang muncul bisa diorganisasikan dalam sistem kompleks
yang akan memandu perilaku banyak manusia.
Perbandingan Antara Pengkondisian Klasik Dan
Instrumental
Pengkondisian klasik dapat menimbulkan suatu respon, dan
pengkondisian instrumental akan tergantung pada respons yang diberikan.
Pengkondisian klasik dapat dikatakan bersifat tidak sukarela dan otomatis,
sedangkan pengkondisian instrumental bersifat sukarela dan dikontrol.
Fungsi penguatan juga berbeda untuk pengkondisian klasik dan
instrumental. Untuk pengkondisian instrumental, penguatan dihadirkan setelah
respon dibuat. Untuk pengkondisian klasik, penguat (US) disajikan untuk
menimbulkan respon.
Kedua macam pengkondisian itu memperkuat survivel organisme.
Pengkondisian klasik memperkuatnya dengan menciptakan suatu tanda dan simbol
yang memungkinkan antisipasi kejadian yang signifikan. Pengkondisian
memperkuatnya melalui pengembangan pola perilaku yang tepat dalam merespon
kejadian signifikan tersebut. Perlu dicatat bahwa mustahil memisahkan antara
pengkondisian instrumental dan pengkondisian klasik.
Riset Terbaru Tentang Pengkondisian Klasik
CR tidak selalu merupakan UR kecil. Pavlov percaya bahwa selama
jalannya pengkondisian CS akan menggantikan US dan itulah mengapa pengkondisian
klasik kadang disebut sebagai stimulus subtitute learning. Diasumsikan bahwa
karena CS bertindak sebagai pengganti US, maka CR adalah versi kecil dari UR.
Periset bukan hanya menemukan CR dan UR adalah berbeda. Tetapi mereka juga
menemukan bahwa keduanya saling bertentangan. Juga ditemukan bahwa ketika
digunakan US yang sama, akan muncul CR yang berbeda – beda ketika CS yang
berbeda dipasangkan dengan US itu. Ternyata terkadang CR mirip UR, terkadang CR
membuat organisme bersiap mengantisipasi US, terkadang CR bertentangan dengan
UR.
Pelenyapan melibatkan intervensi. Pavlov percaya bahwa selama
pelenyapan, presentasi CS yang tak diperkuatakan menghasilkan hambatan yang
dikondisikan yang menekan atau menanti asosiasi eksitatoris yang telah
dipelajari sebelumnya antara CS dan US. Karenanya, mekanisme teoritis yang
mendasari pelenyapan eksperimental dari respon yang dikondisikan adalah
hambatan, bukan eliminasi koneksi CS-US.
Argumen ini didasarkan pada tiga fenomena belajar yang
reliabel. Pertama, pemulihan spontan. Kedua, renewal effect, yang muncul ketika
satu respon yang telah dikondisikan dalam satu konteks eksperimental
dilenyapkan dalam konteks lainnya. Ketiga, reinstatement, muncul ketika US
disajikan setelah pelenyapan eksperimental sudah selesai. Selama pelenyapan
petunjuk konteks yang sama akan membangkitkan kembali kenangan asosiasi
CS-pelenyapan. Setelah pelenyapan CS menjadi ambigu.
Overshadowing dan Blocking. Pavlov mengamati jika bahwa dia
menggunakan satu stimulus majemuk gabungan sebagai CS dan satu komponen dari
stimulus tersebut lebih menonjol ketimbang komponen lainnya, maka komponen yang
paling menonjollah yang paling dokondisikan. Fenomena ini disebut
overshadowing. Leon Kamin melaporkan serangkaian percobaan penting tentang
fenomena yang disebut blocking. Kamin (1969) menggunakan prosedur CER
(conditioned emotional response) untuk menunjukkan konsep blocking. Pertama,
tikus dilatih untuk menekan tuas untuk mendapatkan penguatan berupa makanan.
Kemudian tikus dihadapkan pada 16 kali percobaan dimana suara diikuti dengan
setrum. Hasil dari training ini disebut dengan respons kekang saat suara
diperdengarkan. Selanjutnya menyandingkan suara dari tahap sebelumnya dengan
cahaya karenanya menciptakan stimulus majemuk atau gabungan. Fase finalnya
adalah hanya memberi cahaya kepada tikus untuk melihat apakah stimulus
cahaya ini menimbulkan pengekangan. Hal yang perlu diingat blocking,
seperti overshadowing menunjukkan contoh situasi dimana stimuli dipasangkan
sesuai dengan prinsip pengkondisian klasik namun tidak menimbulkan pengkondisian.
Teori
Pengkondisian Klasik Rescorla – Wagner
Teori Resercorla – Wagner memberikan penjelasan fenomena
pengkondisian klasik umum, memberikan beberapa prediksi tak terduga yang
relevan dengan pengkondisian klasik, dan memecahkan beberapa problem penting
yang berkaitan dengan pengkondisan klasik. Teori ini menggunakan logika simbolis dan matematika
sederhana untuk meringkas dinamika belajar. Resercorla – Wagner
mengasumsikan bahwa sifat dari US akan menentukan level maksimum atau simpotik
dari pengkondisian yang dapat dicapai.
Kontigensi
, Bukan Kontiguitas
Dalam artikelnya yang berpengaruh,”Pavlovian Conditioning:
It’s Not what you think”Rescorla(1988) menyajikan tiga observasi tentang
pengondisian Pavlovian dan menjelaskan arti pentingnya dalam psikologi modern.
Pertama, seperti Egger dan Miller(1962,1963)
dia mengatakan pada dasarnya ada korelasi antara US dan CS yang lebih dari
sekedar kebetulan atau kontiguitas. Misalnya, satu situasi dimana hewan
mengalami US acak selama periode yang lebih panjang. Mungkin ada kejadian
ketika US dan CS terjadi bersama-sama (kontiguitas) dan ketika mereka
terjadi secara sendiri-sendiri. Bandingkan situasi ini dengan situasi dimana US
dan CS diprogram sehinggah mereka hanya terjadi bersama-sama. Dua kondisi ini
disajikan di gambar 7-6 dan penting untuk dicatat bahwa dalam kedua situasi itu
CS dan US terjadi bersama-sama dalam jumlah waktu yang sama.
Kedua, seperti Zener (1937), Rescorla (1988) mengatakan bahwa klaim umum
bahwa CR adalah miniatur atau ringkasan dari UR adalah klaim yang yang terlalu
menyerderhanakan atau bahkan tidak tepat. Respons tipikal untuk suatu US berupa
setrum listrik dalam eksperimen, misalnya, adalah peningkatan aktivitas atau
berupa respons yang mengejutkan. Akan tetapi, seperti terlihat dalam fenomena
pengekangan yang dikondisikan di atas, jika CS yang dipakai untuk memberi
isyarat setrum diberikan selama performa dari respons yang berbeda(penekanan
tuas), hasilnya adalah penurunan aktivitas. CR dapat berupa beberapa respons
yang berbeda-beda, bergantung pada konteks dimana CS terjadi.
Dua poin ini tampak jelas ketika Rescorla (1966) melatih
anjing untuk melompat rintangan disebuah kotak agar ia terhindar dari setrum
yang diberikan daam interval reguler 30 detik. Situasinya ditata sedemikian
rupa sehinggah setrum itu bisa dihindari jika anjing melompati rintangan, waktu
dihitung lagi dari nol dan dmulai lagi dari awal. Tidak ada sinyal eksternal
yang mengindikasikan kapan suatu setrum akan diberikan ;satu-satunya sinyal
adalah pemahaman anjing akan berlalunya waktu. Semua anjing dalam eksperimen
ini belajar melompati untuk menghindari setrum. Rata-rata lompatan kemudian
dipakai sebagai kerangka referensi untuk menilai efek dari variabel lain yang
dimasukkan kedalam eksperimen.
Irelevensi Yang Dipelajari, Hambatan, dan
Superconditioning
Setidaknya ada tiga fenomena yang menghadirkan masalah bagi
teori Rescorla-Wagner, namun mereka mudah dijelaskan oleh pendekatan Macintosh
atau Kamin/Wagner. Semua efek ini melibatkan pra-penghadiran CS sebelum
memperkenalkan kontigensi positif(eksitasi) antar CS dan US.
Ingat bahwa Rescorla(1996)menggunakan kondisi kontrol yang
benar-benar acak dimana CS dan US terjadi namun tidak ada kontigensi diantara
keduanya. Jika CS yang pertama kali dipakai dalam kondisi kontrol acak kemudian
dipasangkan dalam hubungan kontigensi dengan US,pengondisiannya akan cacat. Learned
irrelevence(irelevensi yang dipelajari)adalah hilangnya keampuhan atau
kemampuan CS yang dipakai dalam kondisi kontrol acak(Mackintosh,1973).
Latent inhibition effect( efek hambatan laten) terjadi
ketika pra-pemaparan suatu CS(dengan tanpa US)memperlambat pengondisian ketika
CS dan US kemudian dipasangkan (misalnya, Baker&Mackintosh, 1997;
Best&Gemberling, 1977;Fenwick, Mikulka, &Klein,
1975;Lubow&Moore,1959). Sekali lagi, ini adalah problem untuk teori
Rescorla-Wagner karena pra-pemaparan ke CS seharusnya tidak memberi efek pada
pengondisian. Bahwa pada saat CS disajikan sendirian,organisme belajar bahwa CS
itu tidak relevan dan karenanya tidak terkait dengan kejadian signifikan.
Setelah CS dianggap tidak relevan, ia diabaikan dan karenanya menghambat
pembentukan hubungan prediktif ketika ia kemudian dipasangkan dengan US.
Pengondisian sebagai formasi
ekspektasi. Robert
Bolles(1972,1979) menunjukkan bahwa organisme tidak mempelajari respon baru
selama pengondisian. Sebaliknya,organisme melakukan reaksi spesies-spesifik
yang sesuai dengan situasi. Menurut Bolles, apa yang dipelajari organisme
adalah ekspektasi yang membimbing prilaku yang belum dipelajari oleh
mereka. Suatu ekspektasi stimulus akan terbentuk ketika CS dikorelasikan
dengan hasil penting seperti ada tidaknya US. Dengan kata lain, eksperimen
pengondisian klasik biasanya menciptakan ekspektasi stimulus. Suatu ekspektasi
stimulus menyangkut perkiraan akan adanya satu stimulus(US) dari kehadiran
stimulus lain(CS). Organisme juga belajar ekspektasi respons, yang emrupakan
hubungan prediktif antara respons dan hasil. Menurut Bolles, penguatan
tidak memperkuat prilaku;ia memperkuat ekspektasi bahwa respons tertentu
akan diikuti oleh suatu penguat.
II.3.5
Aversi cita Rasa Yang Dikondisikan : Efek Garcia
Selama bertahun-tahun bukti anekdotal menunjukkan bahwa
tikus tidak punah karena mereka dengan cepat mengetahui bahwa beberapa
subtansi, seperti racun tikus, membuat mereka sakit dan karenanya harus
dihindari. Demikian pula, orang akan mau berbagi cerita tentang makanan atau
minuman yang mereka hindari karena mereka mengasosiasikannya dengan penyakit.
Garcia dan Koelling (1966) memvalidasi penjelasan aversi cita rasa anedotal ini
dengan menunjukkan fenomena yang tidak lazim dalam pengondisian klasik. Untuk
saat ini, kita hanya mendeskripsikan salah satu bagian dari eksperimen penting
ini, dan di Bab 15 kita akan mengeplorasi fenomena ini secara lebih detail
dengan perhatian khusus pada signifikansi evolusi dan biologisnya.
Meskipun eksperiment Gracia dan Koelling tampaknya mengikuti
prosedur pengondisian klasik, namun muncul sejumlah masalah saat hasilnya
diinterpretasikan sebagai fenomena pengondisian klasik.
Eksperimen John B. Watson Dengan Little Albert
Watson adalah pendiri aliran behaviorism
(behaviorisme), mengganggap bahwa psikologi seharusnya membuang semua konsep
mental dan penjelasan tentang perilku manusia berdasarkan insting.
Watson adalah determinis envoromental radikal. Dia
percaya bahwa kita semua sejak lahir telah dilengkapi sedikit gerak
refleks dan sedikit emosi dasar, dan melalui pengkondisian klasik refleks ini
dipasangkan dengan berbagai macam stimuli. Menurut Watson, emosi manusia adalah
produk dari warisan dan pengalaman. Menurut Watson, kita mewarisi tiga emosi
dasar-rasa takut, marah, dan cinta. Melalui proses pengkondisian, tiga emosi
dasar ini menjadi terikat dengan hal yang berbeda untuk orang yang
berbeda-beda. Menurut Watson, personalitas (kepribadian) adalah kumpulan dari
refleks yang dikondisikan. Dua menyangakal bahwa kita lahir dengan membawa
kemampuan mental atau predisposisi.
Untuk
menunjukkan bagaiman refleks emosional bawaan menjadi dikondisikan ke stimuli
neural, Watson dan Rosalie Rainer (1920) melakukan percobaan pada bayi berusia
sebelas bulan bernama Albert. Selain Albert, unsure lain dalam percobaan
ini adalah seekor tikus putih, lempengan besi, dan palu.
Ditunjukkan bahawa rasa takut Albert digeneralisasikan ke
berbagai macam objek yang pada awalnnya tidak ditakutinya: kelinci, anjing,
kucing, kain sutra, dan topeng santa claus. Jadi. Watson menunjukkan bahwa
reaksi emosiaonal kita dapat ditata melalui pengkondisian klasik. Dalam
eksperimen ini, suaras keras adalah US, rasa takut yang ditimbulkan suara itu
adalah UR, tikus adalah CS, dan rasa takut pada tikus adalah CS. Rasa takut
Albert ,kepada obyek putih berbulu menunjukkan adanya generalisasi.
Replikasi Bregman Atas Eksperimen Watson
Pada 1934, E.O.Bregman mereplikasi eksperiman Watson dan
menemukan bahwa rasa takut anak memang dapat dikondisikan ke CS, namun
pengkondisian itu terjadi hanya dalam situasi-situasi tertentu. Bregman
menemukan bahwa pengkondisian akan terjadi hanya jika CS adalah hewan hidup
(seperti dalam eksperimen Watson) tetapi tidak terjadi pengkondisian jika CS
adalah obyek tak bernyawa, seperti balok kayu, botol, atau bahkan boneka
hewan dari kayu. Temuan Bregman tidak sesuai dengan klaim Pavlov dan Watson
bahwa sifat dari CS tidak relevan dengan proses pengkondisian. Akan tetapi,
temuannya konsisten dengan pendapat Seligman bahwa beberapa asosisasi lebih
mudah dibentuk ketimbang asosiasi lainnya karena adanya kesiapan biologis dari
organisme. Dalam kasus ini, Seligman (1972) mengatakan bahwa karena hewan
memiliki potensi untuk menimbulkan bahaya,maka manusia secara biologis bersiap
untuk mencurigainya dan karenanya lebih mudah belajar takut dan/ atau menghindarinya.
Menghilangkan
rasa takut yang dokindisikan
Watson telah menunjukkan bahwa emosi bawaan, seperti ras
takut, dapt “ditransfer” ke stimuli yang ssebelumnya tidak menimbulkan rasa
takut, dan mekanisme, transfer itu adalah pengkondisian klasik. Ini adalah
temuan yang amat penting meski kemudian ditunjukkan bahwa pengkondisian akan
lebih mudah untuk beberapa stimuli ketimbang stimuli lain. Jika rasa takut itu
dipelajari, maka akan ada kemungkinan untuk melenyapkan rasa takut itu. Watson
berpendapat bahwa risetnya telah menunujukkan bagaiman rasa takut yang
dipelajri itu bisa berkembang dan tidak diperlukan lagi riset semacam itu. Kini
dia mencari anak yang sudah punya rasa takut dan kemudian diusahakan untuk
menghilangakan rasa takutnya. Watson kini bekerjasama dengan Mary Cover Jones
(1896-1987). Dan menemukan anak yang diiinginkan-anak berusia 3 tahun bernama
Peter yang sangat takut pada kelinci, kucing, kodok, dan ikan. Hergenhahn
(2005) meringkas usaha Watson dan Jones untuk menghilangkan rasa takut Peter.
Prosedur yang digunakan oleh Watson dan Jones untuk
menghilangkan rasa takut Peter ini mirip sekali dengan prosedur yang disebut desensitisasi
sistematis.
Teori
belajar Watson
Watson banyak memperkenalkan psikologi Pavlovian ke Amerika
Serikat, dia tidak pernah sepenuhnya menerima prinsip Pavlovian. Misalnya, dia
tidak percaya bahwa pengkondisian bergantung pada penguatan. Menurut Watson,
belajar terjadi karena kejadian-kejadian susul-menyusul dalam jarak
waktu yang singkat. Juga , semakin sering kejadina-kejadian muncul
bersama, semakin kuat asosiasi diantara kejadian-kejadian itu. Karenanya,
Watson hanya ,mengakui hukum lama kontiguitas dan frekuensi.
Menurutnya, prinsip belajar lainnya adalah mentalistik, seperti hukum efek
Thorndike, atau tidak dibutuhkan, seperti gagasan mengenai penguatan.
Aplikasi Teori
Ivan P. Pavlov
1. Aplikasi
Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Aliran
psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan
teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran
behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak
sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya,
mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau
perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata.
Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan
menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi
antara stimulus dan respon. Perubahan perilaku dapat berujud sesuatu yang
konkret atau yang non konkret, berlangsung secara mekanik memerlukan penguatan.
Aplikasi teori belajar behaviorisme dalam pembelajaran, tergantung dari
beberapa hal seperti tujuan pembelajaran, sifat meteri pelajaran, karakteristik
siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Adapun
contoh aplikasi teori belajar behaviorisme menurut
Pavlov adalah pada awal tatap muka antara guru dan murid dalam kegiatan
belajar mengajar, seorang guru menunjukkan sikap yang ramah dan memberi pujian
terhadap murid-muridnya, sehingga para murid merasa terkesan dengan sikap yang
ditunjukkan gurunya. (Muhibbin. 2006)
Aplikasi
teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal
seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar,
media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan
berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif,
pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi,
sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah
memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar
atau pebelajar. Fungsi mind atau
pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui
proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang
dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik
struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman
yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh
pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Tujuan
pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan
pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut
pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam
bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan
pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari
bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat,
sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib
dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku
wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Demikian
halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu
membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik
mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar
tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar.
Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal
yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati
kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi
dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan
ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan
mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut
bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga
terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu
untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori
behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur,
maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang
jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin
menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak
dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam
penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan
keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang
pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai
penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang
berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh
sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Aplikasi
teori Pavlov terhadap pembelajaran siswa adalah: mementingkan pengaruh
lingkungan, mementingkan bagian-bagian, mementingkan bagian reaksi,
mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus
respon, mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya,
mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latiahan dan pengulangan, hasil
belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Sebagai
konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan pradigma Pavlov akan menyusun
bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajran yang
harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak
memberi ceramah tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh-contoh baik
dilakukan sendiri maupaun melalui simulasi. Bahan pelajaran disuusn secara
hierarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.
Metode
pavlov ini sangat cocok untuk memperoleh kamampuan yang membu-tuhkan paktek dan
pembiasaan yang mengandung unsur-unsur sperti: kecepatan, spontanitas,
kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagianya. Contohnya: perckapan bahasa
asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraaga dan sebagainya.
Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan
dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru
dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau
pujian.
Penerapan
teori Pavlov yang salah dalam situasi pembelajaran juga mengaki-btakan
terjadinya proses pembelajran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu
guru sebagai central bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru
melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif,
perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan
guru. Murid hanya mendengarakan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan
apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif.
2.
Aplikasi
Pengkondisian Klasik untuk Psikologis Klinis dan Pengobatannya
Penerapan
teori pengkondisian klasik untuk psikologis klinis, sebagai berikut :
a) Extinction
Gangguan perilaku atau kebiasaan buruk adalah hasil
dari belajar, maka perilaku itu bisa dibuang atau diganti dengan perilaku yang
lebih positif.
Proses Extinction :
CS – US – CR
CS – EX (Pelenyapan)
Maksud keterangan di atas adalah
suatu subjek (CS) yang diberikan efek fisiologis/psikologis (US) akan menimbulkan
efek yang dikondisikan. Menelaah perlakuan tersebut, pelenyapan dapat ditimbul
apabila efek fisiologis/psikologis (US) dihilangkan.
b) Counterconditioning
Counterconditioning merupakan suatu prosedur yang
lebih kuat daripada cara pelenyapan sederhana, seperti extinction. Pada aplikasi ini, suatu perlakuan dikondisikan untuk
proses pelenyapan yang tampak sukses dalam sejumlah kasus tetapi manfaat dari
prosedur ini sering hanya bersifat sementara.
Penjelasan Perlakuan :
CS – US pertama – US kedua – CR
Pada akhirnya, counterconditioning
mengalami kesulitan yang sama dengan training plenyapan.Counterconditioning
pada kondisi yang berbeda akan menyebabkan pembentukan kembali respons yang
dikondisikan.
c) Flooding
Pada aplikasi ini merupakan metode pelenyapan yang
berorientasi pada pemaksaan orgainisme untuk tetap hadir bersama CS dalam waktu
yang cukup lama untuk belajar bahwa tidak ada akibat negatif yang akan muncul.
Dengan prosedur flooding, beberapa
individu akan mengalami kemajuan tetapi beberapa yang lain malah tambah parah.
Dan klien yang meninggalkan terapi flooding jumlahnya lebih besar dibandingkan
dengan klien yang menggunakan terapi desensitisasi sistematis.
d) Desensitisasi
Sistematis
Salah satu usaha paling menyeluruh untuk
mengaplikasikan prinsip pengkondisian klasik ke psikoterapi dilakukan oleh
Joseph Wolpe (1958), yang mengembangkan teknik terapi yang disebut
desensitisasi sistematis). Teknik ini memiliki tiga fase, antara lain :
1.
Hierarki Kecemasan (Anxiety Hierarchy)
Dilakukan dengan sederetan hal yang menimbulkan dan
kemudian mengurutkan mulai dari hal menimbulkan kecemasan paling besar ke
paling kecil.
2.
Mengajari klien untuk relaks (santai)
Wolpe mengajari subjek cara mengendorkan otot dan
menunjukkan bagaimana rasanyaseseorang tidak cemas.
3.
Perasaan relaksasi dan kemudian diminta membayangkan item paling lemah dalam
hierarki kecemasan. Saat membayangkannya, si klien diminta untuk relaksasi
lagi. Setelah selesai, klien diminta untuk membayangkan item selanjutnya dan
seterusnya sampai semua item selesai dibayangkan.
Penerapan teori pengkondisian klasik
untuk pengobatan adalah sebagai berikut :
1.
Adanya bidang psikoneuroimunologi
Riset yang dilakukan oleh Metalnikov
dengan menggunakan babi sebagai subjek. Metalnikov memasangkan stimuli panas
atau rabaan (CS) dengan protein asing (US). Beberapa kali penyandingan CS dan
US, presentasi stimuli panas atau sentuhan saja akan menimbulkan berbagai
respons immune nonspesifik. Sayangnya, riset ini sedikit diabaikan tetapi
Robert Ader dan kawnanya membangkitkan kembali minat pada topik ini hingga
menemukan bidang interdisipliner.
2.
Penemuan fungsi sakarin
Ader yang mempelajari aversi cita
rasa dengan memasangkan minuman sakarin (CS) dengan injeki obat (US). Obat ini
ternyata menekan system kekebalan. Hingga percobaan dilakukan pada tikus oleh
Ader dan Cohen. Percobaan itu menyimpulkan bahwa sakarin mempunyai kemampuan
untuk menekan system kekebalan tuhuh dengan cara spesifik.
Dengan adanya temuan keberfungsian pengkondisina
klasik untuk pengobatan, banyak ahli psikoneuronologi berharap bisa menjelaskan
secara detail bagaimana pengkondisian dapat membantu pasien yang mengalami
gangguan kekebalan tubuh di masa mendatang.
Pendapat Pavlov
tentang Pendidikan
Prinsip Pavlovion sulit untuk
diaplikasikan ke pendidikan kelas, meskipun prinsip itu ada. Secara umum, teori
pengkondisian klasik ini terjadi pada setiap kejadian netral. Misalnya, seorang
peserta didik yang menemukan bahwa konselor sekolahnya memiliki sikap dan
perilaku yang baik dan menyenangkan bagi dirinya. Maka, ia akan termotivasi
untuk memiliki sikap seperti gurunya ataupun dia dapat terilhami untuk
berkarier menjadi seorang konselor nantinya. Hal ini selaras dengan seseorang
yang mengembangkan aversi terhadap pendidikan seumur hidup karena adanya
pengalaman buruk yang ia alami pada saat belajar di kelas dahulu.
Teknik Pavlovion dipakai untuk
memnodifikasi perilaku, situasi tampak menyerupai brainwashing daripada pendidikan. Contoh dari prinsip Pavlovion
yang digunakan untuk memodifikasi sikap adalah iklan televisi. Pengiklanan
menyandingkan suatu objek dengan sesuatu yang lain. Secara bertahap, iklan itu
akan menyebabkan pemirsa menganggap produk itu membuat mereka untuk memiliki
atau merasakan situasi yang ditampilkan di iklan.
BAB
5
EDWIN
RAY GUTHRIE
Qurrotul Ainiyah, Dianisa Milanofa Ansori, Lailatul
Munadiroh
Teori Utama Edwin Guthrie
Tentang Edwin Ray
Guthrie
Guthrie
lahir pada 1886 dan meninggal pada 1959. Dia adalah professor psikologi di
University of Washington dari 1914 sampai pensiun pada 1956. Karya dasarnya
adalah The Psychology of Learning, yang dipublikasikan pada 1935 dan direvisi
pada 1952. Gaya tulisannya mudah diikuti, penuh humor dan menggunakan banyak
kisah untuk menunjukkan contoh ide-idenya. Tidak ada istilah teknis atau
persamaan matematika, dan dia sangat
yakin bahwa teorinya harus dikemukakan dengan cara yang dapat dipahami oleh
mahasiswa baru. Dia sangat menekankan pada aplikasi praktis dari gagasannya dan
dalam hal ini dia mirip dengan Thorndike dan Skinner. Dia sebenarnya bukan
eksperimentalis meskipun dia jelas punya pandangan dan orientasi eksperimental.
Bersama dengan Horton, dia hanya melakukan satu percobaan yang terkait dengan
teori belajarnya, dan kita akan mendiskusikan percobaan ini. Tetapi dia jelas
seorang behavioris. Dia bahkan menganggap teoretisi seperti Thorndike, Skinner,
Hull, Pavlov dan Watson masih sangat subjektif dan dengan menerapkan hukum
parsimoni secara hati-hati akan dimungkinkan untuk menjelaskan semua fenomena
belajar dengan menggunakan satu prinsip. Seperti yang akan kita diskusikan di
bawah, satu prinsip ini adalah hukum asosiasi Aristoteles. Karena alasan inilah
kami menempatkan teori behavioristik Guthrie dalam paradigma asosiasisionistik.
Konsep Utama Teori
Guthrie
1. Satu
hukum belajar
Hukum
belajar yang dikemukakan oleh Guthrie adalah hukum kotiguitas (law of
contiguity). Maksudny adalah “kombinasi stimuli yang mengiringi suatu
gerakan akan cenderung diikuti oleh gerakan itu jika kejadiannya berulang”.
Jadi, jika pada situasi tertentu kita melakukan sesuatu, maka pada waktu lain
dan situasinya sama kita akan cenderung melakukan hal yang sama juga.
Hukum
tersebut diusulkan oleh Guthrie karena menganggap kaidah yang dikemukakan oleh
Thorndike dan Pavlov terlalu rumit dan berlebihan. Thorndike mengemukakan
bahwa, jika respon menemukan kondisi yang memuaskan maka koneksi S-R akan
menguat. Disisi lain Pavlov mengemukakan dengan hukum belajarnya dengan model
kondisional berupa CR-CS-US-UR. Unsur-unsur itulah yang dianggap oleh Guthrie
berlebihan.
Dalam
publikasi terakhirnya sebeleum meninggal, Guthrie (1959) merevisi hukum
kontiguitas menjadi “Apa-apa yang dilihat akan menjadi sinyal terhadap apa-apa
yang dilakukan”. Alasannya karena terdapat berbagai macam stimuli yang dihadapi
oleh organisme pada satu waktu tertentu dan organisme tidak mungkin membentuk
asosiasi dengan semua stimuli itu. Organisme hanya akan memproses secara
efektif pada sebagian kecil dari stimuli yang dihadapinya, dan selanjutnya
proporsi inilah yang akan diasosiasikan dengan respon. Disini kita dapat
melihat ada kemiripan antara pemikiran Guthrie dengan konsep Thorndike tentang
“ prapotensi elemen”, yang juga menyatakan bahwa organisme merespons secara
selektif terhadap aspek-aspek lingkungan yang berbeda-beda.
2. Belajar
Satu Percobaan
Tidak
ada yang baru dalam hukum kontiguitas
sebagai prinsip belajar. Hukum kontiguitas berakar dari hukum asosiasi
Aristiteles. Namun Guthrie menjadikan hukum kontiguitas sebagai dasar dari
teori belajrnya yang unik. Unsur lain dari hukum asosiasi Aristoteles adalah
hukum frekuensi, yang menyatakan bahwa kekuatan asosiasi akan tergantung pada
frekuensi kejadiannya. Jika hukum frekuensi dimodifikasi untuk merujuk pada
asosiai antara resppon yang menimbulkan “keadaan yang memuaskan” dengan kondisi
pemicu yang mendahului respons, Thorndike, Skinner dan Hull akan menerimanya.
