Kamis, 19 Juni 2014

Modul Psikologi Belajar

BAB 1
EDWARD L. THORNDIKE
Ahmad Haris Susanto, Aziz Purnomo, Nurul Choiriyah

Konsep Primer
Teori belajar menurut Edward L. Thorndike
1.           Koneksionisme
Thorndike memplokamirkan teorinya dalam belajar. Ia mengungkapkan bahwasannya setiap makhluk hidup dalam tingkah lakunya itu merupakan hubungan antara stimulus dan respon. Adapun teori Thorndike ini disebut teori koneksionisme, koneksi disebut sebagai koneksi saraf yang disebut sambungan saraf antara stimuli(S) dan respon(R). Agar tercapai hubungan antara stimulus dan respons, perlu adanya kemampuan untuk memilih respons yang tepat serta melalui percobaan-percobaan ( trials ) dan kegagalan-kegagalan ( error ) terlebih dahulu.
2.           Selecting and Connecting (Memilih dan Menghubungkan),
Teori Thorndhike yang paling mendasar adalah trial dan eror belajar, atau pada awalnya disebut selecting and connecting. (memilih dan menghubungan). Ia mencapai gagasan dasar ini melalui percobaan awalnya, menempatkan hewan ke dalam “puzzle box” (seperti gambar di bawah) yang diatur sedemikian rupa, sehingga binatang membuat jenis respon melarikan diri.
Ciri-ciri belajar dengan trial and error :
·         Ada motif pendorong aktivitas
·         ada berbagai respon terhadap situasi
·         ada aliminasi respon-respon yang gagal atau salah
·         ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan dari penelitiannya itu
3.             Belajar merupakan Penambahan (Incremental), bukan secara Mendalam (Insightful),
Tidak ada penurunan waktu yang lambat untuk mencari solusi yang terdapat dari percobaan di atas. Thorndike menyimpulkan bahwa belajar lebih pada suatu tambahan daripada mendalam. Dengan kata lain, belajar terjadi dalam langkah-langkah sistematis yang sangat kecil daripada lompatan besar. Ia mencatat bahwa jika belajar mendalam, grafik akan menunjukkan bahwa waktu untuk solusi akan tetap relatif stabil dan akan tinggi ketika binatang tidak memperoleh latihan.
4.             Belajar Tidak Ditengahi Oleh Ide-Ide,
Berdasarkan penelitiannya, Thorndike (1898) juga menyimpulkan bahwa belajar merupakan proses langsung dan tidak dipengaruhi oleh proses berpikir atau suatu alasan. Berdasarkan percobaan di atas, kucing tidak melihat situasi, apalagi memikirkan hal itu untuk memutuskan apa yang harus dilakukan. Perilaku tersebut diperoleh dari naluri dan pengalaman yang telah menetap sebagai reaksi yang cocok untuk situasi "kurungan ketika lapar dengan makanan di luar".
5.             Semua mamalia belajar dalam cara yang sama(termasuk manusia).
Banyak yang terganggu oleh desakan Thorndike bahwa semua pembelajaran merupakan proses langsung dan tidak dimediasi oleh ide-ide, terutama karena ia juga mempelajari semua mamalia termasuk manusia mengikuti hukum yang sama.
Hukum – hukum yang dipakai oleh edward  L Thorndike
a)      Hukum Kesiapan (The Laws of Readiness),
Hukum Kesiapan (The Laws of Readiness), yang diusulkan dalam bukunya The Original Nature Of Man (Thorndike, 1913b), memiliki tiga bagian, disingkat sebagai berikut:
1) Ketika sebuah unit konduksi siap melakukan, konduksi tersebutmemuaskan.
2) Untuk unit konduksi siap untuk melakukan, tidak melakukan menyebalkan
3) Ketika sebuah unit konduksi belum siap untuk konduksi dan dipaksa untuk melakukan,  konduksi dengan itu menjengkelkan
Apa yang dimaksudkan di sini dengan "unit konduksi siap melakukan" hanyalah kesiapan untuk tindakan atau tujuan diarahkan. Menggunakan terminologi saat ini kita dapat menyatakan kembali hukum Thorndike tentang kesiapan sebagai berikut:
1. Ketika seseorang siap untuk melakukan tindakan tertentu, untuk melakukannya adalah memuaskan
2. Ketika seseorang siap untuk melakukan tindakan tertentu, tidak untuk melakukannya adalah menjengkelkan
3. Ketika seseorang tidak siap untuk melakukan tindakan tertentu dan dipaksa untuk melakukannya, itu menjengkelkan
Secara umum, kita dapat mengatakan bahwa tujuan perilaku yang diarahkan menyebabkan frustrasi dan menyebabkan seseorang untuk melakukan sesuatu yang mereka tidak ingin lakukan adalah juga frustasi.
b)      Hukum Latihan (The Law of Exercise),
Teori Thorndike yang termasuk The Law of Exercise, yang memiliki dua bagian:
·         Hubungan antara stimulus dan respon diperkuat ketika mereka digunakan. Dengan kata lain, melalui latihan berulang-ulang maka hubungan stimulus dan respons semakin kuat. Ini adalah bagian dari hukum latihan yang disebut hukum penggunaan (Law Of Use).
·         Hubungan antara stimulus dan respon melemah ketika praktik dihentikan atau mereka tidak digunakan. Ini adalah bagian dari hukum latihan yang disebut hukum tidak digunakan (Law Of Disuse)
Apa yang dimaksud Thorndike dengan penguatan atau melemahnya koneksi? Ia mendefinisikan penguatan sebagai peningkatan probabilitas, bahwa respon akan dibuat ketika stimulus berulang. Jika ikatan antara stimulus dan respon yang diperkuat, waktu berikutnya stimulus yang terjadi ada kemungkinan peningkatan bahwa respon akan terjadi. Jika ikatan itu melemah, ada kemungkinan menurun bahwa waktu berikutnya terjadi stimulus respon akan terjadi. Secara singkat, hukum kesiapan mengatakan bahwa kita belajar dengan melakukannya dan melupakan dengan tidak melakukannya.
c)      Hukum efek (The Law of Effect)
Hukum efek,  mengacu pada penguatan atau melemahnya suatu hubungan antara stimulus dan respons sebagai akibat dari konsekuensi respon. Sebagai contoh, jika respon yang diikuti oleh kepuasan latihan dari suatu keadaan, kekuatan sambungan meningkat. Jika respon diikuti oleh latihan dari suatu keadaan yang menjengkelkan, kekuatan sambungan menurun. Dalam terminologi modern, Jika stimulus mengarah ke respon, yang pada gilirannya menyebabkan penguatan, koneksi SR adalah penguatan. Di sisi lain, jika stimulus mengarah ke respon yang mengarah ke hukuman, koneksi SR melemah.
Eksperimen Edward Thorndike
Gambaran eksperimen thorndike terhadap hewan (kucing) yang menjadi dasar teorinya:
·         Percobaan dilakukan terhadap seekor kucing yang lapar.
·         Kucing itu ditaruh dalam kandang, yang mana terdapat celah-celah kecil di kandang tersebut, sehingga seekor kucing itu bisa melihat makakanan yang berada diluar kandang.
·         Puzzle box yang merupakan sebuah kurungan kecil dengan pintu yang akan terbuka jika kucing menarik tali yang tergantung di dalam kurungan.  Tugas kucing ialah keluar dari kurungan untuk mendapatkan makanan (hadiah) yang ditempatkan di luar kurungan.
·         Mula-mula, kucing akan berjalan di sekeliling kurungan, mencakar-cakar lantai, meloncat ke kiri-kanan hingga sampai pada gerakan yang tidak sengaja dia menarik tali pembuka pintu kurungan. Thorndike mengulang percobaan ini beberapa kali, dan kucing pun masih lari sekitar kandangnya, tetapi menarik tali lebih cepat.
·         Setelah beberapa percobaan, kucing memusatkan tingkah lakunya di sekeliling tali, akhirnya menarik tali, pintu terbuka, dan mendapatkan makanan.


Konsep Sekunder Sebelum 1930
Kelima hukum sekunder tersebut merupakan prinsip-prinsip yang penting di dalam proses belajar, akan tetapi tidak sepenting hukum-hukum primer. Hubungan antara hukum-hukum pokok/primer dan hukum-hukum sekunder itu tidak begitu jelas, dan dalam tulisan-tulisan Thorndike yang lebih kemudian hukum-hukum sekunder tersebut kadang-kadang dipakai lagi. Adapun ke lima hukum sekunder tersebut adalah:

1. Law of multiple respon,
Merupakan langkah permulaan dalam proses belajar.  Melalui proses “ trial and error “ seseorang akan melakukan  bermacam – macam respons sebelum memperoleh respons
yang tepat dalam memecahkan masalah yang di hadapi.
Hal itu kembali pada fakta ketika respon pertama tidak memecahkan sebuah permasalahan, maka kita akan mencoba respon lain yang lebih cocok untuk digunakan dan tentunya lebih bisa untuk memecahkan sebuah masalah yang ada. Trial and error learning, tentunya tergantung pada percobaan pertama pada sebuah respon yang di tunjukkan oleh binatang (sebagai model percobaan) sampai menemukan sebuah respon yang cocok. Ketika muncul suatu kemungkinan dari respon untuk dibuat lebih baik dari sebelumnya. Dengan kata lain,melaluiproses trial and error seseorang akan terus melakukanrespons sebelum memperoleh respon yang tepat dalammemecahkan masalah yang dihadapi.
2. Law of attitude (law of set, law of disposition),
Merupakan situasi di dalam diri individu yang menentukan apakah sesuatu itu menyenangkan atau tidak bagi individu  tersebut. Proses belajar individu dapat berlangsung dengan  baik, lancar, bila situasi menyenangkan dan terganggu bila  situasi tidak menyenangkan.
Hukum ini menjelaskan bahwa perilakku belajar seseorang tidak hanya ditentukan oleh hubungan stimulus dengan respon saja, tetapi juga ditentukan keadaan yang ada dalam diri individu baik kognitif,    emosi, sosial, maupun psikomotornya.

3.  Law of partial activity (law of prepotency element),
Merupakan prinsip yang menyatakan bahwa manusia memberikan respons hanya pada aspek tertentu sesuai dengan presepsinya dari keseluruhan situasi ( respons selektif ), dengan demikiaian orang dapat memberi respons yang berbeda pada stimulus yang sama.
4.  Law of respon by analog (law of assimilation), dan
Menurut thorndike, manusia dalam melakukan respon pada situasi yang belum pernah dialami karena individu sesungguhnya dapat menghubungkan situasi yang belum pernah dialami dengan situasi lama yang pernah dialami sehingga terjadi transfer atau perpindahan unsur-unsur yang telah dikenal ke situasi baru. Makin banyak unsur yang sama maka transfer akan makin mudah.
5.  Law of associative shifting.
Perpindahan Asosiasi adalah proses peralihan suatu situasi yang telah dikenal ke situasi yang belum dikenal secara bertahap, dengan cara ditambahkanya sedikit demi sedikit unsur – unsur ( elemen ) baru dan membuang unsur – unsur lama sedikit demi sedikit, yang menyebabkan suatu respons dipindahkan dari suatu situasi yang sudah dikenal ke situasi lain yang baru sama sekali.


Konsep Sekunder Pasca 1930
Pada bulan September 1929, Thorndike berdiri di depan Kongres Internasional Psikologi di New Haven, Connecticut, dan memulai pidatonya dengan mengatakan, "Saya salah”.Pengakuan ini menunjukkan suatu aspek penting dari praktek ilmiah yang baik, yaknipara ilmuwan diwajibkan untuk mengubah kesimpulan mereka jika data yang ada menuntut demikian.

1.      Revisi Law of Exercise (Hukum Latihan),
Hukum latihan ditinggalkan, karena ditemuka bila pengulangan saja tidak cukup untuk memperkuat hubungan stimulus dan respons. Meskipun demikian, Thorndike masih mempertahankan bahwa latihan menyebabkan peningkatan kecil dan bahwa kurangnya latihan menyebabkan sedikit lupa.
2.      Revisi Law of Effect (Hukum Efek),
Setelah tahun 1930, hukum efek menyatakan bahwa respon diikuti oleh keadaan memuaskan dari stimulus yang diperkuat. Selain itu, Thorndike menemukan bahwa respon menghukum tidak berpengaruh pada kekuatan hubungan. Law of Effect direvisi menjadi, efek penguatan (reward) dapat meningkatkan kekuatan hubungan, sedangkan hukuman (punishment) tidak berpengaruh apapun tehadap kekuatan hubungan.

3.      Belongingness,
Thorndike mengamati bahwa dalam belajar asosiasi, di samping faktor kedekatan, hukum efek sering terlibat. Menurutnya, konsep belongingness yakni terjadinya hubungan stimulus respon bukannya kedekatan, tetapi adanya saling sesuai antara kedua hal tersebut. Situasi belajar akan mempengaruhi hasil belajar. Kita dapat mengatakan, misalnya, bahwa binatang lapar akan mencari makanan yang memuaskan dan binatang haus akan menemukan air yang memuaskan.
Thorndike menggunakan konsep belongingness dalam dua cara. Pertama, ia menggunakannya untuk menjelaskan mengapa ketika belajar materi verbal, seseorang cenderung untuk mengatur apa yang telah dipelajari ke dalam unit yang dianggap sebagai milik bersama. Kedua, ia mengatakan bahwa jika efek yang dihasilkan oleh respon yang terkait dengan kebutuhan organisme, pembelajaran akan lebih efektif daripada efek yang dihasilkan oleh respon yang tidak berhubungan dengan kebutuhan organisme.
Thorndike juga menyatakan bahwa respon dipelajari paling mudah diberikan dalam arah yang terbentuk. Sebagai contoh, hampir semua orang bisa melafalkan alfabet maju, tapi jarang seseorang bisa membacanya mundur. Demikian juga, sebagian besar anak sekolah pun bisa melafalkan ikrar kesetiaan maju, tetapi akan jarang menemukan seorang anak dapat membacanya mundur.

4.      Spread of effect (Sebaran Efek)
Setelah tahun 1930, Thorndike memberikan konsep teoritis penting lainnya yang ia sebut dengan sebaran efek, yaitu bahwa akibat dari suatu perbuatan dapat menular. Dalam salah satu ekperimennya Thorndike secara tidak sengaja menemukan bahwa kondisi yang memuaskan tidak hanya meningkatkan peluang terulangnya respon yang mengarah ke kondisi yang memuaskan tersebut. Akan tetapi juga meningkatkan peluang terulangnya respon disekitar respon yang dikuatkan.
Salah satu eksperimen yang menunjukan efek ini menampilkan sepuluh kata diantaranya adalah catnip, debate, dan dazzle kepada subyek yang diperintahkan untuk merespon dari angka 1 sampai 10. Jika subyek merespon sebuah kata dengan angka yang sebelumnya telah dipilih oleh peneliti, peneliti akan berkata “benar”. Jika subyek merespon dengan angka lain, peneliti akan berkata “salah”. Eksperimen ini dilakukan sampai beberapa uji coba. Dua hasil pengamatan ditemukan dari penelitian ini. Pertama, ternyata penguatan (peneliti berkata “benar”) meningkatkan peluang pengulangan angka yang sama ketika kata stimulus diberikan, tetapi hukuman (peniliti berkata “salah”) tidak mengurangi peluang pengulangan angka yang salah. Sebagian dengan dasar penelitian inilah, Thorndike merevisi hukum efeknya sebelumnya.
Yang kedua, ternyata peluang pengulangan angka sebelum dan setelah angka yang dikuatkan meningkat, meskipun angka itu tidak mendapatkan penguatan dan bahkan angka-angka didekat angka yang sebenarnya dihubungkan dengan hukuman. Oleh sebab itu Thorndike menyebut kondisi yang memuaskan “menyebar” dari respon yang dikuatkan ke respon di sekelilingnya. Dia menyebut fenomena ini dengan nama spread of effect (sebaran efek). Thorndike juga menemukan bahwa efek ini akan menghilang seiring bertambahnya jarak. Dengan kata lain, respon yang dikuatkan memiliki peluang pengulangan terbesar, kemudian respon yang paling dekat dengan respon yang dikuatkan, kemudian respon didekat respon itu, dan begitu seterusnya.
Ketika menemukan sebaran efek, Thorndike merasa dia telah menemukan penegasan lain untuk hukum efeknya, karena penguatan tidak hanya meningkatkan peluang respon yang dikuatkan tetapi juga meningkatkan peluang respon-respon didekatnya, meskipun respon-respon ini memperoleh hukuman. Dia juga merasa bahwa sebaran efek lebih jauh menunjukan sifat belajar yang langsung dan otomatis.

 Penerapan Teori Thorndike dalam Pembelajaran Matematika
Aplikasi teori Thorndike sebagai slaah satu aliran psikologi tingkah laku dalam pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pembelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Setiap pembelajaran yang berpegang pada teori belajar behavioristik telah terstruktur rapi, dan mengarah pada bertambahnya pengetahuan pada siswa.Penerapan yang sebaiknya dilakukan dalam pembelajaran matematika adlah sebagai berikut:
a.  Sebelum memulai proses belajar mengajar, pendidik harus memastikan siswanya siap mengikluti pembelajaran tersebut. Jadi setidaknya ada aktivitas yang dapat menarik perhatian siswa untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar.
b.  Pembelajaran yang diberikan sebaiknya berupa pemebelajaran yang kontinu, hal ini dimaksudkan agar materi lampau dapat tetap diingat oleh siswa.
c.  Dalam proses belajar, pendidik hendaknya menyampaikan materi matematika denagn cara yang menyenangkan, contoh dan soal latihan yang diberikan tingkat kesulitannya bertahap, dari yang mudah sampai yang sulit. Hal ini agar siswa mampiu menyerap materi yang diberikan.
d.  Pengulangan terhadap penyampaian materi dan latihan, dapat membantu siswa mengingat materi terkait lebih lama.
e.   Supaya peserta didik dapat mengikuti proses pembelajaran, proses hars bertahap dari yang sederhana hingga yang kompleks.
f.   Peserta didik yang telah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah, dan yang belum baik harus segera diperbaiki.
g.   Dalam belajar, motivasi tidak begitu penting, karena perilaku peserta didik terutama ditentukan oleh penghargaan eksternal dan bukan oleh intrinsic motivation. Yang lebih penting dari ini ialah adanya respon yang benar terhadap stimulus.
h.  Materi yang diberikan kepada peserta didik harus ada manfaatnya untuk kehidupan anak kelak setelah dari sekolah
i.   Thorndike berpendapat, bahwa cara mengajar yang baik bukanlah mengharapkan murid tahu bahwa apa yang telah di ajarkan, tetapi guru harus tahu apa yang hendak diajarkan. Dengan ini guru harus tahu materi apa yang harus diberikan, respon apa yang diharapkan dan kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respons yang salah.
j.   Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didik dan harus terbagi dalam unit – unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan menurut bermacam – macam situasi.



Penerapan Teori Thorndike dalam pembelajaran
Thorndike berpendapat, cara mengajar yang baik bukanlah mengharapkan murid tahu apa yang telah diajarkan, tetapi guru harus tahu apa yang hendak diajarkan. Dengan ini guru harus mengerti materi apa yang hendak diajarkan, respon apa yang diharapkan dan kapan harus memberi hadiah atau membetulkan respons yang salah. Maka tujuan pendidikan harus dirumuskan dengan jelas.
Tujuan pendidikan harus masih dalam batas kemampuan belajar peserta didikan dan harus terbagi dalam unit-unit sedemikian rupa sehingga guru dapat menerapkan menurut bermacam-macam situasi. Supaya peserta didik dapat mengikuti pelajaran, proses belajar harus bertahap dari yang sederhana sampai yang kompleks.
Dalam belajar, motivasi tidak begitu penting karena perilaku peserta didik terutama ditentukan oleh external rewards dan bukan oleh intrinsic motivation. Yang lebih penting dari ini ialah adanya respon yang bener terhadap stimulus. Bila peserta didikan melakukan respon yang salah, harus segera diperbaiki, sebelum sempat diulang-ulang. Dengan demikian ulangan yang teratur diperlukan sebagai kontrol bagi guru, untuk mengetahui apakah peserta didik sudah melakukan respon yang benar atau belum terhadap stimulus yang diberikan oleh guru.
Supaya guru mempunyai gambaran yang jelas dan tidak keliru terhadap kemajuan anak, ulangan harus dilakukan dengan mengingat hukum kesepian. Peserta didik yang sudah belajar dengan baik harus segera diberi hadiah, dan bila belum baik harus segera diperbaiki. Situasi belajar harus dibuat menyenangkan dan mirip dengan kehidupan dalam masyarakat sebanyak mungkin, sehingga dapat terjadi transfer dari kelas ke lingkungan di luar kelas. Materi pelajaran yang diberikan kepada peserta didik harus ada manfaatnya untuk kehidupan anak kelak setelah keluar dari sekolah.
Dengan diberikannya pelajaran-pelajaran yang sulit, yang melebihi kemampuan anak, tidak akan meningkatkan kemampuan penalarannya.

Aplikasi Teori Thorndike
1. Thorndike dan pendidikan
Thorndike percaya bahwa praktek pendidikan harus dipelajari secara ilmiah. Jelas baginya bahwa harus ada hubungan erat antara pengetahuan proses belajar dengan praktek mengajar. Oleh sebab itu, dia berharap seiring bertambahnya hal yang telah ditemukan mengenai sifat belajar, semakin banyak juga yang harus diterapkan untuk meningkatkan praktek mengajar. Thorndike (1906) berpendapat:
Tentu saja pengetahuan psikologi saat ini lebih mendekati angka nol daripada kesempurnaan dan aplikasinya untuk pengajaran tidaklah lengkap. Tidak menentu dan berubah-ubah. Penerapan psikologi kedalam pengajaran lebih seperti ilmu tumbuhan dan ilmu kimia yang diterapkan untuk pertanian daripada lmu psiologi dan patologi yang diterapkan untuk kedokteran. Seorang dapat bercocok tanam dengan baik tanpa ilmu pengetahuan dan seorang dapat mengajar dengan baik tanpa harus mengenal dan menerapkan ilmu psikologi. Tetapi petani yang memiliki pengetahuan cara menerapkan ilmu tumbuhan dan ilmu kimia kedalam bercocok tanam akan menjadi petani yang lebih berhasil daripada petani yang tidak memiliki ilmu tersebut dan hal yang sama juga terjadi untuk guru dimana guru yang dapat menerapkan ilmu psikologi, ilmu sifat manusia kedalam masalah di sekolah akan menjadi guru yang lebih berhasil.

Pada banyak hal, pemikiran Thorndike bertentangan dengan pandangan tradisional tentang pendidikan; salah satu contohnya dapat dilihat dalam teori elemen identik transfernya. Thorndike (1912) juga memiliki pandangan yang berbeda untuk pengajaran dengan teknik ceramah yang begitu terkenal saat itu (sampai sekarang):
Metode ceramah dan demonstrasi menampilkan pendekatan yang memiliki kelemahan dimana guru hanya memberitahu siswa apa yang guru sampaikan saja. Guru menyampaikan kesimpulan dan percaya siswa akan menggunakan kesimpulan itu untuk belajar lebih banyak. Guru meminta siswa memperhatikan dia, melakukan yang terbaik untuk memahami pertanyaan yang tidak datang sendiri dari mereka dan jawaban yang tidak berasal dari mereka. Guru hanya mendidik siswa seperti seseorang yang memberikan warisan.

Dia juga berkata, kesalahan yang paling umum yang dilakukan orang yang tidak berpengalaman dalam hal mengajar adalah berharap siswa mereka memahami apa yang diberitahukan oleh guru. Tetapi memberitahu bukanlah mengajarkan. Ekspresi fakta yang ada dalam pikiran seseorang adalah dorongan alami ketika seseorang ingin orang lain mengetahui fakta-fakta ini, sama halnya dengan menggendong dan menidurkan anak yang sakit yang muncul karena dorongan alami juga. Tetapi memberitahu fakta kepada anak tidak akan menyembuhkan dia dari keacuhan sama halnya dengan tepukan tidak akan menyembuhkan anak yang terkena demam.
Lalu apa yang dimaksud dengan pengajaran yang baik? Untuk mewujudkan pengajaran yang baik, pertama kali Anda harus benar-benar tahu apa yang ingin Anda ajarkan. Jika Anda tidak benar-benar mengetahui apa yang Anda akan ajarkan, Anda tidakakan tahu materi apa yang akan Anda sajikan, respon apa yang Anda cari, dan kapan harus memberikan pemuas kepada siswa. Prinsip ini tidak sejelas seperti kelihatannya. Meskipun tujuh aturan Thorndike (1992) didesain untuk mengajarkan aritmatika, aturan ini menampilkan saran dia untuk pengajaran secara umum:
1. Pertimbangkan situasi yang dihadapi oleh siswa.
2. Pertimbangkan respon yang ingin Anda hubungkan.
3. Bentuklah pertalian: Jangan berharap pertalian muncul karena keajaiban.
4. Jangan buat pertalian yang harus diputus.
5. Jangan buat dua atau tiga pertalian jika satu saja sudah cukup.
6. Buatlah pertalian yang nanti dibutuhkan lagi.
7. Pilihlah situasi yang cocok dengan hidup dan respon yang penting untuk hidup.

2. Penerapan Teori Belajar Koneksionisme
a. Guru dalam proses pembelajaran harus tahu apayang hendak diberikan kepada siswa.
b. Dalam proses pembelajaran, tujuan yang akandicapai harus dirumuskan dengan jelas, masihdalam jangkauan kemampuan siswa.
c. Motivasi dalam belajar tidak begitu penting, yanglebih penting ialah adanya respon-respons yangbenar terhadap stimuli.
d. Ulangan yang teratur perlu sebagai umpan balikbagi guru, apakah proses pembelajaran sudahsesuai dengan tujuan yang ingin dicapai atau belum.
e. Siswa yang sudah belajar dengan baik segeradiarahkan.
f. Situasi belajar dibuat mirip dengan kehidupan nyata,sehingga terjadi transfer dari kelas ke lingkunganluar.
g. Materi pembelajaran yang diberikan harus dapatditerapkan dalam kehidupan sehari-hari.
h. Tugas yang melebihi kemampuan peserta didiktidak akan meningkatkan kemampuan siswa dalammemecahkan permasalahannya

3. Implikasi Hukum Kesiapan dalam Pendidikan
a. Sebelum gurudalam kelas mulai mengajar, maka anak – anak disiapkan mentalnya terlebih dahulu. Misalnya anak disuruh duduk yang rapi, tenang dan sebagainya.
b. Penggunaan tes bakat sangat membantu untuk menyalurkan bakat anak. Sebab mendidik sesuai dengan bakatnya akan lebih lancar dibandingkan dengan bila tidak berbakat.

4. Implikasi Hukum Kesiapan dalam Pendidikan
Penggunaan hukum latihan dalam proses belajar mengajar adalah prinsip ulangan, misalnya :
a. Memberi keterampilan kepada para siswa agar sering atau makin banyak menggunakan pengetahuan yang telah diperolehnya.
b. Diadakan latihan resitasi dari bahan – bahan yang dipelajari.
c. Diadakan ulangan – ulangan yang teratur dan bahkan dengan ulangan yang ketat atau system drill, ini akan memperkuat hubungan S-R.

5. Implikasi Hukum Efek dalam Pendidikan
a. Pengalaman/situasi kelas/kampus buatlah sedemikian rupa sehingga menyenangkan bagi para siswa/mahasiswa/guru maupun karyawan sekolah. Penghuni sekolah merasa puas, aman, dan mereka senang pada tugasnya masing – masing.
b. Bahan–bahan pengajaran buatlah ada artinya, dapat diterima atau dimengerti berguna bagi kehidupan.
c. Tugas–tugas sekolah diatur dengan tahap–tahap pencapaian hasilnya dan memberi keyakinan bagi para pelajar, guru, maupun petugas lainnya.
d. Tugas-tugas sekolah ditata dengan tahap-tahap kesukarannya sehingga para siswa dapat maju tanpa mengalami kegagalan
e. Bahan-bahan pelajaran diadakan variasi dan metode pengajaran juga dapat dibuat bervariasi agar pengalaman-pengalaman belajar mengajar menjadi segar dan menyenangkan, tidak menjemukan.
f. Bimbingan, pemberian hadiah, pujian, bahkan bila perlu hukuman tentulah akan dapat memberi motivasi proses belajar mengajar.


BAB 2
BURRHUS FREDERICK SKINNER
Ana Zahrotun Nisa’, Ikha Fauziyah, dan Istiqomah

Teori Utama B.F. Skinner
Perilaku Responden dan Operant
B.F. Skinner membedakan dua jenis perilaku yaitu respond behavior (perilaku responden) yang ditimbulkan oleh suatu stimulus yang dikenali, dan operant behavior (perilaku operan), perilaku yang tidak diakibatkan oleh stimulus yang dikenali tetapi dilakukan sendiri oleh organisme. Perilaku responden merupakan perilaku yang responnya ditimbulkan oleh stimulus yang tidak terkendalikan atau bisa juga disebut gerak refleks. Contohnya seperti menarik tangan ketika tertusuk jarum, menutupnya kelopak mata saat terkena cahaya yang menyilaukan dan keluarnya air liur saat ada makanan. Karena pada awalnya perilaku operan tidak berkorelasi dengan stimulus yang dikenali, maka perilaku tersebut tampak spontanitas. Contohnya berdiri lalu berjalan atau anak kecil meninggalkan mainan dan beralih ke mainan yang lain.
Dengan adanya dua macam perilaku tersebut diatas maka muncul dua jenis pengkondisian yaitu pengkondisian Tipe S dan pengkondisian Tipe R. Pengkondisian Tipe S juga disebut respondent conditioning (pengkondisian responden) dan identik dengan pengkondisian klasik. Disebut pengkondisian Tipe S karena menekankan penting pada stimulus dalam menimbulkan respon yang diinginkan. Pengkondisian Tipe R juga dinamakan operant conditioning (pengkondisian operan). Tipe R ini menekankan menyangkut perilaku operan karena penekanannya adalah respons. Perlu dicatat bahwa dalam pengkondisian Tipe R, kekuatan pengkondisiannya ditunjukkan dengan tingkat respons (response rate), sedangkan dalam pengkondisian Tipe S kekuatan pengkondisiannya biasanya ditentukan berdasarkan besaran (magnitude) dari respons yang terkondisikan.
Ada dua prinsip umum dalam pengkondisian Tipe R yaitu; setiap respons yang diikuti dengan stimulus yang menguatkan cenderung akan diulang dan stimulus yang mengkuatkan adalah segala sesuatu yang memperbesarkan rata-rata terjadinya respon operan. Dalam pengkondisian operan, penekanannya adalah pada perilaku dan pada konsekuensinya, dengan pengkondisian operan, organism pasti merespon dengan cara tertentu untuk memproduksi stimulus yang mengkuatkan.
Kebanyakan Skinner melakukan percobaan di ruang tes kecil yang kmeudian dikenal dengan Skinner box (kotak Skinner). Kotak Skinner biasanya menggunakan lantai berkisi-kisi, cahaya, tuas/pengungkit, dan cangkir makanan. Untuk menghitung perilaku hewan dalam kotak skinner menggunakan cumulative recording (pencatatan komulatif). Biasanya pengkondisian respons penekanan tuas menggunakan 3 langkah yaitu Deprivasi, Magazine Training, dan Penekanan Tuas.  Maksudnya hewan diletakkan dalam jadwal deprivasi dan menjalani magazine, dan menggunakan tombol untuk memicu mekanisme pemberi makan dari luar. Dalam hal ini ada pendekatan lain untuk pengkodissian operan yang disebut dengan shaping (pembentukan) yang tidak membutuhkan waktu yang lama. Pembentukan terdiri dari dua komponen yaitu: differential reinforcement (penguatan differensial) yang berarti sebagian respons diperkuat dan sebagian yang lainnya tidak, dan successive approximation (kedekatan suksesif), yaitu fakta bahwa hanya respons-respons yang semakin sama dengan yang diinginkan oleh eksperimenterlah yang akan diperkuat.  Penguatan dicabut dari situasi pengkondisian operan, disini berarti melakukan extinction (pelenyapan). Yang maksudnya pemberian makanan diberhentikan dan penekanan tuas tidak menghasilkan makanan maka disebut pelenyapan.
Menurut prinsip penguatan sekunder, pemasangan cahaya dengan makanan maka menyebabkan cahaya memiliki properti penguatan sendiri. Selain mempertahankan respons penekanan tuas bisa menggunakan cahaya yang mengkondisikan respons lain. Keller dan Schoenfeld (1950) memberikan ringkasan penguatan sekunder ini sebagai berikut:
1.      Sebuah stimulus yang kadang terjadi atau mengiringi sebuah penguatan akan mendapatkan karakteristik sebagai penguat tersendiri dan bisa disebut dengan penguatan terkondisikan sekunder.
2.      Penguatan sekunder adalah positif apabila penguatan yang berkorelasi dengannya adalah positif dan negative jika penguatan yang berkorelasi dengannya negatif.
3.      Penguatan sekunder adalah independen dan nonspesifik, bukan hanya memperkuat respons yang sama yang menghasilkan penguatan awaltetapi ia juga akan mengondisikan respons yang baru dan tak terkait dengan respons sebelumnya.
4.      Melalui generalisasikan, banyak stimuli di luar stimuli yang berkorelasi dengan penguatan akan mendapatkan nilai penguatan sendiri baik positif maupun negatif.
Untuk meringkas pandangan Skinner tentang penguatanada dua tipe penguatan yaitu primary positive reinforcement (penguatan positif primer) adalah sesuatau yang secara alamiah memperkuat bagi organism dan berkaitan dengan survival, dan primary negative reinforce (penguatan negatif primer) adalah sesuatu yang membahayakn secara tidak alamiah bagi organism. Sebuah penguatan positif baik primer maupun negative adalah sesuatu yang apabila ditambahkan ke situasi oleh suatu respons tertentu, akan meningkatkan probabilitas terulangnya respons tersebut. Sedangkan penguatan negatif baik primer maupun sekunder adalah sesuatu yang, jika dihilangkan dari situasi oleh respons tertentu akan meningkatkan probabilitas terulangnya respons tersebut.

Hukuman (Punishment)
Punishment (hukuman) terjadi ketika suatu respons menghilangkan sesuatu yang positif dari situasi atau menambahkan sesuatu negatif. Argument utama Skinner yang menentang penggunaan hukuman adalah bahwa hukuman itu dalam jangka panjang tidak akan efektif. Tampak bahwa hukuman hanya menekan perilaku, dan ketika ancaman hukuman dihilangkan, tingkat perilaku akan kembali ke level semula. Jadi hukuman sering kelihatannya sangat berhasil padahal ia sebenarnya hanya menghasilkan afek temporer. Argument lain yang menentang hukuman adalah sebagai berikut:
1.      Hukuman menyebabkan efek samping emosional yang buruk.
2.      Hukuman menunjukkan apa yang tidak boleh dilakukan organism, bukan apa yang seharusnya dilakukan.
3.      Hukuamn menjustifikasi tindakan menyakiti pihak lain.
4.      Berada dalam situasi dimana perilaku yang dahulu di hukum kini dapat dilakukan tanpa mendapat hukuman lagi mungkin akan menyebabkan anak merasa diperbolehkan melakukannya lagi.
5.      Hukuman akan menimbulkan agresi terhadap pelaku penghukum dan pihak lain.
6.      Hukuman sering mengganti respons yang tidak diinginkan dengan respons yang tak diingnkan lainnya.