Semakin sering suatu respon dikuatkan dalam situasi tertentu akan semakin besar
kemungkinan respon itu akan dilakukan saat situasi itu terjadi lagi. Jika
asosiasinya adalah antara CS dan US, Pavlov akan menerima hukum frekuensi.
Semakin banyak jumlah penyandingan antara CS dan US, semakin besar respon yang
dikondisikan yang dilibatkan oleh CS.
Namun
prinsip one-trial learning (belajar satu percobaan) dari Guthrie (1942)
menolak hukum frekuensi sebagai prinsip belajar “suatu pola stimulus
mendapatkan kekuatan asosiatif penuh pada saat pertama kali dipasangkan dengan
suatu respon”. Jadi, menurut Guthrie, belajar adalah hasil dari kontiguitas
antara satu pola stimulasi dengan satu respon dan belajar akan lengkap
(asosiasi penuh) hanya setelah penyandingan antara stimuli dan respon.
a)
Prinsip Kebaruan
Prinsip
kontiguitas dan belajar satu percobaan membutuhkan recency principle
(prinsip kebaruan), yang menyatakan bahwa respon yang dilakukan terakhir kali
dihadapan seperangkat stimuli adalah respon yang akan dilakukan ketika
kombinasi stimulus itu terjadi lagi diwaktu lain. Dengan kata lai, apa pun yang
kita lakukan terakhir kali dalam situasi tertentu akan cenderung kita lakukan
lagi jika situasi itu kita jumpai lagi.
b)
Stimuli Yang Dihasilkan
Oleh Gerakan
Meskipun
Guthrie menekankan keyakinannya pada hukum kontiguitas di sepanjang karirnya,
dia mengannggap akan keliru jika kita menganggap asosiasi yang dipelajari
sebagian hanya asosiasi antara stimuli lingkungan dengan perilaku nyata.
Misalnya, kejadian di lingkungan dan responnya terkadang dipisahkan oleh satu
interval waktu, dan karenanya sulit untuk menganggap keduanya sebagai kejadian
yang bersamaan.
Guthrie
selanjutnya mengatasi problem tersebut dengan mengemukakan adanya movement-product
stimuli (stimuli yang dihasilkan oleh gerakan), yakni disebabkan oleh
gerakan tubuh. Contohnya, ketika mendengarkan telepon berdering kita berdiri
dan berjalan mendekati pesawat telepon. Sebelum kita sampai ke pesawat telepon,
suara deringan tersebut sudah tidak lagi bertindak sabagai stimulus. Kita tetap
bergerak karena ada stimuli dari gerakan kita sendiri menuju pesawat telepon.
c) Mengapa
Praktik Latihan Meningkatkan Performa?
Untuk
menjawab pertanyaan ini, Guthrie membedakan antara act (tindakan) dengan
movement (gerakan). Gerakan adalah kontraksi otot, tindakan terdiri dari
beberapa macam gerakan. Tindakan biasanya didefinisikan dengan term apa-apa
yang dicapainya, yakni perubahan apa yang mereka lakukan dalam lingkungan.
Sebagai contoh tindakan, Guthrie menyebut misalnya mengetik surat, makan pagi,
dll.
Adapun
untuk belajar tindakan membutuhkan praktik latihan. Belajar bertindak, yang
berbeda dari gerakan, jelas membutuhkan praktik sebab ia mengharuskan gerakan
yang tepat telah diasosiasikan dengan petunjuknya. Bahkan menurut Guthrie,
tindakan sederhana seperti memegang raket membutuhkan beberapa gerakan berbeda
sesuai jarak dan arah posisi subjek itu. Untuk itulah diperlukan sebuah
latihan, karena dengan menguasai sebuah tindakan tidak menjamin pada saat
waktu, jarak dan posisi yang berbeda tindakan itu masih dapat dilakukan.
d) Sifat
Penguatan
Apa
yang menggantikan kekuatan dalam teori Guthrie? Pada poin ini Guthrie
menggunakan isu yang dibahas Thorndike ketika satu respon menimbulkan keadaan
yang memuaskan maka selanjutnya terulangnya respon akan meningkat. Guthrie
menganggap hukum efek tidak dibutuhkan. Menurut Guthrie, reinforcement
(penguatan) hanyalah aransement mekanis, yang dianggapnya dapat dijelaskan
dengan hukum belajarnya.
Guthrie
menganggap, penguatan mengubah kondisi yang menstimulasi dan karenanya mencegah
terjadinya nonlearning. Misalnya, dalam kotak teka-teki, hal terakhir yang
dilakukan hewan sebelum menerima satu penguat adalah menggerakkan satu tuas
atau menarik cincin, yang membuatnya bisa keluar dari kotak itu, dan
seterusnya. Oleh karena itulah Guthrie dan Horton mengatakan, menurut pendapat
mereka tindakan yang dilakukan oleh kucing itu akan selalu sama, karena kucing
itu menganggap itulah caranya membebaskan diri dari kotak. Oleh karena itu
tidak memungkinkan adanya respon baru yang dihubungkan dengan kotak
tersebut.
e) Lupa
Menurut
Guthrie, lupa disebabkan oleh munculnya respon alternatif dalam satu pola
stimulus. Setelah pola stimulus menghasilkan respon alternatif, pola stimulus
itu kemudian akan cenderung menghasilkan respon baru. Jadi, menurut Guthrie,
lupa pasti melibatkan proses belajar baru. Ini adalah bentuk retroactive
inhibition (hambatan retroaktif) yang ekstrem, yakni fakta bahwa proses
belajar lama diintervensi oleh proses belajar baru.
Untuk
menunjukkan hambatan retroaktif, contohnya sebagai berikut : seseorang yang
belajar tugas A dan kemudian belajar tugas B lalu diuji untuk tugas A, satu
orang lainnya belajar tugas A, tetapi
tidak belajar tugas B dan kemudian diuji pada tugas A, secara umum akan
ditemukan bahwa orang pertama mengingat tugas A lebihi sedikit dibandingkan
dengan orang kedua. Jadi, tampak bahwa mempelajari hal baru (tugas B) telah
mencampuri retensi dari apa yang dipelajari sebelumnya (tugas A).
Guthrie
menerima bentuk hambatan retroaktif ekstrem ini. Pendapatnya adalah bahwa
setiap kali mempelajari hal yang baru, maka proses itu akan menghambat sesuatu
yang lama. Dengan kata lain, lupa disebabkan oleh intervensi. Tidak ada
intervensi, maka lupa tidak akan terjadi.
f) Ringkasan
Teori Guthrie
Asosiasi
antara kondisi yang menstimulasi dengan gerakan terus menerus dibuat. Asosiasi
antara stimulus dan respon terjadi hanya karena keduanya terjadi bersama-sama.
Asosiasi itu dapat berupa antara stimuli eksternal dengan respon nyata atau
antara stimuli yang diproduksi gerakan dengan respon nyata. Asosiasi ini akan
terus berlanjut sampai respon yang sama terjadi ketika ada stimuli lain atau
sampai stimuli yang sama terjadi, namun responnya tidak terjadi karena ada
hambatan. Dalam situasi belajar yang terstruktur, seperti dalam kotak
teka-teki, lingkungan ditata sedemikian rupa sehingga terjadi perubahan
tiba-tiba dalam stimulasi setelah respon tertentu dilakukan. Misalnya, jika
kucing menekan tuas, pintu akan terbuka dan ia bisa keluar. Guthrie mengatakan
bahwa setelah kucing menekan tuas situasi stimulusnya tiba-tiba berubah dan
asosiasi apapun yang ada sebelum waktu perubahan itu akan tetap dipertahankan.
Asosiasi paling akhir (baru) sebelum perubahan mendadak itu adalah asosiasi
antara stimulus dalam kotak dengan respon yang memungkinkan hewan itu keluar. Menurut
prinsip kebaruan ini, ketika hewan dimasukkan lagi ke dalam kotak, ia cenderung
akan melakukan respons yang sama (ia cenderung menekan tuas lagi), dan kita
mengatakan bahwa kucing itu telah mempelajari cara keluar dari kotak.
Berbeda
dengan Thorndike, Skinner, Hull dan Pavlov, Guthrie bukanlah teoritis
penguatan. Tentu saja Thorndike juga mendiskusikan pergeseran asosiatif yang
dianggapnya terjadi secara lepas dari penguatan. Akan tetapi, karena fokus
utama Thorndike adalah pada jenis belajar yang diatur oleh hukum efek, dia
umumnya dianggap teoritisi penguatan.
Dari
teoritisi-teoritisi yang sudah kita bahas sampai saat ini, teori Guthrie adalah
teori yang paling mirip dengan teori Watson. Watson dan Guthrie bukan teoretisi
penguatan, Watson percaya bahwa semua proses belajar dapat dijelaskan dengan
menggunakan hukum kontiguitas dan frekuensi. Perbedaan utama antara teori
Watson dengan teori Guthrie adalah Watson menerima hukum frekuensi sedangkan
Guthrie tidak.
g)
Cara Memutuskan
Kebiasaan
Kebiasaan
dalam teori Guthrie ini didefinisikan sebagai sebuah respon yang diasosiasikan
dengan beberapa stimuli yang berbeda. Untuk menghentikan kebiasaan yang tidak
sesuai, maka kebiasaan itu perlu diputus. Untuk itu, perlu memutus pula
hubungan antara asosiasi dengan cue yang memunculkan stimuli
(rangsangan) dan respon.
Ada
tiga metode yang ditawarkan oleh Guthrie untuk memutuskan kebiasaan, yaitu :
a. Metode
Ambang (Threshold Method)
Metode
ambang adalah dengan memperkenalkan stimuli dengan kekuatan yang lemah. Secara
perlahan meningkatkan kekuatan stimuli dan tetap menjaganya dibawah respon
batas minimal atau tetap berada di bawah ambang batas. Seperti contoh ketika
memasang pelana kuda dimulai dengan memasang selimut yang ringan, kemudian
selimut yang lebih berat, baru kemudian dipasang pelana kuda.
b. Metode
Kelelahan
Metode
kelelahan adalah dengan cara menghadirkan semua respon dalam menghadirkan
stimuli. Contoh melemparkan pelana diatas kuda dan menaiki kuda sampai kuda
meringkik, menendang dan berusaha sekuat tenaga untuk melempar orang yang
menaikinya (joki): pelana dan joki menjadi stimuli untuk berjalan dan berlari
dengan tenang.
c. Metode respon tandingan
Metode
respon tandingan adalah dengan memasangkan stimulus (S1) yang menyebabkan
perilaku tidk sesuai (inapropiate) dengan stimulus (S2) yang memunculkan
respon-respon yang sesuai (apropiate), perilaku yang sesuai diasosiasikan
dengan stimulus (S2).
Berbeda
dengan reinforcement yang tidak terlalu
berperan dalam proses belajar, hukuman (punishment) mempunyai pengaruh penting
mengubah perilaku seseorang. Punishment jika diberikan secara tepat dalam
menghadirkan sebuah stimulus yang memunculkan perilaku inappropriate dapat
menyebabkan subyek melakukan sesuatu yang berbeda. Guthrie menjelaskan dengan mengambil contoh
seorang gadis yang setiap kali pulang sekolah selalu meletakkan tas dan sepatu
disembarang tempat setiap hari, kemudian sang ibu memerintahkan anaknya untuk
mengambil tas dan kaos kakinya dilantai kemudian keluar rumah dan kembali masuk
rumah serta langsung meletakkan pada tenpatnya. Setelah tindakan itu
berkali-kali dilakukan setiap anaknya pulang sekolah dan meletakkan tas dan
kaos kaki sembarangan akhirnya perilaku meletakkan tas dan kaos kaki pada
tempatnya diasosiasikan dengan harus keluar rumah dan masuk kembali kedalam
rumah.
Salah
satu eksperimen yang dilakukan oleh Guthrie untuk mendukung teori kontiguitas
adalah percobaannya dengan kucing yang dimasukkan ke dalam kotak puzzel.
Kemudian kucing tersebut berusaha keluar. Kotak dilengkapi dengan alat yang
bila di sentuh dapat membuka kotak puzzel tersebut. Selain itu kotak tersebut
juga dilengkapi dengan alat yang dapat merekam gerakan-gerakan kucing dalam
kotak. Alat tersebut menunjukkan bahwa kucing telah belajar mengulang gerakan-gerakan sama yang diasosiasikan
dengan gerakan-gerakan sebelumnya. Ketika dia dapat keluar dari kotak tersebut.
h) Dorongan
Drives
(dorongan) fisiologis merupakan apa yang oelh Guthrie dikatakan maintaining
stimuli (stimuli yang mempertahankan) yang menjaga organisme tetap aktif sampai
tujuan tercapai. Misalnya, rasa lapar menghasilkan stimuli internal yang terus
ada sampai makanan dikonsumsi. Ketika makanan diperoleh, maintaining stimuli
akan hilang dan akrenanya kondisi yang menstimulasi telah berubah.
Disini
Guthrie kembali menjelaskan bahwa kebiasaan menggunakan alkohol dan narkoba
dengan cara serupa. Misalnya, seorang merasakan ketegangan atau gelisah. Dalam
kasus ini ketegangan dan akegelisahan itulah yang menjdai maintaining stimuli.
Karenanya, ketika di lain waktu orang merasa tegang dan gelisah, dia akan
cenderung minum lagi. Secara bertahap dorongan untuk memakai narkoba atau
minuman keras akan muncul di berbagai
situasi dan berubah menjadi kecanduan.
i)
Niat
Respon
yang dikondisikan ke maintaining stimuli dinamakan intetions (niat). Respon
tersebut dinamakan niat karena maintaining stimuli dari dororngan biasanya
berlangsung selama periode waktu tertentu (sampai dengan berkurang).
Gambarannya,
ketika seseorang lapar dan ada roti di dalam kantor, ia akan memakannya. Tetapi
jika dia lupa membawa bekal makan siang, dia akan berdiri dari kursi,
mengenakan jaket dan mencari restoran. Perilaku yang adipicu oleh maintaining
stimuli inilah tampak purposive atau intensional (diniatkan).
Telaah Kritis Teori Belajar Guthrie
Teori belajar awal menurut Mueller &
Schoenfeld (dalam Olson, 2008: 247) menunjukkan bahwa pendekataan kontiguitas
Guthrie yang sederhana mampu memaparkan
semua fenomena dasar yang dianalisis oleh Skinner atau Hull. Teori
Guthrie menarik banyak ilmuwan karena dapat menjelaskan proses belajar,
pelenyapan, dan generalisasi, dengan analisis sederhana dibandingkan dengan
teori lain menjelaskan hal-hal tersebut secara lebih rumit. Selain itu,
perluasan teori ini ke aplikasi praktis yang bersifat lansung dan dijelaskan
oleh Guthrie dengan cara yang menyenangkan dan penuh contoh. Teori Guthrie tidak memunculkan
banyak riset dan kontroversi sebagaimana teori skinner dan Hull, namun teorinya
menyediakan penjelasan alternatif yang penting mengenai belajar serta berfungsi
sebagai pengingat bahwa suatu teori tidak ruwet untuk menjelaskan perilaku
yang kompleks.
Mueller & Schoenfeld (dalam Olson, 2008 :
247) berpandangan bahwa daya tarik
mendasar yang menjelaskan tentang
belajar penghindaran, belajar imbalan, pelenyapan dan lupa dengan prinsip yang sama tetapi
kemudian penjelasan inilah yang menyebabkan para ilmuwan merasa tidak nyaman terhadap pandangan Guthrie. Berdasarkan pendapat Popper (dalam Olson, 2008 : 247) prihatin dengan
teori-teori yang tampaknya dapat
menjelaskan segala sesuatu, namun ada situasi dimana pendapat Guthrie menjadi
ambigu dan terlalu menggampangkan suatu
fenomena.
Selanjutnya Mueller dan Schoenfeld (dalam
Olson, 2008: 247) menunjukkan bahwa
Guthrie mengkritik metodologi eksprimental yang buruk dan bahasa yang ambigu pada teori lain, namun
dia tidak menetapkan standar ini untuk teorinya sendiri. Berikut ini tiga
penjelasan tentang kurangnya eksperimental Guthrie (dalam Olson, 2008: 244)
meliputi :
Tabel 1.1 Kelemahan Eksperimental Guthrie
No
|
Kelemahan
Eksperimental Guthrie
|
1
|
Meminimalkan peran
motivasi dan penguatan.
|
2
|
Psikologi Guthrie
pada waktu di Universitas Washington, hanya diberikan saat tingkat sarjana,
tesis, dan disertasi pascasarjana yang
menguji teori secara eksperimental tidak tersedia bagi Guthrie.
|
3
|
Prinsip belajar
Guthrie yang cenderung umum atau luas sehingga sulit diuji.
|
Berdasarkan tabel 1.1 diatas kurangnya
eksperimental Guthrie disebabkan oleh tiga alasan yaitu : Pertama, menurut
Bolles (dalam Olson, 2008: 244) teori Guthrie meminimalkan peram motivasi dan
penguatan. Kedua, menurut Carlson (dalam Olson, 2008: 244) psikologi pada saat
Guthrie masih di Universitas Washington tidak ada kesempatan untuk
melakukan riset secara eksperimental.
Ketiga, Guthrie menyadari bahwa prinsip belajarnya terlalu umum sehingga sulit
diuji.
Eksperimen Guthrie dan Horton (dalam Olson,
2008: 247) merupakan bukti teori yang
dikritik Mueller dan Schoenfeld. Moore dan Stuttard (dalam Olson, 2008: 247)
menunjukkan bahwa, kebanyakkan keluarga kucing, termasuk kucing piaraan, kucing
dalam eksperimen Guthrie dan Horton melakukan perilaku menggosok dan mengendus
yang bersifat naluriah. Tindakan ini biasanya dilakukan saat kucing menyambut
kucing lain yang dikenalinya. Guthrie dan Horton bertindak sebagai peneliti
mengamati kucing menunjukkan konsistensi
ketika menggosokkan badannya ke tuas tidak menghasilkan perubahan pada kondisi
stimulus apapun.
Implikasi
Teori Guthrie Dalam Psikologi
Salah
satu eksperimen yang dilakukan oleh Gutrie untuk mendukung teori kontiguitas
adalah percobaannya dengan kucing yang dimasukkan ke dalam kotak puzel.
Kemudian kucing tersebut berusaha keluar. Kotak dilengkapi dengan alat yang
bila disentuh dapat membuka kotak puzel tersebut. Selain itu kotak tersebut
juga dilengkapi dengan alat yang dapat merekam gerakan-gerakan kucing dalam
kotak. Alat tersebut menujukan bahwa kucing telah belajar mengulang
gerakan-gerakan sama yang di asosiasikan dengan gerakan-gerakan sebelumnya ketika dia dapat keluar
dari kotak tersebut.
Dari hasil eksperimen
muncul beberapa prinsip :
1.
Agar terjadi
pembiasaan, maka organisma harus selalu merespons atau melakukan sesuatu.
2.
Pada saat belajar
melibatkan pembisaan terhadap gerakan-gerakan tertentu, oleh karena itu
instruksi yang diberikan harus spesifik.
3.
Keterbukaan terhadap
berbagai bentuk stimulus yang ada merupakan keinginan untuk menghasilkan respons
secara umu.
4.
Respons terakhir dalam
belajar harus benar ketika itu menjadi sesuatu yang diasosiasikan
5.
Asosiasi akan menjadi
lebih kuat karena ada pengulangan.
Teori
Edwin R Guthrie adalah teori pembiasaan
asosiasi dekat (contiguous conditioning theory). Teori ini menyatakan
bahwa peristiwa belajar terjadi karena adanya sebuah kombinasi antara
rangsangan yang disandingkan dengan gerakan yang cenderung diikuti oleh gerakan
yang sama untuk waktu berikutnya. Mengasosiasikan rangsangan dan respons secara
tepat merupakan inti dari teori belajar yang dibangun oleh Guthrie. Untuk
penerapan teori ini dalam proses belajar mengajar di kelas. Guthrie memberikan
beberapa saran bagi guru :
1.
Guru harus dapat
mengarahkan performa siswa akan menjadi apa ketika mempelajari sesuatu. Dengan
kata lain , apakah stimuli yang ada dalam buku atau pelajaran yang menyebabkan
siswa melakukan belajar.
2.
Oleh karena itu, jika
siswa mencatat atau membaca buku secara sederhana mereka dapat mengingat lebih
banyak informasi. Maka dalam hal ini buku akan menjadi stimuli yang dapat
digunakan sebagai perangsang untuk menghafal pelajaran.
3.
Dalam mengelola kelas,
guru dianjurkan untuk tidak memberikan perintah yang secara langsung akan
menyebabkan siswa menjadi tidak taat terhadap peraturan kelas. Misalnya
permintaan guru agar siswa tenang jika diikuti oleh kegaduhan dalam kelas akan
menjadi tanda (memunculkan stimuli ) bagi munculnya perilaku distruptif.
Implikasi teori terhadap
pembelajaran yang dilakukan oleh Guthrie terhadap seekor Kucing mengbuahkan
hasil eksperimen proses conditioning yakni dalam mengubah tingkah laku atau
kebiasaan‑kebiasaan pada hewan maupun pada manusia ialah
1.
Metode Reaksi Berlawanan (Incompatible Response Method)
Manusia
itu adalah suatu organisme yang selalu mereaksi kepada perangsang‑perangsang
tertentu. Jika suatu reaksi terhadap perangsang‑perangsang telah menjadi suatu
kebiasaan, maka cara untuk mengubahnya ialah dengan jalan menghubungkan
perangsang (stimulus) dengan reaksi (respon) yang berlawanan dengan
reaksi buruk yang hendak dihilangkannya.
2.
Metode Membosankan (Exchaustion Method).
Hubungan antara asosiasi antara perangsang dan reaksi (S‑R) pada
tingkah laku yang buruk itu dibiarkan saja sampai lama mengalami
keburukan itu, sehingga menjadi bosan.
3.
Mengubah Lingkungan (Change of Environment
Method).
Suatu metode yang dilakukan dengan jalan memutuskan atau memisahkan
hubungan antara S dan R yang buruk yang akan dihilangkannya. Yakni
menghilangkan kebiasaan‑kebiasaan buruk yang disebabkan oleh suatu perangsang
(S) dengan mengubah perangsangnya itu sendiri
BAB 6
WILLIAM
KAYE ESTES
Lailatul
Istiqomah, Izzati Khoirina, Erlin Nur Puspa Sari
Konsep
Teoritis Utama
Estes
adalah seorang tokoh yang merupakan mahasiswa dari Skinner, tetapi dia terkenal
melalui pengembangan teori belajar statistikanya. Teori Estes dapat dianggap
sebagai upaya untuk mengkuantifikasikan teori belajar Guthrie, yang berbunyi:
respon menjadi terkait dengan stimuli dalam satu percobaan saja. Namun ketika
seseorang bertanya bagaimana sifat belajar yang lebih detail maka dia akan
sadar bahwa teori itu jauh lebih kompleks dari yang diduga, karena itulah Estes
kemudian meneliti kompleksitas dan membahasnya secara efektif.
Contoh
yang diberikan oleh Estes adalah bagaimana cara kerja stimulus sampling
theory (teori sampling stimulus
), berikut ini asumsi-asumsi dari
Estes:
Asumsi I.
situasi belajar terdiri dari banyak
elemen stimulus dalam jumlah tertentu. Elemen-elemen ini terdiri dari banyak
hal yang dapat dialami pembelajar pada awal percobaan belajar. Stimuli-stimuli
itu bisa mencakup kejadian eksperimental seperti cahaya, suara berisik, materi
verbal yang disajikan dalam drum memori, palang dan kotak Skinner, jalur
eksperimenter, suhu, suara tambahan di dalam dan di luar ruang, dan kondisi di
dalam diri subjek eksperimen seperti keletihan atau sakit kepala. Semua elemen
stimulus ini secara kolektif disimbolkan sebagai S. sekali lagi, S
adalah jumlah total dari stimuli yang mengiringi satu percobaan dalam situasi
belajar.
Asumsi II.
Semua
respon yang diberikan dalam situasi eksperimental dapat digolongkan menjadi dua
kategori. Jika responsnya adalah yang dicari oleh eksperimenter (seperti
keluarnya air liur, mata berkedip, menekan palang, berbelok ke kanan di jalur
T, atau melafalkan suku kata yang tak bermakna dengan benar), ia dinamakan
respons A1. Jika responStes
membagi semua respons yang mungkin muncul dalam eksperimen belajar menjadi dua
kelompok: (A1), respons yang
dicari eksperimenter―respons yang “benar” ―atau (A2), yakni semua respons lainnya. Tidak ada gradasi di antara
keduanya: Hewan memberi respons yang dikondisikan atau tidak membuat respons
yang dikondisikan; siswa bisa melafalkan suku kata yang tak bermakna dengan
benar atau salah.
Asumsi
III. Semua
elemen di S dilekatkan dengan A1 atau A2. Sekali lagi, ini adalah situasi all-or-nothing: semua unsur stimulus dalam S adalah dikondisikan ke respons yang
diinginkan atau benar (A1) atau
ke respons yang tak relevan atau keliru (A2).
Elemen yang dikondisikan ke A1
akan menimbulkan respons A1,
dan elemen yang dikondisikan ke A2
akan menimbulkan respons A2.
Pada awal eksperimen, hampir semua stimuli akan dikondisikan ke A2 dan akan menimbulkan respons A2. Misalnya, pada tahap awal
eksperimen, seekor tikus melakukan tindakan selain menekan palang, partisipan
eksperimen tidak merespons ke CS dihadirksn, dan seorang siswa tidak ingat suku
kata yang tak bermakna. Respons yang “benar” terjadi hanya setelah mereka
dihubungkan dengan stimuli dalam konteks eksperimental.
Asumsi IV.
Pembelajar terbatas kemampuannya dalam
mengalami S. pembelajar
mengalami hanya sebagian dari stimuli yang tersedia pada setiap percobaan
belajar, dan besarnya sampel diasumsikan tetap konstan disepanjang eksperimen. Proporsi konstan dari S yang dialami pada
awal setiap percobaan belajar dilambangkan dengan
(theta). Sesudah setiap percobaan, elemen dari
dikembalikan ke S. Jadi, teori Estes mengasumsikan sampling dengan penggantian (sampling with replacement). Elemen-elemen yang dijadikan sampel
pada satu percobaan mungkin akan dijadikan sampel lagi pada percobaan
selanjutnya.
Asumsi V.
Percobaan belajar berakhir ketika respons
terjadi; jika respons A1
menghentikan percobaan, elemen stimulus dalam
dikondisikan ke respons A1. Seperti Guthrie, Estes menerima
penjelasan belajar kontoguitas. Ketika respons A1 muncul, akan terbentuk asosiasi respons itu dengan stimuli
yang mendahuluinya. Dengan kata lain, karena proporsi elemen stimulus dalam S diambil sampelnya pada awal
percobaan, elemen itu dikondisikan ke A1
melalui prinsip kontiguitas setiap kali respons A1 menghentikan satu percobaan. Setelah jumlah elemen dalam S yang dikondisikan ke A1 bertambah, kemungkinan
mengandung beberapa dari elemen itu juga akan
bertambah. Jadi, tendensi munculnya respons A1 di awalpercobaan belajar akan meningkat dari waktu ke waktu,
dan elemen stimulus yang pada mulanya dilekatkan pada A2 perlahan-lahan akan dilekatkan ke A1. Inilah yang oleh Estes disebut sebagai belajar. State of the system (keadaan
sistem) pada momen tertentu adalah proporsi dari elemen
yang dilekatkan ke respons A1 dan A2.
Asumsi VI.
Karena
elemen di
dikembalikan ke S pada akhir percobaan, dan karena
yang dijadikan sampel pada awal percobaan
belajar pada dasarnya adalah acak, proporsi elemen yang dikondisikan ke A1 dalam S akan tercermin dalam elemen dalam
pada awal setiap percobaan baru. Jika tak satu
pun dari elemen di S
dikondisikan ke A1, maka
tidak akan memuat elemen yang dikondisikan ke
respons yang benar. Jika 50 persen dari elemen dalam S dikondisikan ke A1,
maka 50 persen dari elemen sampel
random dari S dapat diperkirakan akan dikondisikan ke A1.
Apa
yang menentukan apakah respons A1 atau A2 yang terjadi dalam satu
percobaan belajar? Bagaimana teori Estes dapat mendamaikan klaimnya tentang
belajar all-or-none (secara sekaligua atau tidak sama sekali) bengan
fakta bahwa performa atau kinerja itu bersifat probabilistik―bahwa respons A1
terkadang tidak muncul bahkan setelah beberapa percobaan belajar yang sukses?
Jawaban untuk pertanyaan ini mengindikasikan mengapa teori Estes disebut teori
belajar statistikal. Teori ini menyatakan bahwa probabilitas respons A1
sama dengan proporsi elemen stimulus dalam
yang dikondisikan ke A1 pada awal
percobaan belajar, dan setiap
adalah sampel acak dari S. Jika semua
elemen dalam
dikondisikan ke A1, peluang
terjadinya respons adalah 100 persen. Tetapi jika hanya 75 persen dari elemen
di
yang dikondisikan ke A1, kita
memperkirakan respons A1 adalah 75 persen dari respons A2 adalah
25 persen pada waktu itu. dengan kata lain, probabilitas munculnya respons A1
bergantung pada keadaan sistem.
Dengan
menggunakan asumsi-asumsi di atas, kita dapat menurunkan pernyataan matematika
yang meringkaskan proses belajar seperti dikemukakan oleh Estes:
1. Probabilitas
respons A1 pada setiap percobaan n (P n ) adalah sama
dengan proporsi elemen yang dikondisikan ke A1 pada percobaan itu (P
n)
P
n = p n
2. Dari
asumsi II dan III, semua elemen adalah elemen A1 (dengan probabilitas p)
atau elemen A2 (dengan probabilitas q). Dan, ini adalah 100
persen elemen dalam situasi itu.
p
+ q = 1,00
sehingga
p
= 1,00 – q
3. Dari
asumsi V, elemen yang tak dikondisikan ke A1 pada setiap percobaan n
(direfleksikan dalam q) pasti merupakan elemen yang tidak
diprakondisikan ke A1 sebelum percobaan pertama dan yang tidak
dikondisikan pada A1 pada percobaan sebelumnya. Pada setiap percobaan n,
probabilitas elemen itu tidak diprakondisikan pada percobaan 1 adalah (1 – P1).
Demikian pula, pada setiap percobaan n, probabilitas elemen tidak
dikondisikan ke A1 pada percobaan sebelumnya adalah (1 -
)n-1.
Probabilitas dua kejadian itu akan terjadi bersama (yakni, probabilitas bahwa satu
elemen tidak diprakondisikan dan belum dikondisikan) adalah hasil matematis
dari probabilitas individualnya. Jadi,
q
= (1 – P1) (1 -
)n-1.
4. Dengan
substitusi dari 3, kita mendapatkan:
Bagaimana
teori Estes mengaitkan performa (kinerja) dengan training? Contoh
berikut ini mungkin membantu. Misalnya, kita punya dua pembelajar, yang satu
mulai dengan P1 = 0 dan
=
0,05. Yang kedua juga memulai P1 = 0 tetapi mampu mengambil sampel
stimuli lebih banyak dalam lingkungan belajar. Untuk pembelajar kedua,
=
0,20.
Untuk
pembelajar pertama,
Pada
percobaan 1, P1 = 1- (1) (1 - 0,05)º = 0
Pada
percobaan 2, P2 = 1- (1) (1 - 0,05)¹ = 0,05
Pada
percobaan 3, P3 = 1- (1) (1 - 0,05)² = 0,10
dan
performa mendekati 100 persen (P n = 1, 00) setelah sekitar 105
percobaan, dengan asumsi setiap percobaan berhenti dalam respons A1.
Untuk
pembelajar kedua,
Pada
percobaan 1, P1 = 1- (1) (1 - 0,20)º = 0
Pada
percobaan 2, P2 = 1- (1) (1 - 0,20)¹ = 0,20
Pada
percobaan 3, P3 = 1- (1) (1 - 0,20)² = 0,36
dan
performa (kinerja) mendekati 100 persen (P n = 1,00) setelah sekitar
23-25 percobaan, dan dengan asumsi percobaan berakhir dalam respons A1.
Rumus
yang menghasilkan kurva akselerasi belajar negative dengan asymptote 1
yang dapat bervariasi dari kasus ke kasus, seperti kita lihat dalam contoh
tersebut, akan bergantung pada besarnya
dan nilai dari P1. Kurva belajar yang dihasilkan oleh rumus Estes
pada dasarnya sama dengan yang dihasilkan oleh rumud Hull, yang dideskripsikan
di Bab 6. Estes dan Hull mengasumsikan bahwa belajar di tahap awal eksperimen
belajar lebih banyak terjadi ketimbang di tahap selanjutnya.
Menurut
Estes, negatively accelerated learning curve (kurva akselerasi belajar
negatif) terjadi karena percobaan-percobaan dalam eksperimen belajar biasanya
berakhir dengan respond A1, dan akibatnya, makin banyak elemen yang
dikondisikan ke A1. Namun ada tingkat perolehan yang makin menurun.
Misalnya situasi di mana, pada awal eksperimen, respons A1 sangan tidak
mungkin terjadi (misalnya, dengan pengkondisian kedipan mata), kita melihat
bahwa hampir semua elemen di S akan dikondisikan ke A2 (tidak
berkedip saat cahaya disajikan). Tetapi, misalnya kedipan terjadi pada akhir
percobaan 1. Dalam kasus ini, semua elemen yang dijadikan sampel pada percobaan
itu (
) digeser dari A2 ke A1
karena semuanya dikondisikan pertama-tama ke A2. Pada percobaan
selanjutnya, segelintir elemen akan dikondisikan ke A1, namun sebagian
masih dikondisikan ke A2. Karenanya, kini dimungkinkan bahwa beberapa
elemen yang dikondisikan ke A1 akan dijadikan sampel bersama dengan
elemen yang dikondisikan ke A2. Jadi tingkat pergeseran pada saat
percobaan ke dua tidak akan sebesar pada percobaan satu karena hanyake elemen
yang dikondisikan ke A2 yang dapat ditransfer A1. Dapat dilihat
bahwa setelah belajar terus berlangsung, tingkat belajar menurun. Ketika semua
elemen dalam S dikondisikan ke A1, taka da lagi belajar yang dapat
terjadi, dan probabilitas terjadinya respons A1 adalah 1. Jadi, kurva
akselerasi belajar negatif, yang mengindikasikan bahwa kemajuan belajar terjadi
dengan lebih cepat di tahap awal ketimbang ditahap selanjutnya.
Generalisasi
Dalam
teorinya Estes sampling stimulus menjelaskan terkait dengan transfer.
Pendapat soal transfer dari Estes yang
sama dengan pendapat Thorndike dan Guthrie yaitu transfer terjadi sepanjang dua
situasi memiliki elemen stimulus yang sama. Jika banyak dari elemen yang
sebelumnya dikondisikan ke respons A1 ada di dalam situasi belajar yang
baru, probabilitas respons A1 akan muncul dalam situasi baru itu akan
cukup tinggi. Dalam satu situasi baru, seperti halnya dalam situasi belajar
awal, probabilitas respons A1 sama dengan proporsi elemen stimulus dalam
S yang dikondisikan ke respons itu.
Pelenyapan
Penjelasan
dari Estes bahwa dalam pelenyapan satu percobaan biasanya di akhiri setelah
subjek melakukan sesuatu selain A1, elemen stimulus yang sebelumnya
dikondisikan ke A1 pelan-pelan akan kembali lagi ke A2. Apa yang
dinamakan pelenyapan muncul setiap kali kondisi disusun sedemikian rupa
sehingga elemen stimulus di geser dari respons A1 ke respons A2.
Pemulihan spontan
Pemulihan
spontan adalah munculnya kembali respons yang dikondisikan setelah respons itu
mengalami pelenyapan. Dalam kondisi sementara memungkinkan bahwa selama
training respons A1 menjadi dikondisikan ke banyak elemen sementara.
Jika elemen-elemen itu tidak ada selama proses pelenyapan, respons A1
dikondisikan ke elemen itu tidak bisa digeser ke respons A2 dan
pergeseran hanya terjadi untuk elemen stimulus yang dijadikan sampel. Jadi,
arti pentingnya elemen sementara bagi pemulihan spontan tampak dengan banyak
elemen yang dikondisikan ke A1 selama akusisi tidak ada pada saat
pelenyapan terjadi. Pemulihan spontan dijelaskan dengan mengasumsikan bahwa
proses pelenyapan (pergeseran elemen dari A1 ke A2) pada awalnya
tidak pernah komplet.
Model
Belajar Markov Menurut Estes
Teori
sampling
stimulus Estes menerima sudut pandang inkremental (gradual) maupun all – or –
one tentang proses belajar. Hanya sebagian kecil dari jumlah total elemen
stimulus yang ada selama satu eksperimen akan dijadikan sampel pada satu
percobaan tertentu. Elemen yang dijadikan sampel ini dikondisikan secara all –
or – none ke respons apa saja yang menghentikan percobaan itu.akan tetapi,
karena hanya sebagian kecil dari proporsi elemen yang dikondisikan pada satu
percobaan tertentu, proses belajar berlangsung sedikit demi sedikit, dan
karenanya tercipta kurva akselerasi belajar negatif. Pendapat Estes adalah cara
all – or – none, namun karena hanya ada sedikit yang dijadikan sampel pada satu
percobaan, belajar berlangsung secara inkremental atau gradual.
Estes
mendesain sejumlah studi yang memungkinkan proses belajar diamati secara
mendetail. Studi – studi ini menunjukkan bahwa ketika jumlah elemen yang
dijaddikan sampel sedikit, belajar jelas berlangsung secara all – or – none,
dalam kenyataannya, dapat dikatakan bahwa belajar terjadi secara lengkap
dalam satu percobaan atau tidak terjadi sama sekali (tidak ada posisi ditengah
– tengahnya). Perubahan cepat dari keadaan belum belajar ke keaddaan telah
belajar ini dikatakan berhubungan dengan Markov process (proses Markov),
yang dikarakteristikkan oleh perubahan yang mendadak dalam probabilitas respons
ketimbang perubahan pelan dan bertahan dari satu percobaan ke percobaan
selajutnya.
Dalam
sebuah studi, Estes menggunakan paired associates (sekutu atau mitra
yang dipasangkan) untuk menunjukkan sifat belajar. Dalam paired associates
learning (belajar sekutu berpasangan), orang mempelajsri pasangan aitem dimana
ketika mereka diperlihatkan anggota pertama dari pasangan itu, merek dapat
merespon dengan pasangan lainnya.
1.
Estes Dan Psikologi
Kognitif
Meskipun
Estes seorang teoritisi kontiguitass, namun di tahun- tahun belakangan ini dia
lebih menekankan pda mekanisme kognitif dalam menganalisisnya terhadap belajar.
Seperti yang telah kita lihat, analisi awalnya mengikuti pendapat Guthrie
dengan mengasumsikan bahwa apa pun stimuli yang ada pada saat terminasi suatu
percobaan belajar akan diassosiasikan dengan respons yang menghentikan
percobaan itu. Baik Guthrie dan Estes memandang belajar sebagai asosiasi
kejadian yang terjadi bersamaan secara mekanis dan otomatis. Pada intinya,
organisme, termasuk manusia, dianggap sebagai mesin yang dapat merasakan,
mencatat, dan merspons. Walaupun masih bersifat mekanistis, analisis Estes yang
belakangan lebih kompleks karena ia mempertimbangkan pula pengarh dari
peristiwa kognitif.
Pada
awlanya Estes berpendapat bahwa stimuli dan respons menjadi diasosiasikan oleh
kontiguitas, dan setelah diasosiasikan, ketika stimuli terjadi, mereka akan
menghasilkan respons yang diassosiasikan kepada sstimuli itu. Estes juag
menambahkan elemen ketiga kedalam analisinya, yakni memori atau ingatan. Dalam
analisis Estes belakangan ini, stimuli tak langsung menimbulkan respos, tetapi
ia membangkitkan memori dari pengalaman sebelumnya, dan interaksi dari
stimulasi saat itu dengan memori tentang pengalaman sebelumnya itulah yang menghasilkan
perilaku.
Memori
juga berperan penting dalam analisis Estes terhadap operasi kognitif tingkat
tinggi seperti yang melibatkan bahasa. Dengan mengikuti tradisi empirisis
Inggris, Estes mengasumsikan bahwa memori – memori sederhana akan diombinasikan
untuk membentuk memori kompleks.
2.
Model Array Kognitif:
Klasifikasi Dan Kategorisasi
Estes
memandang teori sampling stimulus (SST) sebagai perluasan matematis dari teori
transfer elemen identik Thorndike. Yakni teori itu dikembangkan untuk membuat
prediksi yang tepat tentang transfer training dari ssatu situasi ke situasi
lain, berdasarkan elemen – elemen stimulus yang sama untuk keduanya. Dalam
karya yang lebih baru, Estes menjelaskan problem yang pertama kali dikaji oleh
Medin dan Shaffer dan meneruskan secara spesifik ke perilaku mengklasidikasi
dan mengkategorisasi.
Dalam
SST, belajar terjadi dengan cara sekaligus atau tidak sama sekali (all – or –
none) dan hanya dibutuhkan kontiguitas antara stimuli dan respons tertentu.
Pada percobaan belajar, orang mengambil sampel elemen stimulus dalam jumlah
terbatas dari seperangkat stimulus, dan respons yang muncul akan bergantung
pada proporsi stimuli dalam sampel yang dikaitkan dengan resspons itu. Jika
ssampelnya tidak mengandung elemen yang dikondisikan, entah karena sifat
sampling yang acak atau karena lingkungan teelah berubah, maka respons tersebut
tidak akan dimunculkan.
Dalam
model klasifikasi kognitif Estes, orang diasumsikan akan meneliti stimulus
kompleks dan memerhatikan (atau mengambil ssampel) ciri – cirinya yang menonjol
atau penting. Seperti dalam SST, ciri – ciri stimulus itu, bersama dengan
informasi tentang kategori atau keanggotaan kelasnya, dipelajari secara all –
or – none, dalam satu kali percobaan. Pada poin inilah pendekatan kognitif
Estes yang dinamkan array model (model array), berbeda dengan SST. Dalam kasus
model array, karakteristik stimulus dan designasi kategori disimpan dalam
memori sebagai seperangkat (suatu array) yang menyimpan ciri – ciri atau
atribut penting dan siap dipakai untuk membandingkan atribut itu dengan atribut
stimuli lain. Perbedaan antara SST dan model array yaitu SST terfokus pada
asosiasi stimulus – respons yang dibentuk dimasa lalu dan pada cara asosiasi
ini diakumulasikan sedangkan model array terfokus pada klasifikasi kejadian
yang ditemui dimasa sekarang atau yang akan ditemui dimasa depan.
3.
SST Mengasumsikan
Hubungan Stimulus Aditif
Meskipun
SST dan model array merefleksikan teori transfer elemen identik Thorndike,
keduanya mempunyai cara yang berbeda dalam merefleksikannya.
Satu
problem signifikan dalam SST adalah teori ini tidak dapat menjelaskan efek
detrimental yang muncul ketika manusia dan bukan manusia diuji dalam konteks
atau dengan stimuli yang jauh berbeda dari konteks yang ada saat training.
Estes menunujukan bahwa kelemahan utamanya adalah pada asumsinya mengenai efek
stimulus aditif, yakni ide konseptual dan matematis, yang menyatakan bahwa
elemen – elemen stimulus berpadu dalam cara aditif untuk memunculkan respons
yang dipelajari. Sebagai alternatifnya, model array mengasumsikan bahwa elemen
berkombinasi secara multiplikatif (multiplicatively) untuk memunculkan respons.
4.
Model Array
Mengasumsikan Hubungan Stimulus Multiplikatif
Menurut
model Array, kita menilai kesamaan stimuli dalam konteks baru yang berhubungan
dengan stimuli dalam situasi training dengan membandingkan atribut – atribut
dari elemen itu. Dalam kasus perbandingan, satu faktor yang disebut s,
yakni koefisien persamaan, mendeskripsikan tingkat kesamaan antara pasangan
atribut stimulus.
Maksud
dari model array yaitu untuk mendeskripsikan dan memprediksi bagaimana orang
menilai stimuli untuk dikategorikan dalam spesifik, bukan bagaimana respons
yang dikondisikan digeneralisasikan atau ditransfer ke situasi baru, dan kita
dapat mengguenakan stimuli dariproblem generalisasi kita untuk mendemonstrasikan
dasar – dasar model Array.
5.
Item dalam Satu
Kategori adalah Sama Satu Sama Lain
Langkah
pertama dalam mengembangkan model Array adalah menentukan kesamaan item – item
di dalam kategori.
6.
Item – item Stimulus
Mempresentasikan Seluruh Kategori
Cara
selanjutnya mengaplikasikan model Array adalah menentukan sejauh mana stimulus
parsial yaitu mewakili kategorinya secara keseluruhan. Untuk itu, kita menyusun
matriks koefisien persamaan yang membandingkan elemen – elemen didalam satu
kategori dengan elemen – elemen lain di dalam kategori itu, termasuk
perbandingan satu stimulus dengan dirinya sendiri.
Kemudian,
kita menyusun matriks yang mempresentasikan kesamaan item. Terakhir, kita dapat
membuat prediksi probabilitas kategorisasi stimulus yang benar. Prediksi ini
didasarkan pada kesamaan satu stimulus dengan kategorinya sendiri (benar) yang
berhubungan dengan jumlah dari kesamaannya dengan semua kategori yang mungkin.
7.
Pandangan Estes tentang
Perang Penguatan
Pendapat
Estes terbaru mengenai penguatan juga bersifat kognitif. Sampai saat ini Estes
bukan teorisi penguatan. Pandangan awalnya menolak hukum efek, yang menyatakan
bahwa penguatan akan memperkuat ikatan atau koneksi antara satu stimulus dengan
satu respons.
Menurut
Estes, organisme bukan hanya belajar hubungan S – R tetapi juga hubungan R – O
(response – outcome). Yakni, organisme belajar, dan mengingat, respons mana
yang akan menimbulkan konsekuensi tertentu. Dalam situasi tertentu, beberapa
respons menimbulkan penguatan, sebagian menimbulkan hukuman, dan yang lainnya
tidakn menimbulkan keduanya. Penguatan dan hukuman tidak menguatkan atau
melemahkan perilaku sebab hubungan R – O tidak menghasilkan penguatan atau
hukuman (Estes, 1969b). Organisme hanya belajar apa yang menimbulkan
konsekuensi, dan informasi ini menetukan respons mana yang akan dipilih.
Dalam
analisisnya, terhadap penguatan, Estes membuat perbedaan penting antara belajar
dan performa. Menurutnya, penguatan dan hukuman bukan variabel sebab belajar
terjadi tanpa penguatan dan hukuman. Penguatan dan hukuman, sebaliknya, adalah
variabel performa (kinerja) karena menetukan bagaimana materi yang sudah
dipelajari akan berwujud dalam perilaku.
Implikasi
Teori Belajar Estes Dalam Pendidikan
Aplikasi
teori estes dalam pendidikan contohnya adalah, dalam kelas murid disuruh
membaca buku sosiologi (S) kemudian muridpun membaca buku tersebut sesuai
dengan instruksi dari guru (R). Dalam pemberian stimulus tentu diiringi dengan
stimulus-stimulus lain seperti adanya suara berisik di luar kelas, bunyi deru
sepeda motor dan lain-lain. Dari kegiatan membaca buku sosiologi, guru
mengharapkan agar muridnya memahami tentang dinamika sosiologi yang diberi kode
(A1). Sedangkan kamungkinan lainnya yaitu murid tidak benar-benar
membaca dan memahami apa yang ada di buku tersebut yang diberi kode (A2)
Atau respon yang tidak diinginkan.
Sejauh
ini Estes membagi semua kemungkinan respon dalam situasi tertentu menjadi dua
kelompok, dan ia membagi semua kemungkinan aspek situasi stimulus menjadi
banyak elemen yang tidak tertentukan. Sekarang lebih jauh lagi ia beransumsi
bahwa masing-masing elemen dikondisikan dengan salah satu dari dua kelompok
respon itu. Dengan kata lain, masing-masing elemen stimulus cenderung untuk
menghasilkan entah itu A1 dan A2. Sebuah elemen tidak bisa
dikondisikan dengan A1 dan A2 sekaligus, juga tidak mungkin
dikondisikan dengan tidak satupun dari keduanya. Karenanya, pada momen tertentu
seluruh elemen bisa dikelompokkan sebagai terkondisikan dengan A1 atau
terkondisikan dengan A2.
Dalam
hubungan seperti ini, istilah dikondisikan (conditioned) tidak selalu berarti
ada pembelajaran sebelumnya. Mungkin akan lebih tepat bila dikatakan bahwa
setiap elemen “melekat” pada salah satu kelompok respon, sehingga elemen-elemen
stimulus yang sebelumnya melekat pada A1 menjadi melekat pada A2,
atau sebaliknya, dalam faktanya, bagi Estes perubahan semacam inilah yang
dinamakan pembelajaran. Perubahan-perubahan ini merupakan proses pengkondisian,
dan karenanya Estes menyatakan bahwa suatu elemen dikondisikan dengan suatu
respon ketika elemen itu cenderung menghasilkan respon tersebut.
Dalam
proses belajar diatas dapat diketahui bahwa respon yang dihasilkan cenderung
hanya pada satu kemungkinan, dan 2 kemungkinan diatas tidak bisa terjadi secara
bersamaan. Jadi hasilnya yaitu siswa memahami apa yang dipelajarinya atau tidak
memahami apa yang dipelajarinya.
BAB 7
TEORI GESTALT
Lailatul Izzah, Khoirun Nisa’, Budi Surya Permana
Prinsip Belajar Gestalt
Ketika kita
berbicara tentang teori Gestlat maka sangat banyak kaitannya dengan fenomena kognisi.
Para pengikut Gestlat menyatakan bahwa dalam presepsi, kita cenderung untuk
menyusun stimulus-stimulus sepanjang garis tandensi-tandensi alamiah tertentu
yang mungkin berkaitan dengan fungsi menyusun dan mengelompokan yang terdapat
dalam otak. Tandensi-tandensi alamiah ini adalah hasil dari pengalaman yang di
pelajari. Dari mana pun asal – usulnya semua sependapat bahwa tandensi-tandensi
tersebut ada dan mengikuti pola-pola yang bersifat universal.
Dengan kata lain
proses yang dilakukan adalah organisme yang mulai melihat solusi setelah
memikirkan suatu problem. Secara tidak langsung akan muncul keadaan
disekualibrium kognitif dan keadaan yang akan berlanjut sampai problem
terselesaikan. Dalam disekualibrum kognitif terdapat unsur motivasional yang menyebabkan
organisme berusaha untuk mendapatkan keseimbangan dalam system mentalnya
Dalam prinsip yang
berlaku untuk kejadian mental termasuk prinsip presepsi yakni pada hukum
pragnaz adalah dengan kecendrungan dalam setiap kejadian psikologis untuk menjadi
sederhana, lengkap, dan bermakna. Dengan kata lain keseimbangan kognitif lebih
memuaskan dari pada ketidak seimbangan kognitif .Suatu problem akan memunculkan
stimuli yang terus ada sampai terpecahkan dan setelah terpecahkan stimuli akan
berkurang. Ketika stimuli terpecahkan (solusi mulai muncul) organisme mendapat
wawasan atau insight tentang solusi atau problem. Dari insight inilah di dapatkan penyelesaian masalah dan
merupakan suatu inti dari proses belajar
Gestlatis berpendapat bahwa
proses belajar yang terpenting adalah bukan dari pengulangan, tetapi dari
mengerti dengan mendapatkan insight dari
setiap prosesnya.
Periode Prasolusi
Dalam mendapatkan insightful solution atau solusi yang berwawasan maka di perlukan
beberaa waktu dengan menggunakan konsep
belajar trial-and-Eror dalam kerja
kognitif bukan behavioral. Caranya dengan menguji suatu hipotesis dalam
memecahkan suatu problem. Dalam hal ini problem merupakan suatu riset. Pada
sebuah eksperimennya yaitu hewan memikirkan solusi yang berbeda sampai akhirnya
dapat menemukan satu solusi yang tepat dalam proses pemikiran suatu solusi
diharapakan organisme hewan ini bisa
mendapatkan suatu arahan dengan memunculkan wawasan secara mendalam yang
kemudian dilanjutkan dengan tindakan behavioral.
Ringkasan tentang belajar
berwawasan
Empat karakteristik
dalam insightful Learning (belajar berwawasan) yaitu
1.
Transisi dari soslusi ke
prasolusi terjadi secara mendadak dan komplit.
2.
Kinerja dalam mendapatkan solusi
di peroleh dengan pengertian secara mendalam dengan bebas dari kekeliruan
3.
Solusi di dapatkan dari wawasan
secara mendalam yang bisa di ingat dalam waktu yang cukup lama
4.
Prinsip yang di peroleh dari
wawasan mudah di aplikasikan ke problem lainnya
Transposisi.
Gestalt beranggapan
bahwa sesuatu yang di pelajari memaluli proses belajar adalah menggunakan
prinsip rasional bukan pengembangan kebiasaan S-R seperti anggapan dari kaum
behavioristik.
Penjelasan Behavioristik Tentang
Transposisi
Kaum behavioristik
beranggapan bahwa situasi belajar selalu berkaitan dengan hubungan S-R yang
merupakan absolute theory ( teori
Absolute ) dan tramsposisi behavioristik Spence muncul dengan menjelaskan
tentang fenomena transposisi berdasarkan konsep S-R yang di dasarkan pada
generalisasi yaitu tandensi untuk mendekati stimulus positive di
generalisasikan ke stimulus lain. Sehingga muncul sebuah asumsi bahwa tandensi untuk mendekati stimulus
positif lebih kuat daripada untuk menghindari stimulus negative. Kesimpulannya
kapan pun ada ada pilihan antara dua stimuli, stimuli yang menimbulkan
kecendrungan yang besar akan di pilih.
Dari penejelasan
Spence ini timbul sebuah prediksi bahwasannya transposisi berhenti pada titik
tertentu. Karena teori Spence dapat memprediksi kesuksesan dan kegagalan
fenomena transposisi, sudut pandangnya lebih di terima luas ketimbang sudut
pandang Gestlat.
Tokoh Gestalt
Orang yang dipandang menjadi
perintis langsung psikologi Gestalt adalah Chr. Von Ehrenfels, dengan karyanya
“Uber Gestaltqualitasion” (1890). Aliran ini menekankan pentingnya keseluruhan.
Pokok fikiran aliran ini adalah :
1.
Gestalt mempunyai sesuatu yang
melebihi jumlah unsur-unsurnya, dan
2.
Gestalt itu timbul lebih dulu
daripada bagian-bagian.
Selanjutnya orang
yang dipandang sebagai pendiri teori gestalt ialah Wertheiner,
eksperimen-eksperimen Wertheimer mengenai Scheinbewegung (gerak semu)
memberikan kesimpulan bahwa pengamatan mengandung hal yang melebihi jumlah
unsur-unsurnya. Ini adalah gejala Gestalt. Penelitian dalam bidang optic ini
kemudian juga dipandang berlaku (kesimpulan serta prinsip-prinsipnya) di bidang
lain, seperti misalnya di bidang belajar. Lebih jauh eksperimen-eksperimen W.
Kohler dengan chimpanse yang dilakukannya di pulau Tenerife (1913-1917)
memberikan kesimpulan-kesimpulan yang berlawanan dengan teori-teori molecular.
Pokok – Pokok Teori Belajar Menurut Aliran Gestalt
Psikologi Gestalt bermula pada
lapangan pengamatan (persepsi) dan mencapai sukses yang terbesar juga dalam
lapangan ini. Demonstrasinya mengenai peranan latar belakang dan organisasinya
terhadap proses-proses yang diamati secara fenomal demikian meyakinkan sehingga
boleh dikatakan tidak boleh dibantah. Kritik pokok yang dilancarkannya terhadap
teori asosiasi adalah ditujukan terhadap anggapan yang menyatakan bahwa
pengamatan itu terdiri dari unsur-unsur pengamatan yang dipersatukan (diikat)
oleh asosiasi.
Ketika para ahli psikologi Gestalt
beralih dari masalah pengamatan ke masalah belajar, maka hasil-hasil yang telah
kuat atau sukses dalam penelitian mengenai pengamatan itu dibawanya dalam studi
mengenai belajar, dan alasan-alasan yang dulunya ditujukan terhadap teori
asosiasi kini dilancarkan terhadap teori reflek bersyarat, dan teori reflek
yang lain. (Suryabrata : 2012).
Gestalt
adalah sebuah teori belajar yang dikemukakan oleh koffka dan kohler dari
jerman. Teori ini berpandangan bahwa keseluruhan lebih penting dari
bagian-bagian. Sebab keberadaan bagian-bagian itu didahului oleh keseluruhan.
Dalam belajar menurut teori gestalt yang terpenting adalah penyesuaian pertama,
yaitu mendapatkan respons atau tanggapan yang tepat. Belajar yang terpenting
bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti atau memperoleh
insight. Belajar dengan pengertian lebih dipentingkan daripada hanya memasukkan
sejumlah kesan. Belajar dengan insight (pengertian) adalah sebagai berikut :
a. Insight
tergantung pada kemampuan dasar
b. Insight
tergantung dari pengalaman masa lampau yang relevan (dengan apa yang
dipelajari)
c. Insight
hanya timbul apabila situasi belajar diatur sedemikian rupa, sehingga segala
aspek yang perlu dapat diamati
Prinsip-prinsip belajar
menurut teori Gestalt
:
a. Belajar
berdasarkan keseluruhan : orang berusaha menghubungkan suatu pelajaran dengan
pelajaran yang lain sebanyak mungkin. Bahkan pelajaran tidak dianggap terpisah,
tetapi merupakan satu kesatuan. Bahan pelajaran yang telah lama tersimpak
diotak dihubung-hubungkan dengan bahan pelajaran yang baru saja dikuasai,
sehingga tidak terpisah, berdiri sendiri. dengan begitu lebih mudah didapatkan
pengertian. Bahan pelajaran yang bulat memang lebih mudah dimengerti daripada
bagian-bagian.
b. Belajar
adalah suatu proses perkembangan
Anak-anak
baru dapat mempelajari dan merencanakan bila ia telah matang untuk menerima
bahan pelajaran itu. Manusia sebagai suatu organisme yang berkembang,
kesediannya mempelajari sesuatu tidak hanya ditentukan oleh kematangan jiwa
batiniah, tetapi juga perkembangan anak karena lingkungan dan pengalaman.
c. Anak
didik sebagai organisme keseluruhan : anak didik belajar tidak hanya
intelektualnya saja, tetapi juga emosional dan jasmaniahnya. Dalam pengajaran
modern, selain mengajar guru juga mendidik untuk membentuk pribadi anak didik.
d. Belajar
harus dengan insight : insight adalah suatu saat dalam proses belajar dimana
seseorang melihat pengertian (insight) tentang sangkut paut dan
hubungan-hubungan tertentu dalam unsur yang mengandung suatu problem.
e. Belajar
lebih berhasil bila berhubungan dengan minat, keinginan, dan tujuan : hal itu
terjadi bila banyak berhubungan dengan apa yang diperlukan anak didik dalam
kehidupan sehari-hari. Di sekolah progresif anak didik diajak membicarakan
tentang proyek/unit agar tahu tujuan yang akan dicapai dan yakin akan
manfaatnya. (Djamarah : 2002).