Jadwal Penguatan
Penguatan parsial Skinner akan meyebabkan reisitensi yang lebih besar terhadap pelenyapan ketimbang penguatan yang berkelanjutan atau penguatan 100 persen, dan fakta ii dinamakan partial reinforcement effect (PRE). Ada beberapa jadwal penguatan yang lazim dipakai dan mereka dideskripsikan dibawah ini:
1.      Continuous Reinforcement Schedule. Dengan menggunakan Continuous Reinforcement Schedule (CRF) (jadwal penguatan berkelanjutan), setiap respon yang tepat selama akuisasi akan diperkuat.
2.      Fixed Interval Reinforcement Schedule. Dengan menggunakan Fixed Interval Reinforcement Schedule (FI) (jadwal penguatan interval tetap).
3.      Fixed Ration Reinforcement Schedule. Dengan menggunakan Fixed Ration Reinforcement Schedula (FR) (jadwal penguatan rasio tetap), setiap respons ke-n yang dilakuakn hewan akan diperkuat FR5. Untuk jadwal penguatan FI dan FR, respons yang diperkuat diikuti oleh depresi (penurunan) tingkat respon yang bisa disebut postreinforcement pause.
4.      Variabel Interval Reinforcement Schedule. Dengan variabel Variabel Interval Reinforcement Schedule (VI) (jadwal penguatan interval variabel), hewan diperkuat setelah memberi respons pada akhir interval dari durasi variabel.
5.      Variabel Ratio Reinforcement Schedule. Variabel Ratio Reinforcement Schedule (VR) (jadwal penguatan rasio variabel) ini mengeliminasi bentuk undak-undakan dalam catatan kumulatif seperti yang dijumpai pada jadwal FR dan menghasilkan tingkat respons yang tertinggi di antara lima jadwal yang telah dibahas sejauh ini.
6.      Concurrent Schedules and the Matching Law. Dengan menggunakan Concurrent Schedules and the Matching Law (jadwal penguatan secara bersama).
7.      Concurrent Chain Reinforcement Schedule. jadwal penguatan bersama dipakai untuk meneliti perilaku pilihan sederhana, sedangkan concurrent chain reinforcement schedule (jadwal penguatan rantai secara bersamaan) dipakai untuk meneliti perilaku pilihan kompleks.
8.      Progressive Ratio Schedules and Behavioral Economics. Dengan Progressive Ratio Schedules and Behavioral Economics (jadwal penguatan rasio progresif), hewan percobaan memulai dengan jadwal rasio rendah (biasanya FR), dan rasio respons terhadap penguatan secara sistematis ditingkatkan selama sesi training selanjutnya.
Skinner mengolongkan respons verbal berdasarkan bagaimana mereka terkait dengan penguatan, yakni dari segi apa yang mesti dilakukan agar respons itu diperkuat. Klasifikasi ini didikusikan secara singkat berikut ini:
1.      Mand. Kata mand berasal dari fakta bahwa ada permintaan (demand). Ketika permintaan dipenuhi, ucapan (mand) diperkuat, dan saat kebutuhan seseorang muncul lagi di waktu yang lain, orang itu kemungkinan akan mengulangi mand tersebut. Tentang mand  ini. Skinner (1957) mengatakan, mand dicirikan oleh hubungan unik antara bentuk respons dengan penguatan yang secara khas diterima dalam komunikasi verbal tertentu. Terkadang untuk menyebut relasi ini kita bisa mengatakan bahwa sebuah mand “menspesifikasikan” penguatannya.
2.      Tact. Secara umum, tact adalah penamanan objek atau kejadian di lingkungan dengan tepat, dan penguatannya berasal dari penguatan kesesuaian antara lingkungan dan perilaku verbal seseorang. Istilah ini mengandung kesan mnemonic dari perilaku yang membuat kontak dengan dunia fisik. suatu tact bisa didefinisikan sebagai operan verbal dimana suatu respons bentuk tertentu dimunculkan (atau setidaknya diperkuat) oleh objek atau property atau kejadian tertentu.
3.      Echoic Behavior. Suatu echoic behavior  adalah perilaku verbal yang diperkuat saat perilaku verbal orang lain diulang secara verbatim (persisi kata demi kata). Echoic behavior sering merupakan prasyarat untuk perilaku verbal yang lebih kompleks.
4.      Autoclitik Behavior. Menurut Skinner (1957), istilah auticlitik dimaksudkan untuk menunjukkan perilaku yang didasarkan pada atau bergantungan pada, perilaku verbal lain. Fungsi utama autoclitik behavior adalah untuk mengkualifikasikan respons, mengekspresikan relasi, dan menyediakan kerangka gramatikal untuk perlaku verbal.

Relativitas Penguatan
David Premack
Secara tradisional, penguat dianggap sebagai stimuli atau perangsang. Penguat primer biasanya dianggap terkait dengan keberlangsungan hidup organisme, dan penguat sekunder adalah stimulus yang secara konsisten dipasangkan dengan penguat primer. Tetapi Premack menunjukkan bahwa semua respons harus dianggap sebagai penguat potensial. Secara spesifik dia menunjukkan bahwa setiap respons yang terjadi dengan frekuensi yang cukup tinggi dapat dipakai untuk memperkuat respons yang terjadi dengan frekuensi relatif rendah. Dengan menggunakan gagasan penguatan Premack, orang bisa membiarkan suatu organisme melakukan aktivitas apapun yang diinginkannya dan mencatat dengan cermat apa aktivitas itu dan bagaimana frekuensinya. Setelah itu, berbagai macam aktivitas yang dilakukan organisme itu akan disusun dalam hierarki. Aktivitas yang paling sering dilakukan  akan diletakkan di urutan pertama, kemudian diurutkan berdasakan frekuensi dari yang sering ke yang paling kurang sering. Dengan merujuk pada daftar urutan ini, eksperimenter dapat mengetahui pasti apa yang bisa dipakai dan tidak bisa dipakai sebagai penguat organisme itu.
Menurut Premack, cara untuk mengetahui apa yang bisa dipakai sebagai penguat adalah dengan mengamati perilaku organisme saat ia melakukan sejumlah aktivitas, dan aktivitas yang paling sering dilakukan dapat dipakai sebagai penguat untuk memperkuat aktivitas yang kurang sering dilakukan. Dan dapat dikatakan bahwa jika suatu aktivitas terjadi lebih sering ketimbang aktivitas-aktivitas lain maka aktivitas itu dapat digunakan sebagai penguat untuk meperkuat aktivitas yang kurang sering dilakukan. Ini dinamakan  Premack Principle (Prinsip Premack) dan tampaknya prinsip ini juga berlaku utuk manusia. Untuk menguji teorinya, Premack (1959) membiarkan 31 anak kelas satu SD bermain mesin pinball atau mengoperasikan mesin permen sebanyak yang mereka suka. Beberapa anak lebih senang bermain dengan mesin permen dinamakan pemakan. Fase pertama studi ini adalah untuk mengetahu prefensi murid.
Dalam fase kedua, kelompok manipulator dan pemakan masing-masing dibagi menjadi dua kelompok. Satu kelompok ditempatkan di kontigensi manipulasi-makan, dimana anak harus memainkan mesin pinball sebelum mereka diizinkan mengoperasikan mesin permen. Kelompok lainnya ditempatkan pada kontigensi makan-manipulasi, dimana anak harus mengoperasikan mesin permen sebelum mereka diperbolehkan bermain mesin pinball. Ditemukan manipulator, situasi manipulasi makan-manipulasi tidak banyak menghasilkan perbedaan dalam perilaku mereka. Mereka hanya langsung main mesin pinball seperti sebelumnya. Namun dalam kondisi makan-manipulasi, frekuensi makan manipulator bertambah karena mereka tahu bahwa mereka harus makan dahulu agar bisa memainkan mesin pinball. Ditemukan bahwa manipulator, situasi manipulasi-makan tidak banyak menghasilkan perbedaan. Mereka hanya makan langsung seperti sebelumnya. Tetapi dalam kondisi manipulasi-makan, frekuensi memainkan pinball meningkat. Jadi, Premack menemukan bukti pendukung untuk pendapatnya bahwa aktivitas kurang sering dilakukan dapat diperkuat dengan memberi mereka kesempatan melakukan aktivitas yang lebih sering dilakukan. Ketika prefensi berubah, penguat juga berubah.
Implikasi dari Premack cukup luas. Misalnya, apa yang dapat bertindak sebagai penguat menjadi sangat personal terus menerus sangat berubah. Guru dapat mengaplikasikan pengetahuan ini dengan memerhatikan prefensi murid dalam situasi pilihan-bebas dan menemukan penguatnya. Bagi satu anak, kesempatan untuk lari-lari dan bermain mungkin merupakan penguat, sedangkan bagi anak lainnya penguatnya adalah kesempatan bermain dengan tanah lempung. 
William Timberlake
Timberlake membedakan antara hipotesis probabilitas-diferensial, pendapat yang dianut oleh Premack, dengan disequilibrum hypothesis (hipotesis ekuilibrum), pendapat yang berasal dari studi Premack (1962) yang dideskripsikan sebelumnya. Berbeda dengan pendapat Premack yang menyatakan bahwa aktivitas yang disukai dapat memepkuat aktivitas yang kurang disukai, hipotesis disekuilibrum menyatakan bahwa setiap aktivitas dapat menjadi penguat jika suatu jadwal kontigensi membatasi akses hewan keativitas itu. Misalnya kita melihat seekor tikus melakukan kegiatan bebas selama beberapa hari. Kemudian diketahui, misalnya tikus menghabiskan 30 persen waktunya untuk makan, 20 persen untuk minum, dan 10 pesen lari di roda putar. Sedangkan. 40 persen sisanya dipakai untuk berbagai macam aktivitas lainnya. Menurut Timberlake, distribusi proposional aktivitas itu merupakan ekuilibrum keadaan aktivitas yang seimbang yang diperhankan secara bebas dan disukai oleh hewan. Jika kita menetapkan kontigensi seperti waktu untuk makan diredukasi dibawah 30 persen, maka kita menciptakan (disekuilibrum), sebuah kondisi yang mengandung konsekuensi motivasional. Dalam kondisi disekuilibrum ini, makan dapat dipakai sebagai penguat untuk aktivitas lain, dan ia akan terus memeiliji daya penguat sampai hewan itu kembali ke ekuilibrum, yakni menghabiskan 30 persen waktu untuk makan.
Di lain pihak, hipotesis ekulibrum memprediksikan bahwa kegiatan lari di roda putar, kegiatan yang paling sedikit dilakukan, juga dapat menjadi penguat. Hipotesis disekuilibrum juga menerangkan kondisi dimana aktivitas spesifik dapat menjadi hukuman. Untuk mengahasilkan hukuman (punishment), harus didesain suatu jadwal dimana pelaksanaan suatu aktivitas akan meningkatkan aktivitas lain melampaui  basis dasarnya. Pandangan Timberlake memberi perspektif baru yang penting mengenai penguatan dan kontigensi penguatan. Seperti Premack, riset Timberlake dengan jelas menunjukkan bahwa argumen transitusional tentang penguatan adalah tidak benar. Dari perspektif ini, peran jadwal kontigensi adalah menghasilkan disekuilibrum, bukan memberikan informasi yang menghubungkan respons dengan penguat atau memberi kontiguitas antara respons dan penguat. Dan dari riset Timberlake kita melihat bahwa deprivasi makanan dan minuman saja tidak esensial untuk menjadikannya sebagai penguat. Tetapi, retriksi terhadap hal-hal itulah yang menjadikannya sebagai penguat.    
Kesalahan Perilaku Organisme
Thorndike menyimpulkan bahwa hukum belajar yang sama berlaku untuk semua mamalia, termasuk manusia. Skinner, sepertii teoritisi belajar lainnya, sepakat dengan kesimpulan Thorndike.
Pandangan yang berbeda dengan pendapat bahwa hukum belajar yang sama berlaku untuk semua mamalia tampaknya adalah pandangan yang berkaitan dengan konsep insting. Mereka yang percaya pada adanya insting mengatakan bahwa spesies yang berebda memiliki kecenderungan bawaan yang berbeda yang berinteraksi dengan hukum belajar, atau bahkan menolak hukum itu. Dengan kata lain, karena ada tendensi bawaan ini, spesies tertentu dapat dikondisikan untuk melakukan sesuatu hal tetapi tidak bisa untuk hal lain. Menurut sudut pandamg ini, beberapa respons akan lebih mudah untuk dikondisikan bagi beberapa spesies ketimbang spesies lain karena responnya mungkin terjadi secara alamiah bagi beberapa dibanding spesies lainnya. Prinsip umumnya adalah setiap kali hewan memiliki perilaku naluriah yang kuat di area respons yang dikondisikan, setelah beberapa waktu hewan akan terdorong kembali keperilaku naluriah dan karenanya perilaku yang dikondisikan melemah bahkan menghilangkannya. Secara sederhana dapat dikatakan “perilaku yang dipelajari terserap menuju perilaku naluriah”.
Breland menentang tiga asumsi dasar behavioris, diantaranya:
1.      Bahwa hewan mempelajari situasi sebagai tabula rasa (lembaran kosong)
2.      Bahwa perbedaan diantara berbagai spesies adalah tak penting
3.      Bahwa setiap respons dapat dikondisikan untuk setiap stimulus
Fenomena lainnya yang tampaknya menunjukkan pentingnya perilaku naluriah dalam situasai belajar adala authoshoping. Jika kita menerima penjelasan autoshaping, maka kita harus menyimpulkan bahwa tidak ada proses belejar yang terjadi. Hewan hanya menjadi terlalu sensitif situasi dan mengeluarka respons bawaan terhadap stimuli yang paling menonjol dalam lingkungan tersebut.
Pandangan Skinner tentang pendidikan
Menurut Skinner, belajar akan berlangsung sangat efektif apabila, (1)informasi yang dipelajari disajikan secara bertahap, (2) pembelajar segera diberi umpan balik (feedback) mengenali akurasi pembelajaran mereka; yakni, setelah belajar mereka segera diberi tahu apakah mereka sudah memehami informasi denge benar atau tidak,  dan (3) pembelajar mampu belajar dengan caranya sendiri. Skinner menegaskan bahwa tujuan belajar seharusnya dispesifikasikan dahulu sebelum pelajran dimulai. Dia menegaskan bahwa tujuan belajar itu didefinisikan secara behavioral. Seperti behavioris lainnya, Skinner memulai dengan langlah yang sederhana ke arah yang kompleks. Perilaku kompleks dianggap terdiri dari bentuk-bentuk perilaku sederhana. Karena selain motivasi yang digunakan untuk menentukan apa yang akan bertindak sebagai penguat siswa. Penguat sekunder adalah bentuk pujian verval, ekspresi yang menyenangkan, pemberian penghargaan, menghargai kesuksesan, memberi nilai, peringkat, dan memberi kesempatan murid untuk mengerjakan sesuatu yang diinginkannya. Seperti Thorndike, Skinner menekankan penggunaan penguat ekstrinsik dalan dunia pendidikan. Bagi guru Skinnerian, fungsi utama pendidikan adala mengatur kontigensi penguatan sehingga perilaku yang dianggap penting bisa ditingkatkan. Semua behavioris S-R menyarankan suatu lingkungan belajar yang memeungkinkan individu belajar dengan kecepatan yang berebda-beda. Mereka ingin menagani siswa secara individual atau memeberi satu kelompok dengan materi yang memungkinkan siswa belajar sesuai dengan kemampuannya sendiri, sperti mesin pengajar atau buku yang dosusun khusus. Behavioris cenderung menghindari tekhnik pengajaran ala ceramah karena dengan cara ini tidak akan diketahui apakah proses belajar sudaj terjajadi dan karenanya tidak diketahui kapan mesto mengatur penguatan. Guru Skinnerian menghindari pemberian hukuman. Menurut Skinneria, problem perilaku di sekolah adalah akibat dari perencanaan pendidikan yang buruk, seperti kegagalan untuk memberikan pendidikan yang sesuai dengan kemampuan murid, memeberi terlalu banyak paket pelajaran yang tidak mudah dipahami, menggunakan disiplin keras untuk mengontrol perilaku, meggunakan perencanaan yang kaku yang harus dipatuhi oleh semua murid, atu mengharuskan muid melakukan sesuatu yang tidak reasonable.


Sistem Instruksi Personal
Pendektan yang disebut Prsonalized Systems of Onstructios (PSI) pada mulanya dinamakan Keller Plan yang diambil nama Fred Keller (1899-1996), yang mengembangkan metode ini. Seperti belajat terprogam, metode PSI mengindivudulisasikan dan memberikan umpan balik yang seing dan mengenai kinerja siswa. Memberikan pelajaran secara individual biasanya menggunakan empat langkah:
1.      Menentukan materi yang diajarkan
2.      Membagi materi menjadi segmen-segmen tersendiri
3.      Menciptakan metode evaluasi sejauh mana siswa telah menguasai amteri dalam segmen tertentu
4.      Mengizinkan siswa melangkah dari satu segmen kesegmen lainnya sesuai kemampuan mereka
Penekanan dalam pengajaran PSI adalah pada penguasaan materi segmen yang diajarkan, biasanya ditunjukkan dengan ujian ringkas dan terfokus. Instruktur dapat memeinta siswa menguasai materi secara menyeluruh sebelum brpindah kesegmen lain. Atau instruktur mungkin menetapkan syaray minimum.
Instruksi Berbasis Komputer
Ketika komputer dipakai untuk menyajikan pengajaran terprogam atau jenis materi pelajaran laiinya, proses ini dinamakan computer based instructions (CBI). Komputer bukan hanya dapat digunakan untuk menyajikan materi instruksional, tetapi juga bisa digunakan untuk mengevaluasi sebrapa baikkah yang telah dipelajari. Setelah satu segmenprogram telah diselesaikan, komputer dapat memebrikan tes, menilainya, dan membnadingkan nilainya dengan nilai siswa lain yang menjalankan program yang sama. Jadi, komputer tida hanya memebrikan tanggapan langsung selama prose belajar tetapi juga memberi hasil tes ecara langsung baik itu kepada siswa maupun kepada guru.
Dengan memebrikan tanggapan langsung, perhatiaan personal, display visual yang menari, dan suasana seperti bermain, CBI dapat memotivasi siswa untuk belajar dengan cara amat berbeda dengan metode tradisional.
CBI memang semakin canggih sehingga banyak orang yang kini percaya bahwa ia bisa dipakai untuk mengajarkan apapun dengan cara seperti yang dilakukan oleh guru yang terbaik. Format pndidikan yang terkait dengan CBI adalah “kelas virtual”, terkadang disebut sebagai on-line education. Berkat teknologi komputer yang makin canggih, modem, dam internet kini siswa duduk didepan komputer dengan jarak ribuan mil dari sumber informasi untuk melakukan interaksi. Dalam belajar “jarak jauh” insi siswa mempunyai kesempatan untuk membaca teks materi atau memebaca bahan kuliah yang disusun oleh instruktur, melakukan latihan, dan tugas lab dengan menggunakan komputer, berinteraksi dengan instruktur dan siswa lain disesi chat, atau mengerjaan CBI yang telah disiapakan instruktur. Kemajuan teknlogi komputer memungkinkan untuk mengamati dan mendengar kemajuan kelas, dan berpartisipasi secara verbal.   

Implikasi Teori B.F Skinner
Kondisioning operant
Mark adalah seorang siswa dalam kelas geografi Bu Ferguson. Inilah yang terjadi pada Mark selama minggu pertama bulan oktober
Senin, Bu Ferguson menanyakan kepada para siswa di kelasnya letak Kolumbia pada bola dunia. Mark mengetahui letak Kolumbia, dan dia duduk berpangku tangan sambil tersenyum, dengan berharap Bu Ferguson akan memamnggil namanya. Namun, Bu Ferguson memanggil siswa lain.
Selasa, Bu Ferguson menanyakan kepada para siswa di kelasnya asal-usul nama Kolumbia. Mark mengetahui bahwa nama Kolumbia diambil dari nama Christopher Columbus, karena itu dia memangangkat tangannya beberapa senti. Bu Ferguson memanggil siswa lain
Rabu, Bu Ferguson menanyakan kepada para siswa di kelasnya mengapa masyarakat di Kolumbia berbicara bahasa Spanyol ketimbang bahasa Inggris atau Perancis. Mark mengetahui masyarakat Kolumbia berbicara bahasa Spanyol karena banyak pendatang awal Eropa berasal dari Spanyol. Dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi. Bu Ferguson memanggil siswa lain
Kamis, Bu Ferguson menanyakan kepada para siswa di kelasnya mengapa masyarakat di Kolumbia dapat ditanami kopi tetapi di Kanada tidak. Mark mengetahui kopi hanya dapat ditanam di daerah-daerah yang memiliki iklim tertentu saka. Dia mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan melambaikannya dengan liar ke depan dan ke belakang. Bu Ferguson memanggil namanya.
Jum’at, setiap kali Bu Ferguson menanyakan sebuah pertanyaan dan Mark dapat menjawabnya. Mark mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan melambaikannya dengan liar.
Perhatikan bahwa beberapa perialku Mark dalam kelas geografi, seperti duduk diam, tersenyum, dan mengangkat tangan dengan sopan, tidak memberikan hasil. Melambaikan tangan dengan liar memberikan hasil yang diinginkan Mark: perhatian gurunya. Jadi, respon yang menarik perhatian Bu Ferguson akan berlanjut, respon-respon lainnya menghilang.
Perubahan pada perilaku Mark menggambarkan kondisioning operant, sebuah bentuk pembelajaran yang digambarkan oleh banyak ahli perilaku dan yang terkenal adalah B.F Skinner. (Ormrod, 2008: 431)
Daftar Pustaka
Ormrod, Jeanne Ellis. 2008. Psikologi pendidikan membantu siswa tumbuh dan berkembang. Penerbit Erlangga









BAB 3
CLARK LEONARD HULL
Bayu, Mauludiyah, dan Iftitah Banin

Pendekatan Teorisasi Hull
Sebagai langkah pertama dalam menyusun teorinya, Hull menyelesaikan ulasan mendalam terhadap riset-riset belajar yang sudah ada. Lalu dia berusaha mendeduksi konsekuensi yang dapat diuji berdasarkan ringkasan yang sudah dibuatnya. Pendekatan Hull dalam membangun suatu teori dinamakan hypothetical deductive (deduksi hipoteris) atau logical deductive. Teori belajar ini dikembangkan Hull dengan menggunakan metode deduktif. Hull percaya bahwa pengembangan ilmu psikologi harus didasarkan pada teori dan tidak semata-mata berdasarkan fenomena individual atau secara induktif.
Tipe teorisasi ini menghasilkan sistem yang dinamis dan terbuka (open-ended). Hipotesis selalu dibuat, beberapa diantaranya dikuatkan oleh hasil eksperimen dan beberapa lainnya ditolak. Ketika eksperimen mengarah ke arah yang diprediksikan, maka seluruh teori, termasuk postulat dan teorema menjadi kuat. Ketika eksperimen menghasilkan hal-hal yang sudah diprediksikan, maka teori dianggap lemah dan harus direvisi.
Sebuah teori harus terus menerus diperbarui sesuai dengan hasil dari penelitian ilmiah. Nilai dasar teori ditentukan oleh seberapa kuatkah ia sesuai dengan fakta yang teramati. Seberapapun abstraknya teori, pada akhirnya mesti menghasilkan proposisi yang dapat diverifikasi secara empiris, itulah yang terjadi dalam teori Hull.
    
KONSEP TEORETIS UTAMA HULL
Teori Hull mengandung struktur postulat dan teorema yang logis mirip seperti geometri Euclid. Postulat itu adalah pernyataan umum tentang perilaku yang tidak dapat diverifikasi secara langsung, meskipun teorema yang secara logis berasal dari postulat itu dapat diuji. Hull mengajukan enam belas postulat dalam cakupan enam hal yakni sebagai berikut:
1.   Tanda-tanda luar yang mendorong atau membimbing tingkah laku dan representasi neuralnya atau saraf.
Postulat 1: Impuls saraf afferent dan bekas lanjutannya.
Jika suatu perangsang mengenai reseptor, maka timbullah impuls saraf afferent dengan cepat mencapai puncak intensitasnya dan kemudian berkurang secara berangsur-angsur. Sesaat saraf afferent berisi impuls dan diteruskan kepada saraf sentral dalam beberapa detik dan seterusnya timbul respon. S-R diubah menjadi S-s-R atau S-s-r-R. Simbol s adalah impuls atau stimulus trace dalam saraf sensoris, dan simbol r adalah impuls respon yang masih dalam saraf afferent.
Postulat 2: Interaksi saraf afferent.
Impuls dalam suatu saraf afferent dapat diteruskan ke satu atau lebih saraf afferent lainnya. R timbul tidak hanya karena satu stimulus, tetapi lebih dari satu S yang lalu terjadi kombinasi berbagai stimulus. Rumusnya akan berubah menjadi S-r-R.
2.   Respon terhadap kebutuhan, hadiah dan kekuatan kebiasaan.
Postulat 3: Respon-respon bawaan terhadap kebutuhan (tingkah laku yang tidak dipelajari).
Sejak lahir organisme mempunyai hierarki respon penentu kebutuhannya yang timbul karena ada rangsangan-rangsangan dan dorongan. Respon terhadap kebutuhan tertentu bukan merupakan respon pilihan secara random, tetapi respon yang memang ditentukan oleh kebutuhannya, misalnya mata kena debu maka secara otomatis mata berkedip dan keluar air mata. Jika pola respons bawaan pertama tidak memenuhi kebutuhan, maka akan muncul pola lainnya. Jika tidak ada satupun pola-pola perilaku bawaan itu yang efektif dalam memenuhi kebutuhan, maka organisme harus mempelajari pola respons baru.
Postulat 4: Hadiah dan kekuatan kebiasaan; kontiguitas dan reduksi dorongan sebagai kondisi-kondisi untuk belajar.
Kekuatan kebiasaan akan bertambah jika kegiatan-kegiatan reseptor dan efektor terjadi dalam persamaan waktu yang menyebabkan hubungan kontiguitif dengan hadiah pertama dan hadiah kedua. Jika satu stimulus diikuti dengan satu respons yang kemudian diikuti dengan penguatan, maka asosiasi antara stimulus dan respons itu akan semakin kuat yang disebut dengan habit strength (kekuatan kebiasaan) [SHR]. Rumusan matematis yang mendeskripsikan hubungan antara SHR dan jumlah pasangan S dan R yang diperkuat adalah :
SHR = 1 – 10 -0.0305N
N adalah jumlah pemasangan antara S dan R yag diperkuat. Rumusan ini menghasilkan kurva belajar yang terakselerasi secara negatif, yang berarti bahwa pasangan yang lebih dahulu diperkuat memiliki lebih banyak efek terhadap belajar ketimbang pasangan selanjutnya.
3.   Stimulus pengganti (ekuaivalen)
Postulat 5: Generalisasi (penyamarataan).
Kekuatan kebiasaan yang efektif timbul karena stimulus lain daripada stimulus pertama yang menjadi persyaratan bergantung kepada penindakan stimulus kedua dari yang pertama dalam kesatuan yang terus menerus dari ambang perbedaan, dengan kata lain yang ingin dibentuk merupakan hasil rata-rata persyaratan stimulus berikutnya. Generalisasi stimulus ini juga mengindikasikan bahwa pengalaman sebelumnya akan mempengaruhi proses belajar yang sekarang. Hull menyebutnya sebagai generalized habit strength (kekuatan kebiasaan yang digeneralisasikan).
4. Dorongan-dorongan sebagai akitivator respon.
Postulat 6: Stimulus dorongan.
Hubungan dengan tiap-tiap dorongan adalah stimulus dorongan karakteristik yang intensitasnya meningkat dengan kekuatan dorongan. Contohnya bibir dan tenggorokan kering  yang mengiringi dorongan haus.
Postulat 7: Potensi reaksi yang ditimbulkan oleh dorongan.
Kekuatan kebiasaan disintesiskan kedalam potensi reaksi dengan dorongan-dorongan primer yang timbul pada saat tertentu.
Rumusannya adalah :
Potensi reaksi = SER = SHR x D
Jadi, potensi reaksi adalah fungsi dari seberapa sering respons diperkuat dalam situasi itu dan sejauh mana dorongannya ada.
5.  Faktor-faktor yang melawan respon-respon.
Postulat 8: Pengekangan reaksi
Respon memerlukan kerja, dan kerja menyebabkan keletihan yang pada akhirnya akan menghambat respons. Reactive inhibiton (hambatan reaktif) [IR] disebabkan kelelahan, tetapi secara otomatis akan hilang jika organisme berhenti beraktivitas.
Timbulnya suatu reaksi menyebabkan pengekangan reaksi yang lain. Suatu kejemuan untuk mengulangi respon. Pengekangan reaksi adalah penghamburan waktu yang spontan.
Postulat 9: Pengekangan yang dikondisikan (diisyaratkan).
Stimuli yang dihubungkan dengan penghentian respon menjadi pengekangan yang dikondisikan. Respon untuk tidak merespon dinamakan conditioned inhibition (SIR) (hambatan yang dikondisikan). Baik itu IR maupun SIR beroperasi melawan munculnya respons yang telah dipelajari dan karenanya merupakan pengurangan dari potensi reaksi (SER). Ketika IR dan SIR dikurangkan dari SER, hasilnya adalah potensi reaksi efektif (SER).
Potensi reaksi efektif = SER = SHR x D – (IR+ SIR)
Postulat 10: Osilasi pengekangan.
Potensial pengekangan dihubungkan dengan potensial reaksi yang bergoyang terus menerus pada waktu itu. Potensi penghambat itu dinamakan efek guncangan (SOR) yang membahas sifat probabilistik dan prediksi perilaku.
Potensi reaksi efektif sementara = SER = (SHR x D – [IR + SIR]) - SOR
6.  Bangkitnya respon.
Postulat 11: Reaksi ambang perangsang.
Potensi reaksi efektif yang momentum harus melampaui reaksi ambang perangsang sebelum stimulus membangkitkan reaksi.
Postulat 12: Kemungkinan reaksi diatas ambang perangsang.
Kemungkinan respon adalah fungsi normal dari potensi reaksi efektif melampaui reaksi ambang perangsang.
Postulat 13: Latensi (keadaan diam atau berhenti).
Latensi [STR] adalah waktu antara presentasi stimulus ke organisme dan respon yang dipelajarinya. Makin potensi reaksi efektif melampaui reaksi ambang perangsang makin pendek latensi respon, artinya respon makin cepat timbul.
Postulat 14: Hambatan berhenti (ekstingsi).
Makin besar potensi reaksi efektif, makin besar respon yang timbul tanpa perkuatan, sebelum berhenti atau ekstingsi.
Postulat 15: Amplitudo respon (besarnya respon).
Besarnya dorongan dilantari atau disebabkan oleh peningkatan kekuatan potensi efektif reaksi dalam sistem saraf otonom.
Postulat 16: Respon-respon yang bertentangan.
Jika potensi-potensi reaksi kepada dua atau lebih respon-respon yang bertentangan terjadi dalam organisme pada waktu yang sama, maka hanya reaksi yang mempunyai potensi reaksi yang lebih besar akan terjadi responnya. 

Teori belajar hull adalah teori reduksi dorongan atau reduksi stimulus dorongan. Mengenai soal spesifiabilitas tujuan, ketertiban kelas, dan proses belajar dari yang sederhana ke yang kompleks. Namun menurutnya, belajar melibatkan dorongan yang dapat direduksi. Sulit membayangkan bagaimana dorongan primer dapat berperan dalam belajar di kelas, tetapi beberapa pengikut hull menekankan kecemasan sebagai sebentuk dorongan dalam proses belajar manusia. Latihan harus didistribusikan dengan cermat agar hambatan tidak muncul. Guru hullian akan membagi topik-topik yang diajarkannya sehingga pembelajar (siswa) tidak akan kelelahan yang bisa mengganggu proses belajar.


 Konsep Sekunder Teori Belajar Clark Hull
Seperti halnya dengan Skinner, maka Clurk C. Hull mengikuti jejak Thorndike dalam usahanya mengembangkan teori belajar. Prinsip-prinsip yang digunakana mirip dengan apa yang dikemukakan oleh para behavioris yaitu dasar stimulus respon dan adanya reinforcement.
Clark C. Hull mengemukakan teorinya yaitu bahwa suatu kebutuhan atau keadaan terdorong (oleh motif, tujuan, maksud, aspirasi, ambisi) harus ada dalam diri seseorang yang belajar, sebelum suatu respon dapat diperkuat dasar pengurangan kebutuhan itu. dalam hal ini efisiensi belajar tergantung pada besarnya tingkat pengurangan dan kepuasan motif yang menyebabkan timbulnya usaha belajar itu respon-respon yang dibuat individu itu. setiap obyek, kejadian atau situasi dapat mempunyai nilai sebagai penguat apabila hal itu dihubungkan  individu itu, yaitu jika obyek, kejadian atau situasi tadi dapat menjawab suatu kebutuhan pada saat individu itu melakukan respon.
Prinsip penguat menggunakakan seluruh situasi yang memotivasi, mulai dari dorongan biologis yang merupakan kebutuhan utama seseorang sampai pada hasil-hasil yang memberikan ganjaran bagi seseorang. Jadi prinsip yang utama adalah suatu kebutuhan atau motif harus ada pada seseorang sebelum belajar itu terjadi dan bahwa apa yang dipelajarai itu harus diamati oleh orang yang belajar sebagai sesuatu yang dapat mengurangi keuatan kebutuhan atau memuaskan kebutuhannya. Dua hal yang sangat penting dalam proses belajar dari Hull adalah adanya incentive motivation (motivasi insentif) dan drive stimulus reduction (pengurangan stimulus pendorong). Kecepatan berespon berubah bila besarnya hadiah berubah. ( Purwanto, 2006: 97 )
Hull mengembangkan beberapa definisi, antara lain:
1.      Kebutuhan (Need)
Kebutuhan merupakan keadaan organisme yang menyimpang dari kondisi biologis optimum pada umumnya yang digunakan untuk melangsungkan hidupnya. Jika kebutuhan tersebut timbul maka organisme akan bertindak untuk memenuhi kebutuhannya, hal tersebut dinamakan mereduksi kebutuhan dan teori belajarnya disebut teori reduksi kebutuhan atau need reduction theory.
2.      Dorongan (Drive)
Kondisi kekosongan ganda organisme sehingga mendorong untuk melakukan sesuatu. Istilah lain dari dorongan adalah motiv. Adakalanya seseorang merasa ingin melakukan sesuatu namun orang tersebut tidak memiliki dorongan untuk melakukannya.
3.      Perkuatan (Reinforcement)
Sesuatu yang dapat memperkuat hubungan S-R, dan respon terhadap stimulus tersebut dapat mengurangi ketegangan kebutuhan. Perkuatan biasanya berupa hadiah.
Konsep Teoretis utama Hull mengandung struktur postulat dan teorema yang logis mirip seperti geometri Euclid. Postulat adalah pernyataan umum tentang perilaku yang tidak dapat diverifikasi secara langsung, meskipun teorema yang secara logis berasal dari postulat itu dapat diuji. Postulat itu terdiri dari 16 postulat yang dikemukakan pada tahun 1943 dan kemudian ke revisi utama yang dilakukan Hull pada tahun 1952. (Olson, 2008: 142)

Motivasi Insentif (K)
Tahun 1943, Hull membahas besaran penguatan sebagai variable belajar. Semakin besar jumlah penguatan, semakin besar jumlah reduksi dorongan. Dan karenanya semakin besar peningkatan dalam sHr. Eksperimen mengidentifikasikan bahwa kinerja berubah secara dramatis saat besarnya penguatan divariasikan setelah belajar selesai. Perubahan kinerja setelah perubahan besaran penguatan tidak dapat dijelaskan dalam term perubahan sHr karena perubahan itu terlampau cepat. Kecuali satu atau lebih faktor beroperasi melawan sHr, nilainya tidak akan turun. Hull mengambil kesimpulan bahwa organisme belajar sama cepatnya untuk insentif kecil dan insentif besar, namun binatang melakukannya secara berbeda sesuai dengan variasi besarnya insentif (K). Perubahan kinerja yang cepat setelah adanya perubahan ukuran penguatan ini disebut sebagai Crespi Effect .

Dinamisme Intensitas-Stimulus
Menurut Hull, stimulus-itensity dynamism adalah variable pengintervensi yang bervariasi menurut intensitas stimulus eksternal (S). Secara sederhana dinamisme intensitas-stimulus menunjukkan bahwa semakin besar intensitas dari suatu stimulus, semakin besar kemungkinan munculnya respons yang telah dipelajari.