Menurut
gestaltian memandang problem tubuh-pikiran diasumsikan dengan adanya
isomorphism (isomorfisme) antara pengalaman psikologis dengan proses yang ada
di dalam otak. Stimulan eksternal menimbulkan reaksi di otak dan merasakan atau
mengalami reaksi itu saat reaksi terjadi di otak. Psikolog gestalt menyatakan
pendapatnya bahwa dunia fenomenal (kesadaran) adalah ekspresi yanbg akurat dari
situasi, yakni kekuatan yang ada di dalam otak. Menurut teoretisi Gestalt yang
menentukan perilaku adalah kesadaran atau realitas subjektif, dan fakta ini
mengandung teoritisi penting, koffka percaya bahwa untuk memahami mengapa orang
bertindak, adalah lebh penting untuk mengetahui lingkungan behavioralnya
daripada lingkungan geografisnya dan Bagi koffka keyakinan hal yang sangat
menetukan perilaku.
Belajar
menurut Gestaltis, adalah
fenomena kognitif. Gestaltis percaya bahwa solusi itu didapatkan atau tidak
sama sekali karena belajar menurut gestaltis adalah diskontinu. Gestalt
memandang belajar lebih menekankan pada perbandingan antara dua stimuli yang
disebut relational theory (teori relasional). (Oslon : 2010)
Implikasi Teori Belajar Gestalt
Banyak praktek pendidikan dan pengajaran yang
menggunakan dasar psikologi Ilmu Jiwa Gestalt.
1. Dalam bidang Kurikulum
Kurikulum
concentris merupakan pengetrapan prinsipprinsip ilmu Jiwa Gestalt. Kurikulum
ini mempunyai pusat yang sama (con-centris). Dalam tingkatan yang rendah,
disusun kurikulum dari suatu kesatuan yang utuh. Disini diajarkan yang
pokok-pokok secara garis besar. Di tingkat yang lebih tinggi, kesatuan itu
diberikan lagi, tetapi dibahas lebih mengarah ke bagian-bagian lebih mendalam.
Sedang ditingkat yang lebih tinggi lagi, kesatuan tersebut tetap digunakan,
tetapi dibahas menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih mendalam lagi. Begitu
seterusnya. Dalam perwujudan dan perkembangan selanjutnya, kurikulum concentris
ini dapat terwujud dalam:
(a) Penagajaran pusat minat
(b) Penagajaran Proyek
(c) Penagajaran alam sekita
(d) Salah satu prinsip dalam sistim among oleh
Ki Hajar Dewantara.
2. Dalam Bidang Didaktik Metodik
Dalam
bidang Didaktik Metodik, khususnya mengenai metode mengajar membaca, menulis.
Pengaruh Ilmu Jiwa Gestalt itu sangat besar. Ternyata pengetrapan Ilmu Jiwa
Gestalt dalam metode mengajar membaca menulis itu telah mampu menggoyahkan
metode mengajar yang telah berabad-abad sejak zaman Yunani Kuno hingga awal
abad 20 ini. Di indonesia khususnya,metode mengajar membaca menulis dengan
metode mengeja ini masih ada guru yang melakukan,
Meskipun secara resmi pemerintah telah mengganti dengan metode global
(secara resmi digunakan istilah metode S.A.S = Struktural Analitis Sintesis). Secara singkat dapat dibandingkan metode
mengeja dengan metode global sebagai berikut:
(a) Metode Mengeja
Murid dihadapkan pada huruf yang justru
merupakan elemen terkecil. Hal ini sangat asing bagi anak. Kita melakukan
persepsi bukan dari elemen dulu, tetapi sebaliknya, secara keseluruhan (global)
dulu, baru menuju bagian atau elemen. Metode eja menyalahi prinsip Gestalt
Murid pertama kali belajar telah dihadapkan pada huruf. Huruf itu bagi anak
belum dikenal, tidak mempunyai makna (arti). Seharusnya dimulai dari suatu
kebulatan kesatuan yang mengandung makna. Jadi metode eja menyalahi prinsip
Insightfullness. Dalam menghubungkan kata, murid-murid banyak mengalami
kesukaran, karena selain tidak dikenal (tanpa arti) juga tidak merupakan figur.
Akibatnya sukar terjadi prinsip closure.Dilihat dari segi prestasi, metode
mengeja kurang memuaskan, salah satunya adalah murid membaca terputus-putus,
sebab setiap selesai membaca satu kata, ia berhenti untuk mengeja kata
berikutnya. Hal ini kadang-kadang masih tampak pada murid SMP.
(b) Metode Belajar Global
Menggunakan dasar psikologis Ilmu Jiwa
Gestalt. Metode membaca global dirintis oleh Dr. Ovide De Croly. Di Indonesia
dekenal dengan metode S.A.S.Permulaan sekali, anak telah dihadapkan pada cerita
pendek yang telah dikenal anak dalam kehidupan keluarga. Cerita ini jelas
merupakan satu kesatuan yang telah dikenal anak. Maka dengan mudah anak itu
segera dapat membaca seluruhnya secara hafalan. Biarkan murid membaca sambil
menunjuk kalimat yang tidak cocok dengan yang diucapkan. Menguraikan cerita
pendek tersebut menjadi kalimat-kalimat. Guru secara alamiah menunjukkan bahwa
cerita pendek itu terdiri dari kalimat-kalimat misalnya dengan cara :
Ø Kalimat yang satu dengan yang lain ditulis
dengan warna yang berbeda.
Ø Kalimat satu dengan yang lain ditulis dengan
jarak yang cukup renggang.Biasanya setelah 2 atau 3 minggu murid telah
dapatmembedakan kalimat satu dengan yang lain. Murid telah mengingat kalimat-kalimat.
Ø Memisahkan kalimat-kalimat menjadi kata-kata
Dapat dengan berbagai cara, misal:
1) Tiap-tiap kata ditulis dengan warna yang
berbeda-beda
2) Tiap-tiap kata ditulis agak berjauhan
3) Ditulis dengan susunan tiap kata semakin
menurun
4) Dibaca pelan-pelan sambil menunjuk tiap kata
Ø Memisahkan kata-kata menjadi suku kata.Dalam
periode tertentu, setelah murid mengerti suku kata, diteruskan,
Ø Memisahkan suku kata menjadi huruf.Dalam fase
ini, barulah murid diajarkan bunyi tiap-tiap huruf (pertengahan tahun).
Ø Setelah murid mengenal huruf, diajarkan
menyusun huruf menjadi suku kata.
Ø Menyusun suku kata menjadi kata.
Ø Menyusun kata menjadi kalimat.
Untuk
melaksanakan proses menyusun kembali, dapat dilakukan dengan bermacam permainan
yang menarik. Contoh pembelajaran yang cocok menerapkan teori kognitif selain pada
pelajaran bahasa : seperti mengarang, menganalisis isi buku, juga pada
pelajaran fisika, kimia atau biologi: yaitu dengan metode belajar yang berbasis
masalah (studi kasus), eksperimen. Dan pada pelajaran IPS berupa observasi,
wawancara dan membuat laporannya.
3. Dalam metodik mengajar
Sangat
penting artinya bagi individu (murid), bila ia dapat menemukan pemahaman
(insight) dengan caranya sendiri tanpa diberi tahu. Karena itu guru harus pandai mengatur strategi
(membuat siasat) bagaimana cara mengajar untuk menimbulkan pemahaman (insight)
oleh murid sendiri tanpa murid merasa digurui secara langsung. Buatlah siasat
agar murid menemukan pemahaman sendiri. Metode ini terkenal dengan metode problem
solving (pemecahan masalah).
BAB 8
TEORI JEAN
PIAGET
Rima Ridha, Alawiyah Husna, Adam Auton Afrilian
Konsep Utama
Jean Piaget
Inteligensi
Lingkungan
dan organisme senantiasa berubah, sebuah interaksi yang “cerdas” antara keduanya juga pasti terus-menerus
berubah . Menurut Piaget, intelegensi adalah bagian integral dari setiap
organisme karena semua organisme yang hidup selalu mencari kondisi yang
kondusif untuk kelangsungan hidup mereka. Teori Piaget sering disebut sebagai genetic epistemology ( epistemologi
genetik ) karena teori ini berusaha melacak perkembangan kemampuan intelektual.
Menurut Piaget, inteligensi dapat
dilihat dari 3 perspektif berbeda :
1.
Struktur Disebut juga scheme
(skemata/Schemas). Struktur & organisasi terdapat di lingkungan, tapi
pikiran manusia lebih dari meniru struktur realita eksternal secara pasif.
Interaksi pikiran manusia dengan dunia luar, mencocokkan dunia ke dalam “mental
framework”-nya sendiri. Struktur kognitif merupakan mental framework yg
dibangun seseorang dengan mengambil informasi dari lingkungan &
menginterpretasikannya, mereorganisasikannya serta mentransformasikannya
(Flavell, Miller & Miller) Dua hal
penting yg harus diingat tentang membangun struktur kognitif :
b. lingkungan
dimana seseorang berinteraksi penting untuk perkembanga struktural.
2.
Isi Disebut juga content, yaitu pola
tingkah laku spesifik tatkala individu menghadapi sesuatu masalah. Merupakan
materi kasar, karena Piaget kurang tertarik pada apa yg anak-anak ketahui, tapi
lebih tertarik dengan apa yang mendasari proses berpikir. Piaget melihat “isi”
kurang penting dibanding dengan struktur & fungsinya, Bila isi adalah “apa”
dari inteligensi, sedangkan “bagaimana” & “mengapa” ditentukan oleh
kognitif atau intelektual.
3.
Fungsi Disebut fungtion, yaitu suatu proses
dimana struktur kognitif dibangun. Semua organisme hidup yg berinteraksi dengan
lingkungan mempunyai fungsi melalui proses organisasi & adaptasi.
Organisasi: cenderung untuk mengintegrasi diri & dunia ke dalam suatu
bentuk dari bagian-bagian menjadi satu kesatuan yg penuh arti, sebagai suatu
cara untuk mengurangi kompleksitas.
Skemata
istilah skema atau skemata yang diberikan oleh Piaget untuk dapat
menjelaskan mengapa seseorang memberikan respon terhadap suatu stimulus dan
untuk menjelaskan banyak hal yang berhubungan dengan ingatan. Skema adalah
istilah penting yang amat penting dalam teori piaget. Suatu skemata dapat
dianggap sebagai eleman dalam struktur kognitif organisme. Skema yang ada dalam
organisme akan menentukan bagaimana ia akan merespon lingkungan fisik. Skemata
dapat muncul dalam bentukperilaku yang jelas, seperti dalam kasus refleks
memegang, atau dapat muncul secara tersamar. Manifestasi skema yang tidak jelas
dapat disamakan dengan tindak berfikir.
Skema adalah struktur kognitif yang digunakan oleh manusia untuk
mengadaptasi diri terhadap lingkungan dan menata lingkungan ini secara
intelektual. Seorang anak dilahirkan dengan sedikit refleks yang terorganisir,
seperti menyedot, melihat, menggapai, dan memegang. Alih-alih mendiskusikan
kejadian individual dari refleks ini, Piaget lebih memilih berbicara tentang
potensi umum untuk melakukan hal-hal seperti menghisap, menatap, menggapai,
atau memegang. Potensi untuk bertindak dengan cara tertentu ini disebut dengan schema (skema=tunggal, skemata=jamak).
Misalnya, skema memegang adalah kemampuan umum untuk memegang sesuatu.
Skema lebih dari sekedar manifestasi refleks memegang saja. Skema memegang
dapat dianggap sebagai struktur kognitif yang membuat semua tindakan memegang
bisa dimungkinkan.
Ketika setiap tindakan memegang tertentu akan diamati atau dideskripsikan,
maka seseorang mesti berbicara dalam term respon spesifik terhadap stimuli
spesifik. Aspek manifestasi partikular dari skema ini dinamakan content (isi). Jelas, cara anak
menghadapi lingkungannya akan berubah-ubah seiringnya dengan pertumbuhan si
anak. Agar terjadi interaksi organisme-lingkungan, skemata yang tersedia untuk anak
harus berubah.
Asimilasi
dan Akomodasi
Jumlah skemata yang tersedia untuk organisme pada waktu tertentu menrupakan
cognitive structu (struktur kognitif)
organisme tersebut. Proses merespon lingkungan sesuai dengan srtuktur kognitif
seseorang disebut denga Assilimation
(asimilasi), yakni jenis pencocokan atau penyesuaian antara struktur kognitif
dengan lingkungan fisik. Struktur kognitif yang eksis pada momen tertentu akan
dapat diasimilasikan oleh orgamisme.
Asimilasi itu suatu proses kognitif, dengan asimilasi seseorang
mengintegrasikan bahan-bahan persepsi atau stimulus ke dalam skema yang ada
atau tingkah laku yang ada. Asimilasi berlangsung setiap saat. Seseorang tidak
hanya memperoses satu stimulis saja, melainkan memproses banyak stimulus.
Secara teoritis, asimilasi tidak menghasilkan perubahan skemata, tetapi
asimilasi mempengaruhi pertumbuhan skemata. Dengan demikian asimilasi adalah
bagian dari proses kognitif, denga proses itu individu secara kognitif
megadaptsi diri terhadap lingkungan dan menata lingkungan itu.
Misalnya, jika skema menghisap, menatap, menggapai, dan memegang sudah
tersedia bagi si anak, maka segala sesuatu yang dialami anak akan
diasimilasikan ke skemata itu. Saat struktur kognitif berubah, maka anak
mungkin bisa mengasimilasikan aspek-aspek yang berbeda dari lingkungan fisik.
Akomodasi dapat diartikan sebagai penciptaan skemata baru atau pengubahan
skemata lama. Asimilasi dan akomodasi terjadi sama-sama saling mengisi pada
setiap individu yang menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Proses ini perlu
untuk pertumbuhan dan perkembangann kognitif. Antara asimilasi dan akomodasi
harus ada keserasian dan disebut oleh Piaget adalah keseimbangan.
Asimilasi dan akomodasi disebut sebagai functional
invariants (invarian fungsional) karena mereka terjadi di semua level
perkembangan intelektual. Tetapi jelas, bahwa pengalaman sebelumnya cenderung
melibatkan lebih banyak akomodasi ketimbang pengalaman yang kemudian karena
semakin banyak hal-hal yang dialami akan berhubungan dengan struktur kognitif
yang ada, dan membuat akomodasi subtansial makin tak diperlukan saat individu
bertambah dewasa.
Ekuilibrasi
Ekuilibrasi secara sederhana didefinisikan
sebagai dorongan terus-menerus ke arah keseimbangan atau Ekuilibrium Yaitu keseimbangan antara skema yang
digunakan dengan lingkungan yang direspons sebagai hasil ketepatan akomodasi .
Dalam proses adaptasi dengan lingkungan individu berusaha mencapai struktur
mental atau skemata yang stabil. Yaitu keseimbangan antara proses asimilasi dan
akomodasi. Seandainya hanya asimilasi secara kontinu maka yang bersangkutan
hanya akan memiliki beberapa skemata global dan ia tidak mampu melihat
perbedaan antara berbagai hal. Sebaliknya jika hanya akomodasi saja secara
kontinu, maka hanya memiliki skemata kecil-kecil saja dan mereka tidak memiliki
skemata yang umum. Dan tidak akan mampu melihat persamaan antara berbagai hal.
Dengan keseimbangan ini maka efisiensi interaksi antara anak yang sedang
berkembang dengan lingkungannya dapat tercapai dan terjamin. Dengan kata lain
terjadi keseimbangan antara faktor-faktor internal dan faktor eksternal. Proses
akomodasi adalah proses memodifikasi struktur kognitif yang sudah dimiliki
dengan informasi yang diterima. Proses asimilasi dan akomodasi akan menimbulkan
ketidakseimbangan antara yang telah diketahui dengan apa yang dilihat atau
dialaminya sekarang. Proses ketiakseimbangan ini harus disesuaikan melalui
proses ekuilibrasi. Proses ekuilibrasi ini merupakan proses yang
berkesinambungan antara proses asimilasi dan akomodasi. Proses ini akan menjaga
stabilitas mental dalam diri pembelajar dan ia akan dapat terus mengembangkan
dan menambah pengetahuannya.
Perubahan
struktur kognitif yang dipengaruhi oleh proses adaptasi tersebut melalui
tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya dan bersifat hierarki.
Seseorang harus melalui urutan tertentu dan tidak dapat belajar sesuatu yang
berada di luar tahap kognitifnya. Piaget membagi tahap-tahap perkembangan
kognitif ini menjadi empat.Kemampuan bayi melalui tahapan ini bersumber dari
tekanan biologis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan (melalui asimilasi
dan akomodasi) serta adanya pengorganisasian struktur berpikir.Tahapan ini
secara kualitatif berbeda pada setiap individu.Demikian pula, pemikiran seorang
anak berbeda pada setiap tahap.Desmita mengutip dari Mussen (1969) mengatakan
bahwa Piaget tidak menegaskan batasan umur dalam masing-masing tahap.Batasan
umur tersebut diberikan oleh Ginsburg dan Opper. Piaget berasumsi bahwa semua
organisme punya tendensi bawaan untuk menciptakan hubungan harmonis antara
dirinya dengan lingkungannya (Hergenhanhn dan Olson, 2008, hal. 316). Jika
lingkungan yang ditemui oleh seseorang berubah maka akan terjadi
ketidakseimbangan antara struktur kognitifnya dengan lingkungan tersebut. Namun
karena adanya tendensi bawaan seperti yang diasumsikan oleh Piaget tersebut
maka seseorang akan melakukan akomodasi sehingga tercapai keseimbangan antara
struktur kognitifnya dengan lingkungannya.
Tendesi
bawaan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengorganisasikan pengalaman agar
mendapatkan adaptasi yang optimal dengan lingkungannya itu dinamakan ekuilibrasi.
Konsep ekuilibrasi ini sejajar dengan konsep hedonisme Freud atau konsep
aktualisasi diri Maslow dan Jung.
Ekuilibrium menunjuk pada relasi antara individu dan sekelilingnya,
terutama sekali pada relasi antara struktur kognitif individu dan struktur
sekelilingnya. Di sini ada keadaan seimbang bila individu tidak lagi perlu
mengubah hal-hal dalam kelilingnya untuk mengadakan asimilasi dan juga tidak
harus mengubah dirinya untuk mengadakan akomodasi dengan hal-hal yang baru.
Interiorisasi
Interiorisasi merupakan penurunan ketergantungan pada lingkungan fisik dan
meningkatnya penggunaan struktur kognitif. Hal ini berjalan sesuai dengan tahap
perkembangan dimana pada awalnya anak akan sangat mengandalkan lingkungan untuk
memahami dunia dan sampai pada akhirnya, individu akan lebih menggunakan
konsep-konsep yang abstrak.
Apabila
struktur kognitif makin luas, anak- anak mampu merespons situasi yang lebih
kompleks. Mereka juga tidak terlalu bergantung pada situasi sekarang. Misalnya,
mereka mampu ”memikirkan” obyek yang sebelumnya tidak mampu mereka pikirkan.
Apa yang kini dialami anak adalah fungsi dari lingkungan fisik dan struktur
kognitifnya, yang merefleksikan akumulasi pengalaman sebelumnya.
Misalnya Respon awal bayi terhadap lingkungan melibatkan
skemata bawaan. Karena adanya akomodasi maka secara perlahan struktur kognitif
bayi akan bertambah. Dengan bertambahnya struktur kognitif maka kemudian
seseorang akan mampu merespon situasi yang lebih kompleks. Semakin berkembang
struktur kognitifnya maka semakin mudah seseorang untuk merespon lingkungannya.
Mereka tidak lagi bergantung pada hal-hal yang berkaitan dengan situasi
sekarang. Mereka mampu memikirkan sesuatu yang tidak hadir saat ini.
Meningkatnya struktur kognitif dan menurunnya ketergantungan seseorang terhadap
lingkungan fisiknya ini dinamakan interiorisasi.
Pada awalnya
adaptasi bayi terhadap lingkungannya biasanya jelas kelihatan, langsung tanpa
pemikiran. Semakin bertambahnya usia dan pengalaman maka semakin banyak ia
melakukan interiorisasi sehingga adaptasi seseorang menjadi tidak tampak.
Mereka lebih banyak melibatkan tindakan internal daripada eksternal. Seseorang
yang diberi kertas tidak akan lagi langsung memasukan kertas tersebut ke
mulutnya namun secara mental dapat memikirkan apa yang terbaik untuk dilakukan terhadap
kertas tersebut. Piaget menyebut proses berfikir terebut sebagai operasi.
Jadi, Interiorisasi adalah proses dengannya tindakan adaptif menjadi makin
tersamar. Dalam kenyataannya, operasi dapat dianggap sebagai tindakan
interiorisasi
Konsep Perkembangan piaget
Tahap- Tahap Perkembangan Kognitif Piaget
Aspek penting dalam teori
piaget adalah deskripsi mengenai empat tahap perkmbangan kogntif yang berbeda,
dengan pola pemikiran yang unik. Oleh karena itu tahap bertumpu pada
pencapaian-pencapaian yang telah diraih dalam tahap-tahap sebelumny, anak-anak
menjalani tahap=tahap tersebut dalam urutan yang sama tanpa terkecuali. Berikut
tahap tahap perkembangan kognitif dalam teori piaget:
1. Tahap
sensomotori (kelahiran hingga usia 2 tahun)
Sensori motor dicirikan
tidak adanya bahasa. Karena anak-anak tidak menguasai kata untuk suatu benda,
maka benda itu tidak akan eksis bagi anak jika anak tidak menghadapinya secara
langsung. Interaksi dengan lingkungan hanya berkaitan dengan keadaan saat ini.
Anak- anak pada tahap ino bersikap egosentris. Pada akhir tahap ini, anak
mengembangkan konsep kepermanenan object. Dengan kata lain, merekA akan mulai
menyadari bahwa objec tetap ada meski mereka tidak melihatnya (Olson:318).
Piaget mengemukakan
bahwa sebagian besar tahap sensimoto, anak-anak berfokus pada apa yang mereka
lakukan dan dilihat pada saat itu, skema-skema mereka tersusun berdasarkan
perilaku dan persepsi. Meski demikian, kmampuan-kemampuan kognitif yang penting
muncul selama periode ini, terutama saat anak mulai bereksperimaen dengan
lingkungannya melalui prinsip trial and error.
Piaget menyatakan bahwa
kemampuan berfikir yang sesungguhnya muncul pada usia dua tahun setengah.
Secara spesifik, anak memperoleh kemampuan berfikir simbolik, yakni kemampuan
mempresentasikan dan memikirkan objek-objek dan peristiwa-peristiwa dalam
kerangka entitas-entitas internal atau simbolik. Seringkali symbol-simbol ini
berbentuk kata-kata yang didengar anak-anak dari dunia disekeliling mereka, dan yang digunakan dalam
kalimat-kalimat satu kata mereka (Ormond:44).
2. Tahap
preoperational thinking (2 tahun hingga sekitar 6 atau 7 tahun)
Pada masa-masa tahap
praoperasional, ketrampilan bahasa anak akan berkembang pesat dan penguasaan
kosa kata yang meningkat memungkinkan mereka mengekspresikan dan memikirkan
beragam objek dan peristiwa.bahasa juga menjadi dasar bagi bentuk interaksi
social yang baru yaitu komunikasi verbal. Pada tahap ini, anak-anak juga
mengekspresikan pemikiran-pemikiran mereka dan juga menerima informasi yang
sebelumnya tidak mungkin terjadi.
Pada tahap preoperational thinking ini
terbagi menjadi dua:
a. Pemikiran
prakonseptual ( sekitar 2-4 tahun)
Pada
tahap ini anak-anak mulai membentuk konsep sederhana. Mereka mulai
mengklasifikasikan benda-benda dalam kelompok tertentu berdasarkan
kemiripannya, akantetapi mereka banyak melakukan klesalahan lantaran kensep
mereka.
b. Periode
pemikiran intuitif (sekitar 4-7 tahun)
Pada
tahap ini anak-anak mulai memecahkan masalah secara intuitif, bukan berdasarkan
kaidah-kaidah logika. Ciri yang paling menonjol
dari pemikiran anak pada tahap ini adalah kegagalannya untuk
mengembangkan konservasi. Konservasi adalah kemampuan yang muncul sebai hasil
dari akumulasi anak dengan lingkungan, dan bukan kemampuan yang dapat diajarkan
sampai anak memiliki pengalaman awal.
Pemikiran
praoperasional juga memiliki sejumlah keterbatasan tertentu, sebagai contoh
anak dalam tahap praoperasional menunjukkan egosentrisme praoperasional yaitu
ketidakmampuan memandang situasi dari perspektif orang lain. Egosentris praoperasional terkadang
ditampilkan dalam bentuk percakapan egosentris yaitu ketika anak mengatakan
sesuatu tanpa mempertimbangkan apa yang mungkin diketahui atau tidak diketahui
pendengar terkait suatu topic yang dibicarakan.
3. Tahap
operasional kongkrit (6batau 7 tahun hingga 11 atau 12 tahun)
Menurut
piaget, saat anak-anak memasuki tahap operasional kongkret, proses-proses
berfikir mereka menjadi terorganisasi ke system proses-proses mental yang lebih
besar, operasai yang memudahkan mereka berfikir logis daripada sebelumnya
(Ormond:45).
Pada
tahap ini anak mulai mengembangkan kemampuan untuk mempertahankan konservasi,
kemampuan mengelompokkan secara memadai, melakukan pengurutan ( dari yang
terkecil sampai paling besar dan sebaliknya), dan menangani konsep angka. Akan
tetapi selama tahap ini proses pemikiran diarahkan pada kejadian riil yang
diamati oleh anak. Anak dapat melakukan operasi problem yang agak kompleks
selama problem itu konkret dan tidak abstrak (Olson:320).
4. Tahap
operasional formal (11 atau 12 tahun hingga dewasa)
Pemikiran
anak pada tahap ini sudah semakin logis. Anak dapat menangani situati hipotesis
dan proses berfikir mereka yang tak lagi tergantung hanya pada hal-hal yang
langsung dan riil (ibid).
Anak-anak
dan remaja yang berada dalam tahap ini dapat memikirkan dan membayangkan
konsep-konsep yang tidak berhubungan dengan realitas konkret. Selain itu,
mereka juga mengenali kesimpulan yang logis, sekalipun kesimpulan tersebut
berbeda dari kenyataan dikehidupan sehari-hari (Ormond:47).
Implementasi
teori belajar Piaget
Piaget,
dalam Bringuier, 1980, hlm.
110.
Teori
jean piaget tentang perkembangan
kognitif memberikan batasan kembali tentang kecerdasan, pengetahuan dan
hubungan anak didik dengan lingkungan. Kecerdasan merupakan proses yang
berkesinambungan yang membentukstruktur yang diperlukan dalam interaksi terus
menerus dengan lingkungan. Struktur yang dibentuk oleh kecerdasan, pengetahuan
sangat subyektif waktu masih bayi dan masa kanak-kanak awal dan menjadi objektif
dalam masa awal.
Piaget
juga memberikan proses pembentukan pengetahuan dari pandangan yang lain, ia
meragukan pengalaman fisik atau pengetahuan eksogen, yang merupakan abstraksi
dari ciri-ciri dari obyek,pengalaman logis matematis atau pengetahuan endogen
disusun melalui reorganisasi proses pemikiran anak didik. Struktur tindakan,
operasi kongkrit dan operasi formal dibangun dengan jalan logis- matematis.
Implikasi
teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah:
1.
Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa.
Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara
berfikir anak.
2. Anak-anak akan belajar lebih baik
apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar
dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3. Bahan yang harus dipelajari anak
hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4. Berikan peluang agar anak belajar
sesuai tahap perkembangannya.
5.
Di dalam kelas, anak-anak hendakny adiberi peluang untuk
saling berbicara dan berdiskusi.
Pengaplikasian teori kognitif dalam belajar bergantung pada
akomodasi. Kepada siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia
dapat belajar, karena ia tidak dapat belajar dari apa yang telah diketahui
saja. Dengan adanya area baru, siswa akan mengadakan usaha untuk dapat
mengakomodasikan. Situasi atau area itulah yang akan mempermudah pertumbuhan
kognitif.
Secara
terinci, dibawah ini adalah penerapan teori Piaget terhadap pendidikan di
kelas:
1.
Karena cara berpikir anak itu berbeda-beda dan kurang logis
di banding dengan orang dewasa, maka guru harus dapat mengerti cara berpikir
anak, bukan sebaliknya anak yang beradaptasi dengan guru.
2. Anak belajar paling baik dengan
menemukan (discovery). Artinya disini adalah agar pembelajaran yang berpusat
pada anak berlangsung efektif, guru tidak meninggalkan anak-anak belajar
sendiri, tetapi mereka member tugas khusus yang dirancang untuk membimbing para
siswa menemukan dan menyelesaikan masalah sendiri.
3. Pendidikan disini bertujuan untuk
mengembangkan pemikirananak, artinya ketika anak-anak mencoba memecahkan
masalah, penalaran merekalah yang lebih penting daripada jawabannya. Oleh sebab
itu guru penting sekali agar tidak menghukum anak-anak untuk jawaban yang
salah, tetapi sebaliknya menanyakan bagaimana anak itu member jawaban yang
salah, dan diberi pengertian tentang kebenarannya atau mengambil
langkah-langkah yang tepat untuk menanggulanginya.
4.
Guru dapat menemukan menemukan dan menetapkan
tujun pembelajaran materi pelajaran atau pokok bahasan pengajaran tertentu.
Slavin : implikasi dari teori Piaget dalam pembelajaran :
1. Memfokuskan pada proses berfikir atau proses mental anak
tidak sekedar pada produknya. Di samping kebenaran jawaban siswa, guru harus
memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut.
2. Pengenalan dan pengakuan atas
peranan anak-anak yang penting sekali dalam inisiatif diri dan keterlibatan
aktif dalam kegiatan pembelajaran. Dalam kelas piaget, penyajian materi jadi
(ready made) tidak diberi penekanan, dan anak-anak didorong untuk menemukan
dirinya sendiri melalui interaksi spontan dengan lingkungan.
3. Tidak menekankan pada
peraktek-peraktek yang diarahkan untuk menjadikan anak-anak seperti orang
dewasa dalam pemikirannya.
4. Penerimaan terhadap perbedaan individu
dalam kemajuan perkembangan, teori piaget mengasumsikan bahwa seluruh anak
berkembang melalui urutan perkembangan yang sama namun mereka memperolehnya
dengan kecepatan yang berbeda.
Anak yang memiliki kecerdasan rendah akan bermain dg orang
yang lebih muda, sedangkan anak yang memiliki kecerdasan tinggi lebih suka
bermain dengan orang yang lebih dewasa.
BAB 9
TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF VYGOTSKY
Ummil Atiqoh, Inayatul Ilmiyah, Dwi Nofika Sari, Azzahra Lani Chabibah A.
Latar Belakang Teori Vygotsky
Sejarah
hidup Lev Vygotsky bermula ketika beliau dilahirkan pada tahun 1896 dan
meninggal dunia pada tahun 1934. Beliau merupakan seorang psikologi berbangsa
Rusia. Beliau juga seorang guru dan sarjana sastera. Beliau mendapatkan
pendidikan awal dari ibunya sendiri yang merupakan seorang guru dan mempunyai
seorang tutor peribadi yang bernama Solomon Ashpiz. Beliau turut mendapat
pengaruh dari sepupunya David Vygotsky. Beliau meneruskan pengajian sekolah
menengahnya di sebuah sekolah persendirian. Menamatkan pengajian sekolah
menengahnya dengan anugerah medal emas. Beliau menamatkan pengajian di Moscow
State University pada 1917. Setelah tamat pengajian, beliau bekerja di beberapa
tempat. Antaranya ialah Institut Psikologi pada pertengahan 1920 dan di
beberapa pusat pendidikan di Moscow, Lerningrad dan Kharkow di mana beliau
bekerja keras menyatakan ideanya tentang perkembangan kognitif.
Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan
dalam pembelajaran. Lingkungan sekitar siswa meliputi orang-orang, kebudayaan,
termasuk pengalaman dalam lingkungan tersebut. Orang lain merupakan bagian dari
lingkungan (Taylor, 1993), pemerolehan pengetahuan siswa bermula dari lingkup
sosial, antar orang, dan kemudian pada lingkup individu sebagai peristiwa internalisasi
(Taylor, 1993). Vygotsky menekankan pada pentingnya hubungan antara individu
dan lingkungan sosial dalam pembentukan pengetahuan yang menurut beliau, bahwa
interaksi sosial yaitu interaksi individu tersebut dengan orang lain merupakan
faktor terpenting yang dapat memicu perkembangan kognitif seseorang. Vygotsky
berpendapat bahwa proses belajar akan terjadi secara evisien dan efektif
apabila anak belajar secara kooperatif dengan anak-anak lain dalam suasana dan
lingkungan yang mendukung (supportive), dalam bimbingan seseorang yang lebih
mampu, guru atau orang dewasa.
Asumsi – Asumsi Dasar Vygotsky
Vygotsky meyakini bahwa orang-orang dewasa dimasyarakat mendorong
perkembangan kognitif anak secara sengaja dan sistmatis. Orang dewasa secara
bersianambung melibatkan anak-anak dalam aktivitas-aktivitas yang bermankna dan
menantang, dan membantu mereka melakukan aktivitas-aktivitas tersebut dengan
sukses. Vygotsky menekankan pentingnya masyarakat dan budaya dalam mendorong
pertumbuhan kognitif sehingga teorinya terkadang disebut sebagai persektif sosiokultural (sociocultural persperctive).
Asumsi-asumsi utama ini menyajikan rangkuman perspektef ini:
1.
Melalui
percakapan informal dan sekolah formal , orang-orang dewasa menyampaikan kepada
anak bagaimana kebudayaan mereka menafsirkan dan menanggapi dunia.
Vygotsky
mengemukakan bahwa saat berinteraksi dengan anak-anak, orang dewasa membagikan
makna (meanings) yang mereka lekatkan pada objek, peristiwa, dan secaralebih
umum, ke pengalaman manusia. Dalam proses tersebut, mereka mengubah, atau
memediasi, situasi-situasi yang dijumpai anak. Makna-makna tersebut disampaikan
melalui beragam mekanisme, diantaranya bahasa (bahsa lisan, tulisan),
simbol-simbol matematika, kesenian, musik, literatur, dan sebagainya.
Percakapan-percakapan
informal adalah metode yang lazim dipergunalan orang dewasa untuk menyampaikan
cara-cara menafsirkan situasi sesuai budaya yang berlaku. Namun yang lebih
penting lagi adalah pendidikan formal, yang menjadi sarana para guru untuk
secara sistematis menanamkan gagasan gagasan, konsep-konsep, dan terminologi
terminologi yang digunakan dalam beragam disiplin akademik. Kebudayaan secara spesifik menanamkan konsep-konsep, gagasan-gagasan, dan
keyakinan-keyakinan yang unik; dengan demikian anak-anak yang berasal dari
latar belakang kebudayaan yang berbeda akan mendapatkan pengetahuan,
keterampilan dan cara berpikir yang berbeda pula. Teori vygotsky mendorong kita
mengantisipasi adanya keragaman pada anak-anak, setidaknya dalah hal
perkembangan kognitif.
2.
Setiap
kebudayaan menanamkan perangkat-perangkat fisik dan kognitif yang menjadikan
kehidupan sehari-hari semakin produktif dan efisien.
Orang dewasa
tidak hanya mengajari anak-anak cara-cara spesifik menafsirkan pengalaman,
tetapi juga sejumlah perangkat (tools) spesifikyang dapat membantu anak
mengatasi berbagai
tugas dan permasalahan yang dihadapinya. Sejumlah perangkat misalnya (gunting,
mesin jahit, dan komputer) adalah objek fisik. Ada pula
perangkat-perangkat lain (seperti strategi mempelajari buku pelajaran atau
menghitung uang kembalian dalam benak) yang tidak memiliki landasan fisik
apapun. Sejumlah perangkat lain misalnya ( sistem menulis,
peta, dan spreadsheet) melibatkan simbol sekaligus entitas fisik. Dalam
pandangan Vygotsky, keberhasilan memperoleh perangkat-perangkat yang bersifat
simbolik atau mental -perangkat-perangkat kognitif (cognitive
tools)- secara signifikan meningkatkan kemampuan berfikir anak.
3.
Pemikiran
dan bahasa menjadi semakin saling tergantung dalam beberapa tahun pertama
kehidupan .
Satu alat
yang kognitif sangat penting adalah bahasa . Bagi kita sebagai orang dewasa, pemikiran dan bahasa saling berhubungan. Selain itu, biasanya kita
mengungkapkan pikiran kita ketika kita berkomunikasi dengan yang lain , Pada
tahun-tahun awal kehidupan , berpikir terjadi secara independen dari bahasa ,
dan ketika bahasa muncul , itu pertama kali digunakan terutama sebagai sarana
komunikasi bukan sebagai mekanisme pemikiran . Tapi kadang-kadang sekitar usia
2 tahun , pemikiran dan bahasa menjadi saling terkait : Anak mulai untuk
mengungkapkan pikiran mereka ketika mereka berbicara, dan mereka mulai berpikir
dari segi kata-kata . Ketika berpikir dan berbahasa , anak-anak sering
berbicara untuk diri mereka sendiri dan dalam melakukan jadi mungkin tampak
berbicara dalam ” egosentris ” cara jelas Piaget.
Dalam
pandangan Vygotsky , seperti self-talk ( juga dikenal sebagai pidato
pribadi ) memainkan peran penting dalam perkembangan kognitif . Dengan
berbicara kepada diri mereka sendiri , anak-anak belajar untuk membimbing dan
mengarahkan perilaku mereka sendiri melalui tugas yang sulit dan manuver yang
kompleks dalam banyak cara yang sama bahwa orang dewasa telah membimbing mereka
sebelumnya. Self-talk akhirnya berkembang menjadi inner speech , di mana
anak-anak berbicara sendiri lewat mental bukan lewat suara . Artinya , mereka
terus mengarahkan diri secara verbal melalui tugas dan kegiatan , tetapi yang
lain tidak bisa lagi melihat dan mendengar yang mereka melakukan.
4. Proses mental yang Kompleks bermula
sebagai aktivitas-aktivitas social seiring perkembangan, anak-anak secara berangsur-angsur
menginternalisasikan proses-proses yang mereka gunakan dalam konteks-konteks
social dan mulai menggunakannnya secara independen.
Vygotsky mengemukakan bahwa banyak proses berpikir yang kompleks berakar pada
interaksi social ini. Saat anak memperbincangkan
berbagai objek, peristiwa dan masalah dengan orang dewasa atau individu-indivu
berpengetahuan- seringkali dalam konteks aktivitas sehari-hari, anak-anak
secara berangsur-angsur mengagabungkan kedalam pikiran mereka, cara orang-orang
disekelilingnya membicarakan dan menafsirkan dunia, dan juga mulai menggunakan
kata, konsep, symbol, dan strategi pada dasarnya, perangkat yang lazim dalam
budaya mereka.
Proses
berkembangnya aktivitas-aktivitas social menjadi aktivitas-aktivitas mental internal
disebut internalisasi (internalization).
Proses pergerakan dari self talk ke inner speech. Seiring waktu anak
perkahan-lahan menginternalisasikan arahan orang dewasa sehingga pada akhirnya
mereka memberikan arahan kepada diri mereka sendiri. Meski demikian camkanlah
bahwa anak-anak tidak selalu menginternalisasikan secara tepat apa yang mereka
lihat dan dengar dalam konteks social. Tidak semua proses mental muncul saat
nak berinteraksi dengan orang dewasa: beberapa proses mental berkembang saat anak
berinteraksi dengan rekan sebayanya.
5.
Anak-anak dapat menyelesaikan tugas-tugas lebih sulit ketika mereka
memiliki bantuan dari banyak orang yang lebih paham/pandai dan kompeten dari
diri mereka .
Vygotsky
membedakan dua jenis kemampuan yang mencirikan kemampuan anak-anak pada
segala tahap perkembangan. Tingkat Perkembangan Aktual (Actual
Developmental Level) adalah batas atas tugas yang dapat dikerjakan anak
secara independen, tanpa bantuan orang lain. Tingkat Perkembangan
Potensial (Level Of Potential Development) adalah batas atas
tugas yang dapat dikerjakan anak dengan bimbingan seorang individu yang lebih
kompeten. Dalam rangka memperoleh pemahaman yang sejati mengenai perkembangan
kognitif anak, saran Vygotsky, kita seharusnya menilai (assess) kemampuan-kemampuan
mereka saat mereka bekerja sendiri ataupun saat dibimbing orang lain.
6. Tugas Menantang mendorong
pertumbuhan kognitif yang maksimal.
Berbagai
tugas bahwa anak-anak belum biasa melakukan secara mandiri tetapi dapat
melakukan dengan bantuan dan bimbingan dari orang lain , di terminologi
Vygotsky, zona perkembangan proksimal ( ZPD) ( lihat Gambar berikut ) . ZPD
Seorang anak termasuk belajar dan kemampuan pemecahan masalah yang baru mulai muncul dan mengembangkan kemampuan secara matang .ZPD setiap anak akan
berubah seiring waktu . sebagai beberapa tugas yang dikuasai, yang lebih
kompleks akan muncul untuk menyajikan tantangan baru . Singkatnya , itu adalah
tantangan dalam hidup , daripada keberhasilan mudah, yang mempromosikan
perkembangan kognitif .
Gambar 1.1
Tugas di zona anak perkembangan proksimal (ZPD) mempromosikan pembelajaran maksimal dan pertumbuhan kognitif.
Tugas di zona anak perkembangan proksimal (ZPD) mempromosikan pembelajaran maksimal dan pertumbuhan kognitif.
7. Bermain memungkinkan anak-anak untuk
” meregangkan “ kognitif sendiri.
Dalam bermain anak selalu berperilaku melampaui rata-rata
usianya, di atas perilaku sehari-hari, dalam bermain itu seolah-olah dia adalah
kepala lebih tinggi dari dirinya sendiri ” ( Vygotsky , 1978, hlm.102) Selain
itu, karena anak-anak bermain, perilaku mereka harus mengikuti standar atau
harapan tertentu. Pada tahun-tahun awal sekolah dasar , anak-anak sering
bertindak sesuai dengan bagaimana seorang ayah,guru,atau pelayan akan
berperilaku. Dalam pertandingan grup terorganisir dan olahraga yang datang
kemudian, anak-anak harus mengikuti set spesifik aturan. Dengan berpegang pada
batasan tertentu pada perilaku mereka, anak-anak belajar untuk merencanakan ke
depan , untuk berpikir sebelum bertindak, dan untuk terlibat dalam menahan diri
- keterampilan yang penting untuk partisipasi sukses di dunia orang. (Ormrod, 2008:55)
Terjadinya Perkembangan
Teori vygotsky mengatakan bahwa
pembelajaran mendahului perkembangan, bagi vygotsky pembelajaran melibatkan
perolehan tanda-tanda melalui pengajaran dan informasi dari orang lain.
Perkembangan melibatkan penghayatan anak terhadap tanda-tanda ini sehingga sanggup
berpikir dan memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain. Kemampuan ini di
sebut pengaturan diri (self-regulation).
Tahap pertama pada perkembangan
pengaturan diri dan pemikiran mandiri ialah mempelajari bahwa tindakan dan
suara mempiunyai makna. Misalnya, seorang bayi belajar bahwa proses menarik
suatu objek ditafsirkan oleh orang lain sebagai isyarat bahwa bayi itu
menginginkan objek tersebut. Dalam kasus pengusahaan bahasa, anak-anak belajar
menghubungkan suara tertentu dengan makna. Tahap kedua pada perkembangan
struktur perkembangan internal dan pengaturan diri melibatkan praktik. Bayi
tersebut melatih gerakan tubuh yang akan memperoleh perhatian. Anak-anak
prasekolah akan terlibat kedalam percakapan dengan orang lain agar dapat
mengusai bahasa. Tahap terakhir melibatkan pengunaan tanda untuk berpikir dan
memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain. Pada saat ini, anak-anak akhirnya
mandiri dan sisitem tanda telah dihayati.
a.
Percakapaan
pribadi
Percakapan
pribadi (private speech) adalah mekanisme yang ditekankan vygotsky untuk
mengubah pengetahuan bersama menjadi pengetahuan pribadi. Vygotsky berpendapat
bahwa anak-anak menyerap percakapan orang lain dan kemudian mengunakan
percakapan itu untuk membantu diri sendiri memecahkan masalah. Percakan pribadi
mudah dilihat pada diri anak-anak kecil, yang sering berbicara dengan diri
sendiri, khususnya ketika dihadapkan dnegan kasus yang sulit. Kemudian
percakapan pribadi akhirnya berlangsung tanpa suara tetapi masih sangat
berperan penting. Studi telah menemukan bahwa anak-anak yang melakukan banyak
pengunaan percakapan pribadi mempelajari tugas yang rumit dengan lebih efektif
daripada anak-anak lain.
b.
Zona
perkembangan proksimal
Teori
vygotsky menyiratkan bahwa perkemabnagan kognisi dan kemampuan menggunakan
pemikiran untuk mengendalikan tindakan kita sendiri terlebih dahulu memerlukan
penguasaan system komunikasi budaya dan kemudian belajar menggunakan system ini
untuk mengatur proses pemikiran kita sendiri. Sumbangan terpenting teori
vygotsky ialah penekanan pada hakikat pembelajaran sosiobudaya, dia percaya
bahwa pembelajaran terjadi ketika anak-anak bekerja dalam zona perkembangan
proksiamal (zona
of proximal development; proximal= berikutnya) mereka. Tugas-tugas dalam
zona perkembangan proksimal adalah sesuatu yang masih belum dapat dikerjakan
seorang anak sendirian tetapi benar-benar dapat dikerjakan dengan bantuan teman
yang lebih kompeten atau orang dewasa. Maksudnya, zona perkembangan proksimal
menjelaskan tugas yang masih belum dipelajari seorang anak tetapi sanggup dia
pelajari pada waktu tertentu. Beberpqa pendidik menyebut “saat pengajaran” (teachable moment) ketika seorang anak
atau sekelompok anak berada tepat pada titik kesiapan untuk menerima konsep
tertentu. Vygotsky lebih jauh percaya bahwa keberfungsian mental yang lebih
tinggi biasanya terjadi pada percakapan dan keja sama antar-orang sebelum hal
itu terjadi pada diri individu.
c.
Pentanggaan
Gagasan
kunci yang berasal dari pendapat vygotsky tentang pembelajaran social ialah
pentanggaan (scaffolding; scaffold=tangga
untuk pijakan tukang batu ketika membangun tembok) bantuan yang disedikan teman
yang lebih kompeten atau orang dewasa. Lazimnya, pentanggan berarti menyediakan
banyak dukungan kepada seorang anak selama tahap-tahap awal pembelajaran dan
kemudian mengurangi dukungan dan meminta anak tersebut memikul tanggung jawab
yang makin besar begitu dia sanggup. Orang tua mengunakan pentanggan ketika
mereka mengajari anak mereka menggunakan permainan baru atau ketika mengikat
laki sepatunya. Konsep terkait ialah pemangangan kognisi, yang menjelaskan
keseluruhan proses percontohan, pembimbingan, pentanggaan, dan evaluasi yang
lazim terlihat setiap kali berlangsung pengajaran perorangan. Misalnya, dalam life on the Mississippi, mark twain
menjelaskan bagaimana ia diajari menjadi pengemudi kapal uap. Pertama-tama
pengemudi yang sudah berpengalaman memberitahukan kepadanya setiap tikungan
disungai tersebut, tetapi secara bertahap dia dibiarkan memikirkan sendiri
segala sesuatu dan pengemudinya akan campur-tangan hanya jika kapal itu akan
kandas.
d. Pembelajaran kooperatif
Teori-teori vygotsky mendukung pengguanaan strategi
pembelajaran kooperatif yang distu anak-anak bekerja sama untuk membantu
belajar satu sama lain, karena biasanya teman sebaya bekerja dalam zona
perkemabangan proksiamal anak yang lain, mereka sering menjadi contoh bagi anak
yang lain tentang tentang pemikiran yang sedikit lebih maju. Selain itu,
pembelajaran kooperatif memungkinkan percakapan batin anak-anak tersedia bagi
yang lain, sehingga mereka dapat memperoleh pemahaman tentang proses penalaran
satu sama lain. Maksudnya, anak-anak memperoleh manfaat dengan mendengar
“pemikiran lantang” (Thinking out loud)
satu sama lain, khususnya ketika teman kelompok mereka berbicara dengan diri
sendiri dalam menghadapi suatu soal. Vygotsky (1978) Mengakui besarnya manfaat
interaksi teman sebaya untuk memajukan pemikiran anak-anak bersangkutan. (Slavin, 2001:
)
Telaah Islam Terhadap Teori Perkembangan Bahasa Lev
Vygotsky
Setiap
manusia tidak pernah lepasdari bahasa. Setiap saat, setiap hari, setiap jam, bahkan sampai
setiap detik, kita tidak
pernah lepas dari bahasa. Karena
bahasa
adalah alat utama dalam komunikasi,
baik dengan orang lain, maupun
dengan diri sendiri. Oleh
karenanya,
mempelajari perkembangan
bahasa
sangatlah penting. Perkembangan
bahasa telah dirumuskan
dalam beberapa teori diantaranya
adalah Lev Vygotsky. Vygotsky
sangat dikenal sebagai seorang
ahli
psikologi pendidikan yang
memperkenalkan
teori sosio budaya.
Teori yang
dinyatakan oleh Vygotsky ini
merupakan
teori gabungan antara kognitif
dengan sosial. Teorinya ini juga
menyatakan
bahwa perkembangan kanak-kanak
bergantung kepada interaksi
kanak-kanak dengan orang ada
di
sekitarnya yang menjadi alat
penyampaian
sesuatu budaya yang membantu
mereka membina pandangan
tentang
sekelilingnya. Menurut
Lev Vygotsky, perkembangan
bahasa sangatlah penting
dalam
perkembangan kognitif anak.
Berbeda
sekali dengan pendapat Piaget
yang
mengatakan bahwa bahasa baru
muncul
ketika anak sudah mencapai
tahap
perkembangan yang sudah lebih
maju.
Sehingga menurut Piaget,
perkembangan
kognitif mempengaruhi perkembangan
bahasa anak. Teori
perkembangan bahasa yang dikemukakan oleh Vygotsky patut untuk dipelajari sebagai
bagian dari khazanah kajian
psikologi perkembangan. Namun,
kita
sebagai umat Islam patut untuk
mengkaji
kembali tentang teori ini bila
ditelaah
dari sudut pandang Islam. Kita
perlu
mengkaji ulang konsepsi sosio kultural Vygotsky
dengan mengkomparasikan
dengan konsepsi dasar
Islam sebagaimana yang terdapat
dalam
AlQuran dan Hadits. Dengan
harapan
nantinya dapat mengetahui
korelasi
antara konsepsi sosio kultural Vygotsky dengan
konsepsi dasar Islam yang
sama-sama memperhatikan pendidikan
dari segi lingkungan sosial budaya dan supaya menjadi
landasan dan pegangan
dalam proses belajar dan
pembelajaran.
Perspektif
Sosio kultural Perkembangan kognitif
manusia juga ditentukan
dari lingkungan dimana ia
tinggal.
Pentingnya lingkungan dalam
perkembangan
kognitif terlihat dari banyaknya
ayat-ayat Al-Qur’an yang
menyuruh
manusia untuk belajar dari alam
semesta.
Misalnya :“Sesungguhnya dalam penciptaan
langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di
laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari
langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati
(kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran
angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat)
tanda-tanda (keesaan
dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”.( Al-Baqarah : 164) Dan mengapa
mereka tidak memikirkan tentang
(kejadian) diri mereka? Allah tidak
menjadikan
langit dan bumi dan apa yang ada
di
antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan.
Dan sesungguhnya
kebanyakan di antara manusia
benar-benar
ingkar akan pertemuan dengan
Tuhannya.
(Ar-Rum : 8)
Dengan demikian lingkungan merupakan faktor penting yang
memengaruhi perkembangan
kognitif siswa. Seperti dikemukakan
oleh Yustiana (2002, Saomah,
2011) Vygotsky
juga mengembangkan konsep
Zone of proximal development (ZPD).
Manusia memiliki
seperangkat tugas yang terlalu
rumit
yang hanya dapat dikuasai bersama
dengan
bimbingan dan dorongan dari
pasangan
yang lebih berpengalaman. Dalam
zona
ini, dapat diberikan pengajaran yang
tepat
waktu yang dapat mendorong
perkembangan
kognitif.
Islam
mengajarkan sesorang untuk
bertanya
pada nara sumber yang tepat
sebagai
salah satu cara untuk memahami
berbagai
ilmu pengetahuan.“Kami tiada mengutus
Rasul Rasul sebelumkamu (Muhammad), melainkan beberapa
orang-laki-laki
yang kami beri wahyu kepada mereka,
Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang
yang berilmu, jika kamu tiada Mengetahui”( Al-Anbiya’ : 7) Narasumber merupakan
salah satu pasangan
yang lebih berpengalaman yang
dapat
membantu menyelesaikan tugas yan
gsulit.
Orang yang leih ahli dapat melakukan
tanggapan
interaktif atau membuka hal-hal
yang
baru dipelajari. Perkembangan
Bahasa Kemampuan
berbahasa merupakan kemampuan
manusia yang membedakan dengan
makhluk lain. Bahasa manusia
sangat
fleksibel dan produktif. Dari sejumlah suara yang secara tunggal tidak ada
artinya, seseorang
dapat menghasilkan ribuan
susunan
atau pola auditorik yang memiliki
arti.
Bahasa juga merupakan alat penemuan
untuk
mengekspresikan pikiran dan
interpretasi
dari apa yang dilihat, didengar,
atau
dialami.Al-Quran menggambarkan bahwa
kemampuan
manusia dalam berbahasa membuat
manusia memiliki kelebihan
dibandingkan
malaikat. Sebagaimana firman
Allah
dalam Surat (Al-Baqarah:30-33:30). Ingatlah
ketika Tuhanmu berfirman
kepada
para malaikat: "Sesungguhnya Aku
hendak
menjadikan seorang khalifah di mukabumi." mereka berkata: "Mengapa
Engkau hendak
menjadikan (khalifah) di bumi itu orang
yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah,
padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan
mensucikan
Engkau?"Tuhan berfirman:"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang
tidak
kamu ketahui."31. Dan dia mengajarkan
kepada Adam nama-nama
(benda-benda) seluruhnya. Kemudian
mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamangbenar
orang-orang yang benar!"32. Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau,
tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah
Engkau ajarkan kepada Kami;
Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui
lagi Maha Bijaksana”33. Allah berfirman: "Hai Adam,
beritahukanlah
kepada mereka nama-nama benda
ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama
benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan
kepadamu,
bahwa Sesungguhnya Aku mengetahui
rahasia langit dan bumi dan mengetahui
apa yang kamu lahirkan dan apa yang
kamu sembunyikan? "Bahasa
merupakan pengetahuan yang
paling
abstrak yang dimiliki oleh manusia,
namun
anak–anak pada semua
budaya terlihat telah memahami dan menggunakannya sebagai alat komunikasi
pada usia yang sangat
dini. Beberapa bayi telah dapat
berbicara
sebelum berjalan. Hal ini
menunjukkan
kemampuan manusia yang tinggi
dalam penggunaan dan pengelolaan
bahasa
adalah sepenuhnya untuk mengekspresikan
pikirannya. Perkembangan
bahasa manusia terlihat sebagai
interaksi antara hasil belajar dan
kemampuan
alamiah individu. Dari sudut
faktor
belajar, bayi yang telah lahir terutama mempelajari bahasa dengan cara meniru orang lain berbicara
dan kemudian ia akan mendapatkan
penguatan untuk penggunaan
bahasa
yang tepat. Orang tua berbicara
dalam
bahasa yang sederhana dan singkat
dengan
suara jelas yang terkadang repetitif
kepada
anak, membentuk suara primitif pada
anak
yang berupa ajaran yang belum
memiliki
tata bahasa yang benar. Dalam
melakukan
peniruan, anak memiliki kemampuan
untuk melakukan observasi
yang
cukup baik yang memungkinkan mereka secara bertahap memahami tata bahasa dari kalimat
yang ditirunya, meskipun
orang tua jarang melakukan
penguatan
terhadap penggunaan tata bahasa
anak. Kemampuan manusia dalam
menguasai bahasa
berbeda-beda. Ada yang memiliki
kualitas
yang baik dan ada yang tidak, sesuai
tingkat
pengetahuan bahasa yang dimiliki.
Al-Quran
menggambarkan perbedaan kualitas
tersebut dengan memperhatikan
bahwa
Al-Quran merupakan kitab dengan
kualitas
bahasa yang baik. Sebagaimana
tersebut
dalam Surat Al- Nahl : 103. Dan Sesungguhnya kami mengetahui bahwa mereka
berkata: "Sesungguhnya Al
Quran itu diajarkan oleh
seorang manusia kepadanya (Muhammad)".
Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan
(bahwa) Muhammad
belajar kepadanya bahasa
'Ajam,
sedang Al Quran adalah dalam
bahasa
Arab yang terang. Untuk
menguasai bahasa dengan
baik, manusia harus menggunakan
kemampuannya untuk mempelajari
bahasa. Al-Quran mengajarkan
bahwa Allah mengajarkan
manusia agar dapat menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, baik bahasa
lisan maupun
tulisan. Surat Al-Rahman 3-43. Dia menciptakan manusia. 4. Mengajarnya pandai berbicara. Dengan bahasa,
seseorang dapat mengusai
hikmah dan ilmu pengetahuan.
Keterampilan menggunakan
bahasa dikuasai secara berangsur-angsur.
Kemajuan seseorang
dalam mempelajari bahasa
terlihat
dari perkembangan kemampuan
bahasa yang dimiliki. Perkembangan
bahasa sudah dimulai dari
awal kehidupan. Bayi telah
dipersiapkan
dengan baik dalam belajar
bahasa. Selama tahap pralinguistik
(prelinguistic phase), mereka
dengan mudah membedakan suara
yang mirip percakapan dan
lebih
sensitif terhadap berbagai
variasi
bunyi bahasa daripada orang
dewasa.
Mereka sensitif terhadap
isyarat
intonasi dari awal dan pada
usia
7-10 bulan dapat melakukan
segmentasi
dari bunyi percakapan kedalam frasa atau unit seperti kata. Bayi mulai mengeluarkan
suara mendengkur
pada usia 2 bulan dan mulai
mengoceh pada usia 4 sampai
6
bulan. Kemudian, dalam tahun
pertama
bayi dapat memasangkan intonasi
dari ocehan mereka sesuai
dengan
kualitas nada dari bahasa
yang
mereka dengar dan dapat menghasilkan
perbendaraan bahasa sendiri
untuk makna tertentu. Meskipun
bayi yang belum berumur 1
tahun dapat memahami sedikit
makna
kata, dan juga mungkin kata-kata singkat, mereka telah belajar bahwa orang bergiliran
dalam mengucapkan
suara dan memberikan isyarat
yang digunakan dalam berkomunikasi
dengan lawan berbicaranya.