Perubahan dari Reduksi Dorongan ke Reduksi Stimulus Dorongan
Pada mulanya Hull menganut teori reduksi belajar, namun kemudian merevisi menjadi teori drive stimulus reduction ( reduksi stimulus dorongan ) dalam belajar. Hull menyimpulkan bahwa reduksi dorongan tidak memadai untuk menjelaskan proses belajar, yang dibutuhkan untuk menjelaskan belajar adalah sesuatu yang terjadi setelah penyajian penguat dan sesuatu itu adalah reduksi drive stimuli (stimuli dorongan).

Respons Tujuan Pendahulu Fraksional
Ketika stimulus neural secara konsisten dipasangkan dengan penguatan primer, ia akan memiliki properti penguatan sendiri yakni menjadi penguat sekunder. Konsep penguat sekunder sangat penting untuk memahami operasi fractional abtedating goal response (respon tujuan pendahuku fraksional) yang merupakan salah satu konsep terpenting dari Hull.
Misalnya kita melihat tikus untuk mencari suatu makanan lewat jalan yang ruwet. Kita meletakkan tikus dikotak awal dan akhirnya mencapai kotak tujuan yang berisi makanan, penguat primer. Semua stimuli dalam kotak tujuan yang dirasakan sebelum penguatan primer (makanan) karenanya, melalui proses pengkondisian klasik akan menjadi penguat sekunder). Berdasarkan prinsip pengkondisian klasik tikus akan mengembangkan respon  yang tak terkondisikan. Respon yang tak terkondisikan adalah keluarnya air liur, mengunyah dan menjilat yang ditimbulkan oleh adanya makanan yang diberikan kepada hewan yang lapar. Respon terkondosikan juga melibatkan keluarnya air liur, pengunyahan dan penjilatan akan dimunculkan oleh berbagai stimuli dalam kotak tujuan saat tikus mendekati makanan. Respon tujuan pendahulu fraksional adalah respon terkondisikan terhadap stimuli yang dialami sebelum pencernaan makanan.
Setelah hewan meninggalkan kotak awal akan bertemu dengan berbagai macam stimuli, beberapa diantaranya memiliki properti penguatan. Respon-respon yang mendekatkan hewan ke stimuli penguatan cenderung akan diulang dan respon lainnya akan lenyap. Jad proses belajar melibatkan baik itu pengkondisian klasik maupun pengondisian instrumental. Pengkondisian klasik menghasilkan penguat sekunder dan rG. Pengkondisian instrumental menghasilkan respon motor yang benar yang mmbuat hewan mendekati penguat primer dan penguat sekunder.
Dua karakteristik dari rG harus dicatat. Pertama rG harus selalu merupakan beberapa fraksi (bagian) dari respon tujuan (rG). Kedua dan lebih penting, rG menghasilkan stimulasi. Respon yang tegas mengaktifkan reseptor kinestetik diotot, tendon dan sendi. Secara lebih teknis, pengaktifan reseptor kinestetik menimbulkan propriceptive stimuli. (Olson, 2008: 151-154)

Hierarki Rumpun Kebiasaan
Hierarki rumpun kebiasaan merujuk pada fakta bahwa dalam situasi belajar apapun ada banyak kemungkinan respon, dan respon yang paling mungkin adalah respon yang menimbulkan penguatan paling cepat dan dengan paling sedikit membutuhkan usaha.
Ada hubungan erat antara hierarki rumpun kebiasaan dengan bagaimana respon tujuan pendahulu fraksional (rG) dan stimulus dan menimbulkannya (sG) beroperasi dalam proses berantai. Respon yang nyata dapat berasal dari terjadinya sG. Beberapa respon ini akan langsung muncul saat menemui penguat sekunder dan yang lainnya tidak. Pada akhirnya respon yang cepat akn berjumpa dengan penguat sekunder akan menjadi respon sekunder karena respon itu memiliki nilai SER tertinggi. Semakin lama penundaan penguatan semakin rendah nilai SER.
Ada 3 macam variabel dalam teori Hull :
1.      Variabel bebas (independen) merupakan kejadian stimulus yang secara sistematis dimanipulasi oleh eksperimenter
2.      Variabel pengintervensi (intervening) yakni proses yang dianggap terjadi didalam organisme tetapi tidak dapat diamati secara langsung.
3.      Variabel terikat (dependen) yakni beberapa aspek dari perilaku yang diukurvoleh eksperimenter dalam rangka menentukan apakah varabel bebas punya efek atau tidak.

Pandangan Hull Tentang Pendidikan
Teori belajar Hull adalah teori reduksi dorongan atau reduksi stimulus dorongan. Belajar melibatkan dorongan yang dapat direduksi. Beberapa pengikut Hull menekankan kecemasan sebagai bentuk dorongan proses belajar manusia. Mereduksi kecemasan murid adalah syarat yang diperlukan untuk belajar dikelas. Tapi terlalu sedikit kecemasan tidak akan menimbulkan proses belajar karena tidak ada dorongan yang akan direduksi.
Miller dan Dollard (1941) meringkaskan aplikasi teori Hull untuk pendidikan sebagai berikut :
Drive               : pembelajar harus menginginkan sesuatu
Cue                  : pembelajar harus memperhaitikan sesuatu
Response         : pembelajar harus melakukan sesuatu
Reinforcement : respon pembelajar harus membuatnya mendapatkab sesuatu yang        didinginkannya
Menurut Hull penguatan bergantung pada reduksi dorongan atau stimuli dorongan yang dihasilkan oleh kondisi kebutuhan fisiologis. Hipotesis reduksi dorongan adalah usaha pertama untuk  membedakan diri dari definisi pemuas/penguat yang kurang tegas yang menjadi ciri teori Thorndike dan Skinner.

Kritik
Meski pengaruh besar teori Hull mengandung masalah dikritik karena kurang teorinya kecil sekali manfaatnya untuk menjelaskan perilaku diluar laboratorium karena terlalu menekankan pada konsep yang didefinisikan secara operasional dan karena memberikan prediksi yang tidak konsisten. Meskipun ada langkah pembelaan riset selanjutnya akan menunjukkan bahwa penguatan terjadi dengan atau tanpa reduksi dorongan atau stimuli dorongan.. salah satu keterangan yang menarik mengatakan bahwa Hull membangunteori secara terbalik. Namun, dengan keliruanya tepri Hull termasuk salah satu dari teori paling heuristik dalam sejarah psikologi. Selain memicu banyak eksperimen penjelasan Hull mengenai penguatan. Dorongan, pelenyapan dan generalisasi telah menjadi kerangka standar acuan dalam diskusi konsep. (Olson, 2008: 159)

Implikasi Teori Belajar Hull
Sebagai langkah pertama dalam menyusun teorinya, Hull menyelesaikan ulasan mendalam terhadap riset-riset belajar yang sudah ada. Lalu dia berusaha mendeduksi konsekuensi yang dapat diuji berdasarkan ringkasan yang sudah dibuatnya. Pendekatan Hull dalam membangun suatu teori dinamakan hypothetical deductive (deduksi hipoteris) atau logical deductive. Teori belajar ini dikembangkan Hull dengan menggunakan metode deduktif. Hull percaya bahwa pengembangan ilmu psikologi harus didasarkan pada teori dan tidak semata-mata berdasarkan fenomena individual atau secara induktif.
Tipe teorisasi ini menghasilkan sistem yang dinamis dan terbuka (open-ended). Hipotesis selalu dibuat, beberapa diantaranya dikuatkan oleh hasil eksperimen dan beberapa lainnya ditolak. Ketika eksperimen mengarah ke arah yang diprediksikan, maka seluruh teori, termasuk postulat dan teorema menjadi kuat. Ketika eksperimen menghasilkan hal-hal yang sudah diprediksikan, maka teori dianggap lemah dan harus direvisi.
Sebuah teori harus terus menerus diperbarui sesuai dengan hasil dari penelitian ilmiah. Nilai dasar teori ditentukan oleh seberapa kuatkah ia sesuai dengan fakta yang teramati. Seberapapun abstraknya teori, pada akhirnya mesti menghasilkan proposisi yang dapat diverifikasi secara empiris, itulah yang terjadi dalam teori Hull.
Kontribusi teori belajar Hull
Teori Belajar Hull berpengaruh besar terhadap psikologi. Marx dan Cronan Hilix (1987), berkata :
“Kontribusi terpenting dari Hull untuk psikologi adalah dia menunjukkan manfaat dari mengarahkan pandangan seseorang terhadap tujuan utama dari teori perilaku yang sistematis dan Ilmiah”. Dia mempopulerkan pendekatan behafioristik yang amat obyektif.
Cakupan teori Hull ini adalah perpaduan antara definisi variabel yang detail, mengundang banyak penelitian empiris. Teori Hull adalah teori pertama yang memenuhi kriteria Popper. Penegasan Hull pada definisi yang tepat dan pernyataan matematika yang menghubungkan konsep – konsepnya dengan perilaku telah memberi arah yang jelas untuk pengujian teorinya. Menurut Hull, penguatan bergantung pada reduksi dorongan atau stimuli dorongan yang dihasilkan oleh kondisi kebutuhan psikologis. Hipotesis reduksi dorongan adalah usaha pertama untuk membedakan diri definisi pemuas atau penguat yang kurang tegas yang menjadi ciri teori Thorndike dan Skinner. Hull juga merupakan orang pertama yang membuat prediksi yang persis tentang efek gabungan dari belajar dan dorongan terhadap perilaku dan tentang efek keletihan (via hambatan reaktif dan terkondisikan).
Contoh kasus di awal pembelajaran mata pelajaran yang diampu oleh guru yang ahli dibidangnya , seorang pendidik baiknya memperhatikan perkembangan peserta didiknya, karana jika dari awal peserta didik merespon baik dan mendapatkan hasil yang baik dalam awal pembelajaran maka ditingkat-tingkat pembelajaran yang lebih lanjut peserta didik akan dapat hasil yang baik, sebaliknya jika dari awal pembelajaran saja peserta didik sudah menunjukan hasil yang buruk maka peserta didikpun akan mendapatkan kesulitan dalam belajar. Oleh karena itu, perhatian pendidik terhadap peserta didik di sini sangat penting. Dari analisis pendidik terhadap anak didiknya dilingkungan kelas yang ada saat itu termasuk mengidentifikasi pengetahuan awal siswa.                                                                                            
Seorang pendidik wajib mengenal karakteristik murid-muridnya juga daya tangkap murid-muridnya dalam pembelajaran yang diberikan.Memberikan stimulus, dapat berupa: pertanyaan baik lisan maupun tertulis, tes/kuis, latihan, atau tugas-tugas. Di dalam pelajaran yang diberikan di atas pendidik bisa memberikan perhatian pada peserta didik berupa memberikan tugas menghafal dengan tuntutan peserta didik-peserta didik nantinya maju ke depan dan diberikan pertanyaan-pertanyaan tentang tugas-tugas hafalan itu sendiri dan untuk menambah semangat peserta didik, pendidik bisa memberikan nilai bagi peserta didik yang hafal lebih banyak dan peserta didik yang kurang hafal pendidik bisa memberikan teguran atau diberikan tugas-tugas agar bisa belajar lagi di rumah. Pendidik juga bisa membuat kuis atau permainan agar peserta didik bisa lebih semangat dalam belajar, misalnya pendidik membuat beberapa kelompok dari murid yang ada kemudian dari tiap kelompok wajib menunjuk satu anggotanya untuk memperagakan soal-soal yang ada di atas sesuai perintah pendidik kemudian teman-temannya menjawab apa yang diperagakan oleh temannya itu, apabila teman-temannya tidak bisa menjawab maka bisa dijawab kelompok lain jadi jika mereka tidak bisa menjawab nilai akan diambil kelompok lain, dengan begitu peserta didik akan berusaha berfikir lebih keras untuk mengingat.
Mengamati dan mengkaji respons yang diberikan peserta didik. Jika ada peserta didik yang bertanya pendidik harus bisa menjawab dan menjelaskannya hingga peserta didik bener-benar mengerti, dan bila ada peserta didik yang kurang mengerti atau kurang aktif pendidik perlu memberikan pertanyaan-pertnyaan untuk memaksa peserta didik aktif di kalas.
Memberikan penguatan/reinforcement (mungkin penguatan positif ataupun penguatan negatif), ataupun hukuman yang bersifat mendidik. Jika di dalam kalas atau di dalam pelajaran itu peserta didik ada yang kurang memperhatikan atau mengabaikan pelajaran pendidik, pendidik bisa memberikan hukuman agar peserta didik jerah dan tidak berani mengulanginya lagi juga lebih memperhatikan pendidik saat pendidik mengajar.
Evaluasi hasil belajar.
Setelah pendidik melakukan langkah-langkah pembelajaran, pendidik hendaknya melakukan evaluasi tentang bagaimana hasil belajar peserta didiknya untuk mengetahui seberapa jauh peserta didik dapat mengetahui dan memahami pembelajaran yang telah diberikan. Jika hasil evaluasi belajar peserta didik dapat merespon dengan baik dan menjadikan peserta didik merasa nyaman dalam belajar maka pembelajaran dianggap berhasil, tetapi sebaliknya jika hasil evaluasi belajar peserta didik tidak dapat merespon dengan baik dengan apa yang telah diberikan dan peserta didik tidak bisa nyaman dalam belajar,maka pembelajaran dianggap gagal yang berakibat peserta didik kurang aktif  dan hasil belajar atau nilai yang kurang memuaskan.
Aplikasi teori belajar behavioristik sangat cocok untuk perolehan kemampuan yang membutuhkan praktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur seperti : Kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagainya sehingga model yang paling cocok adalah Drill and Practice, contohnya: dimanfaatkan di pendidikan anak usia dini, TK untuk melatih kebiasaan baik, karena anak-anak sangat mudah meniru perilaku yang ada dilingkungannya dan sangat suka dengan pujian dan penghargaan. Sedangkan untuk pendidikan menengah dan pendidikan tinggi teori behavioristik ini banyak digunakan antara lain untuk melatih percakapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraga dan sebagainya.
Teori behavioristik cenderung mengarahkan peserta didik untuk berfikir linier, konvergen, tidak kreatif dan tidak produktif. Peserta didik juga tidak dapat berimajinasi dan berkreasi sehingga teori belajar behavioristik cenderung membatasi peserta didik. Pembelajaran behavioristik cenderung dikaitkan dengan penegakan disiplin, kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu hukuman, dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah.



BAB 4
IVAN PETROVICH PAVLOV
Khoirotun Niswah, Lailatul Fitriyah, Lusi Widiastutik

Konsep Utama Teori Pavlov
Dalam merumuskan teori belajar, Ivan Pavlov mengelompokkan konsep teori ke dalam 4 (empat) macam :

1.      Eksistensi (kegairahan) dan hambatan
Menurut Pavlov, dua proses dasar yang mengatur semua aktivitas sistem syaraf sentral adalah excitation (eksitasi) dan inhibition (hambatan). Babkin (1949), mengatakan:
Dua konsep dasar dari Pavlov mengenai property fungsional dari system syaraf, dan cerebral cortex pada khususnya, adalah bahwa mereka didasarkan pada dua proses yang sama sama penting: proses eksitasi (kegairahan) dan proses hambatan. Eksitasi dan hambatan adalah sisi sisi dari proses yang sama; keduanya selalu ada secara bersamaan, namun proporsinya bervariasi di setiap saat, kadang yang satu lebih menonjol, dan kadang yang satunya lagi yang lebih menonjol. Secara fungsional cerebral cortek adalah menurut Pavlov, sebuah mosaic, yang terdiri dari titik titik eksitasi dan hambatan yang terus menerus berubah.(h.313)
Pavlov berspekulasi bahwa setiap kejadian di lingkungan berhubungan dengan beberapa titik otak di otak dan saat kejadian ini dialami, ia cenderung menggairahkan atau menghambat aktivitas otak, jadi, otak terus menerus dirangsang atau dihambat, tergantung pada apa yang dialami oleh organisme. Pola eksitasi dan hambatan yang menjadi karakteristik otak ini oleh Pavlov disebut cortical misaik (mosaic kortikal). Mosaic kortikal pada satu momen akan menentukan bagaimana organisme merespon lingkungan. Setelah lingkungan eksternal atau internal berubah, mosaic kortikal akan berubah dan perilaku juga berubah.
Mozaik kortikal dapat menjadi konfigurasi yang relatif stabil, sebab menurut Pavlov pusat otak yang berkali-kali aktif bersama akan membentuk koneksi temporer dan kebangkitan satu poin akan membangkitkan poin lainnya. Jadi, jika satu nada terus menerus diperdengarkan kepada seekor anjing sebelum ia diberikan makan, area di otak yang merespon ke makanan. Ketika koneksi-koneksi ini terbentuk, presentase nada akan menyebabkan hewan bertindak seolah-olah makanan akan disajikan. Pada poin ini kita mengatakan refleks yang dikondisikan sudah terjadi.
Dengan kata lain jika satu nada terus menerus diperdengarkan kepada seekor anjing sebelum ia diberikan makan, area di otak yang merespon ke makanan. Ketika koneksi-koneksi ini terbentuk, presentase nada akan menyebabkan hewan bertindak seolah-olah makanan akan disajikan. Pada poin ini kita juga bisa mengatakan refleks yang dikondisikan sudah terjadi.
2.      Steorotip dinamis
Ketika kejadian terjadi secara konsisten dalam suatu lingkungan, mereka akan memiliki representasi neurologis dan respon terhadap mereka akan lebih mungkin terjadi dan lebih efisien. Jadi, respons terhadap lingkungan yang sudah di kenal akan makin cepat dan otomatis kietika ini terjadi, dynamic stereotype stereotype (stereotip dinamis)dikatakan telah terjadi. Secara garis besar, stereotip dinamis adalah mosaic kortikal yang menjadi stabil karena organisme berada dalam lingkungan yang dapat di prediksi selama periode waktu tertentu yang lumayan panjang. Selama pemetaan kortikal ini dengan akurat merefleksikan lingkungan dan menghasilkan respon yang tepat, maka segala sesuatau akan bak baik saja. Tetapi jika lingkungan berubah secara radikal, organisme mungkin kesulitan untuk mengubah stereotip dinamis, Pavlov (1995) mengatakan:
Seluruh susunan dan distribusi keadaan kegairahan dan hambatan dalam korteks, yang terjadi dalam suatu priode tertentu dalam stimuli eksternal dan internal, menjadi makin menetap dalam kondisi yang sama dan terus berulang ulang dan akan terjadi dengan semakin lancer dan otomatis. Jadi, tampaknya ada stereotip dinamis (sistematis) dalam korteks, dan pemeliharaannya akan semakin mudah dilakukan; namun stereotip dinamis ini menjadi lamban, sulit berubah dan resisten terhadap kondisi dan stimuli baru. Usaha untuk memperbarui stereotip akan lebih sulit untuk dilakukan, tergantung pada kompleksitas system stimuli. (h.259)
Secara garis besar streotip dinamis adalah mosaik kortikal yang menjadi stabil karena organisme berada dalam lingkungan yang dapat diprediksi selama periode waktu tertentu yang lumayan panjang. Selama pemetaan kritikal ini dengan akurat merefleksikan lingkungan dan menghasilkan respons yang tetap, maka segala sesuatu akan baik-baik saja. Tetapi, jika lingkungan berubah secara radikal, organisme mungkin kesulitan untuk mengubah stereotif dinamis. yang dikuti oleh kejadian lingkungan lainnya, dan selama hubungan ini terus terjadi, asosiasi antara keduanya pada level neural akan menguat. (perhatikan kemiripan dengan pemikiran Thorndike tentang efek dari latihan terhadap ikatan neural). Jadi, lingkungan berubah cepat, jalur neural baru harus dibentuk, dan itu bukan tugas yang mudah.
3.      Iradiasi dan konsentrasi
Pavlov menggunakan istilah analyer untuk mendeskripsikan jalur dari satu reseptor indrawi ke area otak tertentu. Suatu analyer terdiri dari reseptor indrawi, jalur konsensoris dari reseptor ke otak, dan area otak yang di proyeksikan oleh aktivitas sensoris. Informasi sensoris (indrawi) yang diproyeksikan (diteruskan) kebebrapa area otak akan menimbulkan eksitasi di area itu. Pada awalnya terjadi irradiation of excitation (iradiasi eksitasi); dengan kata lain, eksitasi ini akan meluber ke area otak lain di dekatnya. Ini adalah proses yang di pakai Pavlov untuk menjelaskan generalisasi. Dalam contoh generalisasi tersebut, kita mencatat bahwa hewan dikondisikan untuk merespon nada berfrekuensi 2.000 cps, ia bukan hanya akan merespon nada itu, tetapi juga nada yang lain yang terkait dengannya. Besaran respon akan ditentukan oleh kemiripan antara nada yang disajikan dan CS actual yang di pakai selama training. Semakin besar kemiripannya, semakin besar CS-nya.
Penjelasan lain mengenai iridasi, Pada awalnya terjadi iradiasi akan melebur ke arah otak lain di dekatnya. Iradiasi adalah proses yang dipakai Ivan Pavlov untuk menjelaskan generalisasi, yaitu: ketika hewan dikondisikan untuk merespon nada itu, tapi juga merespon nada yang lain yang terkait dengannya. Ivan Pavlov mengasumsikan bahwa nada yang paling dekat dengan nada yang dipresentasekan dalam daerah otak yang dekat dengan area yang menerima nada. Saat nada menjadi makin berbeda, daerah otak yang mempresentasekannya akan semakin jauh dari area yang menerima. Selain itu, pavlov mengasumsikan bahwa eksitasi akan hilang karena jarak. Pavlov juga menemukan bahwa konsenterasi sebuah proses yang berlawanan dengan iradiasi.

Pavlov juga menemukan bahwa concentration (konsentrasi), sebuah proses yang berlawanan dengan iradiasi, mengatur eksitasi dan hambatan. Dia menegaskan bahwa dalam situasi tertentu baik eksitasi maupun hambatan dikonsentrasikan pada area spesifik di otak. Proses iradiasi ini di pakai untuk menjelaskan generalisasi, sedangkan proses konsentrasi dipakai untuk menjelaskan diskriminasi.
Pertama tama organisme punya tendensi umum untuk merespon CS selama pengkondisian. Misalnya, jika sinyal diikuti dengan penguat, maka tendensi yang telah dipelajari akan merespon sinyal itu dan sinyal yang terkait dengannya. Demikian pula, jika sinyal disajikan dan tidak diikuti dengan penguat, maka tendensi yang telah dipelajari tidak akan meresponnya. Karena kita mengatakan bahwa baik itu eksitasi maupun hambatan telah beriradiasi. Tetapi dengan latihan lama, tendensi untuk merespon dan tak merespon akan emnjadi kurang umum (less general) dan semakin spesifik ke daerah stimuli tertentu. Dalam kasus ini, kita mengatakan eksitasi dan hambatan telah terkonsentrasi.

4.      Pengkondisian Eksitateris dan Inhibitoris

Ivan Pavlov mengidentifikasi dua tipe umum dari pengkondisian , yaitu pertama: excitatory conditioning akan tampak ketika pasangan CS-US menimbulkan suatu respon (sebuah bell (CS) yang dipasangkan berulang kali dengan makanan (US) sehingga penyajian CS akan menerbitkan air liur (CR), satu nada (CS) dipasangkan berulang kali dengan tiupan angin (US) langsung ke mata yang menyebabkan mata secara refleks berkedip (UR) sehingga penyajian CS saja akan menyebabkan mata berkedip.

Conditioned inhibition tampak training CS atau menekan suatu respon misalnya, Pavlov berspekulasi bahwa pelenyapan mungkin disebabkan oleh munculnya hambatan setelah CS menimbulkan respon itu diulang tanpa suatu penguat.
Ekternal inhibition (hambatan ekternal) adalah istilah yang di pakai Pavlov untuk mendeskripsikan efek disruktif yang terjadi ketika sti,mulus baru disajikan bersama dengan CS yang sudah ada. tetapi efeknya tidak terbatas hnaya pada eksitasi yang dikondisikan. Jika CS adalah penghambat yang dikondisikan, pengenalan stimulus tidak terduga bersama dengan CS akan menghasilkan disinhibition yang merupakan disrupsi (gangguan) terhadap hamabatan yang dikondisikan.dengan kata lain jika kita memasangkan satu stimulus baru dengan penghambat yang dikondisikan, penghambat akan gagal untuk menghambat.
Berdasarkan percobaan yang dilakukan oleh Ivan Pavlov maka terlihat bahwa pentingnya mengkondisi stimulus agar terjadi respon. Dengan demikian pengontrolan stimulus jauh lebih penting daripada pengontrolan respon. Konsep ini mengisyaratkan bahwa proses belajar lebih mengutamakan faktor lingkungan (eksternal) daripada motivasi (internal).
Dalam eksperimennya yang lain, Pavlov menggunakan anjing untuk mengetahui hubungan antara conditional stimulus (CS), unconditioned stimulus (UCS), conditioned response (CR), dan unconditioned response (UCS). CS adalah rangsangan yang mampu mendatangkan respons yang dipelajari, sedangkan respons yang dipelajari itu sendiri disebut CR. Adapun UCS berarti rangsangan yang menimbulkan respons yang tidak dipelajari, dan respons yang tidak dipelajari itu disebut UCR.
Anjing percobaan itu mula-mula diikat sedemikian rupa dan pada salah satu kelenjar air liurnya diberi alat penampung cairan yang dihubungkan dengan pipa kecil (tube). Perlu diketahui bahwa sebelum dilatih (dikenal eksperimen), secara alami anjing itu selalu mengeluarkan air liur setiap kali mulutnya berisi makanan. Ketika, bel dibunyikan secara alami pula anjing itu menunjukkan reaksinya yang relevan, yakni tidak mengeluarkan air liur.
Kemudian, dilakukan eksperimen berupa latihan pembiasaan mendengarkan bel (CS) bersama-sama dengan pemberian makanan berupa serbuk daging (UCS). Setelah latihan yang berulang-ulang ini selesai, suara bel tadi (CS) diperdengarkan lagi tanpa disertai makanan (UCS). Apa yang terjadi? Ternyata anjing percobaan tadi mengeluarkan air liur juga (CR), meskipun hanya mendengar suara bel (CS). Jadi, CS akan menghasilkan CR apabia CS dan UCS telah berkali-kali dihadirkan bersama-sama.
Berdasarkan eksperimen di atas, semakin jelaslah bahwa belajar adalah perubahan yang ditandai dengan adanya hubungan antara stimulus dan respons. Kesimpulan yang dapat kita tarik dari hasil eksperimen pavlov ialah apabila stimulus yang diadakan (CS) selalu disertai dengan stimulus penguat (UCS), stimulus tadi (CS) cepat atau lambat akhirnya akan menimbulkan respons atau perubahan yang kita kehendaki (Muhibbin,2001)




Teori Belajar Aliran Asosiatif Ivan Petrovich Pavlov

Konsep Utama Teori Ivan P. Pavlov
1.      Eksitasi (kegairahan) dan Hambatan
2.      Stereotip Dinamis
3.      Iradiasi dan Konsentrasi
4.      Pengkondisian Eksitatoris dan Inhibitoris

Berikut ini adalah telaah kritis terhadap teori belajar Pavlov. Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :

A.    Hukum-Hukum Yang Digunakan Pavlov

Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan mengabaikan aspek – aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang dikuasai individu.

Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari pendekatan behaviorisme ini, diantaranya : Ivan Pavlov “classical conditioning”nya:
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :18
1.      Law of Respondent Conditioning, berarti hukum pembiasaan pembiasaan yang dituntut. Menurut Hintzman (1978), yang dimaksud dengan law of respondent conditioning ialah, jika dua macam stimulus dihadirkan secara simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer) maka refleks ketiga yang terbentuk dari respons atas penguatan refleks dan stimulus lainnya akan meningkat. Yang dimaksud dengan dua stimulus tadi adalah CS dan CR.
2.      Law of Respondent Extinction, berarti hokum pemusnahan yang dituntut. Yaitu jika refleks yang sudah diperkuat melalui respomdent conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.

Ringkasan Pandangan Pavlov tentang Fungi Otak
Pavlov memandang otak sebagai semacam mosaik titik – titik eksitesi dan hambatan. Setiap poin di otak berhubungan dengan satu kejadian enviromental. Berdasarkan pada apa yang dialami pada suatu saat, pola eksitasi dan hambatan yang berbeda akan muncul di otak dan pola itu akan menjadi perilaku. Ketika koneksi temporer pertama kali dibentuk oleh otak, ada tendensi bagi stimulus yang dikondisikan untuk memberi efek umum di otak. Setelah proses belajar berlanjut eksitasi yang disebabkan oleh stimulus positif dan hambatan yang disebabkan oleh stimulus negatif menjadi terkonsentrasi di area spesifik di otak.
Pavlov tidak pernah menjelaskan bagaimana semua prosedur ini berinteraksi untuk menimbulkan perilaku yang terkoordinasi baik yang kita lihat dari semua organisme namun dia menunjukkan keheranannya bahwa perilaku yang sistematis tidak muncul dari banyak faktor pengaruh tersebut.

Sistem Sinyal Pertama dan Kedua
Karya Pavlov mengenai pengkondisian telah menyediakan kerangka untuk memahami bagaimana organisme mengantisipasi kejadian di masa depan. Karena CS mendahului kejadian yang signifikan secara biologis (UR) maka mereka menjadi sinyal untuk kejadian yang memungkinkan organisme itu mempersiapkan diri dan menjalankan perilaku yang tepat. Pavlov, menyebut stimuli yang memberi sinyal kejadian yang penting secara biologis (CS) ini sebagai first signal system. Selain itu, manusia juga menggunakan bahasa yang terdiri dari simbol – simbol realitas. Seseorang mungkin merespon kata bahaya sebagaimana merespon situasi yang aktual yang berbahaya. Pavlov menyebut kata yang melambangkan realitas itu sebagai sinyal dari sinya atau second signal system. Sinyal – sinyal yang muncul bisa diorganisasikan dalam sistem kompleks yang akan memandu perilaku banyak manusia.

Perbandingan Antara Pengkondisian Klasik Dan Instrumental
Pengkondisian klasik dapat menimbulkan suatu respon, dan pengkondisian instrumental akan tergantung pada respons yang diberikan. Pengkondisian klasik dapat dikatakan bersifat tidak sukarela dan otomatis, sedangkan pengkondisian instrumental bersifat sukarela dan dikontrol.
Fungsi penguatan juga berbeda untuk pengkondisian klasik dan instrumental. Untuk pengkondisian instrumental, penguatan dihadirkan setelah respon dibuat. Untuk pengkondisian klasik, penguat (US) disajikan untuk menimbulkan respon.
Kedua macam pengkondisian itu memperkuat survivel organisme. Pengkondisian klasik memperkuatnya dengan menciptakan suatu tanda dan simbol yang memungkinkan antisipasi kejadian yang signifikan. Pengkondisian memperkuatnya melalui pengembangan pola perilaku yang tepat dalam merespon kejadian signifikan tersebut. Perlu dicatat bahwa mustahil memisahkan antara pengkondisian instrumental dan pengkondisian klasik.


Riset Terbaru Tentang Pengkondisian Klasik
CR tidak selalu merupakan UR kecil. Pavlov percaya bahwa selama jalannya pengkondisian CS akan menggantikan US dan itulah mengapa pengkondisian klasik kadang disebut sebagai stimulus subtitute learning. Diasumsikan bahwa karena CS bertindak sebagai pengganti US, maka CR adalah versi kecil dari UR. Periset bukan hanya menemukan CR dan UR adalah berbeda. Tetapi mereka juga menemukan bahwa keduanya saling bertentangan. Juga ditemukan bahwa ketika digunakan US yang sama, akan muncul CR yang berbeda – beda ketika CS yang berbeda dipasangkan dengan US itu. Ternyata terkadang CR mirip UR, terkadang CR membuat organisme bersiap mengantisipasi US, terkadang CR bertentangan dengan UR.
Pelenyapan melibatkan intervensi. Pavlov percaya bahwa selama pelenyapan, presentasi CS yang tak diperkuatakan menghasilkan hambatan yang dikondisikan yang menekan atau menanti asosiasi eksitatoris yang telah dipelajari sebelumnya antara CS dan US. Karenanya, mekanisme teoritis yang mendasari pelenyapan eksperimental dari respon yang dikondisikan adalah hambatan, bukan eliminasi koneksi CS-US.
Argumen ini didasarkan pada tiga fenomena belajar yang reliabel. Pertama, pemulihan spontan. Kedua, renewal effect, yang muncul ketika satu respon yang telah dikondisikan dalam satu konteks eksperimental dilenyapkan dalam konteks lainnya. Ketiga, reinstatement, muncul ketika US disajikan setelah pelenyapan eksperimental sudah selesai. Selama pelenyapan petunjuk konteks yang sama akan membangkitkan kembali kenangan asosiasi CS-pelenyapan. Setelah pelenyapan CS menjadi ambigu.
Overshadowing dan Blocking. Pavlov mengamati jika bahwa dia menggunakan satu stimulus majemuk gabungan sebagai CS dan satu komponen dari stimulus tersebut lebih menonjol ketimbang komponen lainnya, maka komponen yang paling menonjollah yang paling dokondisikan. Fenomena ini disebut overshadowing. Leon Kamin melaporkan serangkaian percobaan penting tentang fenomena yang disebut blocking.  Kamin (1969) menggunakan prosedur CER (conditioned emotional response) untuk menunjukkan konsep blocking. Pertama, tikus dilatih untuk menekan tuas untuk mendapatkan penguatan berupa makanan. Kemudian tikus dihadapkan pada 16 kali percobaan dimana suara diikuti dengan setrum. Hasil dari training ini disebut dengan respons kekang saat suara diperdengarkan. Selanjutnya menyandingkan suara dari tahap sebelumnya dengan cahaya karenanya menciptakan stimulus majemuk atau gabungan. Fase finalnya adalah hanya memberi cahaya kepada tikus untuk melihat apakah stimulus cahaya  ini menimbulkan pengekangan. Hal yang perlu diingat blocking, seperti overshadowing menunjukkan contoh situasi dimana stimuli dipasangkan sesuai dengan prinsip pengkondisian klasik namun tidak menimbulkan pengkondisian.

Teori Pengkondisian Klasik Rescorla – Wagner
Teori Resercorla – Wagner memberikan penjelasan fenomena pengkondisian klasik umum, memberikan beberapa prediksi tak terduga yang relevan dengan pengkondisian klasik, dan memecahkan beberapa problem penting yang berkaitan dengan pengkondisan klasik. Teori ini menggunakan logika simbolis dan matematika sederhana untuk meringkas dinamika belajar.  Resercorla – Wagner mengasumsikan bahwa sifat dari US akan menentukan level maksimum atau simpotik dari pengkondisian yang dapat dicapai.