Ketika bayi telah memahami
kata-kata, bahasa reseptif
(receptive
language) mereka lebih dahulu
berkembang daripada bahasa
produktif
(produktive language).
Dalam
perkembangan, ada beberapa
pendekatan
yang digunakan untuk mengetahui
seperti apa keonsep perkembangan
tersebut. Dalam modul ini
pendekatan yang digunakan berupa
pendekatan
perkembangan yang dilihat
dari
sudut pandang teori Lev
Vygotsky terkait
dengan perkembangan bahasa
yang
dihubungkan dengan kemampuan
kognitif
manusia. Setelah
dibahas perkembangan teori
dari
Lev Vygotsky dilihat dari kacamata
Islam,
diharapkan kontribusi positif
terutama
bagi penyusun dan umumnya
bagi
pembaca untuk terus memaksimalkan
potensi peserta didik, karena
potensi peserta didik bersifat
tentative
dan semakin berkembang spektakuler
apabila diberikan stimulus
yang
tepat. Diharapakan
dengan adanya modul ini
dapat menambah wawasan tentang
kajian
perkembangan bahasa manusia.
Sehingga
dapat digunakan dalam pembelajaran
untuk membentuk manusia yang
insan kamil.
Ø Perkembangan Kognitif Sosial-Budaya Vygotsky
Menurut piaget perkembangan kognitif anak terdiri dari
empat periode utama yaitu , periode sensorimotor, pra-operasional, operasi
konkret, dan operasi formal. Piaget menyatakan bahwa bahwa perkembangan mempunyai
dukungan di dalam tujuan, sebaliknya vygotsky percaya bahwa perkembangan adalah
suatu proses yang harus dianalisis sebagai suatu produk yang akan dicapai.
Proses perkembanganyang dimulai sejak kelahiran hingga kematian merupakan suatu
hal yang kompleks yang tidak dapat
digambarkan dalam pentahapan secara sederhana. (Thalib:2007)
Vygotsky percaya bahwa hidup merupakan proses
perkembangan dan hal ini sangat tergantung pada interaksi sosial dan belajar
sosial itu secara actual berpengaruh terhadap perkembangan kognitif. Vygostky
menjelaskan bahwa jarak antara tingkat perkembangan aktual ditentukan oleh
pemecahan masalah secara independen dan tingkat perkembangan potensi ditentukan
melalui pemecahan masalah melalui kolaborasi antara guru pembimbing dan arahan
orang dewasa dan atau antar teman sebaya yang lebih mampu. Dengan kata lain,
seorang anak dapat melaksanakan suatu tugas dibawah bimbingan orang dewasa atau
kerja sama dengan teman sebaya yang lebih mampu. (Thalib:2007)
Perkembangan kognitif menurut vgotsky dipengaruhi oleh
faktor budaya. Vgostky memandang bahwa interaksi sosial berperan secara
fundamental dalam perkembangan kognitif. Vygotsky menyatakan bahwa setiap
fungsi perkembangan budaya berpengaruh terhadap perkembangan anak pada level
sosial dan individual. Pada level sosial , anak berinteraksi dengan dunia
sekitarnya, saling pengaruh antarasatu dengan lainnya (interpsikologis), dan
pada level individual , aspek psikologis berpengaruh terhadap perkembangan anak
(intrapsikologis). (Thalib:2007)
Menurut pandangan vygotsky, interaksi dengan teman
sebaya perancah (scaffolding), dan modeling faktorpenting yang
memfasilitasi perkembangan kognitif dan pemerolehan pengetahuan individu,
termasuk dalam perkembangan bahasa, memang pada awalnya teori vygotsky diapalikasikan
dalam ZDP dapat menyusun dari tingkat keahlian individu yang berbeda. ZDP
bertujuan mendukung pembelajaran secara intensional. (Thalib:2007)
Scaffolding adalah
mekanisme pendukung yang membantu seorang pembelajar untuk berhasil
menyelesaikan suatu tugas dalam zona perkembangan proksimalnya. Vygotsky
mendefinisikan ZDP sebagai suatu daerah aktivitas dimana individu dapat
melayari dengan bantuan orang dewasa , teman sebaya yang lebih mampu atau
artefak-artefak. ZDP tergantung pada interaksi sosial, pengaruh orang dewasa
dan atu kolaborasi anak dengan teman sebaya. (Ormord : 2009)
Teori sosiokultural vygotsky menekankan pentingnya
perkembangan kecerdasan atau intelegensi melalui cultural atau masyarakat,
perkembangan individu terjadi melalui dua tahap, yaitu dimulai dengan
pertukaran sosial antar pribadi (interaksi dengan lingkungan sosial), kemudian
terjadi internalisasi interpersonal. Selanjutnya, ketrampilan individu dapat
dikembangkan melalui interaksi individu dengan bantuan atau bimbingan orang
dewasa dan kolaborasi dengan teman sebaya. Teori sosiokultural vygotsky pada
awalnya diaplikasikan dalam konteks belajar bahasa bagi anak. Namun, kemudian
diaplikasikan dalam konteks perkembangan kognitif dan proses belajar secara
lebih luas. (Ormord : 2009)
Vygotsky berupaya menjelaskan sebagai hasil akhir
proses sosialisasi. Sebagai contoh, dalam pelajaran bahasa, ucapan yang pertama
dikenal melalui lingkungan sosial. Berdasar sosiokultural vygotsky, Miler
(1995) melalui studi etnografi untuk menguji konteks sosial melalui forum
diskusi dalam literature bahasa inggris. Hasil eksperimen menunjukkan
perkembangan kognitif siswa melalui interaksi sosial. (Thalib:2007)
Menurut vygotsky bahasa berperan penting dalam perkembangan kognitif.
Perkembangan bahasa meliputi empat tahap yaitu tahap pra-intelektual, psikologi
naïf, bahasa egoisentris, dan bahasa internal (Inner Speech). Bahasa
pra-intelektual mengacu pada proses dasar (elementary process) termasuk
tangisan, mendengkur, celoteh, gerak-gerik
fisik, secara biologis dan bertahap mengarah pada perkembangan bahasa
dan perilaku yang lebih kompleks. (Ormord : 2009)
Implikasi Teori
Vygotsky
Implikasi teori Vygotsky banyak
diterapkan di dalam pendidikan. Konsep sociocultural ini lebih menekankan pada
pembelajaran aktiv, artinya antara guru dan murid saling berkolaborasi untuk
mencari solusi dalam tugas sekolahnya. Peran guru dalam kelas adalah memberi
panduan sesuai dengan instruksi dalam aktivitas pembelajaran, dengan adanya
petunjuk atau instruksi akan berguna untuk mengajar anak sesuai dengan
kemampuannya. Setelah itu guru memonitor kemajuan pelajar, dan kemudian secara
berangsur-angsur menyerahkan lebih banyak aktivitas kepada murid. Peran guru
pada saat itu hanya menyusun latihan-latihan cooperative/ collaborative
learning, dimana siswa saling berkerjasama, dengan instruksi yang mereka
terima dari teman sebaya yang lebih mahir dari mereka akhirnya akan ditemukan
solusi selain itu juga dengan bermain peran sebagai guru. (Palinscar, Brown,
& Campione, 1993).
Pendekatan pembelajaran
Sociocultural menjadi suatu strategi pendidikan yang efektif dilakukan. Dalam
penelitianya Lisa Freund (1990), Ia melakukan simulasi dimana anak 3 sampai 5
tahun membantu sebuah boneka untuk memutuskan perabot mana (seperti, dipan,
tempat tidur, bathtub, dan kompor) yang harus ditempatkan pada setiap ruang
dari enam ruang dalam sebuah rumah boneka. Pertama-tama, anak-anak diuji untuk
menentukan apa yang telah mereka ketahui tentang penempatan mebel yang sesuai.
Kemudian masing-masing anak bekerja pada tugas serupa, sendiri maupun dengan
ibunya. Untuk menilai apa yang telah mereka mempelajari, anak-anak mengerjakan
tugas akhir, yang agak kompleks, yaitu sorting mebel. Hasilnya jelas. Anak-anak
yang telah mensortir mebel dengan bantuan dari ibu mereka menunjukkan
peningkatan dramatis dalam kemampuan penyortiran, sedangkan mereka yang
melakukannya sendiri menunjukkan sedikit peningkatan, walaupun mereka telah
menerima beberapa koreksi dari experimenter.
Contoh lain, misalnya saat teman
sebaya bekerja sama pada masalah rumit yang melibatkan perencanaan dan
penggunaan strategi, mereka cenderung tidak berbicara sebanyak yang dilakukan
orang dewasa, pasif, tidak dinamis ,kaku yang memperhatikan koordinasi tindakan
mereka (misalnya, siapa giliran berikutnya, siapa yang akan memutuskan
sesuatu), dan kadang-kadang interaksi dipengaruhi oleh hubungan dominasi yang
dapat bertentangan dengan peluang belajar (Gauvain, 2001; Radziszewska&
Rogoff, 1988). Jadi, walaupun cooperative learning dengan teman sebaya seringkali
mempunyai keuntungan daripada pembelajaran tugas serupa sendirian, namun hal
ini bukanlah menjadi solusi, karena anak tidak menghasilkan sebanyak ketika
bekerjasama dengan orang dewasa dalam proses pembelajaran. Prestasi atas tugas
cooperative learning juga bervariasi sebagaimana fungsi kompetensi “tenaga
ahli” dalam pasangan tersebut. Ketika teman sebaya yang lebih kompeten kurang
percaya atau tidak memodifikasi perilakunya secara wajar untuk dapat
menyesuaikan dengan teman sebaya yang less-skilled (yaitu yang mengerjakan
pekerjaan lemah saat scaffolding), prestasi biasanya tidak lebih baik daripada
ketika aktif/ bekerja sendiri (Tudge, 1992).
Yang menarik dalam cooperative
learning adalah bahwa kadang-kadang anak-anak mengingat perilaku orang lain
sebagai perilaku mereka, suatu kesalahan monitoring – kemampuan untuk
menentukan pengetahuan, memori, atau kepercayaan seseorang yang sebenarnya.
Contohnya, Mary Ann Foley dan Hillary Ratner yang meneliti anak-anak yang
menyusun collage bersama orang dewasa, anak-anak dan orang dewasa tersebut
bergiliran meletakkan bagian-bagian collage. Setelah melengkapi collage, tanpa
diduga anak-anak ditanya siapa yang telah meletakkan masing-masing bagian
collage tersebut, mereka atau orang dewasa. Foley dan Ratner tertarik dengan
error atribusi – apakah anak-anak akan mengakui bagian yang telah diletakkan
orang dewasa sebagai miliknya (“I did it” error), atau sebaliknya (“You did it”
error, ketika anak mengakui bagian yang diletakkannya sebagai milik orang
dewasa)? Anak usia empat tahun melakukan “I did it errors”, yaitu mengakui
bagian yang telah diletakkan orang dewasa sebagai miliknya. Anak-anak cenderung
untuk melakukan re-code tindakan orang dewasa sebagai tindakan mereka. Menurut
Foley dan Ratner, penyimpangan ini mungkin mendorong kearah pembelajaran yang
lebih baik tentang tindakan orang lain, sebagian disebabkan oleh mis-atribusi
tindakan orang lain kepada dirinya yang bisa menyebabkan anak-anak untuk
menghubungkan tindakan tersebut kepada sumber umum (diri mereka) dan menghasilkan
suatu memori yang lebih terintegrasi dan mudah dipanggil kembali. Anak usia
lima tahun yang melakukan tugas kolaboratif bersama orang dewasa (menempatkan
mebel dalam rumah boneka) membuat banyak “I did errors”; bagaimanapun, nantinya
anak-anak menunjukkan memori yang lebih besar saat menempatkan mebel pada
setiap ruang dibanding anak-anak yang tidak berkolaborasi dalam suatu kelompok.
Kolaborasi mendorong pada pembelajaran yang lebih besar; tetapi tidak dengan
cara yang mungkin telah diharapkan. Melainkan, anak-anak yang belum dewasa
sistem kognitifnya mengakibatkan jumlah kesalahan source-monitoring yang
tinggi, yang benar-benar menghasilkan pembelajaran yang lebih baik.
Aplikasi dan Implikasi Teori dalam Pendidikan
lainya adalah
Agar pembahasan
tentang teori Vygotsky langsung terasa bagi usaha pengembangan kognitif, banyak
usaha konkret yang dapat dilakukan dalam mengaplikasikan teori tersebut,
misalnya:
1.
Teori Vygotsky menuntut pada penekanan
interaksi antara peserta didik dan tugas-tugas belajar. Mengedepankan suatu
proses belajar dimana siswa lebih berperan aktif. Dengan demikian peran guru
lebih bergeser lebih menjadi fasilitator konstruksi siswa.
2.
Menggunakan zone of proximal
development. Dengan penyesuaian terus menerus.
3.
Banyak menggunakan teman sebaya sebagai guru.
Artinya bahwa memang bukan hanya orang dewasa yang mampu membantu seorang anak
dalam perkembangan kognitifnya. Karena faktanya memang bahasa teman sebaya
lebih mudah untuk dipahami dalam interaksinya.
BAB 10
TEORI
BELAJAR MENURUT EDWARD CHACE TOLMAN
Ike
Nurrohmah Widyawati, Nailil Istiqoma, Novan Triadi Setiawan, Windi Oktavia Sari
Biografi
Edward Chace Tolman
Tolman
(1886-1959) lahir di Newton, Massachusetts. Ia memperoleh gelar Master of Art
(1912) dan doktornya di Universitas Harvard pada bidang psikologi. Lalu ia
mengajar di Universitas Northwestern (1915-1918). Dari universitas ini ia pergi
ke Uneversitas California dan menetap di sana hingga ia mengundurkan diri
karena menolak untuk menandatangani sumpah setia. Dia juga memimpin perjuangan
melawan sumpah loyalitas yang dianggapnya sebagai pelanggaran kebebasan
akademik. Akan tetapi ia kembali lagi ke universitas ini atas permintaan para
professor.
Edward Tolman merupakan salah satu tokoh psikologi yang
berorientasi kognitif pada teori belajarnya. Menurut Tolman, belajar adalah
proses yang berjalan secara konstan dan tidak mewajibkan adanya reinforcement.
Tolman mengatakan bahwa terdapat perbedaan antara proses belajar dengan
perilaku yang muncul. Tolman juga mengungkapkan bahwa variabel yang ada pada
pada diri individu yang berpengaruh dalam belajar adalah: heredity, age,
previous training, special endrocine, and drug or vitamin conditions (HATE).
Heredity, merupakan faktor keturunan, misalnya intelegensi. Karena
keturunan masing-masing individu berbeda-beda maka akan membawa hasil belajar
yang berbeda-beda pula. Keturunan merupakan innate differences dan merupakan
faktor yang sulit untuk dimanipulasi.
Age, berkaitan dengan kemasakan. Belajar akan mencapai hasil
yang baik bila disertai adanya kemasakan individu yang bersangkutan. Dalam
belajar dikenal adanya masa peka, yaitu merupakan masa yang sebaik-baiknya untuk
belajar. Hal ini berarti bahwa umur berkaitan erat dengan learning ability
dari individu yang bersangkutan.
Previous training, yaitu merupakan latihan atau pengalaman yang telah/ pernah
dialami. Pengalaman yang terdahulu akan mempengaruhi proses belajar. Apabila
hal ini dikaitkan dengan teori Thorndike, maka hokum latihan akan jelas
berpengaruh terhadap hasil belajar.
Special endocrine, minuman keras, dan vitamin akan berpengaruh pada keadaan
internal. Keadaan tersebut akan berpengaruh pada temperamen, suasana hati
(mood) dan kepribadian seseorang. Kesemuanya itu akan berperan dalam hal
belajar yang pada akhirnya akan mempengaruhi hasil belajar.
Lebih lanjut dalam teori belajar kognitif banyak
diarahkan kepada akal budi manusia atau otak manusia sebagai sentral sumber
kemauan itu sendiri. Segala pusat pemikiran dan kemauan manusia serta
kegiatannya juga dipusati oleh otak. Dengan demikian, titik pangkal perubahan
perilaku yang terjadi pada manusia adalah pad aide dan kemauannya dalam otak.
Berpikir adalah segala-galanya dalam pendekatan kognitif.
Tesis dari dasar pendekatan kognitif adalah berfikir secara
sadar. Sesuai dengan tingkat perkembangan dan pemahamannya, manusia tahu betul
bagaimana ia bertindak, untuk apa dan bagaimaa ia berfikir. Bagaimana manusia
memahami dirinya sendiri dan lingkungannya. Dengan menggunakan kognisinya
manusia berbuat atas dasar kemauan yang diidekannya, dan ia berbuat untuk
mengubah lingkungannya sesuai dengan kemauannya. Dan dengan demikian, pusat
tindakan menurut teori ini adalah pada ide itu sendiri pada otak yang merupakan
pusat aktivitas psikologis pada manusia.
Belajar dalam pendekatan kognitif merupakan perubahan dalam
struktur kognisi seseorang, atau dalam bahasa teknis adalah perubahan dalam
ruang pengalaman seseorang. Belajar terdapat didalam otak yang sering dikaitkan
dengan kecerdasan, jadi bukan atas dasar stimulus dan respons.
Transfer belajar dalam pendekatan kognitif terjadi karena
kondisi struktur kognitif seseorang dalam ruang pengalaman dikembangkan menjadi
struktur kognitif orang yang bersangkutan dalam ruang pengalamannya di masa
yang akan datang. Pengalaman seseorang berubah dan bertambah dari saat ke saat.
Tolman menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai tokoh
pembangkang. Dia menentang perang saat perang sedang popular di masanya. Bukan
hanya itu saja, Tolman juga menentang behaviorisme Watsonian ketika
behaviorisme itu menjadi aliran psikologi yang terpopuler.
Teori belajar Tolman dapat dikatakan sebagai campuran antara
Teori Gestalt dan Behaviorisme. Setelah lulus dari Harvard Tolman pergi ke
Jerman dan bekerja dengan Koffka. Keberadaan teori Gestalt terhadap proses
berteorinya mempunyai pengaruh yang sangat signifikan. Sikapnya yang senang
terhadap teori Gestalt tidaklah menghalangi perhatiannya terhadap behaviorisme.
Tolman memperhatikan ada sedikit nilai dalam introspective
approach, padahal ia merasakan psikologi merupakan obyektif yang komplit.
Pemikirannya bertentangan dengan para behavioris yang menyatakan unit perilaku
bisa dipelajari sebagai unsur-unsur yang terpisah. Para behavioris seperti
Pavlov, Guthrie, Hull, Watson, dan Skinner digambarkan Tolman sebagai "Psychology
of Twitchism" karena mereka melihat segmen-segmen perlilaku yang besar
dapat dibagi menjadi segmen-segmen kecil, seperti reflek-reflek yang
selanjutnya dianalisis.
Tolman memandang dengan menjadikan elemen-elemen kecil,
sesungguhnya behavioris telah membuang artinya secara utuh. Akan tetapi dia
juga yakin bahwa hal seperti itu mungkin juga untuk dijadikan sebagai objek
ketika belajar tentang molar behavior secara sistematis. Oleh karena itu bisa
dikatakan bahwa Tolman seorang behavioris secara metodologi dan teoris kognitif
dalam hal metafisik. Dengan kata lain, ia belajar behavior untuk menentukan
proses kognitif. (B.R. Hergenhahn & Olson, 2008: 330)
Tolman melanjutkan ajaran McDougall dengan mengungkapkan
konsep psikologi purposif dalam behaviorisme. Ia mengatakan bahwa tingkah laku
manusia secara mendasar adalah tingkah laku molar. Yang dimaksud tingkah laku
molar itu seperti perilaku bekerja, makan, tidur dll. Dalam tingkah laku molar
ini terdapat perilaku yang tingkatannya lebih kecil yaitu tingkah laku
molekular. Yang dimaksud dengan tingkah laku molekular adalah saat seseorang
sedang makan misalnya, gerakan menyendokkan nasi adalah salah satu contoh
tingkah laku molekular. (Sarlito. R, 2013: 75)
1. Perilaku
Molar
Karateristik utama pemahaman
perilaku molar adalah "purposive" yang selalu diarahkan ke
berbagai tujuan atau maksud tertentu. Purposive yang dimaksudkan bahwa setiap
perilaku yang dilakukan oleh seorang individu pasti memiliki sebuah tujan yang
pasti. Jika dihubungkan maka tidak akan ada perilaku jika tidak ada tujuan yang
mendasari munculnya suatu perilaku. Sehingga perilaku molar ini memiliki cirri
khas yaitu purposive (memiliki tujuan) yang pasti.
Tolman tidak pernah berpendapat
bahwa perilaku tidak bisa dibagi menjadi unit lebih kecil untuk kepentingan
studi, namun demikian ia merasakan bahwa pola perilaku utuh mempunyai suatu
maksud tertentu yang akan hilang jika dipelajari dari sudut pandang parsial
atau dari elemen-elemen individual.
Bentuk perilaku yang dinamakan Tolman (1932) sebagai molar,
misalnya: seekor tikus yang berlari di simpang siur jalan (maze), seekor
kucing yang keluar dari puzzle box, anak-anak yang saling bercerita tentang
pikiran dan perasaan mereka. Yang harus diperhatikan, bahwa ketika menyebutkan
hal di atas maka akan melibatkan seluruh otot, kelenjar, kegelisahan sensory
dan motor nerver. Untuk respon-respon seperti di atas, bagaimanapun juga cukup
mengidentifikasikan sifat-sifat mereka sendiri.
Selain
itu Tolman juga tidak pernah berpendapat bahwa seluruh pola perilaku memiliki
makna yang akan hilangbjika diteliti dengan menggunakan sudut pandang
elemenistik. Jadi, sesuai dengan pendapat Tolman bahwa perilaku molar merupakan
sebuah Gestalk yang berbeda dari serpihan yang menyusun perilaku itu. Yang mana
perilaku molar adalah perilaku yang dilakukan karena memiliki suatu tujuan
tertentu yang mendasarinya.
2. Behaviorisme
Purposif
Teori Tolman dikenal sebagai purposive
behaviorism karena mencoba untuk menjelaskan goal (tujuan) mengarah
pada perilaku atau purposive behavior. (Tolman menggunakan istilah purposive
semata-mata untuk pendiskripsikan). Ia terkenal dengan contoh mencari perilaku
sampai makanan ditemukan. Oleh karena itu, nampak "as if (seolah-olah)"
perilakunya adalah goal-directed atau purposive. Dalam hal ini
ada persamaan antara Guthrie dan Tolman. Menurut Guthrie perilaku tetap berlaku
sepanjang pemeliharaan stimuli disajikan oleh beberapa status kebutuhan (need).
Sedangkan menurut Tolman perilaku "as if" merupakan goal
(tujuan) diarahkan sepanjang organisme sedang mencari-cari sesuatu yang ada di
lingkungannya.
Tolman berusaha menjelaskan perilaku
yang diarahkan untuk mendapat tujuan sehingga disebut behaviorisme purposif (purposive
behaviorism). Tolman berpendapat bahwa melalui perilaku bertujuan, proses
belajar bukanlah sesuatu situasi yang dapat diamati semuanya, tetapi proses
nyata dari belajar terdiri dari operasi kognitif yang terpusat.
Hal-hal yang dibahas oleh Tolman
dalam teori belajarnya adalah mengenai hal-hal sebagai berikut:
- Perilaku moral Untuk melawan kaum behavioristik dengan analisa ini dia berpendapat bahwa seluruh pola perilaku memiliki makna yang akan hilang jika diteliti dari sudut pandang elementistik.
- Konsep penguatan tidak penting untuk menjelaskan perilaku. Ia lebih mementingkan confirmation of expectancy (konfirmasi harapan) dalam peta kognitif adalah sama dengan gagasan penguatan seperti pada teori behavioristik.
- Tindakan vicarious trial and error (tindakan ujicoba) dalam tingkah laku.
- Belajar laten, adalah belajar yang tidak diterjemahkan ke dalam performa atau kinerja.
3. Konsep
Teoritis Utama
Tolman
memperkenalkan penggunaan variable campuran dalam riset psikologis, dan Hull
meminjam gagasan meminjam gagasan itu darinya. Keduanya menggunakan variable
campuran yang serupa dalam penelitiannya. Namun bagaimanapun juga, Hull lebih
banyak mengembangkan dan mengelaborasi teori belajar dari pada yang dilakukan
Tolman.
Asumsi-asumsi
umum yang dikemukakan Tolman dalam proses belajar: “Apa arti belajar?”
Para
tokoh behavioris seperti, Pavlov, Watson, Guthrie, dan Hull, mengatakan bahwa
asosiasi-asosiasi stimulus respons itu yang dipelajari dan melibatkan hubungan
S-R yang komplek. Atau belajar adalah perubahan dengan tingkah laku sebagai
dari interaksi antara lain stimulus dan respons. Sedangkan Tolman banyak mengambil
petunjuk atau pandangan awal dari teori-teori Gestald, yang mengatakan bahwa
dalam belajar, hal yang utama adalah proses interaksi yang berkesinambungan
dengan lingkungan. Sebuah organisme yang sampai pada ekplorasi, yang kemudian
menemukan peristiwa tertentu, lalu ditunjukkan pada peristiwa tertentu lainnya,
atau dengan kata lain, lalu ditunjukkan pada peristiwa tertentu lainnya, atau
dengan kata lain, sebuah tanda memimpin tanda memimpin tanda yang lain. Oleh
karena itu, Tolman lebih dikenal sebagai ahli teori S-S. Pengetahuan bagi
Tolman adalah suatu proses berkelanjutan yang tidak memerlukan motivasi apapun.
Dalam hal ini, Tolman sependapat dengan Guthrie dan bertentangan dengan Pavlov,
Skinner, dan Torndike. Bagaimanapun juga, haruslah ditunjukkan bahwa motivasi
adalah penting bagi teori Tolman. Karena motivasi itu menentukan aspek-aspek
lingkungan mana yang hendak disertai oleh organisme tersebut. Misalnya,
organisme yang lapar akan memakan makanan yang ada di lingkungan itu.
Menurut
Tolman, belajar adalah mengenal tentang situasi. Organisme belajar tentang
sesuatu yang ada di sekitarnya, jika ia berbalik ke kiri, ia akan menemukan
sesuatu. Jika ia berbalik ke kanan, ia temukan juga sesuatu yang lain. Hal ini
terjadi secara berangsur-angsur, sehingga ia dapat membuat kesimpulan sendiri.
Dengan demikian, menurut Tolman, belajar itu akan sia-sia jika hanya dihafal.
4. Confirmation
versus Reinforcement
Sebagaimana
Guthrie, konsep penguatan (reinforcement) adalah tidak penting bagi Tolman
sebagai variable pembelajaran. Akan tetapi, Tolman mengatakan sebagai
konfirmasi, di mana behavioris menyebutnya Rinforcement. Selama
perkembangan sebuah peta kognitif, harapan atau dugaan-dugaan dimanfaatkan oleh
sebuah organisme. Dugaan adalah sebuah firasat tentang sesuatu dan fungsinya.
Di mana awal sebuah dugaan bersifat sementara yang disebut hipotesis, yang
berasal baik dari pengalaman maupun bukan. Hipotesis yang telah dikonfirmasikan
akan dipakai. Sedangkan hipotesis yang salah akan dibuang. Yang harus diperhatikan
adalah proses penerimaan maupun penolakan hipotesis merupakan sebuah proses
kognitif bukan termasuk tindakan behavior.
Dalam
proses pengambilan keputusan dalam persepsi, Bruner menyatakan ada 4 tahap
pengambilan keputusan:
o
Kategorisasi primitive,
di mana obyek atau peristiwa yang diamati diisolasi dan ditandai berdasarkan
ciri-ciri khusus.
o
Mencari tanda (cue
search), di mana si pengamat secara tepat memeriksa lingkungan untuk mencari
informasi-informasi tambahan untuk memungkinkannya melakukan kategorisasi yang
tepat.
o
Konfirmasi, terjadi
setelah obyek mendapatkan penggolongan sementaranya. Pada tahap ini si pengamat
tidak lagi terbuka untuk sembarang masukan, melainkan ia hanya menerima
tambahan informasi yang akan memperkuat konfirmsi keputusannya. Masukan-masukan
yang tidak releven dihindari.
o
Konfimasi tuntas, di
mana pencarian tanda-tanda diakhiri. Tanda-tanda baru diabaikan dan tanda-tanda
yang tidak konsisten dengan kesimpulan juga diabaikan.
5. Vicarious
Trial and Error
Tolman
memperhatikan karakteristik tikus dalam kebingungan (jalan simpag siur).
Sehingga ia bisa memanfaatkannya sebagai pendukung untuk menafsirkan teori
belajarnya. Seekor tikus sering berhenti pada suatu titik tertentu dan
memandang sekelilingnya seolah-olah berpikir tentang berbagai alternatif yang
ada. Kegiatan seperti ini (berhenti dan memandang sekelilingnya) yang disebut
Tolman sebagai Vicarious Trial and Error, sehingga organisme itu bisa
membuat kesimpulan sendiri dari berbagai kegiatan yang telah dilakukannya.