Kontigensi , Bukan Kontiguitas
Dalam artikelnya yang berpengaruh,”Pavlovian Conditioning: It’s Not what you think”Rescorla(1988) menyajikan tiga observasi tentang pengondisian Pavlovian dan menjelaskan arti pentingnya dalam psikologi modern.
Pertama, seperti Egger dan Miller(1962,1963) dia mengatakan pada dasarnya ada korelasi antara US dan CS yang lebih dari sekedar kebetulan atau kontiguitas. Misalnya, satu situasi dimana hewan mengalami US acak selama periode yang lebih panjang. Mungkin ada kejadian ketika US dan CS  terjadi bersama-sama (kontiguitas) dan ketika mereka terjadi secara sendiri-sendiri. Bandingkan situasi ini dengan situasi dimana US dan CS diprogram sehinggah mereka hanya terjadi bersama-sama. Dua kondisi ini disajikan di gambar 7-6 dan penting untuk dicatat bahwa dalam kedua situasi itu CS dan US terjadi bersama-sama dalam jumlah waktu yang sama.
Kedua, seperti Zener (1937), Rescorla (1988) mengatakan bahwa klaim umum bahwa CR adalah miniatur atau ringkasan dari UR adalah klaim yang yang terlalu menyerderhanakan atau bahkan tidak tepat. Respons tipikal untuk suatu US berupa setrum listrik dalam eksperimen, misalnya, adalah peningkatan aktivitas atau berupa respons yang mengejutkan. Akan tetapi, seperti terlihat dalam fenomena pengekangan yang dikondisikan di atas, jika CS yang dipakai untuk memberi isyarat setrum diberikan selama performa dari respons yang berbeda(penekanan tuas), hasilnya adalah penurunan aktivitas. CR dapat berupa beberapa respons yang berbeda-beda, bergantung pada konteks dimana CS terjadi.
Dua poin ini tampak jelas ketika Rescorla (1966) melatih anjing untuk melompat rintangan disebuah kotak agar ia terhindar dari setrum yang diberikan daam interval reguler 30 detik. Situasinya ditata sedemikian rupa sehinggah setrum itu bisa dihindari jika anjing melompati rintangan, waktu dihitung lagi dari nol dan dmulai lagi dari awal. Tidak ada sinyal eksternal yang mengindikasikan kapan suatu setrum akan diberikan ;satu-satunya sinyal adalah pemahaman anjing akan berlalunya waktu. Semua anjing dalam eksperimen ini belajar melompati untuk menghindari setrum. Rata-rata lompatan kemudian dipakai sebagai kerangka referensi untuk menilai efek dari variabel lain yang dimasukkan kedalam eksperimen.

Irelevensi Yang Dipelajari, Hambatan, dan Superconditioning
Setidaknya ada tiga fenomena yang menghadirkan masalah bagi teori Rescorla-Wagner, namun mereka mudah dijelaskan oleh pendekatan Macintosh atau Kamin/Wagner. Semua efek ini melibatkan pra-penghadiran CS sebelum memperkenalkan kontigensi positif(eksitasi) antar CS dan US.
Ingat bahwa Rescorla(1996)menggunakan kondisi kontrol yang benar-benar acak dimana CS dan US terjadi namun tidak ada kontigensi diantara keduanya. Jika CS yang pertama kali dipakai dalam kondisi kontrol acak kemudian dipasangkan dalam hubungan kontigensi dengan US,pengondisiannya akan cacat. Learned irrelevence(irelevensi yang dipelajari)adalah hilangnya keampuhan atau kemampuan CS yang dipakai dalam kondisi kontrol acak(Mackintosh,1973).
Latent inhibition effect( efek hambatan laten) terjadi ketika pra-pemaparan suatu CS(dengan tanpa US)memperlambat pengondisian ketika CS dan US kemudian dipasangkan (misalnya,  Baker&Mackintosh, 1997; Best&Gemberling, 1977;Fenwick, Mikulka, &Klein, 1975;Lubow&Moore,1959). Sekali lagi, ini adalah problem untuk teori Rescorla-Wagner karena pra-pemaparan ke CS seharusnya tidak memberi efek pada pengondisian. Bahwa pada saat CS disajikan sendirian,organisme belajar bahwa CS itu tidak relevan dan karenanya tidak terkait dengan kejadian signifikan. Setelah CS dianggap tidak relevan, ia diabaikan dan karenanya menghambat pembentukan hubungan prediktif ketika ia kemudian dipasangkan dengan US.
Pengondisian sebagai formasi ekspektasi. Robert Bolles(1972,1979) menunjukkan bahwa organisme tidak mempelajari respon baru selama pengondisian. Sebaliknya,organisme melakukan reaksi spesies-spesifik yang sesuai dengan situasi. Menurut Bolles, apa yang dipelajari organisme adalah ekspektasi yang membimbing prilaku yang belum dipelajari oleh mereka.  Suatu ekspektasi stimulus akan terbentuk ketika CS dikorelasikan dengan hasil penting seperti ada tidaknya US. Dengan kata lain, eksperimen pengondisian klasik biasanya menciptakan ekspektasi stimulus. Suatu ekspektasi stimulus menyangkut perkiraan akan adanya satu stimulus(US) dari kehadiran stimulus lain(CS). Organisme juga belajar ekspektasi respons, yang emrupakan hubungan prediktif antara respons dan hasil. Menurut Bolles, penguatan tidak  memperkuat prilaku;ia memperkuat ekspektasi bahwa respons tertentu akan diikuti oleh suatu penguat.

II.3.5 Aversi cita Rasa Yang Dikondisikan : Efek Garcia
Selama bertahun-tahun bukti anekdotal menunjukkan bahwa tikus tidak punah karena mereka dengan cepat mengetahui bahwa beberapa subtansi, seperti racun tikus, membuat mereka sakit dan karenanya harus dihindari. Demikian pula, orang akan mau berbagi cerita tentang makanan atau minuman yang mereka hindari karena mereka mengasosiasikannya dengan penyakit. Garcia dan Koelling (1966) memvalidasi penjelasan aversi cita rasa anedotal ini dengan menunjukkan fenomena yang tidak lazim dalam pengondisian klasik. Untuk saat ini, kita hanya mendeskripsikan salah satu bagian dari eksperimen penting ini, dan di Bab 15 kita akan mengeplorasi fenomena ini secara lebih detail dengan perhatian khusus pada signifikansi evolusi dan biologisnya.
Meskipun eksperiment Gracia dan Koelling tampaknya mengikuti prosedur pengondisian klasik, namun muncul sejumlah masalah  saat hasilnya diinterpretasikan sebagai fenomena pengondisian klasik.

Eksperimen John B. Watson Dengan Little Albert
Watson  adalah pendiri aliran behaviorism (behaviorisme), mengganggap bahwa psikologi seharusnya membuang semua konsep mental dan penjelasan tentang perilku manusia berdasarkan insting.
Watson  adalah determinis envoromental radikal. Dia percaya bahwa kita semua sejak lahir telah dilengkapi  sedikit gerak refleks dan sedikit emosi dasar, dan melalui pengkondisian klasik refleks ini dipasangkan dengan berbagai macam stimuli. Menurut Watson, emosi manusia adalah produk dari warisan dan pengalaman. Menurut Watson, kita mewarisi tiga emosi dasar-rasa takut, marah, dan cinta. Melalui proses pengkondisian, tiga emosi dasar ini menjadi terikat dengan hal yang berbeda untuk orang yang berbeda-beda. Menurut Watson, personalitas (kepribadian) adalah kumpulan dari refleks yang dikondisikan. Dua menyangakal bahwa kita lahir dengan membawa kemampuan mental atau predisposisi.
Untuk menunjukkan bagaiman refleks emosional bawaan menjadi dikondisikan ke stimuli neural, Watson dan Rosalie Rainer (1920) melakukan percobaan pada bayi berusia sebelas  bulan bernama Albert. Selain Albert, unsure lain dalam percobaan ini adalah seekor tikus putih, lempengan besi, dan palu.
Ditunjukkan bahawa rasa takut Albert digeneralisasikan ke berbagai macam objek yang pada awalnnya tidak ditakutinya: kelinci, anjing, kucing, kain sutra, dan topeng santa claus. Jadi. Watson menunjukkan bahwa reaksi emosiaonal kita dapat ditata melalui pengkondisian klasik. Dalam eksperimen ini, suaras keras adalah US, rasa takut yang ditimbulkan suara itu adalah UR, tikus adalah CS, dan rasa takut pada tikus adalah CS. Rasa takut Albert ,kepada obyek putih berbulu menunjukkan adanya generalisasi.

Replikasi Bregman Atas Eksperimen Watson
Pada 1934, E.O.Bregman mereplikasi eksperiman Watson dan menemukan bahwa rasa takut anak memang dapat dikondisikan ke CS, namun pengkondisian itu terjadi hanya dalam situasi-situasi tertentu. Bregman menemukan bahwa pengkondisian akan terjadi hanya jika CS adalah hewan hidup (seperti dalam eksperimen Watson) tetapi tidak terjadi pengkondisian jika CS adalah obyek tak bernyawa, seperti balok kayu, botol, atau bahkan boneka hewan dari kayu. Temuan Bregman tidak sesuai dengan klaim Pavlov dan Watson bahwa sifat dari CS tidak relevan dengan proses pengkondisian. Akan tetapi, temuannya konsisten dengan pendapat Seligman bahwa beberapa asosisasi lebih mudah dibentuk ketimbang asosiasi lainnya karena adanya kesiapan biologis dari organisme. Dalam kasus ini, Seligman (1972) mengatakan bahwa karena hewan memiliki potensi untuk menimbulkan bahaya,maka manusia secara biologis bersiap untuk mencurigainya dan karenanya lebih mudah belajar takut dan/ atau menghindarinya.

Menghilangkan rasa takut yang dokindisikan
Watson telah menunjukkan bahwa emosi bawaan, seperti ras takut, dapt “ditransfer” ke stimuli yang ssebelumnya tidak menimbulkan rasa takut, dan mekanisme, transfer itu adalah pengkondisian klasik. Ini adalah temuan yang amat penting meski kemudian ditunjukkan bahwa pengkondisian akan lebih mudah untuk beberapa stimuli ketimbang stimuli lain. Jika rasa takut itu dipelajari, maka akan ada kemungkinan untuk melenyapkan rasa takut itu. Watson berpendapat bahwa risetnya telah menunujukkan bagaiman rasa takut yang dipelajri itu bisa berkembang dan tidak diperlukan lagi riset semacam itu. Kini dia mencari anak yang sudah punya rasa takut dan kemudian diusahakan untuk menghilangakan rasa takutnya. Watson kini bekerjasama dengan Mary Cover Jones (1896-1987). Dan menemukan anak yang diiinginkan-anak berusia 3 tahun bernama Peter yang sangat takut pada kelinci, kucing, kodok, dan ikan. Hergenhahn (2005) meringkas usaha Watson dan Jones untuk menghilangkan rasa takut Peter.
Prosedur yang digunakan oleh Watson dan Jones untuk menghilangkan rasa takut Peter ini mirip sekali dengan prosedur yang disebut desensitisasi sistematis.

Teori belajar Watson
Watson banyak memperkenalkan psikologi Pavlovian ke Amerika Serikat, dia tidak pernah sepenuhnya menerima prinsip Pavlovian. Misalnya, dia tidak percaya bahwa pengkondisian bergantung pada penguatan. Menurut Watson, belajar terjadi karena kejadian-kejadian susul-menyusul dalam jarak  waktu  yang singkat. Juga , semakin sering kejadina-kejadian muncul bersama, semakin kuat asosiasi diantara kejadian-kejadian itu. Karenanya, Watson hanya ,mengakui hukum lama kontiguitas dan frekuensi. Menurutnya, prinsip belajar lainnya adalah mentalistik, seperti hukum efek Thorndike, atau tidak dibutuhkan, seperti gagasan mengenai penguatan.


Aplikasi Teori Ivan P. Pavlov
1.      Aplikasi Teori Behavioristik dalam Pembelajaran
Aliran psikologi belajar yang sangat besar pengaruhnya terhadap arah pengembangan teori dan praktek pendidikan dan pembelajaran hingga kini adalah aliran behavioristik. Aliran ini menekankan pada terbentuknya perilaku yang tampak sebagai hasil belajar. Teori behavioristik dengan model hubungan stimulus responnya, mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif. Respon atau perilaku tertentu dengan menggunakan metode drill atau pembiasaan semata. Munculnya perilaku akan semakin kuat bila diberikan reinforcement dan akan menghilang bila dikenai hukuman.
Belajar adalah perubahan dalam tingkah laku sebagai akibat dari interaksi antara stimulus dan respon. Perubahan perilaku dapat berujud sesuatu yang konkret atau yang non konkret, berlangsung secara mekanik memerlukan penguatan. Aplikasi teori belajar behaviorisme dalam pembelajaran, tergantung dari beberapa hal seperti tujuan pembelajaran, sifat meteri pelajaran, karakteristik siswa, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Adapun contoh aplikasi teori belajar behaviorisme menurut Pavlov adalah pada awal tatap muka antara guru dan murid dalam kegiatan belajar mengajar, seorang guru menunjukkan sikap yang ramah dan memberi pujian terhadap murid-muridnya, sehingga para murid merasa terkesan dengan sikap yang ditunjukkan gurunya. (Muhibbin. 2006)
Aplikasi teori behavioristik dalam kegiatan pembelajaran tergantung dari beberapa hal seperti: tujuan pembelajaran, sifat materi pelajaran, karakteristik pebelajar, media dan fasilitas pembelajaran yang tersedia. Pembelajaran yang dirancang dan berpijak pada teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan adalah obyektif, pasti, tetap, tidak berubah. Pengetahuan telah terstruktur dengan rapi, sehingga belajar adalah perolehan pengetahuan, sedangkan mengajar adalah memindahkan pengetahuan (transfer of knowledge) ke orang yang belajar atau pebelajar. Fungsi mind atau pikiran adalah untuk menjiplak struktur pengetahuan yag sudah ada melalui proses berpikir yang dapat dianalisis dan dipilah, sehingga makna yang dihasilkan dari proses berpikir seperti ini ditentukan oleh karakteristik struktur pengetahuan tersebut. Pebelajar diharapkan akan memiliki pemahaman yang sama terhadap pengetahuan yang diajarkan. Artinya, apa yang dipahami oleh pengajar atau guru itulah yang harus dipahami oleh murid.
Tujuan pembelajaran menurut teori behavioristik ditekankan pada penambahan pengetahuan, sedangkan belajar sebagi aktivitas “mimetic”, yang menuntut pebelajar untuk mengungkapkan kembali pengetahuan yang sudah dipelajari dalam bentuk laporan, kuis, atau tes. Penyajian isi atau materi pelajaran menekankan pada ketrampian yang terisolasi atau akumulasi fakta mengikuti urutan dari bagian ke keseluruhan. Pembelajaran mengikuti urutan kurikulum secara ketat, sehingga aktivitas belajar lebih banyak didasarkan pada buku teks/buku wajib dengan penekanan pada ketrampilan mengungkapkan kembali isi buku teks/buku wajib tersebut. Pembelajaran dan evaluasi menekankan pada hasil belajar.
Demikian halnya dalam pembelajaran, pebelajar dianggap sebagai objek pasif yang selalu membutuhkan motivasi dan penguatan dari pendidik. Oleh karena itu, para pendidik mengembangkan kurikulum yang terstruktur dengan menggunakan standar-standar tertentu dalam proses pembelajaran yang harus dicapai oleh para pebelajar. Begitu juga dalam proses evaluasi belajar pebelajar diukur hanya pada hal-hal yang nyata dan dapat diamati sehingga hal-hal yang bersifat tidak teramati kurang dijangkau dalam proses evaluasi.
Implikasi dari teori behavioristik dalam proses pembelajaran dirasakan kurang memberikan ruang gerak yang bebas bagi pebelajar untuk berkreasi, bereksperimentasi dan mengembangkan kemampuannya sendiri. Karena sistem pembelajaran tersebut bersifat otomatis-mekanis dalam menghubungkan stimulus dan respon sehingga terkesan seperti kinerja mesin atau robot. Akibatnya pebelajar kurang mampu untuk berkembang sesuai dengan potensi yang ada pada diri mereka.
Karena teori behavioristik memandang bahwa pengetahuan telah terstruktur rapi dan teratur, maka pebelajar atau orang yang belajar harus dihadapkan pada aturan-aturan yang jelas dan ditetapkan terlebih dulu secara ketat. Pembiasaan dan disiplin menjadi sangat esensial dalam belajar, sehingga pembelajaran lebih banyak dikaitkan dengan penegakan disiplin. Kegagalan atau ketidakmampuan dalam penambahan pengetahuan dikategorikan sebagai kesalahan yang perlu dihukum dan keberhasilan belajar atau kemampuan dikategorikan sebagai bentuk perilaku yang pantas diberi hadiah. Demikian juga, ketaatan pada aturan dipandang sebagai penentu keberhasilan belajar. Pebelajar atau peserta didik adalah objek yang berperilaku sesuai dengan aturan, sehingga kontrol belajar harus dipegang oleh sistem yang berada di luar diri pebelajar.
Aplikasi teori Pavlov terhadap pembelajaran siswa adalah: mementingkan pengaruh lingkungan, mementingkan bagian-bagian, mementingkan bagian reaksi, mengutamakan mekanisme terbentuknya hasil belajar melalui prosedur stimulus respon, mementingkan peranan kemampuan yang sudah terbentuk sebelumnya, mementingkan pembentukan kebiasaan melalui latiahan dan pengulangan, hasil belajar yang dicapai adalah munculnya perilaku yang diinginkan.
Sebagai konsekuensi teori ini, para guru yang menggunakan pradigma Pavlov akan menyusun bahan pelajaran dalam bentuk yang sudah siap, sehingga tujuan pembelajran yang harus dikuasai siswa disampaikan secara utuh oleh guru. Guru tidak banyak memberi ceramah tetapi instruksi singkat yang diikuti contoh-contoh baik dilakukan sendiri maupaun melalui simulasi. Bahan pelajaran disuusn secara hierarki dari yang sederhana sampai pada yang kompleks.
Metode pavlov ini sangat cocok untuk memperoleh kamampuan yang membu-tuhkan paktek dan pembiasaan yang mengandung unsur-unsur sperti: kecepatan, spontanitas, kelenturan, reflek, daya tahan dan sebagianya. Contohnya: perckapan bahasa asing, mengetik, menari, menggunakan komputer, berenang, olahraaga dan sebagainya. Teori ini juga cocok diterapkan untuk melatih anak-anak yang masih membutuhkan dominasi peran orang dewasa, suka mengulangi dan harus dibiasakan, suka meniru dan senang dengan bentuk-bentuk penghargaan langsung seperti diberi permen atau pujian.
Penerapan teori Pavlov yang salah dalam situasi pembelajaran juga mengaki-btakan terjadinya proses pembelajran yang sangat tidak menyenangkan bagi siswa yaitu guru sebagai central bersikap otoriter, komunikasi berlangsung satu arah, guru melatih dan menentukan apa yang harus dipelajari murid. Murid dipandang pasif, perlu motivasi dari luar, dan sangat dipengaruhi oleh penguatan yang diberikan guru. Murid hanya mendengarakan dengan tertib penjelasan guru dan menghafalkan apa yang didengar dan dipandang sebagai cara belajar yang efektif.

2.      Aplikasi Pengkondisian Klasik untuk Psikologis Klinis dan Pengobatannya
Penerapan teori pengkondisian klasik untuk psikologis klinis, sebagai berikut :
a)      Extinction
Gangguan perilaku atau kebiasaan buruk adalah hasil dari belajar, maka perilaku itu bisa dibuang atau diganti dengan perilaku yang lebih positif.
Proses Extinction :
CS – US – CR
CS – EX (Pelenyapan)
Maksud keterangan di atas adalah suatu subjek (CS) yang diberikan efek fisiologis/psikologis (US) akan menimbulkan efek yang dikondisikan. Menelaah perlakuan tersebut, pelenyapan dapat ditimbul apabila efek fisiologis/psikologis (US) dihilangkan.
b)      Counterconditioning
Counterconditioning merupakan suatu prosedur yang lebih kuat daripada cara pelenyapan sederhana, seperti extinction. Pada aplikasi ini, suatu perlakuan dikondisikan untuk proses pelenyapan yang tampak sukses dalam sejumlah kasus tetapi manfaat dari prosedur ini sering hanya bersifat sementara.
Penjelasan Perlakuan :
CS – US pertama – US kedua – CR
Pada akhirnya, counterconditioning mengalami kesulitan yang sama dengan training plenyapan.Counterconditioning pada kondisi yang berbeda akan menyebabkan pembentukan kembali respons yang dikondisikan.
c)      Flooding
Pada aplikasi ini merupakan metode pelenyapan yang berorientasi pada pemaksaan orgainisme untuk tetap hadir bersama CS dalam waktu yang cukup lama untuk belajar bahwa tidak ada akibat negatif yang akan muncul. Dengan prosedur flooding, beberapa individu akan mengalami kemajuan tetapi beberapa yang lain malah tambah parah. Dan klien yang meninggalkan terapi flooding jumlahnya lebih besar dibandingkan dengan klien yang menggunakan terapi desensitisasi sistematis.
d)     Desensitisasi Sistematis
Salah satu usaha paling menyeluruh untuk mengaplikasikan prinsip pengkondisian klasik ke psikoterapi dilakukan oleh Joseph Wolpe (1958), yang mengembangkan teknik terapi yang disebut desensitisasi sistematis). Teknik ini memiliki tiga fase, antara lain :
1.      Hierarki Kecemasan (Anxiety Hierarchy)
Dilakukan dengan sederetan hal yang menimbulkan dan kemudian mengurutkan mulai dari hal menimbulkan kecemasan paling besar ke paling kecil.
2.      Mengajari klien untuk relaks (santai)
Wolpe mengajari subjek cara mengendorkan otot dan menunjukkan bagaimana rasanyaseseorang tidak cemas.
3.      Perasaan relaksasi dan kemudian diminta membayangkan item paling lemah dalam hierarki kecemasan. Saat membayangkannya, si klien diminta untuk relaksasi lagi. Setelah selesai, klien diminta untuk membayangkan item selanjutnya dan seterusnya sampai semua item selesai dibayangkan.
Penerapan teori pengkondisian klasik untuk pengobatan adalah sebagai berikut :
1.      Adanya bidang psikoneuroimunologi
Riset yang dilakukan oleh Metalnikov dengan menggunakan babi sebagai subjek. Metalnikov memasangkan stimuli panas atau rabaan (CS) dengan protein asing (US). Beberapa kali penyandingan CS dan US, presentasi stimuli panas atau sentuhan saja akan menimbulkan berbagai respons immune nonspesifik. Sayangnya, riset ini sedikit diabaikan tetapi Robert Ader dan kawnanya membangkitkan kembali minat pada topik ini hingga menemukan bidang interdisipliner.
2.      Penemuan fungsi sakarin
Ader yang mempelajari aversi cita rasa dengan memasangkan minuman sakarin (CS) dengan injeki obat (US). Obat ini ternyata menekan system kekebalan. Hingga percobaan dilakukan pada tikus oleh Ader dan Cohen. Percobaan itu menyimpulkan bahwa sakarin mempunyai kemampuan untuk menekan system kekebalan tuhuh dengan cara spesifik.
Dengan adanya temuan keberfungsian pengkondisina klasik untuk pengobatan, banyak ahli psikoneuronologi berharap bisa menjelaskan secara detail bagaimana pengkondisian dapat membantu pasien yang mengalami gangguan kekebalan tubuh di masa mendatang.

Pendapat Pavlov tentang Pendidikan
Prinsip Pavlovion sulit untuk diaplikasikan ke pendidikan kelas, meskipun prinsip itu ada. Secara umum, teori pengkondisian klasik ini terjadi pada setiap kejadian netral. Misalnya, seorang peserta didik yang menemukan bahwa konselor sekolahnya memiliki sikap dan perilaku yang baik dan menyenangkan bagi dirinya. Maka, ia akan termotivasi untuk memiliki sikap seperti gurunya ataupun dia dapat terilhami untuk berkarier menjadi seorang konselor nantinya. Hal ini selaras dengan seseorang yang mengembangkan aversi terhadap pendidikan seumur hidup karena adanya pengalaman buruk yang ia alami pada saat belajar di kelas dahulu.
Teknik Pavlovion dipakai untuk memnodifikasi perilaku, situasi tampak menyerupai brainwashing daripada pendidikan. Contoh dari prinsip Pavlovion yang digunakan untuk memodifikasi sikap adalah iklan televisi. Pengiklanan menyandingkan suatu objek dengan sesuatu yang lain. Secara bertahap, iklan itu akan menyebabkan pemirsa menganggap produk itu membuat mereka untuk memiliki atau merasakan situasi yang ditampilkan di iklan.


BAB 5
EDWIN RAY GUTHRIE
Qurrotul Ainiyah, Dianisa Milanofa Ansori, Lailatul Munadiroh

Teori Utama Edwin Guthrie
Tentang Edwin Ray Guthrie
Guthrie lahir pada 1886 dan meninggal pada 1959. Dia adalah professor psikologi di University of Washington dari 1914 sampai pensiun pada 1956. Karya dasarnya adalah The Psychology of Learning, yang dipublikasikan pada 1935 dan direvisi pada 1952. Gaya tulisannya mudah diikuti, penuh humor dan menggunakan banyak kisah untuk menunjukkan contoh ide-idenya. Tidak ada istilah teknis atau persamaan matematika, dan dia  sangat yakin bahwa teorinya harus dikemukakan dengan cara yang dapat dipahami oleh mahasiswa baru. Dia sangat menekankan pada aplikasi praktis dari gagasannya dan dalam hal ini dia mirip dengan Thorndike dan Skinner. Dia sebenarnya bukan eksperimentalis meskipun dia jelas punya pandangan dan orientasi eksperimental. Bersama dengan Horton, dia hanya melakukan satu percobaan yang terkait dengan teori belajarnya, dan kita akan mendiskusikan percobaan ini. Tetapi dia jelas seorang behavioris. Dia bahkan menganggap teoretisi seperti Thorndike, Skinner, Hull, Pavlov dan Watson masih sangat subjektif dan dengan menerapkan hukum parsimoni secara hati-hati akan dimungkinkan untuk menjelaskan semua fenomena belajar dengan menggunakan satu prinsip. Seperti yang akan kita diskusikan di bawah, satu prinsip ini adalah hukum asosiasi Aristoteles. Karena alasan inilah kami menempatkan teori behavioristik Guthrie dalam paradigma asosiasisionistik.
Konsep Utama Teori Guthrie 
1.      Satu hukum belajar
Hukum belajar yang dikemukakan oleh Guthrie adalah hukum kotiguitas (law of contiguity). Maksudny adalah “kombinasi stimuli yang mengiringi suatu gerakan akan cenderung diikuti oleh gerakan itu jika kejadiannya berulang”. Jadi, jika pada situasi tertentu kita melakukan sesuatu, maka pada waktu lain dan situasinya sama kita akan cenderung melakukan hal yang sama juga.
Hukum tersebut diusulkan oleh Guthrie karena menganggap kaidah yang dikemukakan oleh Thorndike dan Pavlov terlalu rumit dan berlebihan. Thorndike mengemukakan bahwa, jika respon menemukan kondisi yang memuaskan maka koneksi S-R akan menguat. Disisi lain Pavlov mengemukakan dengan hukum belajarnya dengan model kondisional berupa CR-CS-US-UR. Unsur-unsur itulah yang dianggap oleh Guthrie berlebihan.
Dalam publikasi terakhirnya sebeleum meninggal, Guthrie (1959) merevisi hukum kontiguitas menjadi “Apa-apa yang dilihat akan menjadi sinyal terhadap apa-apa yang dilakukan”. Alasannya karena terdapat berbagai macam stimuli yang dihadapi oleh organisme pada satu waktu tertentu dan organisme tidak mungkin membentuk asosiasi dengan semua stimuli itu. Organisme hanya akan memproses secara efektif pada sebagian kecil dari stimuli yang dihadapinya, dan selanjutnya proporsi inilah yang akan diasosiasikan dengan respon. Disini kita dapat melihat ada kemiripan antara pemikiran Guthrie dengan konsep Thorndike tentang “ prapotensi elemen”, yang juga menyatakan bahwa organisme merespons secara selektif terhadap aspek-aspek lingkungan yang berbeda-beda.
2.      Belajar Satu Percobaan
Tidak ada yang  baru dalam hukum kontiguitas sebagai prinsip belajar. Hukum kontiguitas berakar dari hukum asosiasi Aristiteles. Namun Guthrie menjadikan hukum kontiguitas sebagai dasar dari teori belajrnya yang unik. Unsur lain dari hukum asosiasi Aristoteles adalah hukum frekuensi, yang menyatakan bahwa kekuatan asosiasi akan tergantung pada frekuensi kejadiannya. Jika hukum frekuensi dimodifikasi untuk merujuk pada asosiai antara resppon yang menimbulkan “keadaan yang memuaskan” dengan kondisi pemicu yang mendahului respons, Thorndike, Skinner dan Hull akan menerimanya. Semakin sering suatu respon dikuatkan dalam situasi tertentu akan semakin besar kemungkinan respon itu akan dilakukan saat situasi itu terjadi lagi. Jika asosiasinya adalah antara CS dan US, Pavlov akan menerima hukum frekuensi. Semakin banyak jumlah penyandingan antara CS dan US, semakin besar respon yang dikondisikan yang dilibatkan oleh CS.
Namun prinsip one-trial learning (belajar satu percobaan) dari Guthrie (1942) menolak hukum frekuensi sebagai prinsip belajar “suatu pola stimulus mendapatkan kekuatan asosiatif penuh pada saat pertama kali dipasangkan dengan suatu respon”. Jadi, menurut Guthrie, belajar adalah hasil dari kontiguitas antara satu pola stimulasi dengan satu respon dan belajar akan lengkap (asosiasi penuh) hanya setelah penyandingan antara stimuli dan respon.
a)      Prinsip Kebaruan
Prinsip kontiguitas dan belajar satu percobaan membutuhkan recency principle (prinsip kebaruan), yang menyatakan bahwa respon yang dilakukan terakhir kali dihadapan seperangkat stimuli adalah respon yang akan dilakukan ketika kombinasi stimulus itu terjadi lagi diwaktu lain. Dengan kata lai, apa pun yang kita lakukan terakhir kali dalam situasi tertentu akan cenderung kita lakukan lagi jika situasi itu kita jumpai lagi.
b)      Stimuli Yang Dihasilkan Oleh Gerakan
Meskipun Guthrie menekankan keyakinannya pada hukum kontiguitas di sepanjang karirnya, dia mengannggap akan keliru jika kita menganggap asosiasi yang dipelajari sebagian hanya asosiasi antara stimuli lingkungan dengan perilaku nyata. Misalnya, kejadian di lingkungan dan responnya terkadang dipisahkan oleh satu interval waktu, dan karenanya sulit untuk menganggap keduanya sebagai kejadian yang bersamaan.
Guthrie selanjutnya mengatasi problem tersebut dengan mengemukakan adanya movement-product stimuli (stimuli yang dihasilkan oleh gerakan), yakni disebabkan oleh gerakan tubuh. Contohnya, ketika mendengarkan telepon berdering kita berdiri dan berjalan mendekati pesawat telepon. Sebelum kita sampai ke pesawat telepon, suara deringan tersebut sudah tidak lagi bertindak sabagai stimulus. Kita tetap bergerak karena ada stimuli dari gerakan kita sendiri menuju pesawat telepon.
c)      Mengapa Praktik Latihan Meningkatkan Performa?
Untuk menjawab pertanyaan ini, Guthrie membedakan antara act (tindakan) dengan movement (gerakan). Gerakan adalah kontraksi otot, tindakan terdiri dari beberapa macam gerakan. Tindakan biasanya didefinisikan dengan term apa-apa yang dicapainya, yakni perubahan apa yang mereka lakukan dalam lingkungan. Sebagai contoh tindakan, Guthrie menyebut misalnya mengetik surat, makan pagi, dll.
Adapun untuk belajar tindakan membutuhkan praktik latihan. Belajar bertindak, yang berbeda dari gerakan, jelas membutuhkan praktik sebab ia mengharuskan gerakan yang tepat telah diasosiasikan dengan petunjuknya. Bahkan menurut Guthrie, tindakan sederhana seperti memegang raket membutuhkan beberapa gerakan berbeda sesuai jarak dan arah posisi subjek itu. Untuk itulah diperlukan sebuah latihan, karena dengan menguasai sebuah tindakan tidak menjamin pada saat waktu, jarak dan posisi yang berbeda tindakan itu masih dapat dilakukan.
d)     Sifat Penguatan
Apa yang menggantikan kekuatan dalam teori Guthrie? Pada poin ini Guthrie menggunakan isu yang dibahas Thorndike ketika satu respon menimbulkan keadaan yang memuaskan maka selanjutnya terulangnya respon akan meningkat. Guthrie menganggap hukum efek tidak dibutuhkan. Menurut Guthrie, reinforcement (penguatan) hanyalah aransement mekanis, yang dianggapnya dapat dijelaskan dengan hukum belajarnya.
Guthrie menganggap, penguatan mengubah kondisi yang menstimulasi dan karenanya mencegah terjadinya nonlearning. Misalnya, dalam kotak teka-teki, hal terakhir yang dilakukan hewan sebelum menerima satu penguat adalah menggerakkan satu tuas atau menarik cincin, yang membuatnya bisa keluar dari kotak itu, dan seterusnya. Oleh karena itulah Guthrie dan Horton mengatakan, menurut pendapat mereka tindakan yang dilakukan oleh kucing itu akan selalu sama, karena kucing itu menganggap itulah caranya membebaskan diri dari kotak. Oleh karena itu tidak memungkinkan adanya respon baru yang dihubungkan dengan kotak tersebut.  
e)      Lupa
Menurut Guthrie, lupa disebabkan oleh munculnya respon alternatif dalam satu pola stimulus. Setelah pola stimulus menghasilkan respon alternatif, pola stimulus itu kemudian akan cenderung menghasilkan respon baru. Jadi, menurut Guthrie, lupa pasti melibatkan proses belajar baru. Ini adalah bentuk retroactive inhibition (hambatan retroaktif) yang ekstrem, yakni fakta bahwa proses belajar lama diintervensi oleh proses belajar baru.
Untuk menunjukkan hambatan retroaktif, contohnya sebagai berikut : seseorang yang belajar tugas A dan kemudian belajar tugas B lalu diuji untuk tugas A, satu orang  lainnya belajar tugas A, tetapi tidak belajar tugas B dan kemudian diuji pada tugas A, secara umum akan ditemukan bahwa orang pertama mengingat tugas A lebihi sedikit dibandingkan dengan orang kedua. Jadi, tampak bahwa mempelajari hal baru (tugas B) telah mencampuri retensi dari apa yang dipelajari sebelumnya (tugas A).
Guthrie menerima bentuk hambatan retroaktif ekstrem ini. Pendapatnya adalah bahwa setiap kali mempelajari hal yang baru, maka proses itu akan menghambat sesuatu yang lama. Dengan kata lain, lupa disebabkan oleh intervensi. Tidak ada intervensi, maka lupa tidak akan terjadi.
f)       Ringkasan Teori Guthrie
Asosiasi antara kondisi yang menstimulasi dengan gerakan terus menerus dibuat. Asosiasi antara stimulus dan respon terjadi hanya karena keduanya terjadi bersama-sama. Asosiasi itu dapat berupa antara stimuli eksternal dengan respon nyata atau antara stimuli yang diproduksi gerakan dengan respon nyata. Asosiasi ini akan terus berlanjut sampai respon yang sama terjadi ketika ada stimuli lain atau sampai stimuli yang sama terjadi, namun responnya tidak terjadi karena ada hambatan. Dalam situasi belajar yang terstruktur, seperti dalam kotak teka-teki, lingkungan ditata sedemikian rupa sehingga terjadi perubahan tiba-tiba dalam stimulasi setelah respon tertentu dilakukan. Misalnya, jika kucing menekan tuas, pintu akan terbuka dan ia bisa keluar. Guthrie mengatakan bahwa setelah kucing menekan tuas situasi stimulusnya tiba-tiba berubah dan asosiasi apapun yang ada sebelum waktu perubahan itu akan tetap dipertahankan. Asosiasi paling akhir (baru) sebelum perubahan mendadak itu adalah asosiasi antara stimulus dalam kotak dengan respon yang memungkinkan hewan itu keluar. Menurut prinsip kebaruan ini, ketika hewan dimasukkan lagi ke dalam kotak, ia cenderung akan melakukan respons yang sama (ia cenderung menekan tuas lagi), dan kita mengatakan bahwa kucing itu telah mempelajari cara keluar dari kotak.
Berbeda dengan Thorndike, Skinner, Hull dan Pavlov, Guthrie bukanlah teoritis penguatan. Tentu saja Thorndike juga mendiskusikan pergeseran asosiatif yang dianggapnya terjadi secara lepas dari penguatan. Akan tetapi, karena fokus utama Thorndike adalah pada jenis belajar yang diatur oleh hukum efek, dia umumnya dianggap teoritisi penguatan.
Dari teoritisi-teoritisi yang sudah kita bahas sampai saat ini, teori Guthrie adalah teori yang paling mirip dengan teori Watson. Watson dan Guthrie bukan teoretisi penguatan, Watson percaya bahwa semua proses belajar dapat dijelaskan dengan menggunakan hukum kontiguitas dan frekuensi. Perbedaan utama antara teori Watson dengan teori Guthrie adalah Watson menerima hukum frekuensi sedangkan Guthrie tidak.  
g)      Cara Memutuskan Kebiasaan
Kebiasaan dalam teori Guthrie ini didefinisikan sebagai sebuah respon yang diasosiasikan dengan beberapa stimuli yang berbeda. Untuk menghentikan kebiasaan yang tidak sesuai, maka kebiasaan itu perlu diputus. Untuk itu, perlu memutus pula hubungan antara asosiasi dengan cue yang memunculkan stimuli (rangsangan) dan respon.
Ada tiga metode yang ditawarkan oleh Guthrie untuk memutuskan kebiasaan, yaitu :
a.       Metode Ambang (Threshold Method)
Metode ambang adalah dengan memperkenalkan stimuli dengan kekuatan yang lemah. Secara perlahan meningkatkan kekuatan stimuli dan tetap menjaganya dibawah respon batas minimal atau tetap berada di bawah ambang batas. Seperti contoh ketika memasang pelana kuda dimulai dengan memasang selimut yang ringan, kemudian selimut yang lebih berat, baru kemudian dipasang pelana kuda.
b.      Metode Kelelahan
Metode kelelahan adalah dengan cara menghadirkan semua respon dalam menghadirkan stimuli. Contoh melemparkan pelana diatas kuda dan menaiki kuda sampai kuda meringkik, menendang dan berusaha sekuat tenaga untuk melempar orang yang menaikinya (joki): pelana dan joki menjadi stimuli untuk berjalan dan berlari dengan tenang.
c.        Metode respon tandingan
Metode respon tandingan adalah dengan memasangkan stimulus (S1) yang menyebabkan perilaku tidk sesuai (inapropiate) dengan stimulus (S2) yang memunculkan respon-respon yang sesuai (apropiate), perilaku yang sesuai diasosiasikan dengan stimulus (S2).
Berbeda dengan reinforcement  yang tidak terlalu berperan dalam proses belajar, hukuman (punishment) mempunyai pengaruh penting mengubah perilaku seseorang. Punishment jika diberikan secara tepat dalam menghadirkan sebuah stimulus yang memunculkan perilaku inappropriate dapat menyebabkan subyek melakukan sesuatu yang berbeda.  Guthrie menjelaskan dengan mengambil contoh seorang gadis yang setiap kali pulang sekolah selalu meletakkan tas dan sepatu disembarang tempat setiap hari, kemudian sang ibu memerintahkan anaknya untuk mengambil tas dan kaos kakinya dilantai kemudian keluar rumah dan kembali masuk rumah serta langsung meletakkan pada tenpatnya. Setelah tindakan itu berkali-kali dilakukan setiap anaknya pulang sekolah dan meletakkan tas dan kaos kaki sembarangan akhirnya perilaku meletakkan tas dan kaos kaki pada tempatnya diasosiasikan dengan harus keluar rumah dan masuk kembali kedalam rumah.
Salah satu eksperimen yang dilakukan oleh Guthrie untuk mendukung teori kontiguitas adalah percobaannya dengan kucing yang dimasukkan ke dalam kotak puzzel. Kemudian kucing tersebut berusaha keluar. Kotak dilengkapi dengan alat yang bila di sentuh dapat membuka kotak puzzel tersebut. Selain itu kotak tersebut juga dilengkapi dengan alat yang dapat merekam gerakan-gerakan kucing dalam kotak. Alat tersebut menunjukkan bahwa kucing telah belajar mengulang  gerakan-gerakan sama yang diasosiasikan dengan gerakan-gerakan sebelumnya. Ketika dia dapat keluar dari kotak tersebut.
h)      Dorongan
Drives (dorongan) fisiologis merupakan apa yang oelh Guthrie dikatakan maintaining stimuli (stimuli yang mempertahankan) yang menjaga organisme tetap aktif sampai tujuan tercapai. Misalnya, rasa lapar menghasilkan stimuli internal yang terus ada sampai makanan dikonsumsi. Ketika makanan diperoleh, maintaining stimuli akan hilang dan akrenanya kondisi yang menstimulasi telah berubah.
Disini Guthrie kembali menjelaskan bahwa kebiasaan menggunakan alkohol dan narkoba dengan cara serupa. Misalnya, seorang merasakan ketegangan atau gelisah. Dalam kasus ini ketegangan dan akegelisahan itulah yang menjdai maintaining stimuli. Karenanya, ketika di lain waktu orang merasa tegang dan gelisah, dia akan cenderung minum lagi. Secara bertahap dorongan untuk memakai narkoba atau minuman keras akan muncul  di berbagai situasi dan berubah menjadi kecanduan.
i)        Niat
Respon yang dikondisikan ke maintaining stimuli dinamakan intetions (niat). Respon tersebut dinamakan niat karena maintaining stimuli dari dororngan biasanya berlangsung selama periode waktu tertentu (sampai dengan berkurang).
Gambarannya, ketika seseorang lapar dan ada roti di dalam kantor, ia akan memakannya. Tetapi jika dia lupa membawa bekal makan siang, dia akan berdiri dari kursi, mengenakan jaket dan mencari restoran. Perilaku yang adipicu oleh maintaining stimuli inilah tampak purposive atau intensional (diniatkan).

Telaah Kritis Teori Belajar Guthrie
Teori belajar awal menurut Mueller & Schoenfeld (dalam Olson, 2008: 247) menunjukkan bahwa pendekataan kontiguitas Guthrie yang sederhana  mampu memaparkan semua fenomena  dasar  yang dianalisis oleh Skinner atau Hull. Teori Guthrie menarik banyak ilmuwan karena dapat menjelaskan proses belajar, pelenyapan, dan generalisasi, dengan analisis sederhana dibandingkan dengan teori lain menjelaskan hal-hal tersebut secara lebih rumit. Selain itu, perluasan teori ini ke aplikasi praktis yang bersifat lansung dan dijelaskan oleh Guthrie dengan cara yang menyenangkan dan penuh  contoh. Teori Guthrie tidak memunculkan banyak riset dan kontroversi sebagaimana teori skinner dan Hull, namun teorinya menyediakan penjelasan alternatif yang penting mengenai belajar serta berfungsi sebagai pengingat bahwa suatu teori tidak ruwet untuk menjelaskan perilaku yang  kompleks.
Mueller & Schoenfeld (dalam Olson, 2008 : 247) berpandangan bahwa daya tarik  mendasar yang menjelaskan  tentang belajar penghindaran, belajar imbalan, pelenyapan  dan lupa dengan prinsip yang sama  tetapi  kemudian penjelasan  inilah  yang menyebabkan  para ilmuwan merasa tidak nyaman  terhadap pandangan  Guthrie. Berdasarkan  pendapat Popper  (dalam Olson, 2008 : 247) prihatin dengan teori-teori  yang tampaknya dapat menjelaskan segala sesuatu, namun ada situasi dimana pendapat Guthrie menjadi ambigu dan terlalu menggampangkan  suatu fenomena.
Selanjutnya Mueller dan Schoenfeld (dalam Olson, 2008: 247) menunjukkan  bahwa Guthrie mengkritik metodologi eksprimental yang buruk  dan bahasa yang ambigu pada teori lain, namun dia tidak menetapkan standar ini untuk teorinya sendiri. Berikut ini tiga penjelasan tentang kurangnya eksperimental Guthrie (dalam Olson, 2008: 244) meliputi :
Tabel 1.1 Kelemahan Eksperimental Guthrie
No
Kelemahan Eksperimental Guthrie
1
Meminimalkan peran motivasi dan penguatan.
2
Psikologi Guthrie pada waktu di Universitas Washington, hanya diberikan saat tingkat sarjana, tesis, dan disertasi pascasarjana  yang menguji teori secara eksperimental tidak tersedia bagi Guthrie.
3
Prinsip belajar Guthrie yang cenderung umum atau luas sehingga  sulit diuji.
Berdasarkan tabel 1.1 diatas kurangnya eksperimental Guthrie disebabkan oleh tiga alasan yaitu : Pertama, menurut Bolles (dalam Olson, 2008: 244) teori Guthrie meminimalkan peram motivasi dan penguatan. Kedua, menurut Carlson (dalam Olson, 2008: 244) psikologi pada saat Guthrie masih di Universitas Washington tidak ada kesempatan untuk melakukan  riset secara eksperimental. Ketiga, Guthrie menyadari bahwa prinsip belajarnya terlalu umum sehingga sulit diuji. 
Eksperimen Guthrie dan Horton (dalam Olson, 2008: 247) merupakan bukti teori  yang dikritik Mueller dan Schoenfeld. Moore dan Stuttard (dalam Olson, 2008: 247) menunjukkan bahwa, kebanyakkan keluarga kucing, termasuk kucing piaraan, kucing dalam eksperimen Guthrie dan Horton melakukan perilaku menggosok dan mengendus yang bersifat naluriah. Tindakan ini biasanya dilakukan saat kucing menyambut kucing lain yang dikenalinya. Guthrie dan Horton bertindak sebagai peneliti mengamati  kucing menunjukkan konsistensi ketika menggosokkan badannya ke tuas tidak menghasilkan perubahan pada kondisi stimulus apapun.
Implikasi Teori Guthrie Dalam Psikologi
Salah satu eksperimen yang dilakukan oleh Gutrie untuk mendukung teori kontiguitas adalah percobaannya dengan kucing yang dimasukkan ke dalam kotak puzel. Kemudian kucing tersebut berusaha keluar. Kotak dilengkapi dengan alat yang bila disentuh dapat membuka kotak puzel tersebut. Selain itu kotak tersebut juga dilengkapi dengan alat yang dapat merekam gerakan-gerakan kucing dalam kotak. Alat tersebut menujukan bahwa kucing telah belajar mengulang gerakan-gerakan sama yang di asosiasikan dengan gerakan-gerakan sebelumnya ketika dia dapat keluar dari kotak tersebut.
Dari hasil eksperimen muncul beberapa prinsip :
1.      Agar terjadi pembiasaan, maka organisma harus selalu merespons atau melakukan sesuatu.
2.      Pada saat belajar melibatkan pembisaan terhadap gerakan-gerakan tertentu, oleh karena itu instruksi yang diberikan harus spesifik.
3.      Keterbukaan terhadap berbagai bentuk stimulus yang ada merupakan keinginan untuk menghasilkan respons secara umu.
4.      Respons terakhir dalam belajar harus benar ketika itu menjadi sesuatu yang diasosiasikan
5.      Asosiasi akan menjadi lebih kuat karena ada pengulangan.
Teori Edwin R Guthrie adalah teori pembiasaan asosiasi dekat (contiguous conditioning theory). Teori ini menyatakan bahwa peristiwa belajar terjadi karena adanya sebuah kombinasi antara rangsangan yang disandingkan dengan gerakan yang cenderung diikuti oleh gerakan yang sama untuk waktu berikutnya. Mengasosiasikan rangsangan dan respons secara tepat merupakan inti dari teori belajar yang dibangun oleh Guthrie. Untuk penerapan teori ini dalam proses belajar mengajar di kelas. Guthrie memberikan beberapa saran bagi guru :
1.      Guru harus dapat mengarahkan performa siswa akan menjadi apa ketika mempelajari sesuatu. Dengan kata lain , apakah stimuli yang ada dalam buku atau pelajaran yang menyebabkan siswa melakukan belajar.
2.      Oleh karena itu, jika siswa mencatat atau membaca buku secara sederhana mereka dapat mengingat lebih banyak informasi. Maka dalam hal ini buku akan menjadi stimuli yang dapat digunakan sebagai perangsang untuk menghafal pelajaran.
3.      Dalam mengelola kelas, guru dianjurkan untuk tidak memberikan perintah yang secara langsung akan menyebabkan siswa menjadi tidak taat terhadap peraturan kelas. Misalnya permintaan guru agar siswa tenang jika diikuti oleh kegaduhan dalam kelas akan menjadi tanda (memunculkan stimuli ) bagi munculnya perilaku distruptif.
Implikasi teori terhadap pembelajaran yang dilakukan oleh Guthrie terhadap seekor Kucing mengbuahkan hasil eksperimen proses conditioning yakni dalam meng­ubah tingkah laku atau kebiasaan‑kebiasaan pada hewan maupun pada manusia ialah
1.      Metode Reaksi Berlawanan (Incompatible Response Method)
Manusia itu adalah suatu organisme yang se­lalu mereaksi kepada perangsang‑perangsang tertentu. Jika suatu reaksi terhadap perangsang‑perangsang telah menjadi suatu kebiasaan, maka cara untuk mengubah­nya ialah dengan jalan menghubungkan perangsang (stimulus) dengan reaksi (respon) yang berlawanan dengan reaksi buruk yang hendak dihilangkannya.
2.      Metode Membosankan (Exchaustion Method).
Hu­bungan antara asosiasi antara perangsang dan reaksi (S‑R) pada tingkah laku yang buruk itu dibiarkan saja sampai lama mengalami keburukan itu, sehingga men­jadi bosan.
3.      Mengubah Lingkungan  (Change of Environ­ment Method).
Suatu metode yang dilakukan dengan jalan memutuskan atau memisahkan hubungan antara S dan R yang buruk yang akan dihilangkannya. Yakni menghilangkan kebiasaan‑kebiasaan buruk yang di­sebabkan oleh suatu perangsang (S) dengan mengubah perangsangnya itu sendiri






BAB 6
WILLIAM KAYE ESTES
Lailatul Istiqomah, Izzati Khoirina, Erlin Nur Puspa Sari

Konsep Teoritis Utama
Estes adalah seorang tokoh yang merupakan mahasiswa dari Skinner, tetapi dia terkenal melalui pengembangan teori belajar statistikanya. Teori Estes dapat dianggap sebagai upaya untuk mengkuantifikasikan teori belajar Guthrie, yang berbunyi: respon menjadi terkait dengan stimuli dalam satu percobaan saja. Namun ketika seseorang bertanya bagaimana sifat belajar yang lebih detail maka dia akan sadar bahwa teori itu jauh lebih kompleks dari yang diduga, karena itulah Estes kemudian meneliti kompleksitas dan membahasnya secara efektif.
Contoh yang diberikan oleh Estes adalah bagaimana cara kerja stimulus sampling theory (teori sampling stimulus ), berikut ini asumsi-asumsi dari Estes:
Asumsi I. situasi belajar terdiri dari banyak elemen stimulus dalam jumlah tertentu. Elemen-elemen ini terdiri dari banyak hal yang dapat dialami pembelajar pada awal percobaan belajar. Stimuli-stimuli itu bisa mencakup kejadian eksperimental seperti cahaya, suara berisik, materi verbal yang disajikan dalam drum memori, palang dan kotak Skinner, jalur eksperimenter, suhu, suara tambahan di dalam dan di luar ruang, dan kondisi di dalam diri subjek eksperimen seperti keletihan atau sakit kepala. Semua elemen stimulus ini secara kolektif disimbolkan sebagai S. sekali lagi, S adalah jumlah total dari stimuli yang mengiringi satu percobaan dalam situasi belajar.
Asumsi II. Semua respon yang diberikan dalam situasi eksperimental dapat digolongkan menjadi dua kategori. Jika responsnya adalah yang dicari oleh eksperimenter (seperti keluarnya air liur, mata berkedip, menekan palang, berbelok ke kanan di jalur T, atau melafalkan suku kata yang tak bermakna dengan benar), ia dinamakan respons A1. Jika responStes membagi semua respons yang mungkin muncul dalam eksperimen belajar menjadi dua kelompok: (A1), respons yang dicari eksperimenter―respons yang “benar” ―atau (A2), yakni semua respons lainnya. Tidak ada gradasi di antara keduanya: Hewan memberi respons yang dikondisikan atau tidak membuat respons yang dikondisikan; siswa bisa melafalkan suku kata yang tak bermakna dengan benar atau salah.
Asumsi III. Semua elemen di S dilekatkan dengan A1 atau A2. Sekali lagi, ini adalah situasi all-or-nothing: semua unsur stimulus dalam S adalah dikondisikan ke respons yang diinginkan atau benar (A1) atau ke respons yang tak relevan atau keliru (A2). Elemen yang dikondisikan ke A1 akan menimbulkan respons A1, dan elemen yang dikondisikan ke A2 akan menimbulkan respons A2. Pada awal eksperimen, hampir semua stimuli akan dikondisikan ke A2 dan akan menimbulkan respons A2. Misalnya, pada tahap awal eksperimen, seekor tikus melakukan tindakan selain menekan palang, partisipan eksperimen tidak merespons ke CS dihadirksn, dan seorang siswa tidak ingat suku kata yang tak bermakna. Respons yang “benar” terjadi hanya setelah mereka dihubungkan dengan stimuli dalam konteks eksperimental.
Asumsi IV. Pembelajar terbatas kemampuannya dalam mengalami S. pembelajar mengalami hanya sebagian dari stimuli yang tersedia pada setiap percobaan belajar, dan besarnya sampel diasumsikan tetap konstan disepanjang eksperimen. Proporsi konstan dari S yang dialami pada awal setiap percobaan belajar dilambangkan dengan  (theta). Sesudah setiap percobaan, elemen dari  dikembalikan ke S. Jadi, teori Estes mengasumsikan sampling dengan penggantian (sampling with replacement). Elemen-elemen yang dijadikan sampel pada satu percobaan mungkin akan dijadikan sampel lagi pada percobaan selanjutnya.
Asumsi V. Percobaan belajar berakhir ketika respons terjadi; jika respons A1 menghentikan percobaan, elemen stimulus dalam  dikondisikan ke respons A1. Seperti Guthrie, Estes menerima penjelasan belajar kontoguitas. Ketika respons A1 muncul, akan terbentuk asosiasi respons itu dengan stimuli yang mendahuluinya. Dengan kata lain, karena proporsi elemen stimulus dalam S diambil sampelnya pada awal percobaan, elemen itu dikondisikan ke A1 melalui prinsip kontiguitas setiap kali respons A1 menghentikan satu percobaan. Setelah jumlah elemen dalam S yang dikondisikan ke A1 bertambah, kemungkinan  mengandung beberapa dari elemen itu juga akan bertambah. Jadi, tendensi munculnya respons A1 di awalpercobaan belajar akan meningkat dari waktu ke waktu, dan elemen stimulus yang pada mulanya dilekatkan pada A2 perlahan-lahan akan dilekatkan ke A1. Inilah yang oleh Estes disebut sebagai belajar. State of the system (keadaan sistem) pada momen tertentu adalah proporsi dari elemen yang dilekatkan ke respons A1 dan A2.
Asumsi VI. Karena elemen di  dikembalikan ke S pada akhir percobaan, dan karena  yang dijadikan sampel pada awal percobaan belajar pada dasarnya adalah acak, proporsi elemen yang dikondisikan ke A1 dalam S akan tercermin dalam elemen dalam  pada awal setiap percobaan baru. Jika tak satu pun dari elemen di S dikondisikan ke A1, maka  tidak akan memuat elemen yang dikondisikan ke respons yang benar. Jika 50 persen dari elemen dalam S dikondisikan ke A1, maka 50 persen dari elemen sampel  random dari S dapat diperkirakan akan dikondisikan ke A1.
Apa yang menentukan apakah respons A1 atau A2 yang terjadi dalam satu percobaan belajar? Bagaimana teori Estes dapat mendamaikan klaimnya tentang belajar all-or-none (secara sekaligua atau tidak sama sekali) bengan fakta bahwa performa atau kinerja itu bersifat probabilistik―bahwa respons A1 terkadang tidak muncul bahkan setelah beberapa percobaan belajar yang sukses? Jawaban untuk pertanyaan ini mengindikasikan mengapa teori Estes disebut teori belajar statistikal. Teori ini menyatakan bahwa probabilitas respons A1 sama dengan proporsi elemen stimulus dalam  yang dikondisikan ke A1 pada awal percobaan belajar, dan setiap  adalah sampel acak dari S. Jika semua elemen dalam dikondisikan ke A1, peluang terjadinya respons adalah 100 persen. Tetapi jika hanya 75 persen dari elemen di  yang dikondisikan ke A1, kita memperkirakan respons A1 adalah 75 persen dari respons A2 adalah 25 persen pada waktu itu. dengan kata lain, probabilitas munculnya respons A1 bergantung pada keadaan sistem.
Dengan menggunakan asumsi-asumsi di atas, kita dapat menurunkan pernyataan matematika yang meringkaskan proses belajar seperti dikemukakan oleh Estes:
1.    Probabilitas respons A1 pada setiap percobaan n (P n ) adalah sama dengan proporsi elemen yang dikondisikan ke A1 pada percobaan itu (P n)
P n = p n
2.    Dari asumsi II dan III, semua elemen adalah elemen A1 (dengan probabilitas p) atau elemen A2 (dengan probabilitas q). Dan, ini adalah 100 persen elemen dalam situasi itu.
p + q = 1,00
sehingga
p = 1,00 – q
3.    Dari asumsi V, elemen yang tak dikondisikan ke A1 pada setiap percobaan n (direfleksikan dalam q) pasti merupakan elemen yang tidak diprakondisikan ke A1 sebelum percobaan pertama dan yang tidak dikondisikan pada A1 pada percobaan sebelumnya. Pada setiap percobaan n, probabilitas elemen itu tidak diprakondisikan pada percobaan 1 adalah (1 – P1). Demikian pula, pada setiap percobaan n, probabilitas elemen tidak dikondisikan ke A1 pada percobaan sebelumnya adalah (1 -  )n-1. Probabilitas dua kejadian itu akan terjadi bersama (yakni, probabilitas bahwa satu elemen tidak diprakondisikan dan belum dikondisikan) adalah hasil matematis dari probabilitas individualnya. Jadi,
q = (1 – P1) (1 -  )n-1.
4.    Dengan substitusi dari 3, kita mendapatkan:
Bagaimana teori Estes mengaitkan performa (kinerja) dengan training? Contoh berikut ini mungkin membantu. Misalnya, kita punya dua pembelajar, yang satu mulai dengan P1 = 0 dan  = 0,05. Yang kedua juga memulai P1 = 0 tetapi mampu mengambil sampel stimuli lebih banyak dalam lingkungan belajar. Untuk pembelajar kedua,  = 0,20.
Untuk pembelajar pertama,
Pada percobaan 1, P1 = 1- (1) (1 - 0,05)º = 0
Pada percobaan 2, P2 = 1- (1) (1 - 0,05)¹ = 0,05
Pada percobaan 3, P3 = 1- (1) (1 - 0,05)² = 0,10
dan performa mendekati 100 persen (P n = 1, 00) setelah sekitar 105 percobaan, dengan asumsi setiap percobaan berhenti dalam respons A1.
Untuk pembelajar kedua,
Pada percobaan 1, P1 = 1- (1) (1 - 0,20)º = 0
Pada percobaan 2, P2 = 1- (1) (1 - 0,20)¹ = 0,20
Pada percobaan 3, P3 = 1- (1) (1 - 0,20)² = 0,36
dan performa (kinerja) mendekati 100 persen (P n = 1,00) setelah sekitar 23-25 percobaan, dan dengan asumsi percobaan berakhir dalam respons A1.
Rumus yang menghasilkan kurva akselerasi belajar negative dengan asymptote 1 yang dapat bervariasi dari kasus ke kasus, seperti kita lihat dalam contoh tersebut, akan bergantung pada besarnya   dan nilai dari P1. Kurva belajar yang dihasilkan oleh rumus Estes pada dasarnya sama dengan yang dihasilkan oleh rumud Hull, yang dideskripsikan di Bab 6. Estes dan Hull mengasumsikan bahwa belajar di tahap awal eksperimen belajar lebih banyak terjadi ketimbang di tahap selanjutnya.
Menurut Estes, negatively accelerated learning curve (kurva akselerasi belajar negatif) terjadi karena percobaan-percobaan dalam eksperimen belajar biasanya berakhir dengan respond A1, dan akibatnya, makin banyak elemen yang dikondisikan ke A1. Namun ada tingkat perolehan yang makin menurun. Misalnya situasi di mana, pada awal eksperimen, respons A1 sangan tidak mungkin terjadi (misalnya, dengan pengkondisian kedipan mata), kita melihat bahwa hampir semua elemen di S akan dikondisikan ke A2 (tidak berkedip saat cahaya disajikan). Tetapi, misalnya kedipan terjadi pada akhir percobaan 1. Dalam kasus ini, semua elemen yang dijadikan sampel pada percobaan itu ( ) digeser dari A2 ke A1 karena semuanya dikondisikan pertama-tama ke A2. Pada percobaan selanjutnya, segelintir elemen akan dikondisikan ke A1, namun sebagian masih dikondisikan ke A2. Karenanya, kini dimungkinkan bahwa beberapa elemen yang dikondisikan ke A1 akan dijadikan sampel bersama dengan elemen yang dikondisikan ke A2. Jadi tingkat pergeseran pada saat percobaan ke dua tidak akan sebesar pada percobaan satu karena hanyake elemen yang dikondisikan ke A2 yang dapat ditransfer A1. Dapat dilihat bahwa setelah belajar terus berlangsung, tingkat belajar menurun. Ketika semua elemen dalam S dikondisikan ke A1, taka da lagi belajar yang dapat terjadi, dan probabilitas terjadinya respons A1 adalah 1. Jadi, kurva akselerasi belajar negatif, yang mengindikasikan bahwa kemajuan belajar terjadi dengan lebih cepat di tahap awal ketimbang ditahap selanjutnya.
Generalisasi
Dalam teorinya Estes sampling stimulus menjelaskan terkait dengan transfer. Pendapat soal transfer dari Estes yang sama dengan pendapat Thorndike dan Guthrie yaitu transfer terjadi sepanjang dua situasi memiliki elemen stimulus yang sama. Jika banyak dari elemen yang sebelumnya dikondisikan ke respons A1 ada di dalam situasi belajar yang baru, probabilitas respons A1 akan muncul dalam situasi baru itu akan cukup tinggi. Dalam satu situasi baru, seperti halnya dalam situasi belajar awal, probabilitas respons A1 sama dengan proporsi elemen stimulus dalam S yang dikondisikan ke respons itu.
Pelenyapan
Penjelasan dari Estes bahwa dalam pelenyapan satu percobaan biasanya di akhiri setelah subjek melakukan sesuatu selain A1, elemen stimulus yang sebelumnya dikondisikan ke A1 pelan-pelan akan kembali lagi ke A2. Apa yang dinamakan pelenyapan muncul setiap kali kondisi disusun sedemikian rupa sehingga elemen stimulus di geser dari respons A1 ke respons A2.
Pemulihan spontan
Pemulihan spontan adalah munculnya kembali respons yang dikondisikan setelah respons itu mengalami pelenyapan. Dalam kondisi sementara memungkinkan bahwa selama training respons A1 menjadi dikondisikan ke banyak elemen sementara. Jika elemen-elemen itu tidak ada selama proses pelenyapan, respons A1 dikondisikan ke elemen itu tidak bisa digeser ke respons A2 dan pergeseran hanya terjadi untuk elemen stimulus yang dijadikan sampel. Jadi, arti pentingnya elemen sementara bagi pemulihan spontan tampak dengan banyak elemen yang dikondisikan ke A1 selama akusisi tidak ada pada saat pelenyapan terjadi. Pemulihan spontan dijelaskan dengan mengasumsikan bahwa proses pelenyapan (pergeseran elemen dari A1 ke A2) pada awalnya tidak pernah komplet.

Model Belajar Markov Menurut Estes
Teori sampling stimulus Estes menerima sudut pandang inkremental (gradual) maupun all – or – one tentang proses belajar. Hanya sebagian kecil dari jumlah total elemen stimulus yang ada selama satu eksperimen akan dijadikan sampel pada satu percobaan tertentu. Elemen yang dijadikan sampel ini dikondisikan secara all – or – none ke respons apa saja yang menghentikan percobaan itu.akan tetapi, karena hanya sebagian kecil dari proporsi elemen yang dikondisikan pada satu percobaan tertentu, proses belajar berlangsung sedikit demi sedikit, dan karenanya tercipta kurva akselerasi belajar negatif. Pendapat Estes adalah cara all – or – none, namun karena hanya ada sedikit yang dijadikan sampel pada satu percobaan, belajar berlangsung secara inkremental atau gradual.
Estes mendesain sejumlah studi yang memungkinkan proses belajar diamati secara mendetail. Studi – studi ini menunjukkan bahwa ketika jumlah elemen yang dijaddikan sampel sedikit, belajar jelas berlangsung secara all – or – none, dalam kenyataannya, dapat dikatakan bahwa belajar terjadi secara lengkap dalam satu percobaan atau tidak terjadi sama sekali (tidak ada posisi ditengah – tengahnya). Perubahan cepat dari keadaan belum belajar ke keaddaan telah belajar ini dikatakan berhubungan dengan Markov process (proses Markov), yang dikarakteristikkan oleh perubahan yang mendadak dalam probabilitas respons ketimbang perubahan pelan dan bertahan dari satu percobaan ke percobaan selajutnya.
Dalam sebuah studi, Estes menggunakan paired associates (sekutu atau mitra yang dipasangkan) untuk menunjukkan sifat belajar. Dalam paired associates learning (belajar sekutu berpasangan), orang mempelajsri pasangan aitem dimana ketika mereka diperlihatkan anggota pertama dari pasangan itu, merek dapat merespon dengan pasangan lainnya.
  1.       Estes Dan Psikologi Kognitif
Meskipun Estes seorang teoritisi kontiguitass, namun di tahun- tahun belakangan ini dia lebih menekankan pda mekanisme kognitif dalam menganalisisnya terhadap belajar. Seperti yang telah kita lihat, analisi awalnya mengikuti pendapat Guthrie dengan mengasumsikan bahwa apa pun stimuli yang ada pada saat terminasi suatu percobaan belajar akan diassosiasikan dengan respons yang menghentikan percobaan itu. Baik Guthrie dan Estes memandang belajar sebagai asosiasi kejadian yang terjadi bersamaan secara mekanis dan otomatis. Pada intinya, organisme, termasuk manusia, dianggap sebagai mesin yang dapat merasakan, mencatat, dan merspons. Walaupun masih bersifat mekanistis, analisis Estes yang belakangan lebih kompleks karena ia mempertimbangkan pula pengarh dari peristiwa kognitif.
Pada awlanya Estes berpendapat bahwa stimuli dan respons menjadi diasosiasikan oleh kontiguitas, dan setelah diasosiasikan, ketika stimuli terjadi, mereka akan menghasilkan respons yang diassosiasikan kepada sstimuli itu. Estes juag menambahkan elemen ketiga kedalam analisinya, yakni memori atau ingatan. Dalam analisis Estes belakangan ini, stimuli tak langsung menimbulkan respos, tetapi ia membangkitkan memori dari pengalaman sebelumnya, dan interaksi dari stimulasi saat itu dengan memori tentang pengalaman sebelumnya itulah yang menghasilkan perilaku.
Memori juga berperan penting dalam analisis Estes terhadap operasi kognitif tingkat tinggi seperti yang melibatkan bahasa. Dengan mengikuti tradisi empirisis Inggris, Estes mengasumsikan bahwa memori – memori sederhana akan diombinasikan untuk membentuk memori kompleks.
  2.       Model Array Kognitif: Klasifikasi Dan Kategorisasi
Estes memandang teori sampling stimulus (SST) sebagai perluasan matematis dari teori transfer elemen identik Thorndike. Yakni teori itu dikembangkan untuk membuat prediksi yang tepat tentang transfer training dari ssatu situasi ke situasi lain, berdasarkan elemen – elemen stimulus yang sama untuk keduanya. Dalam karya yang lebih baru, Estes menjelaskan problem yang pertama kali dikaji oleh Medin dan Shaffer dan meneruskan secara spesifik ke perilaku mengklasidikasi dan mengkategorisasi.
Dalam SST, belajar terjadi dengan cara sekaligus atau tidak sama sekali (all – or – none) dan hanya dibutuhkan kontiguitas antara stimuli dan respons tertentu. Pada percobaan belajar, orang mengambil sampel elemen stimulus dalam jumlah terbatas dari seperangkat stimulus, dan respons yang muncul akan bergantung pada proporsi stimuli dalam sampel yang dikaitkan dengan resspons itu. Jika ssampelnya tidak mengandung elemen yang dikondisikan, entah karena sifat sampling yang acak atau karena lingkungan teelah berubah, maka respons tersebut tidak akan dimunculkan.
Dalam model klasifikasi kognitif Estes, orang diasumsikan akan meneliti stimulus kompleks dan memerhatikan (atau mengambil ssampel) ciri – cirinya yang menonjol atau penting. Seperti dalam SST, ciri – ciri stimulus itu, bersama dengan informasi tentang kategori atau keanggotaan kelasnya, dipelajari secara all – or – none, dalam satu kali percobaan. Pada poin inilah pendekatan kognitif Estes yang dinamkan array model (model array), berbeda dengan SST. Dalam kasus model array, karakteristik stimulus dan designasi kategori disimpan dalam memori sebagai seperangkat (suatu array) yang menyimpan ciri – ciri atau atribut penting dan siap dipakai untuk membandingkan atribut itu dengan atribut stimuli lain. Perbedaan antara SST dan model array yaitu SST terfokus pada asosiasi stimulus – respons yang dibentuk dimasa lalu dan pada cara asosiasi ini diakumulasikan sedangkan model array terfokus pada klasifikasi kejadian yang ditemui dimasa sekarang atau yang akan ditemui dimasa depan.
  3.       SST Mengasumsikan Hubungan Stimulus Aditif
Meskipun SST dan model array merefleksikan teori transfer elemen identik Thorndike, keduanya mempunyai cara yang berbeda dalam merefleksikannya.
Satu problem signifikan dalam SST adalah teori ini tidak dapat menjelaskan efek detrimental yang muncul ketika manusia dan bukan manusia diuji dalam konteks atau dengan stimuli yang jauh berbeda dari konteks yang ada saat training. Estes menunujukan bahwa kelemahan utamanya adalah pada asumsinya mengenai efek stimulus aditif, yakni ide konseptual dan matematis, yang menyatakan bahwa elemen – elemen stimulus berpadu dalam cara aditif untuk memunculkan respons yang dipelajari. Sebagai alternatifnya, model array mengasumsikan bahwa elemen berkombinasi secara multiplikatif (multiplicatively) untuk memunculkan respons.
  4.       Model Array Mengasumsikan Hubungan Stimulus Multiplikatif
Menurut model Array, kita menilai kesamaan stimuli dalam konteks baru yang berhubungan dengan stimuli dalam situasi training dengan membandingkan atribut – atribut dari elemen itu. Dalam kasus perbandingan, satu faktor yang disebut s, yakni koefisien persamaan, mendeskripsikan tingkat kesamaan antara pasangan atribut stimulus.
Maksud dari model array yaitu untuk mendeskripsikan dan memprediksi bagaimana orang menilai stimuli untuk dikategorikan dalam spesifik, bukan bagaimana respons yang dikondisikan digeneralisasikan atau ditransfer ke situasi baru, dan kita dapat mengguenakan stimuli dariproblem generalisasi kita untuk mendemonstrasikan dasar – dasar model Array.
  5.       Item dalam Satu Kategori adalah Sama Satu Sama Lain
Langkah pertama dalam mengembangkan model Array adalah menentukan kesamaan item – item di dalam kategori.
  6.       Item – item Stimulus Mempresentasikan Seluruh Kategori
Cara selanjutnya mengaplikasikan model Array adalah menentukan sejauh mana stimulus parsial yaitu mewakili kategorinya secara keseluruhan. Untuk itu, kita menyusun matriks koefisien persamaan yang membandingkan elemen – elemen didalam satu kategori dengan elemen – elemen lain di dalam kategori itu, termasuk perbandingan satu stimulus dengan dirinya sendiri.
Kemudian, kita menyusun matriks yang mempresentasikan kesamaan item. Terakhir, kita dapat membuat prediksi probabilitas kategorisasi stimulus yang benar. Prediksi ini didasarkan pada kesamaan satu stimulus dengan kategorinya sendiri (benar) yang berhubungan dengan jumlah dari kesamaannya dengan semua kategori yang mungkin.
  7.       Pandangan Estes tentang Perang Penguatan
Pendapat Estes terbaru mengenai penguatan juga bersifat kognitif. Sampai saat ini Estes bukan teorisi penguatan. Pandangan awalnya menolak hukum efek, yang menyatakan bahwa penguatan akan memperkuat ikatan atau koneksi antara satu stimulus dengan satu respons.
Menurut Estes, organisme bukan hanya belajar hubungan S – R tetapi juga hubungan R – O (response – outcome). Yakni, organisme belajar, dan mengingat, respons mana yang akan menimbulkan konsekuensi tertentu. Dalam situasi tertentu, beberapa respons menimbulkan penguatan, sebagian menimbulkan hukuman, dan yang lainnya tidakn menimbulkan keduanya. Penguatan dan hukuman tidak menguatkan atau melemahkan perilaku sebab hubungan R – O tidak menghasilkan penguatan atau hukuman (Estes, 1969b). Organisme hanya belajar apa yang menimbulkan konsekuensi, dan informasi ini menetukan respons mana yang akan dipilih.
Dalam analisisnya, terhadap penguatan, Estes membuat perbedaan penting antara belajar dan performa. Menurutnya, penguatan dan hukuman bukan variabel sebab belajar terjadi tanpa penguatan dan hukuman. Penguatan dan hukuman, sebaliknya, adalah variabel performa (kinerja) karena menetukan bagaimana materi yang sudah dipelajari akan berwujud dalam perilaku.