6. Learning
Versus Performance
Sebagaimana
diterangkan, bahwa Hull membedakan antara learning dan performance. Pada akhir
teorinya, Hull menyatakan bahwa banyaknya jumlah percobaan (trial) yang
diperbuat merupakan satu-satunya variable belajar. Sedangkan variabel-variabel
lainnya, yang ada dalam sistemnya merupakan variable capaian (performance).
Sehingga performance dapat dimaksudkan sebagai perwujudan belajar ke
dalam prilaku. Hal seperti ini penting bagi Hull, tapi juga penting bagi
Tolman.
Menurut
Tolman, kita mengetahui banyak hal tentang lingkungan di sekitar kita, akan
tetapi, kita hanya akan melaksanakan informasi atau pengetahuan itu ketika kita
harus melakukannya. Dalam status kebutuhan (need), organisme memanfaatkan apa
yang telah dipelajarinya hingga sampai pada real testing yang bisa
menguangi kebutuhan itu. Misalnya, ada dua kran air dalam rumah kita, dalam
jangka waktu yang lama, kita tidak pernah memperhatikan atau meminumnya hingga
suatu saat terasa sangat haus. Secara spontan kita akan meminumnya salah satu
dari keduanya. Dari sini, kita akan mengetahui bagaimana menemukan air minum
itu tanpa harus menunggu hingga terasa haus.
Beberapa
point sejauh ini yang dapat diringkas adalah:
v Organisme
membawa kepada bentuk problem-solving berbagai hipotesis, yang bisa
jadi akan memanfaatkan percobaan untuk memecahkan masalah ini. Hipotesis ini
sebagian besar didasarkan pada pengalaman terdahulu. Tolman juga percaya bahwa
beberapa strategi problem-solving bisa jadi merupakan pembawaan.
v Hipotesis
yang survive, yaitu yang sesuai dengan kenyataan menjadikan maksud atau
tujuan tercapai.
v Ketika
ada berbagai tuntutan maupun alasan yang harus dipenuhi, sebuah organisme akan
memanfaatkan penggunaan informasi yang ada dalam peta kognitifnya. Hal inilah
yang menjadi dasar perbedaan learning dan performance.
7. Latent
Learning
Latent
learning adalah belajar yang tidak diwujudkan
dalam performance.Dengan kata lain, latent learning merupakan
kemungkinan belajar yang terbengkalai dalam waktu yang amat panjang sebelum hal
tersebut dinyatakan dalam prilaku. Konsep tentang latent
learning sangat penting bagi Tolman, dan dia merasa sukses dalam
mendemonstrasikan eksistensinya. Eksperimen terkenal yang dilakukan oleh Tolman
dan Honzik (1930) melibatkan tiga kelompok tikus, yang mencoba belajar untuk
memecahkan suatu kebingungan (jaringan jalan yang simpang siur). Kelompok
pertama, tidak pernah diperkuat untuk dengan tepat melintasi jalan yang simpang
siur itu. Kelompok kedua, selalu diperkuat (reinforced). Sedang kelompok
ketiga, tidaklah diperkuat sampai hari ke-11 mengadakan percobaan. Kelompok
terakhir inilah yang menarik bagi Tolman. Teorinya tentang latent
learning meramalkan bahwa kelompok ini akan belajar di simpang siur jalan
itu, sama halnya dengan kelompok yang secara teratur diperkuat. Dan ketika
penguatan (reinforcement) diperkenalkan pada hari ke-11, kelompok ini akan
melakukan seperti halnya kelompok yang secara terus menerus diperkuat
(reinforced).
8. Reinfocement
Expectancy
Menurut
Tolman, ketika kita belajar, kita menganalisa "situasi". Termunderstanding selalu
ada hubungannya dengan Tolman sebagaimana para behavioris. Dalam
situasi problem-solving, kita belajar untuk memperoleh cara yang
paling paktis. Kita belajar untuk mengharapkan terjadinya persitiwa tertentu,
mengikuti peristiwa yang lain. Seekor binatang mengharapkan jika ia pergi ke
suatu tempat tertentu, maka ia akan menemukan reinforcer tertentu.
Manurut pada ahli teori S-R, bahwa merubah reinforcerdalam teori belajar
tidak akan mengganggu prilaku sepanjang kuantitas reinforcementtidak
dirubah secara drastis. Sedangkan menurut Tolman, ia memprediksikan,
jikareinforcer dirubah, prilaku akan terganggu, karena reinforcement
expectancy merupakan bagian dari apa yang diharapkan.
9. Six
Kinds Of Learning
Dalam
artikelnya (1949), "There is More than One Kind of Learning", Tolman
membagi belajar menjadi enam macam.
a. Cathexes
Cathexis (jamak chatexes) mengacu
pada kecenderungan belajar untuk berhubungan dengan obyek tertentu serta drive
state tertentu. Misalnya, makanan tertentu yang tersedia bisa jadi mencukupi
rasa lapar seseorang yang hidup di suatu negeri. Masyarakat yang hidup di suatu
negeri, di mana ikan selalu dimakan akan cenderung untuk dicari guna memenuhi
rasa laparnya. Individu-individu yang sama akan menghindari daging sapi atau spageti
karena bagi mereka, makanan itu tidak dihubungkan dengan kepuasan rasa lapar.
Karena stimuli tertentu itu dihubungkan dengan kepuasan drive tertentu,
sehingga stimuli-stimuli itu akan cenderung untuk dicari-cari ketika drive itu
terulang.
b. Equivalence
Beliefs
Ketika sebuah "subgoal"
mempunyai pengaruh yang sejenis dengan dirinya, maka subgoal itu dikatakan
mendasari sebuah equivalence belief. Hal seperti ini hamper sesuai dengan yang
disebut oleh para ahli teori S-R sebagai secondary reinforcement. Tolman (1949)
menganggap bahwa jenis belajar ini termasuk dalam typical "social
drives" dari pada physiological drives. Misalnya, sepanjang dapat
dipertunjukkan bahwa dengan need siswa untuk cinta dan penerimaan yang baik
tanpa harus menceritakan tentang nilai ataupun kualitasnya, kemudian kita ingin
mempunyai bukti untuk equivalence belief.
Di sini ada sedikit perbedaan
antara Tolman dan para ahli teori S-R, kecuali pada sebuah fakta di mana Tolman
menyebut "love reduction" sebagai reinforcement, dan para teori S-R
lebih suka menyebutnya sebagai penurunan drive seperti rasa haus atau lapar.
c. Field
Expectancies
Ini dikembangkan dengan cara yang
sesuai menurut perkembangan peta kognitif. Sebuah organisme belajar tentang
obyek dan fungsinya. Ketika melihat suatu tanda tertentu ia mengharapkan sign
yang lain akan mengikutinya. Pengetahuan umum tentang lingkungan digunakan
untuk menerangkan latent learning dan place learning. Hal seperti ini bukan
merupakan S-R learning melainkan S-S learning atau sign-sign learning. Di mana
ketika seekor binatang melihat suatu sign, maka ia belajar dan berharap akan
diikuti oleh yang lain. Satu-satunya "reinforcement" yang penting
untuk jenis belajar seperti ini adalah konfrmasi sebuah hipotesis.
d. Field-Cognition
Modes
Jenis belajar seperti ini kurang
diminati oleh Tolman. Ini adalah sebuah strategi, cara pendekatan untuk situasi
problem-solving. Hal ini merupakan sebuah tendensi untuk menyusun perceptual
field dalam bentuk tertentu. Tolman mencurigai bahwa kecenderungan ini adalah bawaan,
tetapi bisa dimodifikasi dengan pengalaman. Sesungguhnya hal paling utama pada
strategi yang bekerja dalam pemecahan masalah adalah akan dicoba pada situasi
yang sama pada masa yang akan datang. Seperti itulah field cognition modes yang
efektif, atau problem-solving, yaitu memindahkan permasalahan-permasalahan yang
berhubungan.
e. Drive
Discrimination
Drive discrimination hanya mengacu
kepada fakta bahwa organisme dapat menentukan status drive mereka sendiri. Oleh
karena itu, mereka mampu merespon sewajarnya. Contohnya, telah ditemukan bahwa
seekor binatang dapat dilatih untuk masuk searah dalam T-maze, ketika mereka
marasa lapar ataupun haus.
f. Motor
Patterns
Tolman
menunjukkan bahwa teorinya sebagian besar itu terkait dengan ide asosiasi bukan
terkait dengan ide yang berhubungan dengan prilaku. Motor patern learning ini
merupakan suatu usaha untuk memecahkan sebuah masalah. Tolman menerima
interpretasi Guthrie tentang bagaimana respon bisa menjadi hubungan dengan
stimuli.
10. Contoh
Kasus Pelaksaan Pembelajaran Menurut Teori Kognitif Tolman
Contoh
pelaksanaan pembelajaran menurut teori kognitif tolman berikut ini dalam mata
pelajjaran matematika disebuah SMK non teknik.
v Guru
matematika SMK nonteknik berusaha agar pengetahuaan siswanya utuh,tidak
terpisah-pisah.artinya ,pengetahuan yang satu terkait dengan pengatuhuan yang
lain.sebagai contoh ,konsep integral harus dikaitkan dengan konsep turunan.
v Agar
lebih bermakna,pengetahuan yang baru diajarkan dihubungkan dengan situasi
nyata, misalnya guru dapat menghubungkan himpunan kosong dengan buku kosong
,yang satu tidak mempuyai anggota ,yang satunya lagi belum ada tulisan
didalamnya.
v Pembelajaran
matematika di SMK nonteknik dimulai dari benda konkret ,semi konkret ,baru ke
abstrak, guru matematika SMK nonteknik menyadari bahwa siswa yang sudah berada
pada tahap operasional formal sekalipun akan lebih mudah mempelajari matematika
jika dimulai dari sesuatu yang konkret ataupun yang bisa dipikirkan siswa
,misalnya ,konsep turunan yang dimulai dan konsep kecepatan.
v Pada
taraf tertentu guru menggunakan alat peraga ,seperti menggunakan model-model
bangun ruang ketika membahas materi dimensi tiga.
v Guru
mengajar matematika dari hal yang mudah/sederhana ke yang sedang ,kemudian ke
yang sedang/rumuit ,hal ini mudah atau sederhana lebih gampang untuk dicerna
oleh siswa ,dengan demikian hal-hal yang sedang/rumit bisa diasimilasi dengan
mudah ke dalam rangka kognitif yang sudah ada di benaknya ,sebagai contoh guru
meminta siswa untuk menghitung 11+13+15+...+19 dengan berbagai cara ,sebelum ia
membahas rumus umunya.
v Kesalahan
yang mudah terbentuk di dalam bentuk siswa sangat sukar untuk di perbaiki ,ia
diperlukan proses akomodasi untuk memperbaikinya ,oleh karena itu hanya
memberitahu saja bahwa ia salah adalah tidak cukup ,guru pertama kali harus
memberikan conto-contoh dan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menyakinkan siswa
bahwa ia salah ,setelah itu guru mendiagnosis kesalahan siswanya ,berdasarkan
diagnosa itulah perbaikan dapat dilakukan.
BAB 11
TEORI BELAJAR ALIRAN
KOGNITIF ALBERT
BANDURA
Siti Mahmudah, Amy Dashinta Ayu Haryah, Azzam
Bachtiar, Latif Ariffudin
Konsep Utama Teori Belajar A.Bandura
Albert
Bandura lahir pada 4 Desember 1925 di Mundare, kota kecil di Alberta, Canada.
Dia mendapat gelar B.A dari University of British Colombis, kemudian M.A. pada
1951, dan Ph.D. pada 1952 dari University of Iowa. Dia ikut magang
pascadoktoral di Wichita Guidance Center pada 1953 dan kemudian bergabung di
Standford University. Pada 1969-1970 dia sempat di Center for Advance Study in
the Behavioral Sciences. Bandura kini menjabat sebagai David Starr Jordan
Professor of Social Science di Fakultas Psikologi di Universitas Standford.
Saat
di University of Iowa, Bandura di pengaruhi oleh Kenneth Spence seorang
teoritis Hullian terkemuka, tetapi minat utama Bandura adalah psikologi klinis.
Pada saat itu Bandura ingin menjelaskan gagasan
yang dianggap efektif dalam psikoterapi dan kemudian mengkaji dan
memperbaiki gagasan itu. Pada periode ini pula Bandura membaca buku Social Learning and Imitation karya
Miller dan Dollard (1941). Buku ini amat mempengaruhi dirinya. Penjelasan
tentang belajar sosial dan imitatif Miller dan Dollard mendominasi literatur
psikologi selama lebih dari dua dekade. Baru pada 1960-an Bandura mulai menuls serangkaian
artikel dan buku yang menentang penjelasan lama tentang belajar imitatif dan
memperluas topik itu ke apa yang kini dinamakan belajar belajar observasional.
Bandura kini dianggap sebagi teoritis dan periset utama di area observasional,
topik yang kini sangat populer.
Menurut Bandura, belajar observasional
mungkin menggunakan imitasi atau mungkin juga tidak. Misalnya, saat mengendarai
mobil di jalan Anda mungkin melihat mobil di depan Anda menabrak tiang, dan
berdasarkan observasi ini Anda mungkin akan berbelok untuk menghindari agar
ikut menabrak. Dalam kasus ini Anda belajar dari observasi Anda, namun Anda
tidak meniru apa yang telah Anda amati. Apa yang Anda pelajari, kata Bandura,
adalah informasi, yang diproses
secara kognitif dan Anda bertindak berdasar informasi ini demi kebaikan diri
Anda. Jadi belajar observasional lebih kompleks ketimbang imitasi sederhana,
yang biasanya hanya berupa menirukan tindakan orang lain.
Perbedaan belajar dan performa ditujukkan
oleh sebuah studi yang dilakukan Bandura (1965). Dalam eksperimen ini, seorang
anak melihat sebuah film yang menampilkan seseorang sebagai model yang sedang
memukul dan menendang boneka besar.Dalam teori Bandura, model adalah apa saja
yang menyampaikan informasi, seperti orang, film, televisi, pemeran, gambar,
atau intruksi.
Dalam
kasus ini, film itu menunjukkan agresivitas seorang model dewasa. Satu kelompok
anak melihat model yang agresif itu diperkuat. Kelompo kedua melihat model yang
agresif itu dihukum. Kelompok ketiga melihat konsekuensi netral atas tindakan
agresif si model itu; yakni model tidak diperkuat dan tidak dihukum.
Kemudian,
anak-anak dalam ketiga kelompok itu dipertemukan dengan sebuah boneka besar,
dan tingkat agresivitas mereka terhadap boneka itu diukur. Seperti yang diduga,
anak yang melihat model yang diperkuat melakukan tindakan agresif cenderung
menjadi anak yang paling agresif; anak yang melihat model dihukum cenderung
paling tidak agresif; sedangkan anak yang melihat konsekuensi netral dari
model, tingkat agresivitasnya berada diantara posisi dua kelompok lain. Dengan
kata lain, apa yang mereka lihat dilakukan atau dialami orang lain akan
mempengaruhi perilaku mereka. Anak dalam kelompok pertama mengamati vicarious
reinforcement (penguatan pengganti atau tak langsung) dan ini menambah
agresivitas mereka; anak dalam kelompok kedua mengamati vicarious punishment
(hukuman pengganti atau tak langsung), dan ia menghambat agresivitas mereka.
Meskipun anak tidak mengalami langsung penguatan dan hukuman, namun hal itu
memodifikasi perilaku mereka. Ini bertentangan dengan pendapat Miller dan
Dollard bahwa belajar observasional hanya terjadi jika perilaku nyata organisme diikuti oleh penguatan.
Fase
kedua studi tersebut didesain untuk menjelaskan perbedaan belajar-performa.
Dalam fase ini, semua anak diberi insentif yang menarik agar mereproduksi
(meniru) perilaku dari si model, dan
mereka semua melakukannya. Dengan kata lain, semua anak melakukannya dengan
cara berbeda-beda, tergantung pada apakah mereka sebelumnya telah melihat model
itu diperkuat, dihukum, atau mendapat konsekuensi netral.
Konsep teoritis Utama
Mengatakan
bahwa belajar obeservasional terjadi
secara independen dari penguatan adalah bukan berartibahwa variabel yang lain
tidak mempengaruhinya. Bandura (1986) menyebut empat proses yang mempengaruhi
belajar observasional, adalah sebagai berikut :
1.
Proses
Atensional
Sebelum sesuatu dipelajari dari
model, model itu harus diperhatikan. Bandura menganggap bahwa belajar adalah
proses yang terus berlangsung, tetapi dia menunjukkan bahwa hanya yang diamati
sajalah yang dapat dipelajari.
Sesuatu hal diperhatikan karena
dipengaruhi oleh beberapa sebab. Pertama, kapasitas sensoris seseorang akan
mempengaruhi attentional process (proses atensional/proses memperhatikan).
Jelas stimuli modeling yang digunakan untuk mengajari orang tuna netra atau
tuna rungu akan berbeda dengan yang digunakan untuk mengajari orang yang normal
penglihatan dan pendengarannya. Kemudian perhatian selektif pengamat bisa
dipengaruhi oleh penguatan di masa lalu. Misalnya, jika aktivitas yang lalu
yang dipelajari lewat observasi terbukti berguna untuk mendapatkam suatu
penguatan, maka perilaku yang sama akan diperhatikan pada situasi modelling berikutnya.
Berbagai karakteristik model juga akan
mempengaruhi sejauh mana mereka akan diperhatikan. Riset telah menunjukkan
bahwa model akan lebih sering diperhatikan jika mereka sama dengan pengamat
(yakni jenis kelaminnya sama,usianya sama, dan sebagainya), orang yang
dihormati atau memiliki status tinggi, memiliki kemampuan lebih, dianggap kuat,
dan atraktif.
2.
Proses
Retensional
Agar informasi yang
sudah diperoleh dari observasi bisa berguna, informasi itu harus diingat atau
disimpan. Bandura berpendapat bahwa ada retentional process (proses retensional)
dimana informasi disimpan secara simbolis melalui dua cara, secara imajinal
(imajinatif) dan secara verbal. Simbol-simbol yang disimpan secara imajinatif
adalah gambaran tentang hal-hal yang dialami model, yang dapat diambil dan
dilaksanakan lama sesudah belajar observasional terjadi.
Bandura mengatakan bahwa kebanyakan
proses kognitif yang mengatur perilaku terutama konseptual (verbal) ketimbang
imajinatif, Karena fleksibilitas simbol verbal yang luar biasa, kerumitan dan
kepelikan perilaku bisa ditangkap dengan baik dalam wadah kata-kata. Misalnya
rute yang dilalui seorang model dapat disimpan dan diingat untuk dipakai lagi
nanti secara akurat dengan mengubah informasi visual ke kode verbal yang
mendeskripsikan deretan kapan mesti belok kiri atau kanan, ketimbang dengan
mengandalkan pada imajinasi visual dari rute itu.
Setelah informasi disimpan secara
kognitif, ia dapat diambil kembali, diulangi dan diperkuat beberapa waktu
sesudah belajar observasional terjadi. Simbol-simbol yang disimpan ini memungkinkan
terjadinya delayes modelling (modelling yang ditunda) yakni kemampuan
untuk menggunakan informasi lama setelah informasi itu diamati.
3.
Proses
Pembentukan Perilaku
Proses
Pembentukan Perilaku (Behavioral production process) menentukan sejauh mana
hal-hak yang telah dipelajari akan diterjemahkan kedalam tindakan atau
performa. Seseorang mungkin sudah belajar lewa pengamatan atas monyet, cara
melompat bergelantungan dari satu pohon ke pohon lainnya dengan menggunakan ekor. Dengan kata
lain, seseorang mungkin mempelajari sesuatu secara kognitif namun dia tidak
msmpu menerjemahkaninformasi itu ke dalam perilaku karena ada keterbatasan.
Menurut
Bandura, simbol yang didapat dari modelling
akan bertindak sebagai template (cetakan) sebagai pembanding tindakan.
Selama proses latihan ini individu mengamati perilaku mereka sendiri dan
membandigkannya dengan representasi kognitif dari pengalaman si model. Setiap
diskrepansi (ketidakcocoksn) antara perilaku seseorang itu dengan perilaku
model akan menimbulkan tindakan korektif. Proses ini terus berlangsung sampai
ada proses kesesuaian yang sudah memuaskan antara perilaku pengamat dan model.
4.
Proses
Motivasional
Dalam teori Bandura, penguatan memiliki dua
fungsi utama. Pertama ia menciptakan ekspektasi dalam diri pengamat bahwa jika
mereka bertindak seperti model yang dilihatnya diperkuat untuk aktivitas
tertentu, maka mereka akan diperkuat juga. Kedua, ia bertindak sebagai intensif
untuk menerjemahkan belajar ke kinerja. Seperti telah kita lihat diatas, apa
yang dipelajari melalui observasi akan
tetap tersimpan sampai si pengamat itu punya alasan untuk menggunakan informasi
itu. Kedua fungsi pengamatan itu adalah fungsi informasional. Satu fungsi
menimbulkan ekspektasi dalam diri pengamat bahwa jika mereka bertindak dengan
cara tertentu dalam situasi tertentu, mereka mungkin akan diperkuat. Fungsi
lainnya, motivational processes (proses motivasional) menyediakan motif
untuk menggunakan apa-apa yang telah diperoleh.
Menurut
Bandura seorang pengamat dapat belajar cukup dengan mengamati konsekuensi dari
perilaku orang lain, menyimpan informasi itu secara simbolis, dan
menggunakannya jika perilaku itu bisa
bermaat bagnya. Jadi menurutnya, informasi penguatan atau hukuman sama
informatifnya dengan penguatan dan hukuman langsung. Berbekal informasi yang
diperoleh dari pengamatan terdahulu, seorang individu akan memperkirakan bahwa
jika mereka bertindak dengan cara tertentu dalam situasi tertentu, maka akan
muncul konsekuensi tertentu. Dengan cara ini, perkiraan konsekuensi itu akan,
setidaknya sebagian, menentukan perilaku dalam situasi tertentu.
Ringkasnya
kita dapat mengatakan bahwa belajar observasional melibatkan atensi
(perhatian), retensi (pengingatan/penyimpanan), kemampuan behavioral, dan
insentif. Maka dari itu, jika belajar observasional tidak terjadi, itu bisa
lantaran pengamat tidak mengamati model yang relevan, tidak mengingatnya,
secara tak bisa melakukannya atau karena tidak punya insentif yang pas untuk
melakukannya.
5.
Determinisme
Resiprokal
Bandura menjelaskan bahwa orang bertindak
seperti yang mereka lakukan dipengaruhi oleh beberapa komponen yaitu orang (person, disimbolkan dengan P), lingkungan (environment/E), dan perilaku (behavior/B).
Posisi ini disebut reciprocal determinisme (determinisme resiprokal).
B
P E
Salah satu deduksi dari konsep ini
adalah bahwa kita bisa mengatakan perilaku mempengaruhi seseorang dan
lingkungan, atau lingkungan atau orang mempengaruhi perilaku.
6.
Regulasi-Diri
Perilaku
Menurut
Bandura (1977), “jika tindakan ditentukan hanya dengan imbalan (penghargaan)
dan hukuman eksternal, orang akan berperilaku mengikuti ke mana angin bertiup,
selalu berubah-ubah arah untuk menyesuaikan diri dengan pengaruh sementara yang
mengenai mereka”. Situasi yang dikutip diatas mungkin tidak akan terjadi
apabila terdapat penguat eksternal dan hukuman eksternal yang mengontrol
perilaku yaitu self-regulated behavior (perilaku yang diatur sendiri). Di
antara hal-hal yang dipelajari manusia dari pengalaman langsung atau tidak
langsung adalah performance standarts (standart
performa), dan setelah standart itu dipelajari, standart itu menjadi basis bagi
evaluasi diri. Jika performa atau tindakan seseorang dalam situasi tertentu
memenuhi atau melibihi standart, maka ia
akan dinilai positif; jika sebaliknya, ia dinilai negatif.
Standart
seseorang bisa datang dari pengalamannya langsung dengan penguatan dengan
meniai tinggi perilaku ayang efektif dalam menghasilkan pujian dari individu yang relevan dalam kehidupannya,
seperti dari orang tuannya. Standart personal juga dapat berkembang secara tak
langsung dengan mengamati perilaku yang dilakukan orang lain yang memperoleh
penguatan. Menurut Bandura dalam Olson (2008) penguatan instrinsik yang datang
dari evaluasi diri lebih berpengaruh ketimbang penguatan yang diberikan orang
lain. Ia menambahkan bahwa perialku yang dihargai dirinya sendiri cenderung
dipertahankan lebih efektif ketimbang jika perilaku itu diperkuat secara
eksternal.
7.
Tindakan Moral
Kode
moral (moral code) seseorang
berkembang melalui interaksi dengan model. Dalam kasus moralitas, orang tua
biasanya memberi contoh aturan moral yang kemudian diinternalisasikan oleh
anak. Setelah terinternalisasi, kode moral akan menentukan perilaku (atau
pikiran) mana yang akan mendapat hukuman dan mana yang tidak. Menyimpang dari
kode moral akan menimbulkan sikap self-contempt (mencela diri) atau
penyesalan, dan yang bukan merupakan pengalaman menyenangkan, dan karenanya
biasanya orang bertindak sesuai dengan kode moralnya. Bandura mengatakan bahwa
rasa mencela diri (penyesalan) setelah melanggar standart akan menjadi sumber
motivasi bagi seseorang untuk menjaga perilakunya sejalan dengan standarnya
saat berhadapan dengan motif yang bertentangan, serta tidak ada hukuman yang
lebih buruk ketimbang pencelaan diri.
Bandura
dalam Olson (2008:372-374) menyebutkan bahwa terdapat mekanisme yang
memungkinkan seseorang melanggar prinsip moralnya tanpa merasa perlu mencela diri atau tanpa merasa bersalah
:
a)
Justifikasi
Moral : tindakan yang tercela itu mejadi cara
untuk mencapai tujuan yang lebih luhr dan karenanya dibenarkan. Contoh dari
tindakan ini yakni : “Saya melakukan kejahatan agar bisa memberi makan pada
keluarga”.
b)
Pelabelan
Eufemistis :
tindakan yang dilakukan untuk membuat tindakan tercela terkesan sebagai
tindakan terhormat, kata-kata yang digunakan terkesan lembut dan baik, misalnya
tentara “menyingkirkan” orang. Kata menyingkirkan orang dapat diinterpretasikan
sebagai pembunuhan , namun dengan
pelabelan eufemistitis tindakan tersebut dilabeli sebagai tindakan yang mulia
demi memenuhi kewajiban.
c)
Perbandingan
yang Menguntungkan : Dengan membandingkan tindakannya
sendiri dengan tindakan yang lebih bengis, seseorang bisa menjadikan tindakan
tercelanya tampak lebih baik.
d)
Pengalihan
Tanggung Jawab : Beberapa orang dapat
melanggarprinsip moral mereka jika mereka merasa diperintah oleh otoritas dan
karenanya menganggap tanggung jawab ada di pundak pemberi perintah.
e)
Disfusi
Tanggung jawab : ketika dalam satu kelompok seluruh
anggotanya melakukan hal yang tercela, maka individu dalam kelompok tersebut
merasa tidak bertanggung jawab karena tanggung jawab telah dilakukan oleh
anggota lain.
f)
Dehumanisasi
: jika beberapa individu dianggap manusia rendahan,
mereka bisa diperlakukan secara tidak manusiawi tanpa perlu merasa bersalah.
g)
Atribusi
Kesalahan : Seseorang selalu dapat menyebut
sesuatu yang dikatakan atau dilakukan korban sebagai alasan bertindak keras
atau tercela.
Contoh : korban
pemerkosaan ikut bertanggung jawab karena mereka dianggap mengundang tindak
pemerkosaan dengan berperilaku dan berpenampilan seksi.
Profil
Singkat Albert Bandura
Albert
Bandura lahir pada tanggal 4 Desember 1925, di kota kecil Mundare bagianm
selatan Alberta, Kanada. Bandura bersekolah di sekollah dasar dan sekolah
menengah yang sederhana, namun dengan hasil rata-rata yang sangat memuaskan.
Setelah selesai SMA, dia bekerja pada perusahaan penggalian jalan raya Alaska
Highway di Yukon.
Dia
menerima gelar sarjana muda di bidang psikologi dari University of British of
Columbia tahun 1949. Kemudian dia masuk University of Lowa, tempat dimana ia
meraih gelar Ph.D tahun 1952. Baru
setelah itu dia menjadi sangat berpengaruh dalam trades behavioris dan teori pembelajaran.
Ketika
dia di Lowa, Bandura dipengaruhi oleh Kenneth Spence, seorang teoritisi Hullian
terkemuka, tetapi minat utama Bandura adalah Psikolohi Klinis. Pada saat itu
Bandura ingin menjelaskan yang dianggap efektif dalam psikoterapi dan kemudian
menguji dan memperbaiki gagasan itu. Pada periode ini Bandura membaca buku Social
Learning and Imitation karya Miller dan Donald. Selain itu disini dia
bertemu dengan Virginia Varns, seorang instruktur sekolah perawat. Mereka
kemudian menikah dan dikaruniai dua orang puteri. Setelah lulus, dia meneruskan
pendidikannya ke tingkat post doctoral di Wichita Guidance Center di Wichita,
Kansas.
Tahun
1953, dia mulai mengajar di Stanford University. Di sini dia kemudian bekerja
sama dengan salah satu anak didiknya, Richard Walters. Buku pertama hasil kerja
sama mereka berjudul Adolescent Aggression terbit tahun 1959. Pada tahun
1960-an Bandura menulis serangkaian artikel dan buku yang menentang penjelasan
lama tentang belajar imitasi dan memperluas topic itu ke hal yang kini disebut
belajar observasional.
Bandura
menjadi presiden APA tahun 1973, dan menerima APA Award atas jasa-jasanya dalam
Distinguished Scienific Contributions tahun 1980. (George Boeree, 1997).