Implikasi Teori Belajar Estes Dalam Pendidikan
Aplikasi teori estes dalam pendidikan contohnya adalah, dalam kelas murid disuruh membaca buku sosiologi (S) kemudian muridpun membaca buku tersebut sesuai dengan instruksi dari guru (R). Dalam pemberian stimulus tentu diiringi dengan stimulus-stimulus lain seperti adanya suara berisik di luar kelas, bunyi deru sepeda motor dan lain-lain. Dari kegiatan membaca buku sosiologi, guru mengharapkan agar muridnya memahami tentang dinamika sosiologi yang diberi kode (A1). Sedangkan kamungkinan lainnya yaitu murid tidak benar-benar membaca dan memahami apa yang ada di buku tersebut yang diberi kode (A2) Atau respon yang tidak diinginkan.
Sejauh ini Estes membagi semua kemungkinan respon dalam situasi tertentu menjadi dua kelompok, dan ia membagi semua kemungkinan aspek situasi stimulus menjadi banyak elemen yang tidak tertentukan. Sekarang lebih jauh lagi ia beransumsi bahwa masing-masing elemen dikondisikan dengan salah satu dari dua kelompok respon itu. Dengan kata lain, masing-masing elemen stimulus cenderung untuk menghasilkan entah itu A1 dan A2. Sebuah elemen tidak bisa dikondisikan dengan A1 dan A2 sekaligus, juga tidak mungkin dikondisikan dengan tidak satupun dari keduanya. Karenanya, pada momen tertentu seluruh elemen bisa dikelompokkan sebagai terkondisikan dengan A1 atau terkondisikan dengan A2.
Dalam hubungan seperti ini, istilah dikondisikan (conditioned) tidak selalu berarti ada pembelajaran sebelumnya. Mungkin akan lebih tepat bila dikatakan bahwa setiap elemen “melekat” pada salah satu kelompok respon, sehingga elemen-elemen stimulus yang sebelumnya melekat pada A1 menjadi melekat pada A2, atau sebaliknya, dalam faktanya, bagi Estes perubahan semacam inilah yang dinamakan pembelajaran. Perubahan-perubahan ini merupakan proses pengkondisian, dan karenanya Estes menyatakan bahwa suatu elemen dikondisikan dengan suatu respon ketika elemen itu cenderung menghasilkan respon tersebut.
Dalam proses belajar diatas dapat diketahui bahwa respon yang dihasilkan cenderung hanya pada satu kemungkinan, dan 2 kemungkinan diatas tidak bisa terjadi secara bersamaan. Jadi hasilnya yaitu siswa memahami apa yang dipelajarinya atau tidak memahami apa yang dipelajarinya.




BAB 7
TEORI GESTALT
Lailatul Izzah, Khoirun Nisa’, Budi Surya Permana

Prinsip Belajar Gestalt
Ketika kita berbicara tentang teori Gestlat maka sangat banyak kaitannya dengan fenomena kognisi. Para pengikut Gestlat menyatakan bahwa dalam presepsi, kita cenderung untuk menyusun stimulus-stimulus sepanjang garis tandensi-tandensi alamiah tertentu yang mungkin berkaitan dengan fungsi menyusun dan mengelompokan yang terdapat dalam otak. Tandensi-tandensi alamiah ini adalah hasil dari pengalaman yang di pelajari. Dari mana pun asal – usulnya semua sependapat bahwa tandensi-tandensi tersebut ada dan mengikuti pola-pola yang bersifat universal.
Dengan kata lain proses yang dilakukan adalah organisme yang mulai melihat solusi setelah memikirkan suatu problem. Secara tidak langsung akan muncul keadaan disekualibrium kognitif dan keadaan yang akan berlanjut sampai problem terselesaikan. Dalam disekualibrum kognitif terdapat unsur motivasional yang menyebabkan organisme berusaha untuk mendapatkan keseimbangan dalam system mentalnya
Dalam prinsip yang berlaku untuk kejadian mental termasuk prinsip presepsi yakni pada hukum pragnaz adalah dengan kecendrungan dalam setiap kejadian psikologis untuk menjadi sederhana, lengkap, dan bermakna. Dengan kata lain keseimbangan kognitif lebih memuaskan dari pada ketidak seimbangan kognitif .Suatu problem akan memunculkan stimuli yang terus ada sampai terpecahkan dan setelah terpecahkan stimuli akan berkurang. Ketika stimuli terpecahkan (solusi mulai muncul) organisme mendapat wawasan atau insight  tentang solusi atau problem. Dari insight  inilah di dapatkan penyelesaian masalah dan merupakan suatu inti dari proses belajar  Gestlatis  berpendapat bahwa proses belajar yang terpenting adalah bukan dari pengulangan, tetapi dari mengerti dengan mendapatkan insight dari setiap prosesnya.



Periode Prasolusi
Dalam mendapatkan insightful solution  atau solusi yang berwawasan maka di perlukan beberaa waktu  dengan menggunakan konsep belajar trial-and-Eror dalam kerja kognitif bukan behavioral. Caranya dengan menguji suatu hipotesis dalam memecahkan suatu problem. Dalam hal ini problem merupakan suatu riset. Pada sebuah eksperimennya yaitu hewan memikirkan solusi yang berbeda sampai akhirnya dapat menemukan satu solusi yang tepat dalam proses pemikiran suatu solusi diharapakan organisme hewan ini  bisa mendapatkan suatu arahan dengan memunculkan wawasan secara mendalam yang kemudian dilanjutkan dengan tindakan behavioral.
Ringkasan tentang belajar berwawasan
Empat karakteristik dalam insightful Learning (belajar berwawasan) yaitu
1.      Transisi dari soslusi ke prasolusi terjadi secara mendadak dan komplit.
2.      Kinerja dalam mendapatkan solusi di peroleh dengan pengertian secara mendalam dengan bebas dari kekeliruan
3.      Solusi di dapatkan dari wawasan secara mendalam yang bisa di ingat dalam waktu yang cukup lama
4.      Prinsip yang di peroleh dari wawasan mudah di aplikasikan ke problem lainnya

Transposisi.
Gestalt beranggapan bahwa sesuatu yang di pelajari memaluli proses belajar adalah menggunakan prinsip rasional bukan pengembangan kebiasaan S-R seperti anggapan dari kaum behavioristik.
Penjelasan Behavioristik Tentang Transposisi
Kaum behavioristik beranggapan bahwa situasi belajar selalu berkaitan dengan hubungan S-R yang merupakan absolute theory ( teori Absolute ) dan tramsposisi behavioristik Spence muncul dengan menjelaskan tentang fenomena transposisi berdasarkan konsep S-R yang di dasarkan pada generalisasi yaitu tandensi untuk mendekati stimulus positive di generalisasikan ke stimulus lain. Sehingga muncul sebuah asumsi  bahwa tandensi untuk mendekati stimulus positif lebih kuat daripada untuk menghindari stimulus negative. Kesimpulannya kapan pun ada ada pilihan antara dua stimuli, stimuli yang menimbulkan kecendrungan yang besar akan di pilih.
Dari penejelasan Spence ini timbul sebuah prediksi bahwasannya transposisi berhenti pada titik tertentu. Karena teori Spence dapat memprediksi kesuksesan dan kegagalan fenomena transposisi, sudut pandangnya lebih di terima luas ketimbang sudut pandang Gestlat.

Tokoh Gestalt
Orang yang dipandang menjadi perintis langsung psikologi Gestalt adalah Chr. Von Ehrenfels, dengan karyanya “Uber Gestaltqualitasion” (1890). Aliran ini menekankan pentingnya keseluruhan. Pokok fikiran aliran ini adalah :
1.      Gestalt mempunyai sesuatu yang melebihi jumlah unsur-unsurnya, dan
2.      Gestalt itu timbul lebih dulu daripada bagian-bagian.
Selanjutnya orang yang dipandang sebagai pendiri teori gestalt ialah Wertheiner, eksperimen-eksperimen Wertheimer mengenai Scheinbewegung (gerak semu) memberikan kesimpulan bahwa pengamatan mengandung hal yang melebihi jumlah unsur-unsurnya. Ini adalah gejala Gestalt. Penelitian dalam bidang optic ini kemudian juga dipandang berlaku (kesimpulan serta prinsip-prinsipnya) di bidang lain, seperti misalnya di bidang belajar. Lebih jauh eksperimen-eksperimen W. Kohler dengan chimpanse yang dilakukannya di pulau Tenerife (1913-1917) memberikan kesimpulan-kesimpulan yang berlawanan dengan teori-teori molecular.


Pokok – Pokok Teori Belajar Menurut Aliran Gestalt
Psikologi Gestalt bermula pada lapangan pengamatan (persepsi) dan mencapai sukses yang terbesar juga dalam lapangan ini. Demonstrasinya mengenai peranan latar belakang dan organisasinya terhadap proses-proses yang diamati secara fenomal demikian meyakinkan sehingga boleh dikatakan tidak boleh dibantah. Kritik pokok yang dilancarkannya terhadap teori asosiasi adalah ditujukan terhadap anggapan yang menyatakan bahwa pengamatan itu terdiri dari unsur-unsur pengamatan yang dipersatukan (diikat) oleh asosiasi.
Ketika para ahli psikologi Gestalt beralih dari masalah pengamatan ke masalah belajar, maka hasil-hasil yang telah kuat atau sukses dalam penelitian mengenai pengamatan itu dibawanya dalam studi mengenai belajar, dan alasan-alasan yang dulunya ditujukan terhadap teori asosiasi kini dilancarkan terhadap teori reflek bersyarat, dan teori reflek yang lain. (Suryabrata : 2012).
Gestalt adalah sebuah teori belajar yang dikemukakan oleh koffka dan kohler dari jerman. Teori ini berpandangan bahwa keseluruhan lebih penting dari bagian-bagian. Sebab keberadaan bagian-bagian itu didahului oleh keseluruhan. Dalam belajar menurut teori gestalt yang terpenting adalah penyesuaian pertama, yaitu mendapatkan respons atau tanggapan yang tepat. Belajar yang terpenting bukan mengulangi hal-hal yang harus dipelajari, tetapi mengerti atau memperoleh insight. Belajar dengan pengertian lebih dipentingkan daripada hanya memasukkan sejumlah kesan. Belajar dengan insight (pengertian) adalah sebagai berikut :
a.       Insight tergantung pada kemampuan dasar
b.      Insight tergantung dari pengalaman masa lampau yang relevan (dengan apa yang dipelajari)
c.       Insight hanya timbul apabila situasi belajar diatur sedemikian rupa, sehingga segala aspek yang perlu dapat diamati


Prinsip-prinsip belajar menurut teori Gestalt :
a.       Belajar berdasarkan keseluruhan : orang berusaha menghubungkan suatu pelajaran dengan pelajaran yang lain sebanyak mungkin. Bahkan pelajaran tidak dianggap terpisah, tetapi merupakan satu kesatuan. Bahan pelajaran yang telah lama tersimpak diotak dihubung-hubungkan dengan bahan pelajaran yang baru saja dikuasai, sehingga tidak terpisah, berdiri sendiri. dengan begitu lebih mudah didapatkan pengertian. Bahan pelajaran yang bulat memang lebih mudah dimengerti daripada bagian-bagian.
b.      Belajar adalah suatu proses perkembangan
Anak-anak baru dapat mempelajari dan merencanakan bila ia telah matang untuk menerima bahan pelajaran itu. Manusia sebagai suatu organisme yang berkembang, kesediannya mempelajari sesuatu tidak hanya ditentukan oleh kematangan jiwa batiniah, tetapi juga perkembangan anak karena lingkungan dan pengalaman.
c.       Anak didik sebagai organisme keseluruhan : anak didik belajar tidak hanya intelektualnya saja, tetapi juga emosional dan jasmaniahnya. Dalam pengajaran modern, selain mengajar guru juga mendidik untuk membentuk pribadi anak didik.
d.      Belajar harus dengan insight : insight adalah suatu saat dalam proses belajar dimana seseorang melihat pengertian (insight) tentang sangkut paut dan hubungan-hubungan tertentu dalam unsur yang mengandung suatu problem.
e.       Belajar lebih berhasil bila berhubungan dengan minat, keinginan, dan tujuan : hal itu terjadi bila banyak berhubungan dengan apa yang diperlukan anak didik dalam kehidupan sehari-hari. Di sekolah progresif anak didik diajak membicarakan tentang proyek/unit agar tahu tujuan yang akan dicapai dan yakin akan manfaatnya. (Djamarah : 2002).

Menurut gestaltian memandang problem tubuh-pikiran diasumsikan dengan adanya isomorphism (isomorfisme) antara pengalaman psikologis dengan proses yang ada di dalam otak. Stimulan eksternal menimbulkan reaksi di otak dan merasakan atau mengalami reaksi itu saat reaksi terjadi di otak. Psikolog gestalt menyatakan pendapatnya bahwa dunia fenomenal (kesadaran) adalah ekspresi yanbg akurat dari situasi, yakni kekuatan yang ada di dalam otak. Menurut teoretisi Gestalt yang menentukan perilaku adalah kesadaran atau realitas subjektif, dan fakta ini mengandung teoritisi penting, koffka percaya bahwa untuk memahami mengapa orang bertindak, adalah lebh penting untuk mengetahui lingkungan behavioralnya daripada lingkungan geografisnya dan Bagi koffka keyakinan hal yang sangat menetukan perilaku.
Belajar menurut Gestaltis, adalah fenomena kognitif. Gestaltis percaya bahwa solusi itu didapatkan atau tidak sama sekali karena belajar menurut gestaltis adalah diskontinu. Gestalt memandang belajar lebih menekankan pada perbandingan antara dua stimuli yang disebut relational theory (teori relasional). (Oslon : 2010)







Implikasi Teori Belajar Gestalt
Banyak praktek pendidikan dan pengajaran yang menggunakan dasar psikologi Ilmu Jiwa Gestalt.
1.      Dalam bidang Kurikulum
Kurikulum concentris merupakan pengetrapan prinsipprinsip ilmu Jiwa Gestalt. Kurikulum ini mempunyai pusat yang sama (con-centris). Dalam tingkatan yang rendah, disusun kurikulum dari suatu kesatuan yang utuh. Disini diajarkan yang pokok-pokok secara garis besar. Di tingkat yang lebih tinggi, kesatuan itu diberikan lagi, tetapi dibahas lebih mengarah ke bagian-bagian lebih mendalam. Sedang ditingkat yang lebih tinggi lagi, kesatuan tersebut tetap digunakan, tetapi dibahas menjadi kesatuan-kesatuan yang lebih mendalam lagi. Begitu seterusnya. Dalam perwujudan dan perkembangan selanjutnya, kurikulum concentris ini dapat terwujud dalam:
(a) Penagajaran pusat minat
(b) Penagajaran Proyek
(c) Penagajaran alam sekita
(d) Salah satu prinsip dalam sistim among oleh Ki Hajar Dewantara.
2.      Dalam Bidang Didaktik Metodik
Dalam bidang Didaktik Metodik, khususnya mengenai metode mengajar membaca, menulis. Pengaruh Ilmu Jiwa Gestalt itu sangat besar. Ternyata pengetrapan Ilmu Jiwa Gestalt dalam metode mengajar membaca menulis itu telah mampu menggoyahkan metode mengajar yang telah berabad-abad sejak zaman Yunani Kuno hingga awal abad 20 ini. Di indonesia khususnya,metode mengajar membaca menulis dengan metode mengeja ini masih ada guru yang melakukan,
Meskipun secara resmi pemerintah telah mengganti dengan metode global (secara resmi digunakan istilah metode S.A.S = Struktural Analitis Sintesis). Secara singkat dapat dibandingkan metode mengeja dengan metode global sebagai berikut:
(a) Metode Mengeja
Murid dihadapkan pada huruf yang justru merupakan elemen terkecil. Hal ini sangat asing bagi anak. Kita melakukan persepsi bukan dari elemen dulu, tetapi sebaliknya, secara keseluruhan (global) dulu, baru menuju bagian atau elemen. Metode eja menyalahi prinsip Gestalt Murid pertama kali belajar telah dihadapkan pada huruf. Huruf itu bagi anak belum dikenal, tidak mempunyai makna (arti). Seharusnya dimulai dari suatu kebulatan kesatuan yang mengandung makna. Jadi metode eja menyalahi prinsip Insightfullness. Dalam menghubungkan kata, murid-murid banyak mengalami kesukaran, karena selain tidak dikenal (tanpa arti) juga tidak merupakan figur. Akibatnya sukar terjadi prinsip closure.Dilihat dari segi prestasi, metode mengeja kurang memuaskan, salah satunya adalah murid membaca terputus-putus, sebab setiap selesai membaca satu kata, ia berhenti untuk mengeja kata berikutnya. Hal ini kadang-kadang masih tampak pada murid SMP.
(b) Metode Belajar Global
Menggunakan dasar psikologis Ilmu Jiwa Gestalt. Metode membaca global dirintis oleh Dr. Ovide De Croly. Di Indonesia dekenal dengan metode S.A.S.Permulaan sekali, anak telah dihadapkan pada cerita pendek yang telah dikenal anak dalam kehidupan keluarga. Cerita ini jelas merupakan satu kesatuan yang telah dikenal anak. Maka dengan mudah anak itu segera dapat membaca seluruhnya secara hafalan. Biarkan murid membaca sambil menunjuk kalimat yang tidak cocok dengan yang diucapkan. Menguraikan cerita pendek tersebut menjadi kalimat-kalimat. Guru secara alamiah menunjukkan bahwa cerita pendek itu terdiri dari kalimat-kalimat misalnya dengan cara :
Ø  Kalimat yang satu dengan yang lain ditulis dengan warna yang berbeda.
Ø  Kalimat satu dengan yang lain ditulis dengan jarak yang cukup renggang.Biasanya setelah 2 atau 3 minggu murid telah dapatmembedakan kalimat satu dengan yang lain. Murid telah mengingat kalimat-kalimat.
Ø  Memisahkan kalimat-kalimat menjadi kata-kata Dapat dengan berbagai cara, misal:
1)      Tiap-tiap kata ditulis dengan warna yang berbeda-beda
2)      Tiap-tiap kata ditulis agak berjauhan
3)      Ditulis dengan susunan tiap kata semakin menurun
4)      Dibaca pelan-pelan sambil menunjuk tiap kata
Ø  Memisahkan kata-kata menjadi suku kata.Dalam periode tertentu, setelah murid mengerti suku kata, diteruskan,
Ø  Memisahkan suku kata menjadi huruf.Dalam fase ini, barulah murid diajarkan bunyi tiap-tiap huruf (pertengahan tahun).
Ø  Setelah murid mengenal huruf, diajarkan menyusun huruf menjadi suku kata.
Ø  Menyusun suku kata menjadi kata.
Ø  Menyusun kata menjadi kalimat.
Untuk melaksanakan proses menyusun kembali, dapat dilakukan dengan bermacam permainan yang menarik. Contoh pembelajaran yang cocok menerapkan teori kognitif selain pada pelajaran bahasa : seperti mengarang, menganalisis isi buku, juga pada pelajaran fisika, kimia atau biologi: yaitu dengan metode belajar yang berbasis masalah (studi kasus), eksperimen. Dan pada pelajaran IPS berupa observasi, wawancara dan membuat laporannya.
3.      Dalam metodik mengajar
Sangat penting artinya bagi individu (murid), bila ia dapat menemukan pemahaman (insight) dengan caranya sendiri tanpa diberi tahu. Karena  itu guru harus pandai mengatur strategi (membuat siasat) bagaimana cara mengajar untuk menimbulkan pemahaman (insight) oleh murid sendiri tanpa murid merasa digurui secara langsung. Buatlah siasat agar murid menemukan pemahaman sendiri. Metode ini terkenal dengan metode problem solving (pemecahan masalah).


BAB 8
TEORI JEAN PIAGET
Rima Ridha, Alawiyah Husna, Adam Auton Afrilian

Konsep Utama Jean Piaget
Inteligensi
Lingkungan dan organisme senantiasa berubah, sebuah interaksi yang “cerdas”  antara keduanya juga pasti terus-menerus berubah . Menurut Piaget, intelegensi adalah bagian integral dari setiap organisme karena semua organisme yang hidup selalu mencari kondisi yang kondusif untuk kelangsungan hidup mereka. Teori Piaget sering disebut sebagai genetic epistemology ( epistemologi genetik ) karena teori ini berusaha melacak perkembangan kemampuan intelektual.
Menurut Piaget, inteligensi dapat dilihat dari 3 perspektif berbeda :
1.      Struktur Disebut juga scheme (skemata/Schemas). Struktur & organisasi terdapat di lingkungan, tapi pikiran manusia lebih dari meniru struktur realita eksternal secara pasif. Interaksi pikiran manusia dengan dunia luar, mencocokkan dunia ke dalam “mental framework”-nya sendiri. Struktur kognitif merupakan mental framework yg dibangun seseorang dengan mengambil informasi dari lingkungan & menginterpretasikannya, mereorganisasikannya serta mentransformasikannya (Flavell, Miller & Miller) Dua  hal penting yg harus diingat tentang membangun struktur kognitif :
a.       seseorang terlibat secara aktif dalam membangun proses.
b.      lingkungan dimana seseorang berinteraksi penting untuk perkembanga struktural.
2.      Isi Disebut juga content, yaitu pola tingkah laku spesifik tatkala individu menghadapi sesuatu masalah. Merupakan materi kasar, karena Piaget kurang tertarik pada apa yg anak-anak ketahui, tapi lebih tertarik dengan apa yang mendasari proses berpikir. Piaget melihat “isi” kurang penting dibanding dengan struktur & fungsinya, Bila isi adalah “apa” dari inteligensi, sedangkan “bagaimana” & “mengapa” ditentukan oleh kognitif atau intelektual.
3.       Fungsi Disebut fungtion, yaitu suatu proses dimana struktur kognitif dibangun. Semua organisme hidup yg berinteraksi dengan lingkungan mempunyai fungsi melalui proses organisasi & adaptasi. Organisasi: cenderung untuk mengintegrasi diri & dunia ke dalam suatu bentuk dari bagian-bagian menjadi satu kesatuan yg penuh arti, sebagai suatu cara untuk mengurangi kompleksitas.


Skemata
istilah skema atau skemata yang diberikan oleh Piaget untuk dapat menjelaskan mengapa seseorang memberikan respon terhadap suatu stimulus dan untuk menjelaskan banyak hal yang berhubungan dengan ingatan. Skema adalah istilah penting yang amat penting dalam teori piaget. Suatu skemata dapat dianggap sebagai eleman dalam struktur kognitif organisme. Skema yang ada dalam organisme akan menentukan bagaimana ia akan merespon lingkungan fisik. Skemata dapat muncul dalam bentukperilaku yang jelas, seperti dalam kasus refleks memegang, atau dapat muncul secara tersamar. Manifestasi skema yang tidak jelas dapat disamakan dengan tindak berfikir.
Skema adalah struktur kognitif yang digunakan oleh manusia untuk mengadaptasi diri terhadap lingkungan dan menata lingkungan ini secara intelektual. Seorang anak dilahirkan dengan sedikit refleks yang terorganisir, seperti menyedot, melihat, menggapai, dan memegang. Alih-alih mendiskusikan kejadian individual dari refleks ini, Piaget lebih memilih berbicara tentang potensi umum untuk melakukan hal-hal seperti menghisap, menatap, menggapai, atau memegang. Potensi untuk bertindak dengan cara tertentu ini disebut dengan schema (skema=tunggal, skemata=jamak).
Misalnya, skema memegang adalah kemampuan umum untuk memegang sesuatu. Skema lebih dari sekedar manifestasi refleks memegang saja. Skema memegang dapat dianggap sebagai struktur kognitif yang membuat semua tindakan memegang bisa dimungkinkan.
Ketika setiap tindakan memegang tertentu akan diamati atau dideskripsikan, maka seseorang mesti berbicara dalam term respon spesifik terhadap stimuli spesifik. Aspek manifestasi partikular dari skema ini dinamakan content (isi). Jelas, cara anak menghadapi lingkungannya akan berubah-ubah seiringnya dengan pertumbuhan si anak. Agar terjadi interaksi organisme-lingkungan, skemata yang tersedia untuk anak harus berubah.


Asimilasi dan Akomodasi
Jumlah skemata yang tersedia untuk organisme pada waktu tertentu menrupakan cognitive structu (struktur kognitif) organisme tersebut. Proses merespon lingkungan sesuai dengan srtuktur kognitif seseorang disebut denga Assilimation (asimilasi), yakni jenis pencocokan atau penyesuaian antara struktur kognitif dengan lingkungan fisik. Struktur kognitif yang eksis pada momen tertentu akan dapat diasimilasikan oleh orgamisme.
Asimilasi itu suatu proses kognitif, dengan asimilasi seseorang mengintegrasikan bahan-bahan persepsi atau stimulus ke dalam skema yang ada atau tingkah laku yang ada. Asimilasi berlangsung setiap saat. Seseorang tidak hanya memperoses satu stimulis saja, melainkan memproses banyak stimulus. Secara teoritis, asimilasi tidak menghasilkan perubahan skemata, tetapi asimilasi mempengaruhi pertumbuhan skemata. Dengan demikian asimilasi adalah bagian dari proses kognitif, denga proses itu individu secara kognitif megadaptsi diri terhadap lingkungan dan menata lingkungan itu.
Misalnya, jika skema menghisap, menatap, menggapai, dan memegang sudah tersedia bagi si anak, maka segala sesuatu yang dialami anak akan diasimilasikan ke skemata itu. Saat struktur kognitif berubah, maka anak mungkin bisa mengasimilasikan aspek-aspek yang berbeda dari lingkungan fisik.
Akomodasi dapat diartikan sebagai penciptaan skemata baru atau pengubahan skemata lama. Asimilasi dan akomodasi terjadi sama-sama saling mengisi pada setiap individu yang menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Proses ini perlu untuk pertumbuhan dan perkembangann kognitif. Antara asimilasi dan akomodasi harus ada keserasian dan disebut oleh Piaget adalah keseimbangan.
Asimilasi dan akomodasi disebut sebagai functional invariants (invarian fungsional) karena mereka terjadi di semua level perkembangan intelektual. Tetapi jelas, bahwa pengalaman sebelumnya cenderung melibatkan lebih banyak akomodasi ketimbang pengalaman yang kemudian karena semakin banyak hal-hal yang dialami akan berhubungan dengan struktur kognitif yang ada, dan membuat akomodasi subtansial makin tak diperlukan saat individu bertambah dewasa.

Ekuilibrasi
   Ekuilibrasi secara sederhana didefinisikan sebagai dorongan terus-menerus ke arah keseimbangan atau Ekuilibrium     Yaitu keseimbangan antara skema yang digunakan dengan lingkungan yang direspons sebagai hasil ketepatan akomodasi . Dalam proses adaptasi dengan lingkungan individu berusaha mencapai struktur mental atau skemata yang stabil. Yaitu keseimbangan antara proses asimilasi dan akomodasi. Seandainya hanya asimilasi secara kontinu maka yang bersangkutan hanya akan memiliki beberapa skemata global dan ia tidak mampu melihat perbedaan antara berbagai hal. Sebaliknya jika hanya akomodasi saja secara kontinu, maka hanya memiliki skemata kecil-kecil saja dan mereka tidak memiliki skemata yang umum. Dan tidak akan mampu melihat persamaan antara berbagai hal. Dengan keseimbangan ini maka efisiensi interaksi antara anak yang sedang berkembang dengan lingkungannya dapat tercapai dan terjamin. Dengan kata lain terjadi keseimbangan antara faktor-faktor internal dan faktor eksternal. Proses akomodasi adalah proses memodifikasi struktur kognitif yang sudah dimiliki dengan informasi yang diterima. Proses asimilasi dan akomodasi akan menimbulkan ketidakseimbangan antara yang telah diketahui dengan apa yang dilihat atau dialaminya sekarang. Proses ketiakseimbangan ini harus disesuaikan melalui proses ekuilibrasi. Proses ekuilibrasi ini merupakan proses yang berkesinambungan antara proses asimilasi dan akomodasi. Proses ini akan menjaga stabilitas mental dalam diri pembelajar dan ia akan dapat terus mengembangkan dan menambah pengetahuannya.
Perubahan struktur kognitif yang dipengaruhi oleh proses adaptasi tersebut melalui tahap-tahap perkembangan tertentu sesuai dengan umurnya dan bersifat hierarki. Seseorang harus melalui urutan tertentu dan tidak dapat belajar sesuatu yang berada di luar tahap kognitifnya. Piaget membagi tahap-tahap perkembangan kognitif ini menjadi empat.Kemampuan bayi melalui tahapan ini bersumber dari tekanan biologis untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan (melalui asimilasi dan akomodasi) serta adanya pengorganisasian struktur berpikir.Tahapan ini secara kualitatif berbeda pada setiap individu.Demikian pula, pemikiran seorang anak berbeda pada setiap tahap.Desmita mengutip dari Mussen (1969) mengatakan bahwa Piaget tidak menegaskan batasan umur dalam masing-masing tahap.Batasan umur tersebut diberikan oleh Ginsburg dan Opper. Piaget berasumsi bahwa semua organisme punya tendensi bawaan untuk menciptakan hubungan harmonis antara dirinya dengan lingkungannya (Hergenhanhn dan Olson, 2008, hal. 316). Jika lingkungan yang ditemui oleh seseorang berubah maka akan terjadi ketidakseimbangan antara struktur kognitifnya dengan lingkungan tersebut. Namun karena adanya tendensi bawaan seperti yang diasumsikan oleh Piaget tersebut maka seseorang akan melakukan akomodasi sehingga tercapai keseimbangan antara struktur kognitifnya dengan lingkungannya.
Tendesi bawaan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengorganisasikan pengalaman agar mendapatkan adaptasi yang optimal dengan lingkungannya itu dinamakan ekuilibrasi. Konsep ekuilibrasi ini sejajar dengan konsep hedonisme Freud atau konsep aktualisasi diri Maslow dan Jung.
Ekuilibrium menunjuk pada relasi antara individu dan sekelilingnya, terutama sekali pada relasi antara struktur kognitif individu dan struktur sekelilingnya. Di sini ada keadaan seimbang bila individu tidak lagi perlu mengubah hal-hal dalam kelilingnya untuk mengadakan asimilasi dan juga tidak harus mengubah dirinya untuk mengadakan akomodasi dengan hal-hal yang baru.

Interiorisasi
Interiorisasi merupakan penurunan ketergantungan pada lingkungan fisik dan meningkatnya penggunaan struktur kognitif. Hal ini berjalan sesuai dengan tahap perkembangan dimana pada awalnya anak akan sangat mengandalkan lingkungan untuk memahami dunia dan sampai pada akhirnya, individu akan lebih menggunakan konsep-konsep yang abstrak.
Apabila struktur kognitif makin luas, anak- anak mampu merespons situasi yang lebih kompleks. Mereka juga tidak terlalu bergantung pada situasi sekarang. Misalnya, mereka mampu ”memikirkan” obyek yang sebelumnya tidak mampu mereka pikirkan. Apa yang kini dialami anak adalah fungsi dari lingkungan fisik dan struktur kognitifnya, yang merefleksikan akumulasi pengalaman sebelumnya.
Misalnya Respon awal bayi terhadap lingkungan melibatkan skemata bawaan. Karena adanya akomodasi maka secara perlahan struktur kognitif bayi akan bertambah. Dengan bertambahnya struktur kognitif maka kemudian seseorang akan mampu merespon situasi yang lebih kompleks. Semakin berkembang struktur kognitifnya maka semakin mudah seseorang untuk merespon lingkungannya. Mereka tidak lagi bergantung pada hal-hal yang berkaitan dengan situasi sekarang. Mereka mampu memikirkan sesuatu yang tidak hadir saat ini. Meningkatnya struktur kognitif dan menurunnya ketergantungan seseorang terhadap lingkungan fisiknya ini dinamakan interiorisasi.
Pada awalnya adaptasi bayi terhadap lingkungannya biasanya jelas kelihatan, langsung tanpa pemikiran. Semakin bertambahnya usia dan pengalaman maka semakin banyak ia melakukan interiorisasi sehingga adaptasi seseorang menjadi tidak tampak. Mereka lebih banyak melibatkan tindakan internal daripada eksternal. Seseorang yang diberi kertas tidak akan lagi langsung memasukan kertas tersebut ke mulutnya namun secara mental dapat memikirkan apa yang terbaik untuk dilakukan terhadap kertas tersebut. Piaget menyebut proses berfikir terebut sebagai operasi. Jadi, Interiorisasi adalah proses dengannya tindakan adaptif menjadi makin tersamar. Dalam kenyataannya, operasi dapat dianggap sebagai tindakan interiorisasi


Konsep Perkembangan piaget
Tahap- Tahap Perkembangan Kognitif Piaget
Aspek penting dalam teori­ piaget adalah deskripsi mengenai empat tahap perkmbangan kogntif yang berbeda, dengan pola pemikiran yang unik. Oleh karena itu tahap bertumpu pada pencapaian-pencapaian yang telah diraih dalam tahap-tahap sebelumny, anak-anak menjalani tahap=tahap tersebut dalam urutan yang sama tanpa terkecuali. Berikut tahap tahap perkembangan kognitif dalam teori piaget:
1.      Tahap sensomotori (kelahiran hingga usia 2 tahun)
Sensori motor dicirikan tidak adanya bahasa. Karena anak-anak tidak menguasai kata untuk suatu benda, maka benda itu tidak akan eksis bagi anak jika anak tidak menghadapinya secara langsung. Interaksi dengan lingkungan hanya berkaitan dengan keadaan saat ini. Anak- anak pada tahap ino bersikap egosentris. Pada akhir tahap ini, anak mengembangkan konsep kepermanenan object. Dengan kata lain, merekA akan mulai menyadari bahwa objec tetap ada meski mereka tidak melihatnya (Olson:318).
Piaget mengemukakan bahwa sebagian besar tahap sensimoto, anak-anak berfokus pada apa yang mereka lakukan dan dilihat pada saat itu, skema-skema mereka tersusun berdasarkan perilaku dan persepsi. Meski demikian, kmampuan-kemampuan kognitif yang penting muncul selama periode ini, terutama saat anak mulai bereksperimaen dengan lingkungannya melalui prinsip trial and error.
Piaget menyatakan bahwa kemampuan berfikir yang sesungguhnya muncul pada usia dua tahun setengah. Secara spesifik, anak memperoleh kemampuan berfikir simbolik, yakni kemampuan mempresentasikan dan memikirkan objek-objek dan peristiwa-peristiwa dalam kerangka entitas-entitas internal atau simbolik. Seringkali symbol-simbol ini berbentuk kata-kata yang didengar anak-anak dari dunia  disekeliling mereka, dan yang digunakan dalam kalimat-kalimat satu kata mereka (Ormond:44).

2.      Tahap preoperational thinking (2 tahun hingga sekitar 6 atau 7 tahun)
Pada masa-masa tahap praoperasional, ketrampilan bahasa anak akan berkembang pesat dan penguasaan kosa kata yang meningkat memungkinkan mereka mengekspresikan dan memikirkan beragam objek dan peristiwa.bahasa juga menjadi dasar bagi bentuk interaksi social yang baru yaitu komunikasi verbal. Pada tahap ini, anak-anak juga mengekspresikan pemikiran-pemikiran mereka dan juga menerima informasi yang sebelumnya tidak mungkin terjadi.
Pada tahap preoperational thinking ini terbagi menjadi dua:
a.       Pemikiran prakonseptual ( sekitar 2-4 tahun)
Pada tahap ini anak-anak mulai membentuk konsep sederhana. Mereka mulai mengklasifikasikan benda-benda dalam kelompok tertentu berdasarkan kemiripannya, akantetapi mereka banyak melakukan klesalahan lantaran kensep mereka.
b.      Periode pemikiran intuitif (sekitar 4-7 tahun)
Pada tahap ini anak-anak mulai memecahkan masalah secara intuitif, bukan berdasarkan kaidah-kaidah logika. Ciri yang paling menonjol  dari pemikiran anak pada tahap ini adalah kegagalannya untuk mengembangkan konservasi. Konservasi adalah kemampuan yang muncul sebai hasil dari akumulasi anak dengan lingkungan, dan bukan kemampuan yang dapat diajarkan sampai anak memiliki pengalaman awal.
Pemikiran praoperasional juga memiliki sejumlah keterbatasan tertentu, sebagai contoh anak dalam tahap praoperasional menunjukkan egosentrisme praoperasional yaitu ketidakmampuan memandang situasi dari perspektif orang lain.  Egosentris praoperasional terkadang ditampilkan dalam bentuk percakapan egosentris yaitu ketika anak mengatakan sesuatu tanpa mempertimbangkan apa yang mungkin diketahui atau tidak diketahui pendengar terkait suatu topic yang dibicarakan.

3.      Tahap operasional kongkrit (6batau 7 tahun hingga 11 atau 12 tahun)
Menurut piaget, saat anak-anak memasuki tahap operasional kongkret, proses-proses berfikir mereka menjadi terorganisasi ke system proses-proses mental yang lebih besar, operasai yang memudahkan mereka berfikir logis daripada sebelumnya (Ormond:45).
Pada tahap ini anak mulai mengembangkan kemampuan untuk mempertahankan konservasi, kemampuan mengelompokkan secara memadai, melakukan pengurutan ( dari yang terkecil sampai paling besar dan sebaliknya), dan menangani konsep angka. Akan tetapi selama tahap ini proses pemikiran diarahkan pada kejadian riil yang diamati oleh anak. Anak dapat melakukan operasi problem yang agak kompleks selama problem itu konkret dan tidak abstrak (Olson:320).
4.      Tahap operasional formal (11 atau 12 tahun hingga dewasa)
Pemikiran anak pada tahap ini sudah semakin logis. Anak dapat menangani situati hipotesis dan proses berfikir mereka yang tak lagi tergantung hanya pada hal-hal yang langsung dan riil (ibid).
Anak-anak dan remaja yang berada dalam tahap ini dapat memikirkan dan membayangkan konsep-konsep yang tidak berhubungan dengan realitas konkret. Selain itu, mereka juga mengenali kesimpulan yang logis, sekalipun kesimpulan tersebut berbeda dari kenyataan dikehidupan sehari-hari (Ormond:47).

Implementasi teori belajar Piaget
Piaget, dalam Bringuier, 1980, hlm. 110.
Teori jean  piaget tentang perkembangan kognitif memberikan batasan kembali tentang kecerdasan, pengetahuan dan hubungan anak didik dengan lingkungan. Kecerdasan merupakan proses yang berkesinambungan yang membentukstruktur yang diperlukan dalam interaksi terus menerus dengan lingkungan. Struktur yang dibentuk oleh kecerdasan, pengetahuan sangat subyektif waktu masih bayi dan masa kanak-kanak awal dan menjadi objektif dalam masa awal.
Piaget juga memberikan proses pembentukan pengetahuan dari pandangan yang lain, ia meragukan pengalaman fisik atau pengetahuan eksogen, yang merupakan abstraksi dari ciri-ciri dari obyek,pengalaman logis matematis atau pengetahuan endogen disusun melalui reorganisasi proses pemikiran anak didik. Struktur tindakan, operasi kongkrit dan operasi formal dibangun dengan jalan logis- matematis.
Implikasi teori perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah:
1.      Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa. Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa yang sesuai dengan cara berfikir anak.
2.      Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
3.      Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru tetapi tidak asing.
4.      Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap perkembangannya.
5.      Di dalam kelas, anak-anak hendakny adiberi peluang untuk saling berbicara dan berdiskusi.

Pengaplikasian teori kognitif dalam belajar bergantung pada akomodasi. Kepada siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tidak dapat belajar dari apa yang telah diketahui saja. Dengan adanya area baru, siswa akan mengadakan usaha untuk dapat mengakomodasikan. Situasi atau area itulah yang akan mempermudah pertumbuhan kognitif.
Secara terinci, dibawah ini adalah penerapan teori Piaget terhadap pendidikan di kelas:
1.      Karena cara berpikir anak itu berbeda-beda dan kurang logis di banding dengan orang dewasa, maka guru harus dapat mengerti cara berpikir anak, bukan sebaliknya anak yang beradaptasi dengan guru.
2.      Anak belajar paling baik dengan menemukan (discovery). Artinya disini adalah agar pembelajaran yang berpusat pada anak berlangsung efektif, guru tidak meninggalkan anak-anak belajar sendiri, tetapi mereka member tugas khusus yang dirancang untuk membimbing para siswa menemukan dan menyelesaikan masalah sendiri.
3.      Pendidikan disini bertujuan untuk mengembangkan pemikirananak, artinya ketika anak-anak mencoba  memecahkan masalah, penalaran merekalah yang lebih penting daripada jawabannya. Oleh sebab itu guru penting sekali agar tidak menghukum anak-anak untuk jawaban yang salah, tetapi sebaliknya menanyakan bagaimana anak itu member jawaban yang salah, dan diberi pengertian tentang kebenarannya atau mengambil langkah-langkah yang tepat untuk menanggulanginya.
4.      Guru  dapat  menemukan menemukan dan menetapkan tujun pembelajaran materi pelajaran atau pokok bahasan pengajaran tertentu.

Slavin : implikasi dari teori Piaget dalam pembelajaran :
1.      Memfokuskan pada proses berfikir atau proses mental anak tidak sekedar pada produknya. Di samping kebenaran jawaban siswa, guru harus memahami proses yang digunakan anak sehingga sampai pada jawaban tersebut.
2.      Pengenalan dan pengakuan atas peranan anak-anak yang penting sekali dalam inisiatif diri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan pembelajaran. Dalam kelas piaget, penyajian materi jadi (ready made) tidak diberi penekanan, dan anak-anak didorong untuk menemukan dirinya sendiri melalui interaksi spontan dengan lingkungan.
3.      Tidak menekankan pada peraktek-peraktek yang diarahkan untuk menjadikan anak-anak seperti orang dewasa dalam pemikirannya.
4.      Penerimaan terhadap perbedaan individu dalam kemajuan perkembangan, teori piaget mengasumsikan bahwa seluruh anak berkembang melalui urutan perkembangan yang sama namun mereka memperolehnya dengan kecepatan yang berbeda.

Anak yang memiliki kecerdasan rendah akan bermain dg orang yang lebih muda, sedangkan anak yang memiliki kecerdasan tinggi lebih suka bermain dengan orang yang lebih dewasa.



BAB 9
TEORI PERKEMBANGAN KOGNITIF VYGOTSKY
Ummil Atiqoh, Inayatul Ilmiyah, Dwi Nofika Sari, Azzahra Lani Chabibah A.


Latar Belakang Teori Vygotsky
Sejarah hidup Lev Vygotsky bermula ketika beliau dilahirkan pada tahun 1896 dan meninggal dunia pada tahun 1934. Beliau merupakan seorang psikologi berbangsa Rusia. Beliau juga seorang guru dan sarjana sastera. Beliau mendapatkan pendidikan awal dari ibunya sendiri yang merupakan seorang guru dan mempunyai seorang tutor peribadi yang bernama Solomon Ashpiz. Beliau turut mendapat pengaruh dari sepupunya David Vygotsky. Beliau meneruskan pengajian sekolah menengahnya di sebuah sekolah persendirian. Menamatkan pengajian sekolah menengahnya dengan anugerah medal emas. Beliau menamatkan pengajian di Moscow State University pada 1917. Setelah tamat pengajian, beliau bekerja di beberapa tempat. Antaranya ialah Institut Psikologi pada pertengahan 1920 dan di beberapa pusat pendidikan di Moscow, Lerningrad dan Kharkow di mana beliau bekerja keras menyatakan ideanya tentang perkembangan kognitif.
Vygotsky menekankan pentingnya memanfaatkan lingkungan dalam pembelajaran. Lingkungan sekitar siswa meliputi orang-orang, kebudayaan, termasuk pengalaman dalam lingkungan tersebut. Orang lain merupakan bagian dari lingkungan (Taylor, 1993), pemerolehan pengetahuan siswa bermula dari lingkup sosial, antar orang, dan kemudian pada lingkup individu sebagai peristiwa internalisasi (Taylor, 1993). Vygotsky menekankan pada pentingnya hubungan antara individu dan lingkungan sosial dalam pembentukan pengetahuan yang menurut beliau, bahwa interaksi sosial yaitu interaksi individu tersebut dengan orang lain merupakan faktor terpenting yang dapat memicu perkembangan kognitif seseorang. Vygotsky berpendapat bahwa proses belajar akan terjadi secara evisien dan efektif apabila anak belajar secara kooperatif dengan anak-anak lain dalam suasana dan lingkungan yang mendukung (supportive), dalam bimbingan seseorang yang lebih mampu, guru atau orang dewasa.

Asumsi – Asumsi Dasar Vygotsky
Vygotsky meyakini bahwa orang-orang dewasa dimasyarakat mendorong perkembangan kognitif anak secara sengaja dan sistmatis. Orang dewasa secara bersianambung melibatkan anak-anak dalam aktivitas-aktivitas yang bermankna dan menantang, dan membantu mereka melakukan aktivitas-aktivitas tersebut dengan sukses. Vygotsky menekankan pentingnya masyarakat dan budaya dalam mendorong pertumbuhan kognitif sehingga teorinya terkadang disebut sebagai persektif sosiokultural (sociocultural persperctive). Asumsi-asumsi utama ini menyajikan rangkuman perspektef ini:
1.      Melalui percakapan informal dan sekolah formal , orang-orang dewasa menyampaikan kepada anak bagaimana kebudayaan mereka menafsirkan dan menanggapi dunia.
Vygotsky mengemukakan bahwa saat berinteraksi dengan anak-anak, orang dewasa membagikan makna (meanings) yang mereka lekatkan pada objek, peristiwa, dan secaralebih umum, ke pengalaman manusia. Dalam proses tersebut, mereka mengubah, atau memediasi, situasi-situasi yang dijumpai anak. Makna-makna tersebut disampaikan melalui beragam mekanisme, diantaranya bahasa (bahsa lisan, tulisan), simbol-simbol matematika, kesenian, musik, literatur, dan sebagainya.
Percakapan-percakapan informal adalah metode yang lazim dipergunalan orang dewasa untuk menyampaikan cara-cara menafsirkan situasi sesuai budaya yang berlaku. Namun yang lebih penting lagi adalah pendidikan formal, yang menjadi sarana para guru untuk secara sistematis menanamkan gagasan gagasan, konsep-konsep, dan terminologi terminologi yang digunakan dalam beragam disiplin akademik. Kebudayaan secara spesifik menanamkan konsep-konsep, gagasan-gagasan, dan keyakinan-keyakinan yang unik; dengan demikian anak-anak yang berasal dari latar belakang kebudayaan yang berbeda akan mendapatkan pengetahuan, keterampilan dan cara berpikir yang berbeda pula. Teori vygotsky mendorong kita mengantisipasi adanya keragaman pada anak-anak, setidaknya dalah hal perkembangan kognitif.

2.      Setiap kebudayaan menanamkan perangkat-perangkat fisik dan kognitif yang menjadikan kehidupan sehari-hari semakin produktif dan efisien.
Orang dewasa tidak hanya mengajari anak-anak cara-cara spesifik menafsirkan pengalaman, tetapi juga sejumlah perangkat (tools) spesifikyang dapat membantu anak mengatasi berbagai tugas dan permasalahan yang dihadapinya. Sejumlah perangkat misalnya (gunting, mesin jahit, dan komputer) adalah objek fisik. Ada pula perangkat-perangkat lain (seperti strategi mempelajari buku pelajaran atau menghitung uang kembalian dalam benak) yang tidak memiliki landasan fisik apapun. Sejumlah perangkat lain misalnya ( sistem menulis, peta, dan spreadsheet) melibatkan simbol sekaligus entitas fisik. Dalam pandangan Vygotsky, keberhasilan memperoleh perangkat-perangkat yang bersifat simbolik atau mental -perangkat-perangkat kognitif  (cognitive tools)- secara signifikan meningkatkan kemampuan berfikir anak.
3.      Pemikiran dan bahasa menjadi semakin saling tergantung dalam beberapa tahun pertama kehidupan .
Satu alat yang kognitif sangat penting adalah bahasa . Bagi kita sebagai orang dewasa, pemikiran dan bahasa saling berhubungan. Selain itu, biasanya kita mengungkapkan pikiran kita ketika kita berkomunikasi dengan yang lain , Pada tahun-tahun awal kehidupan , berpikir terjadi secara independen dari bahasa , dan ketika bahasa muncul , itu pertama kali digunakan terutama sebagai sarana komunikasi bukan sebagai mekanisme pemikiran . Tapi kadang-kadang sekitar usia 2 tahun , pemikiran dan bahasa menjadi saling terkait : Anak mulai untuk mengungkapkan pikiran mereka ketika mereka berbicara, dan mereka mulai berpikir dari segi kata-kata . Ketika berpikir dan berbahasa , anak-anak sering berbicara untuk diri mereka sendiri dan dalam melakukan jadi mungkin tampak berbicara dalam ” egosentris ” cara jelas Piaget.
Dalam pandangan Vygotsky , seperti self-talk ( juga dikenal sebagai pidato pribadi ) memainkan peran penting dalam perkembangan kognitif . Dengan berbicara kepada diri mereka sendiri , anak-anak belajar untuk membimbing dan mengarahkan perilaku mereka sendiri melalui tugas yang sulit dan manuver yang kompleks dalam banyak cara yang sama bahwa orang dewasa telah membimbing mereka sebelumnya. Self-talk akhirnya berkembang menjadi inner speech , di mana anak-anak berbicara sendiri lewat mental bukan lewat suara . Artinya , mereka terus mengarahkan diri secara verbal melalui tugas dan kegiatan , tetapi yang lain tidak bisa lagi melihat dan mendengar yang mereka melakukan.
4.   Proses mental yang Kompleks bermula sebagai aktivitas-aktivitas social seiring perkembangan, anak-anak secara berangsur-angsur menginternalisasikan proses-proses yang mereka gunakan dalam konteks-konteks social dan mulai menggunakannnya secara independen.
Vygotsky mengemukakan bahwa banyak proses berpikir yang kompleks berakar pada interaksi social ini. Saat anak memperbincangkan berbagai objek, peristiwa dan masalah dengan orang dewasa atau individu-indivu berpengetahuan- seringkali dalam konteks aktivitas sehari-hari, anak-anak secara berangsur-angsur mengagabungkan kedalam pikiran mereka, cara orang-orang disekelilingnya membicarakan dan menafsirkan dunia, dan juga mulai menggunakan kata, konsep, symbol, dan strategi pada dasarnya, perangkat yang lazim dalam budaya mereka.
Proses berkembangnya aktivitas-aktivitas social menjadi aktivitas-aktivitas mental internal disebut internalisasi (internalization). Proses pergerakan dari self talk ke inner speech. Seiring waktu anak perkahan-lahan menginternalisasikan arahan orang dewasa sehingga pada akhirnya mereka memberikan arahan kepada diri mereka sendiri. Meski demikian camkanlah bahwa anak-anak tidak selalu menginternalisasikan secara tepat apa yang mereka lihat dan dengar dalam konteks social. Tidak semua proses mental muncul saat nak berinteraksi dengan orang dewasa: beberapa proses mental berkembang saat anak berinteraksi dengan rekan sebayanya.
5.    Anak-anak dapat menyelesaikan tugas-tugas lebih sulit ketika mereka memiliki bantuan dari banyak orang yang lebih paham/pandai dan kompeten dari diri mereka .
Vygotsky membedakan dua  jenis kemampuan yang mencirikan kemampuan anak-anak pada segala tahap perkembangan. Tingkat Perkembangan Aktual (Actual Developmental Level) adalah batas atas tugas yang dapat dikerjakan anak secara independen, tanpa bantuan orang lain. Tingkat Perkembangan Potensial (Level Of Potential Development) adalah batas atas tugas yang dapat dikerjakan anak dengan bimbingan seorang individu yang lebih kompeten. Dalam rangka memperoleh pemahaman yang sejati mengenai perkembangan kognitif anak, saran Vygotsky, kita seharusnya menilai (assess) kemampuan-kemampuan mereka saat mereka bekerja sendiri ataupun saat dibimbing orang lain.
6.   Tugas Menantang mendorong pertumbuhan kognitif yang maksimal.
Berbagai tugas bahwa anak-anak belum biasa melakukan secara mandiri tetapi dapat melakukan dengan bantuan dan bimbingan dari orang lain , di terminologi Vygotsky, zona perkembangan proksimal ( ZPD) ( lihat Gambar berikut ) . ZPD Seorang anak termasuk belajar dan kemampuan pemecahan masalah yang baru mulai muncul dan mengembangkan kemampuan secara matang .ZPD setiap anak akan berubah seiring waktu . sebagai beberapa tugas yang dikuasai, yang lebih kompleks akan muncul untuk menyajikan tantangan baru . Singkatnya , itu adalah tantangan dalam hidup , daripada keberhasilan mudah, yang mempromosikan perkembangan kognitif .


Gambar 1.1
Tugas di zona anak perkembangan proksimal (ZPD) mempromosikan pembelajaran maksimal dan pertumbuhan kognitif.
7.      Bermain memungkinkan anak-anak untuk ” meregangkan “ kognitif sendiri.
Dalam bermain anak selalu berperilaku melampaui rata-rata usianya, di atas perilaku sehari-hari, dalam bermain itu seolah-olah dia adalah kepala lebih tinggi dari dirinya sendiri ” ( Vygotsky , 1978, hlm.102) Selain itu, karena anak-anak bermain, perilaku mereka harus mengikuti standar atau harapan tertentu. Pada tahun-tahun awal sekolah dasar , anak-anak sering bertindak sesuai dengan bagaimana seorang ayah,guru,atau pelayan akan berperilaku. Dalam pertandingan grup terorganisir dan olahraga yang datang kemudian, anak-anak harus mengikuti set spesifik aturan. Dengan berpegang pada batasan tertentu pada perilaku mereka, anak-anak belajar untuk merencanakan ke depan , untuk berpikir sebelum bertindak, dan untuk terlibat dalam menahan diri - keterampilan yang penting untuk partisipasi sukses di dunia orang. (Ormrod, 2008:55)

Terjadinya Perkembangan
Teori vygotsky mengatakan bahwa pembelajaran mendahului perkembangan, bagi vygotsky pembelajaran melibatkan perolehan tanda-tanda melalui pengajaran dan informasi dari orang lain. Perkembangan melibatkan penghayatan anak terhadap tanda-tanda ini sehingga sanggup berpikir dan memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain. Kemampuan ini di sebut pengaturan diri (self-regulation).
Tahap pertama pada perkembangan pengaturan diri dan pemikiran mandiri ialah mempelajari bahwa tindakan dan suara mempiunyai makna. Misalnya, seorang bayi belajar bahwa proses menarik suatu objek ditafsirkan oleh orang lain sebagai isyarat bahwa bayi itu menginginkan objek tersebut. Dalam kasus pengusahaan bahasa, anak-anak belajar menghubungkan suara tertentu dengan makna. Tahap kedua pada perkembangan struktur perkembangan internal dan pengaturan diri melibatkan praktik. Bayi tersebut melatih gerakan tubuh yang akan memperoleh perhatian. Anak-anak prasekolah akan terlibat kedalam percakapan dengan orang lain agar dapat mengusai bahasa. Tahap terakhir melibatkan pengunaan tanda untuk berpikir dan memecahkan masalah tanpa bantuan orang lain. Pada saat ini, anak-anak akhirnya mandiri dan sisitem tanda telah dihayati.

a.       Percakapaan pribadi
Percakapan pribadi (private speech) adalah mekanisme yang ditekankan vygotsky untuk mengubah pengetahuan bersama menjadi pengetahuan pribadi. Vygotsky berpendapat bahwa anak-anak menyerap percakapan orang lain dan kemudian mengunakan percakapan itu untuk membantu diri sendiri memecahkan masalah. Percakan pribadi mudah dilihat pada diri anak-anak kecil, yang sering berbicara dengan diri sendiri, khususnya ketika dihadapkan dnegan kasus yang sulit. Kemudian percakapan pribadi akhirnya berlangsung tanpa suara tetapi masih sangat berperan penting. Studi telah menemukan bahwa anak-anak yang melakukan banyak pengunaan percakapan pribadi mempelajari tugas yang rumit dengan lebih efektif daripada anak-anak lain.
b.      Zona perkembangan proksimal
Teori vygotsky menyiratkan bahwa perkemabnagan kognisi dan kemampuan menggunakan pemikiran untuk mengendalikan tindakan kita sendiri terlebih dahulu memerlukan penguasaan system komunikasi budaya dan kemudian belajar menggunakan system ini untuk mengatur proses pemikiran kita sendiri. Sumbangan terpenting teori vygotsky ialah penekanan pada hakikat pembelajaran sosiobudaya, dia percaya bahwa pembelajaran terjadi ketika anak-anak bekerja dalam zona perkembangan proksiamal (zona of proximal development; proximal= berikutnya) mereka. Tugas-tugas dalam zona perkembangan proksimal adalah sesuatu yang masih belum dapat dikerjakan seorang anak sendirian tetapi benar-benar dapat dikerjakan dengan bantuan teman yang lebih kompeten atau orang dewasa. Maksudnya, zona perkembangan proksimal menjelaskan tugas yang masih belum dipelajari seorang anak tetapi sanggup dia pelajari pada waktu tertentu. Beberpqa pendidik menyebut “saat pengajaran” (teachable moment) ketika seorang anak atau sekelompok anak berada tepat pada titik kesiapan untuk menerima konsep tertentu. Vygotsky lebih jauh percaya bahwa keberfungsian mental yang lebih tinggi biasanya terjadi pada percakapan dan keja sama antar-orang sebelum hal itu terjadi pada diri individu.
c.       Pentanggaan
Gagasan kunci yang berasal dari pendapat vygotsky tentang pembelajaran social ialah pentanggaan (scaffolding; scaffold=tangga untuk pijakan tukang batu ketika membangun tembok) bantuan yang disedikan teman yang lebih kompeten atau orang dewasa. Lazimnya, pentanggan berarti menyediakan banyak dukungan kepada seorang anak selama tahap-tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi dukungan dan meminta anak tersebut memikul tanggung jawab yang makin besar begitu dia sanggup. Orang tua mengunakan pentanggan ketika mereka mengajari anak mereka menggunakan permainan baru atau ketika mengikat laki sepatunya. Konsep terkait ialah pemangangan kognisi, yang menjelaskan keseluruhan proses percontohan, pembimbingan, pentanggaan, dan evaluasi yang lazim terlihat setiap kali berlangsung pengajaran perorangan. Misalnya, dalam life on the Mississippi, mark twain menjelaskan bagaimana ia diajari menjadi pengemudi kapal uap. Pertama-tama pengemudi yang sudah berpengalaman memberitahukan kepadanya setiap tikungan disungai tersebut, tetapi secara bertahap dia dibiarkan memikirkan sendiri segala sesuatu dan pengemudinya akan campur-tangan hanya jika kapal itu akan kandas.
d.      Pembelajaran kooperatif
Teori-teori  vygotsky mendukung pengguanaan strategi pembelajaran kooperatif yang distu anak-anak bekerja sama untuk membantu belajar satu sama lain, karena biasanya teman sebaya bekerja dalam zona perkemabangan proksiamal anak yang lain, mereka sering menjadi contoh bagi anak yang lain tentang tentang pemikiran yang sedikit lebih maju. Selain itu, pembelajaran kooperatif memungkinkan percakapan batin anak-anak tersedia bagi yang lain, sehingga mereka dapat memperoleh pemahaman tentang proses penalaran satu sama lain. Maksudnya, anak-anak memperoleh manfaat dengan mendengar “pemikiran lantang” (Thinking out loud) satu sama lain, khususnya ketika teman kelompok mereka berbicara dengan diri sendiri dalam menghadapi suatu soal. Vygotsky (1978) Mengakui besarnya manfaat interaksi teman sebaya untuk memajukan pemikiran anak-anak bersangkutan. (Slavin, 2001:  )

Telaah Islam Terhadap Teori Perkembangan Bahasa Lev Vygotsky
Setiap manusia tidak pernah lepasdari bahasa. Setiap saat, setiap hari, setiap jam, bahkan sampai setiap detik, kita tidak pernah lepas dari bahasa. Karena bahasa adalah alat utama dalam komunikasi, baik dengan orang lain, maupun dengan diri sendiri. Oleh karenanya, mempelajari perkembangan bahasa sangatlah penting. Perkembangan bahasa telah dirumuskan dalam beberapa teori diantaranya adalah Lev Vygotsky. Vygotsky sangat dikenal sebagai seorang ahli psikologi pendidikan yang memperkenalkan teori sosio budaya. Teori yang dinyatakan oleh Vygotsky ini merupakan teori gabungan antara kognitif dengan sosial. Teorinya ini juga menyatakan bahwa perkembangan kanak-kanak bergantung kepada interaksi kanak-kanak dengan orang ada di sekitarnya yang menjadi alat penyampaian sesuatu budaya yang membantu mereka membina pandangan tentang sekelilingnya. Menurut Lev Vygotsky, perkembangan bahasa sangatlah penting dalam perkembangan kognitif anak. Berbeda sekali dengan pendapat Piaget yang mengatakan bahwa bahasa baru muncul ketika anak sudah mencapai tahap perkembangan yang sudah lebih maju. Sehingga menurut Piaget, perkembangan kognitif mempengaruhi perkembangan bahasa anak. Teori perkembangan bahasa yang dikemukakan oleh Vygotsky patut untuk dipelajari sebagai bagian dari khazanah kajian psikologi perkembangan. Namun, kita sebagai umat Islam patut untuk mengkaji kembali tentang teori ini bila ditelaah dari sudut pandang Islam. Kita perlu mengkaji ulang konsepsi sosio kultural Vygotsky dengan mengkomparasikan dengan konsepsi dasar Islam sebagaimana yang terdapat dalam AlQuran dan Hadits. Dengan harapan nantinya dapat mengetahui korelasi antara konsepsi sosio kultural Vygotsky dengan konsepsi dasar Islam yang sama-sama memperhatikan pendidikan dari segi lingkungan sosial budaya dan supaya menjadi landasan dan pegangan dalam proses belajar dan pembelajaran.
Perspektif Sosio kultural Perkembangan kognitif manusia juga ditentukan dari lingkungan dimana ia tinggal. Pentingnya lingkungan dalam perkembangan kognitif terlihat dari banyaknya ayat-ayat Al-Qur’an yang menyuruh manusia untuk belajar dari alam semesta. Misalnya :“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, bahtera yang berlayar di laut membawa apa yang berguna bagi manusia, dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya dan Dia sebarkan di bumi itu segala jenis hewan, dan pengisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi; sungguh (terdapat) tanda-tanda (keesaan dan kebesaran Allah) bagi kaum yang memikirkan”.( Al-Baqarah : 164) Dan mengapa mereka tidak memikirkan tentang (kejadian) diri mereka? Allah tidak menjadikan langit dan bumi dan apa yang ada di antara keduanya melainkan dengan (tujuan) yang benar dan waktu yang ditentukan. Dan sesungguhnya kebanyakan di antara manusia benar-benar ingkar akan pertemuan dengan Tuhannya. (Ar-Rum : 8) Dengan demikian lingkungan merupakan faktor penting yang memengaruhi perkembangan kognitif siswa. Seperti  dikemukakan oleh Yustiana (2002, Saomah, 2011) Vygotsky juga mengembangkan konsep Zone of proximal development (ZPD). Manusia memiliki seperangkat tugas yang terlalu rumit yang hanya dapat dikuasai bersama dengan bimbingan dan dorongan dari pasangan yang lebih berpengalaman. Dalam zona ini, dapat diberikan pengajaran yang tepat waktu yang dapat mendorong perkembangan kognitif.
Islam mengajarkan sesorang untuk bertanya pada nara sumber yang tepat sebagai salah satu cara untuk memahami berbagai ilmu pengetahuan.“Kami tiada mengutus Rasul Rasul sebelumkamu (Muhammad), melainkan beberapa orang-laki-laki yang kami beri wahyu kepada mereka, Maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tiada Mengetahui”( Al-Anbiya’ : 7) Narasumber merupakan salah satu pasangan yang lebih berpengalaman yang dapat membantu menyelesaikan tugas yan gsulit. Orang yang leih ahli dapat melakukan tanggapan interaktif atau membuka hal-hal yang baru dipelajari. Perkembangan Bahasa Kemampuan berbahasa merupakan kemampuan manusia yang membedakan dengan makhluk lain. Bahasa manusia sangat fleksibel dan produktif. Dari sejumlah suara yang secara tunggal tidak ada artinya, seseorang dapat menghasilkan ribuan susunan atau pola auditorik yang memiliki arti. Bahasa juga merupakan alat penemuan untuk mengekspresikan pikiran dan interpretasi dari apa yang dilihat, didengar, atau dialami.Al-Quran menggambarkan bahwa kemampuan manusia dalam berbahasa membuat manusia memiliki kelebihan dibandingkan malaikat. Sebagaimana firman Allah dalam Surat (Al-Baqarah:30-33:30). Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di mukabumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"Tuhan berfirman:"Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."31. Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya. Kemudian mengemukakannya kepada para malaikat lalu berfirman: "Sebutkanlah kepada-Ku nama benda-benda itu jika kamu mamangbenar orang-orang yang benar!"32. Mereka menjawab: "Maha Suci Engkau, tidak ada yang kami ketahui selain dari apa yang Telah Engkau ajarkan kepada Kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”33. Allah berfirman: "Hai Adam, beritahukanlah kepada mereka nama-nama benda ini." Maka setelah diberitahukannya kepada mereka nama-nama benda itu, Allah berfirman: "Bukankah sudah Ku katakan kepadamu, bahwa Sesungguhnya Aku mengetahui rahasia langit dan bumi dan mengetahui apa yang kamu lahirkan dan apa yang kamu sembunyikan? "Bahasa merupakan pengetahuan yang paling abstrak yang dimiliki oleh manusia, namun anak–anak pada semua budaya terlihat telah memahami dan menggunakannya sebagai alat komunikasi pada usia yang sangat dini. Beberapa bayi telah dapat berbicara sebelum berjalan. Hal ini menunjukkan kemampuan manusia yang tinggi dalam penggunaan dan pengelolaan bahasa adalah sepenuhnya untuk mengekspresikan pikirannya. Perkembangan bahasa manusia terlihat sebagai interaksi antara hasil belajar dan kemampuan alamiah individu. Dari sudut faktor belajar, bayi yang telah lahir terutama mempelajari bahasa dengan cara meniru orang lain berbicara dan kemudian ia akan mendapatkan penguatan untuk penggunaan bahasa yang tepat. Orang tua berbicara dalam bahasa yang sederhana dan singkat dengan suara jelas yang terkadang repetitif kepada anak, membentuk suara primitif pada anak yang berupa ajaran yang belum memiliki tata bahasa yang benar. Dalam melakukan peniruan, anak memiliki kemampuan untuk melakukan observasi yang cukup baik yang memungkinkan mereka secara bertahap memahami tata bahasa dari kalimat yang ditirunya, meskipun orang tua jarang melakukan penguatan terhadap penggunaan tata bahasa anak. Kemampuan manusia dalam menguasai bahasa berbeda-beda. Ada yang memiliki kualitas yang baik dan ada yang tidak, sesuai tingkat pengetahuan bahasa yang dimiliki. Al-Quran menggambarkan perbedaan kualitas tersebut dengan memperhatikan bahwa Al-Quran merupakan kitab dengan kualitas bahasa yang baik. Sebagaimana tersebut dalam Surat Al- Nahl : 103. Dan Sesungguhnya kami mengetahui bahwa mereka berkata: "Sesungguhnya Al Quran itu diajarkan oleh seorang manusia kepadanya (Muhammad)". Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan (bahwa) Muhammad belajar kepadanya bahasa 'Ajam, sedang Al Quran adalah dalam bahasa Arab yang terang. Untuk menguasai bahasa dengan baik, manusia harus menggunakan kemampuannya untuk mempelajari bahasa. Al-Quran mengajarkan bahwa Allah mengajarkan manusia agar dapat menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi, baik bahasa lisan maupun tulisan. Surat Al-Rahman 3-43. Dia menciptakan manusia. 4. Mengajarnya pandai berbicara. Dengan bahasa, seseorang dapat mengusai hikmah dan ilmu pengetahuan. Keterampilan menggunakan bahasa dikuasai secara berangsur-angsur. Kemajuan seseorang dalam mempelajari bahasa terlihat dari perkembangan kemampuan bahasa yang dimiliki. Perkembangan bahasa sudah dimulai dari awal kehidupan. Bayi telah dipersiapkan dengan baik dalam belajar bahasa. Selama tahap pralinguistik (prelinguistic phase), mereka dengan mudah membedakan suara yang mirip percakapan dan lebih sensitif terhadap berbagai variasi bunyi bahasa daripada orang dewasa. Mereka sensitif terhadap isyarat intonasi dari awal dan pada usia 7-10 bulan dapat melakukan segmentasi dari bunyi percakapan kedalam frasa atau unit seperti kata. Bayi mulai mengeluarkan suara mendengkur pada usia 2 bulan dan mulai mengoceh pada usia 4 sampai 6 bulan. Kemudian, dalam tahun pertama bayi dapat memasangkan intonasi dari ocehan mereka sesuai dengan kualitas nada dari bahasa yang mereka dengar dan dapat menghasilkan perbendaraan bahasa sendiri untuk makna tertentu. Meskipun bayi yang belum berumur 1 tahun dapat memahami sedikit makna kata, dan juga mungkin kata-kata singkat, mereka telah belajar bahwa orang bergiliran dalam mengucapkan suara dan memberikan isyarat yang digunakan dalam berkomunikasi dengan lawan berbicaranya. Ketika bayi telah memahami kata-kata, bahasa reseptif (receptive language) mereka lebih dahulu berkembang daripada bahasa produktif (produktive language).
Dalam perkembangan, ada beberapa pendekatan yang digunakan untuk mengetahui seperti apa keonsep perkembangan tersebut. Dalam modul ini pendekatan yang digunakan berupa pendekatan perkembangan yang dilihat dari sudut pandang teori Lev Vygotsky terkait dengan perkembangan bahasa yang dihubungkan dengan kemampuan kognitif manusia. Setelah dibahas perkembangan teori dari Lev Vygotsky dilihat dari kacamata Islam, diharapkan kontribusi positif terutama bagi penyusun dan umumnya bagi pembaca untuk terus memaksimalkan potensi peserta didik, karena potensi peserta didik bersifat tentative dan semakin berkembang spektakuler apabila diberikan stimulus yang tepat. Diharapakan dengan adanya modul ini dapat menambah wawasan tentang kajian perkembangan bahasa manusia. Sehingga dapat digunakan dalam pembelajaran untuk membentuk manusia yang insan kamil.
Ø  Perkembangan Kognitif Sosial-Budaya Vygotsky
Menurut piaget perkembangan kognitif anak terdiri dari empat periode utama yaitu , periode sensorimotor, pra-operasional, operasi konkret, dan operasi formal. Piaget menyatakan bahwa bahwa perkembangan mempunyai dukungan di dalam tujuan, sebaliknya vygotsky percaya bahwa perkembangan adalah suatu proses yang harus dianalisis sebagai suatu produk yang akan dicapai. Proses perkembanganyang dimulai sejak kelahiran hingga kematian merupakan suatu hal yang kompleks yang tidak  dapat digambarkan dalam pentahapan secara sederhana. (Thalib:2007)
Vygotsky percaya bahwa hidup merupakan proses perkembangan dan hal ini sangat tergantung pada interaksi sosial dan belajar sosial itu secara actual berpengaruh terhadap perkembangan kognitif. Vygostky menjelaskan bahwa jarak antara tingkat perkembangan aktual ditentukan oleh pemecahan masalah secara independen dan tingkat perkembangan potensi ditentukan melalui pemecahan masalah melalui kolaborasi antara guru pembimbing dan arahan orang dewasa dan atau antar teman sebaya yang lebih mampu. Dengan kata lain, seorang anak dapat melaksanakan suatu tugas dibawah bimbingan orang dewasa atau kerja sama dengan teman sebaya yang lebih mampu. (Thalib:2007)
Perkembangan kognitif menurut vgotsky dipengaruhi oleh faktor budaya. Vgostky memandang bahwa interaksi sosial berperan secara fundamental dalam perkembangan kognitif. Vygotsky menyatakan bahwa setiap fungsi perkembangan budaya berpengaruh terhadap perkembangan anak pada level sosial dan individual. Pada level sosial , anak berinteraksi dengan dunia sekitarnya, saling pengaruh antarasatu dengan lainnya (interpsikologis), dan pada level individual , aspek psikologis berpengaruh terhadap perkembangan anak (intrapsikologis). (Thalib:2007)
Menurut pandangan vygotsky, interaksi dengan teman sebaya perancah (scaffolding), dan modeling faktorpenting yang memfasilitasi perkembangan kognitif dan pemerolehan pengetahuan individu, termasuk dalam perkembangan bahasa, memang pada awalnya teori vygotsky diapalikasikan dalam ZDP dapat menyusun dari tingkat keahlian individu yang berbeda. ZDP bertujuan mendukung pembelajaran secara intensional. (Thalib:2007)
Scaffolding adalah mekanisme pendukung yang membantu seorang pembelajar untuk berhasil menyelesaikan suatu tugas dalam zona perkembangan proksimalnya. Vygotsky mendefinisikan ZDP sebagai suatu daerah aktivitas dimana individu dapat melayari dengan bantuan orang dewasa , teman sebaya yang lebih mampu atau artefak-artefak. ZDP tergantung pada interaksi sosial, pengaruh orang dewasa dan atu kolaborasi anak dengan teman sebaya. (Ormord : 2009)
Teori sosiokultural vygotsky menekankan pentingnya perkembangan kecerdasan atau intelegensi melalui cultural atau masyarakat, perkembangan individu terjadi melalui dua tahap, yaitu dimulai dengan pertukaran sosial antar pribadi (interaksi dengan lingkungan sosial), kemudian terjadi internalisasi interpersonal. Selanjutnya, ketrampilan individu dapat dikembangkan melalui interaksi individu dengan bantuan atau bimbingan orang dewasa dan kolaborasi dengan teman sebaya. Teori sosiokultural vygotsky pada awalnya diaplikasikan dalam konteks belajar bahasa bagi anak. Namun, kemudian diaplikasikan dalam konteks perkembangan kognitif dan proses belajar secara lebih luas. (Ormord : 2009)
Vygotsky berupaya menjelaskan sebagai hasil akhir proses sosialisasi. Sebagai contoh, dalam pelajaran bahasa, ucapan yang pertama dikenal melalui lingkungan sosial. Berdasar sosiokultural vygotsky, Miler (1995) melalui studi etnografi untuk menguji konteks sosial melalui forum diskusi dalam literature bahasa inggris. Hasil eksperimen menunjukkan perkembangan kognitif siswa melalui interaksi sosial. (Thalib:2007)
Menurut vygotsky bahasa berperan penting dalam perkembangan kognitif. Perkembangan bahasa meliputi empat tahap yaitu tahap pra-intelektual, psikologi naïf, bahasa egoisentris, dan bahasa internal (Inner Speech). Bahasa pra-intelektual mengacu pada proses dasar (elementary process) termasuk tangisan, mendengkur, celoteh, gerak-gerik  fisik, secara biologis dan bertahap mengarah pada perkembangan bahasa dan perilaku yang lebih kompleks. (Ormord : 2009)