Teori Kogintif Sosial Bandura
Teori
kognitif sosial Bandura lebih komprehansif, Bandura berkonsentrasi pada
perilaku social, yang berbeda dengan teori Dollard dan Miller sebagai teori
belajar social. Bandura memnilih nama Social Cognitive Theory (teori kognitif
social). Teori ini mencakup fenomena psikososial, seperti motivasi dan
mekanisme pengaturan diri, yang melampaui isu belajar. Dalam kerangka teoritis
ini belajar dipahami terutama sebagai akuisisi pengetahuan melalui pemrosesan
informasi secara kognitif. Terminology social dalam teori ini menunjukkan teori
ini mengakuio asal-usul social dari banyak pemikiran dan tindakan manusia,
aspek kognitifnya mengakui kontribusi kausal dari proses pemikiran terhadap
motivasi, sikap dan tindakan manusia. (Bandura, 1986)
Popularitas
teori Bandura dapat dijelaskan lewat pengakuannya atas keunikan manusia. Teorinya
mendeskripsikan manusia sebagai organism yang dinamis dalam memproses informasi
dan sebagai organisme yang social. Entah itu secara langsung atau tak langsung,
kebanyakan proses belajar kita biasanya
melibatkan orang lain dalam setting soaial. Berdasarkan observasi dan
interaksi dengan orang lain inilah kognisi kita, termasuk standar performa dan
penilaian moral, terus berkembang. Menurut Bandura (1977), kemampuan manusia
untuk membuat symbol membuat mereka “bisa menginterpretasikan kejadian, menganalisis
pengalaman sadarnya, berkomunikasi dengan orang lain yang dipisahkan oleh jarak
dan waktu, merencanakan, menciptakan, membayangkan dan melakukan tindakan yang
penuh pertimbangan”.
Bagi bandura, walaupun prinsip
belajar cukup untuk menjelaskan dan meramalkan perubahan tingkah laku, prinsip
itu harus memperthatikan dua fenomena penting yang diabaikan atau ditolak oleh
paradigma behaviorisme.
Definisi Belajar sosial (social
kognitif) adalah perilaku dibentuk melalui konteks sosial. Perilaku dapat dipelajari
baik, sebagai hasil reinformecement maupun reiforcement.
Pertama, Bandura berpendapat bahwa
manusia dapat berfikir dan mengatur tingkah lakunya sendiri, sehingga mereka
bukan semata – mata bidak yang menjadi objek pengaruh lingkungan. Sifat kausal
bukan dimiliki sendirian oleh lingkungan, karena orang dan lingkungan saling
mempengaruhi.
Kedua, Bandura menyatakan, banyak
aspek fungsi kepribadian melibatkan interaksi dengan orang lain. Dampaknya,
teori kepribadian yang memadai harus memperhitungkan konteks sosial di mana
tingkah laku itu diperoleh dan dipelihara.
Berikut akan dijelaskan terlebih
dahulu mengenai determinan resiprokal, beyond reinforcement, dan self
regulation.
1. Determinis resiprokal
Pendekatan yang menjelaskan tingkah
laku manusia dalam bentuk interaksi timbal balik yang terus menerus antara
determinan kognitif, behavioral dan lingkungan. Orang menentukan / mempengaruhi
tingkah lakunya dengan mengontrol lingkungan, tetapi orang itu juga dikontrol
oleh kekuatan lingkungan itu. Determenis resiprokal adalah konsep penting dalam
teori belajar sosial Bandura, menjadi pijakan Bandura dalam memahami tingkah
laku. Teori belajar sosial memakai saling detirminis sebagai prinsip dasar
untuk menganalisis fenomena psiko-sosial di berbagai tingkat kompleksitas, dari
perkembangan interpersonal sampai tingkah laku interpersonal serta fungsi
interaktif sari organisasi dan sistem sosial.
Gambar berikut menunjukkan Nilai
komperhensif dari determinis resiprokal Bandura dibandingkan dengan teori
Behaviorisme lainnya.
Bandura: Hubungan antara Pribadi,
Lingkungan dan Tingkah laku saling mempengaruhi
2. Tanpa reinforcement
Bandura memandang teori Skinner dan
Hull terlalu bergantung pada reinforcement. Jika setiap unik respon sosial yang
orang malah tidak belajar apapun. Menurutnya reinforcement penting dalam
menentukan apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu
bukan satu – satunya pembentuk tingkah laku. Orang dapat belajar melakukan
sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya.
Belajar melalui observasi tanpa ada reinforsement yang terlibat, berarti
tingkah laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi, itu merupakan pokok teori
belajar sosial.
3. Kognisi dan Regulasi diri
Teori belajar tradisional
sering terhalang oleh ke-tidak-senangan atau ketidak mampuan mereka untuk
menjelaskan proses kognitif. Konsep Bandura menempatkan manusia sebagai pribadi
yang dapat mengatur diri sendiri (self regulation), mempengaruhi tingkah laku
dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, mengadakan
konsekuensi bagi tingkah lakunya sendiri. Kemampuan kecerdasan untuk berfikir
simbolik menjadi sarana yang kuat untuk menangani lingkungan, misalnya
dengan menyimpan pengalaman (dalam ingatan) dalam wujud verbal dan
gambaran imajinasi untuk kepentingan tingkahlaku pada masa yang akan datang.
Kemampuan untuk menggambarkan secara imajinatif hasil yang diinginkan pada masa
yang akan datang mengembangkan strategi tingkah laku yang membimbing ke arah
tujuan jangka panjang.
Bandura melukiskan :
Teori Belajar Sosial berusaha menjelaskan tingkahlaku
manusia dari segi interaksi timbal-balik yang berkesinambungan antara faktor
kognitif, tingkahlaku, dan faktor lingkungan. Dalam proses determinisme
timbal-balik itulah terletak kesempatan bagi manusia untuk mempengaruhi
nasibnya maupun batas-batas kemampuannya untuk memimpin diri sendiri
(self-direction). Konsepsi tentang cara manusia berfungsi semacam ini tidak
menempatkan orang semata-mata sebagai objek tak berdaya yang dikontrol oleh
pengaruh-pengaruh lingkungan ataupun sebagai pelaku-pelaku bebas yang dapat
menjadi apa yang dipilihnya. Manusia dan lingkungannya merupakan faktor-faktor
yang saling menentukan secara timbal balik (Bandura, 1977)
Albert
Bandura lahir di Mudane Kanada, 4 Desember 1925. Dia
adalah seorang psikolog. Ia menerima gelar sarjana muda di bidang
psikologi University of British of Columbia pada tahun 1949.
Kemudian dia masuk University of Iowa, tempat di mana dia meraih gelar Ph.D
tahun 1952. Baru setelah itu dia menjadi sangat berpengaruh dalam tradisi
behavioris dan teori pembelajaran.
Tahun 1953,
dia mulai mengajar di Standford University. Di sini, dia kemudian bekerja sama
dengan salah seorang anak didiknya, Richard Walters. Buku pertama hasil kerja
sama mereka berjudul Adolescent Aggression terbit tahun 1959. Bandura menjadi
presiden APA tahun 1973, dan menerima APA Award atas jasa-jasanya dalam Distinguished
Scientific Contributions tahun 1980.
Teori-teori
Albert Bandura banyak di aplikasikan dalam bidang pendidikan terutama pada
pembelajaran sosial (social learning theory). Teori
pembelajaran sosial ini pada awalnya dinamakan sebagai “Teori Sosial
Kognitif” oleh Bandura sendiri (Moore, 2002). Teori
pembelajaran sosial menyatakan bahwa faktor-faktor sosial, kognitif
dan tingkah laku memainkan peranan penting dalam pembelajaran (Santrock, 2001).
Faktor kognitif akan mempengaruhi wawasan pelajar tentang pemahaman; sementara
faktor sosial, termasuk perhatian pelajar tentang tingkah laku dan imitasi ibu
bapaknya, akan mempengaruhi tingkah laku pelajar tersebut.
Teori Pembelajaran Sosial (Albert
Bandura)
Tingkah laku agresif tidak dapat
dinafikan merupakan sebahagian daripada tingkah lakuberisiko remaja. Teori
Pembelajaran Sosial yang diperkenalkan oleh Albert Bandura sangatrelevan dengan
penyelesaian masalah tingkah laku agresif dan keganasan. Menurut Bandura(1977),
Teori Pembelajaran Sosial didefinisikan sebagai satu pembelajaran yang berlaku
denganmemerhati orang lain melakukan sesuatu atau menjadikan seseorang sebagai
model tingkah laku. Ini berarti persekitaran dan juga orang-orang yang
signifikan akan mempengaruhi tingkah laku.
Bandura (1977) juga menyatakan
seseorang individu akan memerhatikan sesuatu tingkah laku daripada orang lain
yang signifikan dengannya dan menyimpan maklumat yang diperhatikan secara
kognitif dan seterusnya mempersembahkan tingkah laku tersebut. Justru itu,
tingkah laku agresif dipelajari daripada persekitaran social seperti interaksi
dengan keluarga, rakan sebaya,media massa dan konsep kendiri individu (Mahmood,
2001).
Di dalam teori Pembelajaran Sosial
Bandura (1977), beliau telah membuat analisis yang menyatakan bagaimana manusia
belajar melalui pemerhatian. Pembelajaran adalah melalui peniruan, mengajuk dan
memadan. Biasanya, setiap individu terutama kanak-kanak akan menilai sesuatu
perkara berasaskan kepada perkara yang pernah dilihat oleh mereka daripada
orang-orang yang signifikan dan persekitaran. Bandura (1977), mendapati
kanak-kanak akan mencontohi tingkah laku agresif selepas menonton filem yang
berunsurkan aksi agresif (Eron,1982).
Menurut Maarof (2003), Bandura
(1977), menekankan bahawa manusia belajar dengan cara memerhatikan tingkah laku
orang lain. Pembelajaran pemerhatian, yang dinamakan juga sebagai pemodelan, terhasil
apabila manusia atau anak-anak memerhatikan tingkah laku orang lain atau mereka
yang signifikan dan mencatatkan konsekuen tingkah laku tersebut. Kebanyakan
pola percakapan, gaya pakaian, tingkah laku negatif dan agresif dan pelbagai
tingkah laku dipelajari melalui pemodelan. Anak-anak remaja biasanya menjadikan
ibu bapa, pelakon film,ahli sukan, guru dan seumpamanya sebagai model yang
menjadi ikutan. Ini menjelaskan kepada kita mengapa tingkah laku berbeda-beda
mengikut masyarakat dan budaya.
Albert Bandura(1977), menganggap
pemodelan merupakan demonstrasi yang penting tentang peranan kognitif dalam
pembelajaran. Namun, tidak semestinya semua tingkah laku model ditiru.
Anak-anak cenderung meniru tingkah laku yang diberikan peneguhan positif
berbanding dengan tingkah laku yang diberikan hukuman. Sementara itu, sekiranya
tidak diketahui peneguhan dan hukuman yang diperolehi, anak-anak atau remaja
cenderung meniru tingkah laku model yang berstatus tinggi, menarik, yang
disukai, dan berjaya atau malahanmereka mengandaikan bahawa tingkah laku mereka
itu sering membawa kepada peneguhan.
Bandura (1977), telah menjalankan
satu kajian, hasilnya beberapa orang kanak-kanak prasekolah telah ditunjukkan
adegan seorang dewasa yang memukul patung bernama Bobo. Kemudian, apabila
kanak-kanak tadi dibiarkan bersendirian dengan patung tadi, mereka telah
memukul patung tersebut sebagai mana telah dilakukan oleh orang dewasa tadi.
Kadar tingkah laku agresif adalah sama seperti apa yang telah dilakukan oleh
orang dewasa pada sebelumnya. Ini menunjukkan bahawa amat mudah bagi
kanak-kanak meniru sesuatu perlakuan tanpa mengetahui apakah perlakuan tersebut
wajar atau tidak.
Dalam satu kajian lain, Bandura
(1977), membuat perbandingan antara tingkah laku ibu bapa yang mempunyai anak
yang terlalu agresif dan anak yang terkawal. Teori Bandura(1977),mengatakan
bahawa tingkah laku anak sepatutnya selari dengan tingkah laku ibu bapa. Kajian
tersebut mendapati ibu bapa yang mempunyai anak yang terkawal terdiri daripada
ibu bapa yang tidak agresif dan boleh mengawal tingkah laku mereka, manakala
ibu bapa yang mempunyai anak yang terlalu agresif adalah terdiri daripada
mereka yang juga bersikap agresif.
Teori pembelajaran sosial
menekankan kepada proses peniruan sebagai bertanggung jawab kepada pembelajaran
tingkah laku. Pemerhatian tingkah laku orang lain merupakan sebagai proses
peniruan yang akan membentuk tingkah laku devian seseorang.
Peniruan melalui pemerhatian
merupakan satu proses pembalajaran tanpa melibatkan pengalaman lepas secara
langsung (Renfrew, 1997).
AplikasiDalam
Bidang Pendidikan
Teori-teori
Albert Bandura banyak di aplikasikan dalam bidang pendidikan terutama pada
pembelajaran sosial (social learning theory). Teori
pembelajaran sosial ini pada awalnya dinamakan sebagai “Teori Sosial
Kognitif” oleh Bandura sendiri (Moore, 2002). Teori
pembelajaran sosial menyatakan bahwa faktor-faktor sosial, kognitif
dan tingkah laku memainkan peranan penting dalam pembelajaran (Santrock, 2001).
Faktor kognitif akan mempengaruhi wawasan pelajar tentang pemahaman; sementara
faktor sosial, termasuk perhatian pelajar tentang tingkah laku dan imitasi ibu
bapaknya, akan mempengaruhi tingkah laku pelajar tersebut.
Teori
pembelajaran sosial menganggap manusia sebagai makhluk yang aktif, berupaya
membuat pilihan dan menggunakan proses-proses perkembangan untuk menyimpulkan
peristiwa serta berkomunikasi dengan orang lain. Perilaku manusia tidak
ditentukan oleh pengaruh lingkungan dan sejarah perkembangan seseorang atau
bertindak pasif terhadap pengaruh lingkungan. Dalam banyak hal, manusia adalah
selektif dan bukan entiti yang pasif, yang boleh dipengaruhi oleh keadaan
lingkungan mereka.
Bandura
(1977) menyatakan bahwa "Learning would be exceedingly laborious, not
to mention hazardous, if people had to rely solely on the effects of their own
action to inform them what to do. Fortunately, most human behavior is learned
observationally through modeling: from observing others one form an idea of her
new behavior are performed, and on later occasion this coded information serves
as a guide for action".
Teori
Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang
berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. Kondisi
lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial jenis
ini. Contohnya, seorang yang hidupnya dan dibesarkan di dalam lingkungan judi,
maka dia cenderung untuk memilih bermain judi, atau sebaliknya menganggap
bahawa judi itu adalah tidak baik.
Teori
belajar ini juga dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana seseorang belajar
dalam keadaan atau lingkungan yang sebenarnya. Bandura (1977) menghipotesiskan
bahwa tingkah laku (B = behavior), lingkungan (E = environment)
dan kejadian-kejadian internal pada pelajar yang mempengaruhi persepsi dan aksi
(P = perception) adalah merupakan hubungan yang saling berpengaruh
atau berkaitan (interlocking). menurut Albert Bandura lagi,
tingkah laku sering dievaluasi, iaitu bebas dari timbal balik sehingga boleh
mengubah kesan-kesan personal seseorang. Pengakuan sosial yang berbeda
mempengaruhi konsepsi diri individu.
Teori
belajar sosial menekankan, bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada
seseorang secara kebetulan; lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan
diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagaimana
(Kardi, S., 1997: 14) bahwa “sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan
secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain”. Inti dari teori
pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan permodelan
ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.
Ada dua
jenis pembelajaran melalui pengamatan (observational learning).
Pertama,
pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami
orang lain atau vicarious conditioning. Contohnya, seorang
pelajar melihat temannya dipuji atau ditegur oleh gurunya kerana perbuatannya,
maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya sama ingin
dipuji oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan melalui
pujian yang dialami orang lain atau vicarious reinforcement.
Kedua,
pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku suatu model meskipun model itu
tidak mendapatkan penguatan atau pelemahan pada saat pengamat itu sedang
memperhatikan model itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh
pengamat tersebut dan mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila
menguasai secara tuntas apa yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan
oleh seseorang secara langsung, tetapi kita dapat juga menggunakan seseorang
pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model.
Menurut
Bandura, perlakuan seseorang adalah hasil interaksi faktor dalam diri
(kognitif) dan lingkungan. Untuk menjelaskan pandangan ini, beliau telah
mengemukakan teori tentang imitasi. Bersama dengan Walter (1963) dia mengadakan
penelitian pada anak-anak dengan cara menonton orang dewasa memukul, mengetuk
dengan tukul besi dan menumbuk sambil menjerit-jerit ‘sockeroo’ dalam film.
Setelah menonton film anak-anak ini diarah bermain di ruang permainan dan
terdapat patung seperti yang ditayangkan dalam film. Setelah kanak-kanak
tersebut melihat patung tersebut, mereka meniru aksi-aksi yang dilakukan oleh
orang yang mereka tonton dalam film.
Pendekatan
teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral ditekankan
pada perlunya conditioning (pembiasaan merespons) dan imitation (peniruan).
Prosedur-prosedur Social learning:
Conditioning
Prosedur
belajar dalam mengembangkan perilaku sosial dan moral pada dasarnya sama dengan
prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku-perilaku lainnya, yakni
dengan; Reward (hadiah), Punishment (hukuman).
Dasar pemikirannya: Sekali seorang mempelajari perbedaan antara
perilaku-perilaku yang menghasilkan ganjaran (reward)dengan perilaku-perilaku
yang mengakibatkan hukuman (punishment), sehingga dia bisa
memutuskan sendiri perilaku mana yang akan dia perbuat.
Imitation
Imitation (peniruan).
Dalam hal ini, orang tua dan guru diharapkan memainkan peran penting sebagai
seorang model/tokoh yang dijadikan contoh berperilaku sosial dan moral.
Kualitas kemampuan peserta didik dalam melakukan perilaku social hasil
pengamatan terhadap model tersebut, antara lain bergantung pada ketajaman
persepsinya mengenai ganjaran dan hukuman yang berkaitan dengan benar dan
salahnya perilaku yang ia tiru dari model tadi. Selain itu, tingkat kualitas
imitasi tersebut juga bergantung pada persepsi peserta didik “siapa “ yang
menjadi model. Maksudnya, semakin piawai dan berwibawa seorang model, semakin
tinggi pula kualitas imitasi perilaku social dan moral peserta didik tersebut.
Jadi dalamSocial Learning, anak belajar karena contoh lingkungan.
Interaksi antara anak dengan lingkungan akan menimbulkan pengalaman baru bagi
anak-anak.
Kelebihan Dan Kekuranga Teori Belajar Sosial
Kelebihan
1. Berfokus
pada situasi yang mempengaruhi perilaku
Satu
karakteristik dari struktural, trait, dan teori organisme adalah bahwa mereka
menempatkan penyebab perilaku utama di dalam diri seseorang dan oleh karena itu
teori ini meramalkan bahwa seseorang akan bertindak sama pada situasi yang
berbeda. Dengan begitu Freud, mengharapkan seorang anak dengan superego yang
kuat menjadi sangat sulit dikontrol dalam kebanyakan situasi. Pada hal yang
sama Piaget relatif tidak tertarik pada kenyataannya bahwa konservasi diperoleh
untuk area tertentu sebelum yang lainnya atau memperoleh sebagian pengetahuan
baru boleh jadi diperlihatkan di dalam situasi yang lainnya. Teori belajar,
pada lawannya telah mengambil cara berpendirian berperilaku seseorang pada
kenyataannya jenis tipikal dari situasi ke situasi yang lain, tergantung pada
stimulus dan penguat yang ditemukan pada masing-masing situasi dan pada
pengalaman masa lalu apakah yang diperoleh seseorang pada situasi tersebut.
2. Berfokus
pada alat pengamatan, perilaku sosial emosional dan motivasi
Walaupun
banyak ahli teori yang mengakui bahwa pikiran dalam suatu konteks sosial,
mereka tidak banyak menyediakan keterangan yang detail. Pembatasan ini adalah
suatu masalah yang serius. Ada 2 pertanyaan inti di sini yaitu: pertama,
bagaimana pengalaman sosial mempengaruhi perkembangan kognitif? Berkenaan
dengan pertanyaan pertama, teori belajar sosial menguraikan bagaimana modeling,
instruksi dari lainnya dan pelajaran seolah mengalami sendiri tentang hukuman
dan penguatan mengabarkan informasi untuk anak-anak. Banyak informasi baru yang
datang dari yang lainnya dibanding dari trial
and error yang langsung
dialami oleh dunia fisik. Bahkan gaya pengolahan informasi, seperti pengambilan
keputusan yang mengikuti kata hati dapat ditiru. Kedua, bagaimana cara
pengembangan teori mempengaruhi pemahaman peristiwa sosial anak-anak? Berkenaan
dengan pertanyaan ini, jawaban Bandura adalah perkembangan kognitif pengertian
sosial dengan cara berikut ketika anak-anak menjadi semakin terampil dalam
mengambil keputusan, mewakili peristiwa secara simbolis, menggunakan strategi
memori dan menyusun kembali pengetahuan yang lalu, hal ini menjadi lebih
efisien pada pemahaman perilaku yang mereka amati.
3.
Memberikan pengertian
tentang gejala-gejala perkembangan anak.
4. Memberikan
pengertian mengenai peranan interaksi antara lingkungan dengan anak, misalnya :
ibu dengan anaknya yang sedang belajar bahasa.
Kelemahan
1. Perhatian
tentang perkembangan kognitif tidak cukup
Teori
Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya karena itu
menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui sistem
kognitif orang tersebut. Bagaimanapun, alam dari sistem kognitif, bagaimana itu
berkembang, dan bagaiman pengembangan ini mempengaruhi penelitian belajar
mengutamakan untuk keberhasilan. Walaupun teori ini telah bebas mengadopsi
teori pengolahan informasi yang telah diperhitungkan dari pemikiran, hanya
gambaran umum yang diperhitungkan, seperti penyajian simbolis, perhatian,
penyimpanan informasi, konstruksi aturan dan verifikasi.
Implikasi Teori Albert Bandura
A.
Analisis Kasus Menurut
Kajian Teoritis
Kategori belajar terdiri atas
ketrampilan sensomotor yakni tindakan yang bersifat otomatis. Teori Bandura
mengandung banyak implikasi bagi pendidikan. Bandura percaya bahwa segala
sesuatu yang dapat dipelajari melalui pengalaman langsung juga bisa dipelajari
secara tak langsung lewat observasi. Bandura juga percaya bahwa model akan amat
efektif jika dilihat sebagai memiliki kehormatan, kompetensi, status tinggi
atau kekuasaan.
Belajar asosiasi yaitu hubungan
antara urutan kata dan objek, ketrampilan pengamatan motoris yakni hubungan
antara belajar sensomotor dengan belajar asosiasi. Belajar konseptual yakni
gambaran mental secara umum dan abstrak tentang situasi atau kondisi, belajar
cita-cita dan sikap, serta belajar memecahkan masalah yang menuntut kemampuan
memanipulasikan ide-ide yang abstrak.
B. Implikasi
Teori-Teori Belajar Dalam Pendidikan
Kebanyakan yang diajarkan di sekolah
adalah tingkah laku yang komplek, bukan hanya simpel respons. Tingkah laku yang
komplek ini dapat diajarkan melalui proses shaping atau succesive
approximation, beberapa tingkah laku yang mendekati respons terminal. Proses
ini dimulai dengan penetapan tujuan, kemudian diadakan analisis tugas,
langkah-langkah kegiatan murid dan reinforcement terhadap respon yang
diinginkan.
Suatu bentuk belajar yang tidak
dapat dinamakan dengan classical conditioning maupun operant conditioning.
Dalam modelling, seseorang yang belajar mengikuti kelanjutan orang lain sebagai
model. Tingkah laku manusia lebih banyak dipelajari melalui modelling atau
imitasi dari pada melalui pengajaran langsung.
Prosedur-prosedur
pengendalian atau perbaikan tingkah laku
a) Memperkuat
tingah laku bersaing
Dalam usaha mengubah tingkah yang
tidak diinginkan diadakan penguatan tingkah laku yang diinginkan misalnya
dengan kegiatan kerjasama, membaca dan bekerja disatu meja untuk mengatasi
kelakuan-kelakuan menentang, melamun dan hilir-mudik
b) Extincsi
Dilakukan dengan membuang atau
meniadakan peristiwa penguat tingkah laku. Extincsi dapat dipakai bersama
metode lain seperti modelling dan sosial reinforcemenr. Extincsi berlangsung
terutama jika reinforcement adalah perhatian. Apabila murid memperhatikan
kesana-kemari, maka perubahan Extincsi guru-murid akan menghentikan tingkah
laku murid tersebut.
c) Satiasi
Adalah suatu prosedur menyuruh
seseorang melakukan perbuatan berulang-ulang sehingga ia menjadi lelah dan
jera. Contoh : seorang guru yang memergoki muridnya menyuruh anak merokok
sampai habis satu pak sehingga murid itu bosan
d) Perubahan
Lingkungan
Beberapa tingkah laku dapat dikendalikan
oleh perubahan kondisi stimuli yang mempengaruhi tingkah laku itu. Jika murid
terganggu oleh suara gaduh diluar kelas ketukan jendela dapat menghentikan
gangguan itu.
e) Hukuman
Untuk memperbaiki tingkah laku hukuman
hendaknya diterapkan di kelas dengan bijaksana. Hukuman dapat mengatasi tingkah
laku yang tidak diinginkan dalam waktu singkat, untuk itu perlu disertai dengan
reinforcement. Hukuman menunjukkan apa yang tidak boleh dilakukan murid,
sedangkan reword menunjukkan apa yang mesti dilakukan oleh murid.
BAB 12
TEORI BELAJAR DONALD O.
HEBB
Abdul Rouf, Ihya’ Ulumuddin
Neuropsychology:
1)
Konsep/Prinsip/Asumsi Dasar
Hebb membangun teori cell assembly dan phase
sequence (hubungan dan gabungan antarsel). Hubungan satu sel syaraf otak dengan sel syaraf otak lain melalui
impuls yang dikirim membuat bagian syaraf terstimulasi lebih
aktif.Stimulus-respon dalam teori asosiasi dan fungsi stimulus-respon dalam
teori fungsionalis merupakan sistem kognitif yang melibatkan otak dan syaraf
dalam kesatuan kinerja. Lokalisasi otak (enriched
environment) menempatkan individu dalam lingkungan yang menstabilkannya
untuk memperoleh banyak pengetahuan baru.
Dalam Olson
& Heiggenhanhn (2009) teori utama Hebb adalah pertemuan antarsel dan tahap
rangkaian. Sebuah pertemuan sel adalah paket neural yang berasosiasi dengan
objek lingkungan. Jika paket neural distimulasi dalam ketidakhadiran objek yang
berasosiasi, sebuah ide dari objek tersebut dicobakan. Tahap rangkaian adalah sebuah
seri dari sel yang saling berhubungan. Jika beberapa kejadian khusus terjadi
bersama-sama dalam sebuah lingkungan, mereka terwakili pada tingkat neural
sebagai sebuah tahap rangkaian.
2)
Tipe belajar
Tipe belajar Hebb berdasar pada teori R. Y. Cajal
tentang kondisioning yang terjadi karena adanya aliran dalam sistem syaraf.
Hebb memformulasikan hipotesis mekanisme biologis yang disebut teori belajar
Hebbian.
3)
Mekanisme belajar
Teori belajar Hebbian dibagi dalam dua bagian:
a)
Koneksi dua sel yang berhubungan secara simultan
lebih kuat. Jika individu diberi stimulus terus menerus, maka akan
menguasai.Sistem otaknya terbiasa menerima stimulus tersebut.
b)
Belajar diartikan sebagai penambahan tegangan
formasi dalam sel syaraf otak. Terdapat dalam long termmemorypadatingkatbiomolekular. Sedangkanshort
termmemory merupakanaktivitas
yang tetapdandapatdipertahankanmelaluiimpulsmendadakantarselmeskipun stimulus
awalnyahilang. Semuaterbentukolehmekanismesinapsis.
Menurut Hebb terdapat dua macam pembelajaran yaitu:
a)
Pembangunan
lambat pertemuan antarsel dan tahap rangkaian pada permulaan awal kehidupan.
b)
Pembelajaran
yang lebih berwawasan pada masa dewasa.
Belajar berasosiasi dengan memperkuat koneksi
(respon reaksi dalam otak). Dengan adanya hubungan stimulus dengan respon,
mekanisme belajar terjadi. Di dalam otak terdapat biological plausability sebagaisistem neural net modelling/sistem jaring laba-laba pada otak.
4)
Aplikasi
dalam Kehidupan Nyata dari Teori Hebb
Selama proses pembelajaran awal, sebuah lingkungan yang kaya akan stimulus
akan menjadi sangat penting untuk seorang anak, termasuk bermacam-macam objek
penglihatan, suara tekstur, bentuk, objek, dan yang lainnya. Semakin kompleks
lingkungan, akan semakin banyak terwakili dalam tingkat neurologis. Semakin
banyak terwakili dalam neurologis, semakin banyak anak tersebut berpikir. Hebb
menyarankan agar anak-anak diberi lingkungan dengan bermacam-macam stimulus
atau varietas.
Tim Penyusun Naskah Modul Psikologi Belajar
Psikologi 6 G1 UIN Sunan Ampel Surabaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Saran dan komentar anda akan sangat membantu dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas kami dalam berbagi.