Implikasi Teori Vygotsky
Implikasi teori Vygotsky banyak diterapkan di dalam pendidikan. Konsep sociocultural ini lebih menekankan pada pembelajaran aktiv, artinya antara guru dan murid saling berkolaborasi untuk mencari solusi dalam tugas sekolahnya. Peran guru dalam kelas adalah memberi panduan sesuai dengan instruksi dalam aktivitas pembelajaran, dengan adanya petunjuk atau instruksi akan berguna untuk mengajar anak sesuai dengan kemampuannya. Setelah itu guru memonitor kemajuan pelajar, dan kemudian secara berangsur-angsur menyerahkan lebih banyak aktivitas kepada murid. Peran guru pada saat itu hanya menyusun latihan-latihan cooperative/ collaborative learning, dimana siswa saling berkerjasama, dengan instruksi yang mereka terima dari teman sebaya yang lebih mahir dari mereka akhirnya akan ditemukan solusi selain itu juga dengan bermain peran sebagai guru. (Palinscar, Brown, & Campione, 1993).
Pendekatan pembelajaran Sociocultural menjadi suatu strategi pendidikan yang efektif dilakukan. Dalam penelitianya Lisa Freund (1990), Ia melakukan simulasi dimana anak 3 sampai 5 tahun membantu sebuah boneka untuk memutuskan perabot mana (seperti, dipan, tempat tidur, bathtub, dan kompor) yang harus ditempatkan pada setiap ruang dari enam ruang dalam sebuah rumah boneka. Pertama-tama, anak-anak diuji untuk menentukan apa yang telah mereka ketahui tentang penempatan mebel yang sesuai. Kemudian masing-masing anak bekerja pada tugas serupa, sendiri maupun dengan ibunya. Untuk menilai apa yang telah mereka mempelajari, anak-anak mengerjakan tugas akhir, yang agak kompleks, yaitu sorting mebel. Hasilnya jelas. Anak-anak yang telah mensortir mebel dengan bantuan dari ibu mereka menunjukkan peningkatan dramatis dalam kemampuan penyortiran, sedangkan mereka yang melakukannya sendiri menunjukkan sedikit peningkatan, walaupun mereka telah menerima beberapa koreksi dari experimenter.
Contoh lain, misalnya saat teman sebaya bekerja sama pada masalah rumit yang melibatkan perencanaan dan penggunaan strategi, mereka cenderung tidak berbicara sebanyak yang dilakukan orang dewasa, pasif, tidak dinamis ,kaku yang memperhatikan koordinasi tindakan mereka (misalnya, siapa giliran berikutnya, siapa yang akan memutuskan sesuatu), dan kadang-kadang interaksi dipengaruhi oleh hubungan dominasi yang dapat bertentangan dengan peluang belajar (Gauvain, 2001; Radziszewska& Rogoff, 1988). Jadi, walaupun cooperative learning dengan teman sebaya seringkali mempunyai keuntungan daripada pembelajaran tugas serupa sendirian, namun hal ini bukanlah menjadi solusi, karena anak tidak menghasilkan sebanyak ketika bekerjasama dengan orang dewasa dalam proses pembelajaran. Prestasi atas tugas cooperative learning juga bervariasi sebagaimana fungsi kompetensi “tenaga ahli” dalam pasangan tersebut. Ketika teman sebaya yang lebih kompeten kurang percaya atau tidak memodifikasi perilakunya secara wajar untuk dapat menyesuaikan dengan teman sebaya yang less-skilled (yaitu yang mengerjakan pekerjaan lemah saat scaffolding), prestasi biasanya tidak lebih baik daripada ketika aktif/ bekerja sendiri (Tudge, 1992).
Yang menarik dalam cooperative learning adalah bahwa kadang-kadang anak-anak mengingat perilaku orang lain sebagai perilaku mereka, suatu kesalahan monitoring – kemampuan untuk menentukan pengetahuan, memori, atau kepercayaan seseorang yang sebenarnya. Contohnya, Mary Ann Foley dan Hillary Ratner yang meneliti anak-anak yang menyusun collage bersama orang dewasa, anak-anak dan orang dewasa tersebut bergiliran meletakkan bagian-bagian collage. Setelah melengkapi collage, tanpa diduga anak-anak ditanya siapa yang telah meletakkan masing-masing bagian collage tersebut, mereka atau orang dewasa. Foley dan Ratner tertarik dengan error atribusi – apakah anak-anak akan mengakui bagian yang telah diletakkan orang dewasa sebagai miliknya (“I did it” error), atau sebaliknya (“You did it” error, ketika anak mengakui bagian yang diletakkannya sebagai milik orang dewasa)? Anak usia empat tahun melakukan “I did it errors”, yaitu mengakui bagian yang telah diletakkan orang dewasa sebagai miliknya. Anak-anak cenderung untuk melakukan re-code tindakan orang dewasa sebagai tindakan mereka. Menurut Foley dan Ratner, penyimpangan ini mungkin mendorong kearah pembelajaran yang lebih baik tentang tindakan orang lain, sebagian disebabkan oleh mis-atribusi tindakan orang lain kepada dirinya yang bisa menyebabkan anak-anak untuk menghubungkan tindakan tersebut kepada sumber umum (diri mereka) dan menghasilkan suatu memori yang lebih terintegrasi dan mudah dipanggil kembali. Anak usia lima tahun yang melakukan tugas kolaboratif bersama orang dewasa (menempatkan mebel dalam rumah boneka) membuat banyak “I did errors”; bagaimanapun, nantinya anak-anak menunjukkan memori yang lebih besar saat menempatkan mebel pada setiap ruang dibanding anak-anak yang tidak berkolaborasi dalam suatu kelompok. Kolaborasi mendorong pada pembelajaran yang lebih besar; tetapi tidak dengan cara yang mungkin telah diharapkan. Melainkan, anak-anak yang belum dewasa sistem kognitifnya mengakibatkan jumlah kesalahan source-monitoring yang tinggi, yang benar-benar menghasilkan pembelajaran yang lebih baik.

Aplikasi dan Implikasi Teori dalam Pendidikan lainya adalah

Agar pembahasan tentang teori Vygotsky langsung terasa bagi usaha pengembangan kognitif, banyak usaha konkret yang dapat dilakukan dalam mengaplikasikan teori tersebut, misalnya:
1.      Teori Vygotsky menuntut pada penekanan interaksi antara peserta didik dan tugas-tugas belajar. Mengedepankan suatu proses belajar dimana siswa lebih berperan aktif. Dengan demikian peran guru lebih bergeser lebih menjadi fasilitator konstruksi siswa.
2.      Menggunakan zone of proximal development. Dengan penyesuaian terus menerus.
3.      Banyak menggunakan teman sebaya sebagai guru. Artinya bahwa memang bukan hanya orang dewasa yang mampu membantu seorang anak dalam perkembangan kognitifnya. Karena faktanya memang bahasa teman sebaya lebih mudah untuk dipahami dalam interaksinya.


BAB 10
TEORI BELAJAR MENURUT EDWARD CHACE TOLMAN
Ike Nurrohmah Widyawati, Nailil Istiqoma, Novan Triadi Setiawan, Windi Oktavia Sari
Biografi Edward Chace Tolman
Tolman (1886-1959) lahir di Newton, Massachusetts. Ia memperoleh gelar Master of Art (1912) dan doktornya di Universitas Harvard pada bidang psikologi. Lalu ia mengajar di Universitas Northwestern (1915-1918). Dari universitas ini ia pergi ke Uneversitas California dan menetap di sana hingga ia mengundurkan diri karena menolak untuk menandatangani sumpah setia. Dia juga memimpin perjuangan melawan sumpah loyalitas yang dianggapnya sebagai pelanggaran kebebasan akademik. Akan tetapi ia kembali lagi ke universitas ini atas permintaan para professor.
Edward Tolman merupakan salah satu tokoh psikologi yang berorientasi kognitif pada teori belajarnya. Menurut Tolman, belajar adalah proses yang berjalan secara konstan dan tidak mewajibkan adanya reinforcement. Tolman mengatakan bahwa terdapat perbedaan antara proses belajar dengan perilaku yang muncul. Tolman juga mengungkapkan bahwa variabel yang ada pada pada diri individu yang berpengaruh dalam belajar adalah: heredity, age, previous training, special endrocine, and drug or vitamin conditions (HATE).
Heredity, merupakan faktor keturunan, misalnya intelegensi. Karena keturunan masing-masing individu berbeda-beda maka akan membawa hasil belajar yang berbeda-beda pula. Keturunan merupakan innate differences dan merupakan faktor yang sulit untuk dimanipulasi.
Age, berkaitan dengan kemasakan. Belajar akan mencapai hasil yang baik bila disertai adanya kemasakan individu yang bersangkutan. Dalam belajar dikenal adanya masa peka, yaitu merupakan masa yang sebaik-baiknya untuk belajar. Hal ini berarti bahwa umur berkaitan erat dengan learning ability dari individu yang bersangkutan.
Previous training, yaitu merupakan latihan atau pengalaman yang telah/ pernah dialami. Pengalaman yang terdahulu akan mempengaruhi proses belajar. Apabila hal ini dikaitkan dengan teori Thorndike, maka hokum latihan akan jelas berpengaruh terhadap hasil belajar.
Special endocrine, minuman keras, dan vitamin akan berpengaruh pada keadaan internal. Keadaan tersebut akan berpengaruh pada temperamen, suasana hati (mood) dan kepribadian seseorang. Kesemuanya itu akan berperan dalam hal belajar yang pada akhirnya akan mempengaruhi hasil belajar.
Lebih  lanjut dalam teori belajar kognitif banyak diarahkan kepada akal budi manusia atau otak manusia sebagai sentral sumber kemauan itu sendiri. Segala pusat pemikiran dan kemauan manusia serta kegiatannya juga dipusati oleh otak. Dengan demikian, titik pangkal perubahan perilaku yang terjadi pada manusia adalah pad aide dan kemauannya dalam otak. Berpikir adalah segala-galanya dalam pendekatan kognitif.
Tesis dari dasar pendekatan kognitif adalah berfikir secara sadar. Sesuai dengan tingkat perkembangan dan pemahamannya, manusia tahu betul bagaimana ia bertindak, untuk apa dan bagaimaa ia berfikir. Bagaimana manusia memahami dirinya sendiri dan lingkungannya. Dengan menggunakan kognisinya manusia berbuat atas dasar kemauan yang diidekannya, dan ia berbuat untuk mengubah lingkungannya sesuai dengan kemauannya. Dan dengan demikian, pusat tindakan menurut teori ini adalah pada ide itu sendiri pada otak yang merupakan pusat aktivitas psikologis pada manusia.
Belajar dalam pendekatan kognitif merupakan perubahan dalam struktur kognisi seseorang, atau dalam bahasa teknis adalah perubahan dalam ruang pengalaman seseorang. Belajar terdapat didalam otak yang sering dikaitkan dengan kecerdasan, jadi bukan atas dasar stimulus dan respons.
Transfer belajar dalam pendekatan kognitif terjadi karena kondisi struktur kognitif seseorang dalam ruang pengalaman dikembangkan menjadi struktur kognitif orang yang bersangkutan dalam ruang pengalamannya di masa yang akan datang. Pengalaman seseorang berubah dan bertambah dari saat ke saat.
Tolman menghabiskan sebagian besar hidupnya sebagai tokoh pembangkang. Dia menentang perang saat perang sedang popular di masanya. Bukan hanya itu saja, Tolman juga menentang behaviorisme Watsonian ketika behaviorisme itu menjadi aliran psikologi yang terpopuler.
Teori belajar Tolman dapat dikatakan sebagai campuran antara Teori Gestalt dan Behaviorisme. Setelah lulus dari Harvard Tolman pergi ke Jerman dan bekerja dengan Koffka. Keberadaan teori Gestalt terhadap proses berteorinya mempunyai pengaruh yang sangat signifikan. Sikapnya yang senang terhadap teori Gestalt tidaklah menghalangi perhatiannya terhadap behaviorisme.
Tolman memperhatikan ada sedikit nilai dalam introspective approach, padahal ia merasakan psikologi merupakan obyektif yang komplit. Pemikirannya bertentangan dengan para behavioris yang menyatakan unit perilaku bisa dipelajari sebagai unsur-unsur yang terpisah. Para behavioris seperti Pavlov, Guthrie, Hull, Watson, dan Skinner digambarkan Tolman sebagai "Psychology of Twitchism" karena mereka melihat segmen-segmen perlilaku yang besar dapat dibagi menjadi segmen-segmen kecil, seperti reflek-reflek yang selanjutnya dianalisis.
Tolman memandang dengan menjadikan elemen-elemen kecil, sesungguhnya behavioris telah membuang artinya secara utuh. Akan tetapi dia juga yakin bahwa hal seperti itu mungkin juga untuk dijadikan sebagai objek ketika belajar tentang molar behavior secara sistematis. Oleh karena itu bisa dikatakan bahwa Tolman seorang behavioris secara metodologi dan teoris kognitif dalam hal metafisik. Dengan kata lain, ia belajar behavior untuk menentukan proses kognitif. (B.R. Hergenhahn & Olson, 2008: 330)
Tolman melanjutkan ajaran McDougall dengan mengungkapkan konsep psikologi purposif dalam behaviorisme. Ia mengatakan bahwa tingkah laku manusia secara mendasar adalah tingkah laku molar. Yang dimaksud tingkah laku molar itu seperti perilaku bekerja, makan, tidur dll. Dalam tingkah laku molar ini terdapat perilaku yang tingkatannya lebih kecil yaitu tingkah laku molekular. Yang dimaksud dengan tingkah laku molekular adalah saat seseorang sedang makan misalnya, gerakan menyendokkan nasi adalah salah satu contoh tingkah laku molekular. (Sarlito. R, 2013: 75)
1.      Perilaku Molar
Karateristik utama pemahaman perilaku molar adalah "purposive" yang selalu diarahkan ke berbagai tujuan atau maksud tertentu. Purposive yang dimaksudkan bahwa setiap perilaku yang dilakukan oleh seorang individu pasti memiliki sebuah tujan yang pasti. Jika dihubungkan maka tidak akan ada perilaku jika tidak ada tujuan yang mendasari munculnya suatu perilaku. Sehingga perilaku molar ini memiliki cirri khas yaitu purposive (memiliki tujuan) yang pasti.
Tolman tidak pernah berpendapat bahwa perilaku tidak bisa dibagi menjadi unit lebih kecil untuk kepentingan studi, namun demikian ia merasakan bahwa pola perilaku utuh mempunyai suatu maksud tertentu yang akan hilang jika dipelajari dari sudut pandang parsial atau dari elemen-elemen individual.
Bentuk perilaku yang dinamakan Tolman (1932) sebagai molar, misalnya: seekor tikus yang berlari di simpang siur jalan (maze), seekor kucing yang keluar dari puzzle box, anak-anak yang saling bercerita tentang pikiran dan perasaan mereka. Yang harus diperhatikan, bahwa ketika menyebutkan hal di atas maka akan melibatkan seluruh otot, kelenjar, kegelisahan sensory dan motor nerver. Untuk respon-respon seperti di atas, bagaimanapun juga cukup mengidentifikasikan sifat-sifat mereka sendiri.
Selain itu Tolman juga tidak pernah berpendapat bahwa seluruh pola perilaku memiliki makna yang akan hilangbjika diteliti dengan menggunakan sudut pandang elemenistik. Jadi, sesuai dengan pendapat Tolman bahwa perilaku molar merupakan sebuah Gestalk yang berbeda dari serpihan yang menyusun perilaku itu. Yang mana perilaku molar adalah perilaku yang dilakukan karena memiliki suatu tujuan tertentu yang mendasarinya.
2.      Behaviorisme Purposif
Teori Tolman dikenal sebagai purposive behaviorism karena mencoba untuk menjelaskan goal (tujuan) mengarah pada perilaku atau purposive behavior. (Tolman menggunakan istilah purposive semata-mata untuk pendiskripsikan). Ia terkenal dengan contoh mencari perilaku sampai makanan ditemukan. Oleh karena itu, nampak "as if (seolah-olah)" perilakunya adalah goal-directed atau purposive. Dalam hal ini ada persamaan antara Guthrie dan Tolman. Menurut Guthrie perilaku tetap berlaku sepanjang pemeliharaan stimuli disajikan oleh beberapa status kebutuhan (need). Sedangkan menurut Tolman perilaku "as if" merupakan goal (tujuan) diarahkan sepanjang organisme sedang mencari-cari sesuatu yang ada di lingkungannya.
Tolman berusaha menjelaskan perilaku yang diarahkan untuk mendapat tujuan sehingga disebut behaviorisme purposif (purposive behaviorism). Tolman berpendapat bahwa melalui perilaku bertujuan, proses belajar bukanlah sesuatu situasi yang dapat diamati semuanya, tetapi proses nyata dari belajar terdiri dari operasi kognitif yang terpusat.
Hal-hal yang dibahas oleh Tolman dalam teori belajarnya adalah mengenai hal-hal sebagai berikut:
  • Perilaku moral Untuk melawan kaum behavioristik dengan analisa ini dia berpendapat bahwa seluruh pola perilaku memiliki makna yang akan hilang jika diteliti dari sudut pandang elementistik.
  • Konsep penguatan tidak penting untuk menjelaskan perilaku. Ia lebih mementingkan confirmation of expectancy (konfirmasi harapan) dalam peta kognitif adalah sama dengan gagasan penguatan seperti pada teori behavioristik.
  • Tindakan vicarious trial and error (tindakan ujicoba) dalam tingkah laku.
  • Belajar laten, adalah belajar yang tidak diterjemahkan ke dalam performa atau kinerja.
3.      Konsep Teoritis Utama
Tolman memperkenalkan penggunaan variable campuran dalam riset psikologis, dan Hull meminjam gagasan meminjam gagasan itu darinya. Keduanya menggunakan variable campuran yang serupa dalam penelitiannya. Namun bagaimanapun juga, Hull lebih banyak mengembangkan dan mengelaborasi teori belajar dari pada yang dilakukan Tolman.
Asumsi-asumsi umum yang dikemukakan Tolman dalam proses belajar: “Apa arti belajar?
Para tokoh behavioris seperti, Pavlov, Watson, Guthrie, dan Hull, mengatakan bahwa asosiasi-asosiasi stimulus respons itu yang dipelajari dan melibatkan hubungan S-R yang komplek. Atau belajar adalah perubahan dengan tingkah laku sebagai dari interaksi antara lain stimulus dan respons. Sedangkan Tolman banyak mengambil petunjuk atau pandangan awal dari teori-teori Gestald, yang mengatakan bahwa dalam belajar, hal yang utama adalah proses interaksi yang berkesinambungan dengan lingkungan. Sebuah organisme yang sampai pada ekplorasi, yang kemudian menemukan peristiwa tertentu, lalu ditunjukkan pada peristiwa tertentu lainnya, atau dengan kata lain, lalu ditunjukkan pada peristiwa tertentu lainnya, atau dengan kata lain, sebuah tanda memimpin tanda memimpin tanda yang lain. Oleh karena itu, Tolman lebih dikenal sebagai ahli teori S-S. Pengetahuan bagi Tolman adalah suatu proses berkelanjutan yang tidak memerlukan motivasi apapun. Dalam hal ini, Tolman sependapat dengan Guthrie dan bertentangan dengan Pavlov, Skinner, dan Torndike. Bagaimanapun juga, haruslah ditunjukkan bahwa motivasi adalah penting bagi teori Tolman. Karena motivasi itu menentukan aspek-aspek lingkungan mana yang hendak disertai oleh organisme tersebut. Misalnya, organisme yang lapar akan memakan makanan yang ada di lingkungan itu.
Menurut Tolman, belajar adalah mengenal tentang situasi. Organisme belajar tentang sesuatu yang ada di sekitarnya, jika ia berbalik ke kiri, ia akan menemukan sesuatu. Jika ia berbalik ke kanan, ia temukan juga sesuatu yang lain. Hal ini terjadi secara berangsur-angsur, sehingga ia dapat membuat kesimpulan sendiri. Dengan demikian, menurut Tolman, belajar itu akan sia-sia jika hanya dihafal.
4.      Confirmation versus Reinforcement
Sebagaimana Guthrie, konsep penguatan (reinforcement) adalah tidak penting bagi Tolman sebagai variable pembelajaran. Akan tetapi, Tolman mengatakan sebagai konfirmasi, di mana behavioris menyebutnya Rinforcement. Selama perkembangan sebuah peta kognitif, harapan atau dugaan-dugaan dimanfaatkan oleh sebuah organisme. Dugaan adalah sebuah firasat tentang sesuatu dan fungsinya. Di mana awal sebuah dugaan bersifat sementara yang disebut hipotesis, yang berasal baik dari pengalaman maupun bukan. Hipotesis yang telah dikonfirmasikan akan dipakai. Sedangkan hipotesis yang salah akan dibuang. Yang harus diperhatikan adalah proses penerimaan maupun penolakan hipotesis merupakan sebuah proses kognitif bukan termasuk tindakan behavior.
Dalam proses pengambilan keputusan dalam persepsi, Bruner menyatakan ada 4 tahap pengambilan keputusan:
o   Kategorisasi primitive, di mana obyek atau peristiwa yang diamati diisolasi dan ditandai berdasarkan ciri-ciri khusus.
o   Mencari tanda (cue search), di mana si pengamat secara tepat memeriksa lingkungan untuk mencari informasi-informasi tambahan untuk memungkinkannya melakukan kategorisasi yang tepat.
o   Konfirmasi, terjadi setelah obyek mendapatkan penggolongan sementaranya. Pada tahap ini si pengamat tidak lagi terbuka untuk sembarang masukan, melainkan ia hanya menerima tambahan informasi yang akan memperkuat konfirmsi keputusannya. Masukan-masukan yang tidak releven dihindari.
o   Konfimasi tuntas, di mana pencarian tanda-tanda diakhiri. Tanda-tanda baru diabaikan dan tanda-tanda yang tidak konsisten dengan kesimpulan juga diabaikan.

5.      Vicarious Trial and Error
Tolman memperhatikan karakteristik tikus dalam kebingungan (jalan simpag siur). Sehingga ia bisa memanfaatkannya sebagai pendukung untuk menafsirkan teori belajarnya. Seekor tikus sering berhenti pada suatu titik tertentu dan memandang sekelilingnya seolah-olah berpikir tentang berbagai alternatif yang ada. Kegiatan seperti ini (berhenti dan memandang sekelilingnya) yang disebut Tolman sebagai Vicarious Trial and Error, sehingga organisme itu bisa membuat kesimpulan sendiri dari berbagai kegiatan yang telah dilakukannya.
6.      Learning Versus Performance
Sebagaimana diterangkan, bahwa Hull membedakan antara learning dan performance. Pada akhir teorinya, Hull menyatakan bahwa banyaknya jumlah percobaan (trial) yang diperbuat merupakan satu-satunya variable belajar. Sedangkan variabel-variabel lainnya, yang ada dalam sistemnya merupakan variable capaian (performance). Sehingga performance dapat dimaksudkan sebagai perwujudan belajar ke dalam prilaku. Hal seperti ini penting bagi Hull, tapi juga penting bagi Tolman.
Menurut Tolman, kita mengetahui banyak hal tentang lingkungan di sekitar kita, akan tetapi, kita hanya akan melaksanakan informasi atau pengetahuan itu ketika kita harus melakukannya. Dalam status kebutuhan (need), organisme memanfaatkan apa yang telah dipelajarinya hingga sampai pada real testing yang bisa menguangi kebutuhan itu. Misalnya, ada dua kran air dalam rumah kita, dalam jangka waktu yang lama, kita tidak pernah memperhatikan atau meminumnya hingga suatu saat terasa sangat haus. Secara spontan kita akan meminumnya salah satu dari keduanya. Dari sini, kita akan mengetahui bagaimana menemukan air minum itu tanpa harus menunggu hingga terasa haus.
Beberapa point sejauh ini yang dapat diringkas adalah:
v  Organisme membawa kepada bentuk problem-solving berbagai hipotesis, yang bisa jadi akan memanfaatkan percobaan untuk memecahkan masalah ini. Hipotesis ini sebagian besar didasarkan pada pengalaman terdahulu. Tolman juga percaya bahwa beberapa strategi problem-solving bisa jadi merupakan pembawaan.
v  Hipotesis yang survive, yaitu yang sesuai dengan kenyataan menjadikan maksud atau tujuan tercapai.
v  Ketika ada berbagai tuntutan maupun alasan yang harus dipenuhi, sebuah organisme akan memanfaatkan penggunaan informasi yang ada dalam peta kognitifnya. Hal inilah yang menjadi dasar perbedaan learning dan performance.
7.      Latent Learning
Latent learning adalah belajar yang tidak diwujudkan dalam performance.Dengan kata lain, latent learning merupakan kemungkinan belajar yang terbengkalai dalam waktu yang amat panjang sebelum hal tersebut dinyatakan dalam prilaku. Konsep tentang latent learning sangat penting bagi Tolman, dan dia merasa sukses dalam mendemonstrasikan eksistensinya. Eksperimen terkenal yang dilakukan oleh Tolman dan Honzik (1930) melibatkan tiga kelompok tikus, yang mencoba belajar untuk memecahkan suatu kebingungan (jaringan jalan yang simpang siur). Kelompok pertama, tidak pernah diperkuat untuk dengan tepat melintasi jalan yang simpang siur itu. Kelompok kedua, selalu diperkuat (reinforced). Sedang kelompok ketiga, tidaklah diperkuat sampai hari ke-11 mengadakan percobaan. Kelompok terakhir inilah yang menarik bagi Tolman. Teorinya tentang latent learning meramalkan bahwa kelompok ini akan belajar di simpang siur jalan itu, sama halnya dengan kelompok yang secara teratur diperkuat. Dan ketika penguatan (reinforcement) diperkenalkan pada hari ke-11, kelompok ini akan melakukan seperti halnya kelompok yang secara terus menerus diperkuat (reinforced).
8.      Reinfocement Expectancy
Menurut Tolman, ketika kita belajar, kita menganalisa "situasi". Termunderstanding selalu ada hubungannya dengan Tolman sebagaimana para behavioris. Dalam situasi problem-solving, kita belajar untuk memperoleh cara yang paling paktis. Kita belajar untuk mengharapkan terjadinya persitiwa tertentu, mengikuti peristiwa yang lain. Seekor binatang mengharapkan jika ia pergi ke suatu tempat tertentu, maka ia akan menemukan reinforcer tertentu. Manurut pada ahli teori S-R, bahwa merubah reinforcerdalam teori belajar tidak akan mengganggu prilaku sepanjang kuantitas reinforcementtidak dirubah secara drastis. Sedangkan menurut Tolman, ia memprediksikan, jikareinforcer dirubah, prilaku akan terganggu, karena reinforcement expectancy merupakan bagian dari apa yang diharapkan.
9.      Six Kinds Of Learning
Dalam artikelnya (1949), "There is More than One Kind of Learning", Tolman membagi belajar menjadi enam macam.
a.       Cathexes
Cathexis (jamak chatexes) mengacu pada kecenderungan belajar untuk berhubungan dengan obyek tertentu serta drive state tertentu. Misalnya, makanan tertentu yang tersedia bisa jadi mencukupi rasa lapar seseorang yang hidup di suatu negeri. Masyarakat yang hidup di suatu negeri, di mana ikan selalu dimakan akan cenderung untuk dicari guna memenuhi rasa laparnya. Individu-individu yang sama akan menghindari daging sapi atau spageti karena bagi mereka, makanan itu tidak dihubungkan dengan kepuasan rasa lapar. Karena stimuli tertentu itu dihubungkan dengan kepuasan drive tertentu, sehingga stimuli-stimuli itu akan cenderung untuk dicari-cari ketika drive itu terulang.
b.      Equivalence Beliefs
Ketika sebuah "subgoal" mempunyai pengaruh yang sejenis dengan dirinya, maka subgoal itu dikatakan mendasari sebuah equivalence belief. Hal seperti ini hamper sesuai dengan yang disebut oleh para ahli teori S-R sebagai secondary reinforcement. Tolman (1949) menganggap bahwa jenis belajar ini termasuk dalam typical "social drives" dari pada physiological drives. Misalnya, sepanjang dapat dipertunjukkan bahwa dengan need siswa untuk cinta dan penerimaan yang baik tanpa harus menceritakan tentang nilai ataupun kualitasnya, kemudian kita ingin mempunyai bukti untuk equivalence belief.
Di sini ada sedikit perbedaan antara Tolman dan para ahli teori S-R, kecuali pada sebuah fakta di mana Tolman menyebut "love reduction" sebagai reinforcement, dan para teori S-R lebih suka menyebutnya sebagai penurunan drive seperti rasa haus atau lapar.
c.       Field Expectancies
Ini dikembangkan dengan cara yang sesuai menurut perkembangan peta kognitif. Sebuah organisme belajar tentang obyek dan fungsinya. Ketika melihat suatu tanda tertentu ia mengharapkan sign yang lain akan mengikutinya. Pengetahuan umum tentang lingkungan digunakan untuk menerangkan latent learning dan place learning. Hal seperti ini bukan merupakan S-R learning melainkan S-S learning atau sign-sign learning. Di mana ketika seekor binatang melihat suatu sign, maka ia belajar dan berharap akan diikuti oleh yang lain. Satu-satunya "reinforcement" yang penting untuk jenis belajar seperti ini adalah konfrmasi sebuah hipotesis.
d.      Field-Cognition Modes
Jenis belajar seperti ini kurang diminati oleh Tolman. Ini adalah sebuah strategi, cara pendekatan untuk situasi problem-solving. Hal ini merupakan sebuah tendensi untuk menyusun perceptual field dalam bentuk tertentu. Tolman mencurigai bahwa kecenderungan ini adalah bawaan, tetapi bisa dimodifikasi dengan pengalaman. Sesungguhnya hal paling utama pada strategi yang bekerja dalam pemecahan masalah adalah akan dicoba pada situasi yang sama pada masa yang akan datang. Seperti itulah field cognition modes yang efektif, atau problem-solving, yaitu memindahkan permasalahan-permasalahan yang berhubungan.
e.       Drive Discrimination
Drive discrimination hanya mengacu kepada fakta bahwa organisme dapat menentukan status drive mereka sendiri. Oleh karena itu, mereka mampu merespon sewajarnya. Contohnya, telah ditemukan bahwa seekor binatang dapat dilatih untuk masuk searah dalam T-maze, ketika mereka marasa lapar ataupun haus.
f.       Motor Patterns
Tolman menunjukkan bahwa teorinya sebagian besar itu terkait dengan ide asosiasi bukan terkait dengan ide yang berhubungan dengan prilaku. Motor patern learning ini merupakan suatu usaha untuk memecahkan sebuah masalah. Tolman menerima interpretasi Guthrie tentang bagaimana respon bisa menjadi hubungan dengan stimuli.
10.  Contoh Kasus Pelaksaan Pembelajaran Menurut Teori Kognitif Tolman
Contoh pelaksanaan pembelajaran menurut teori kognitif tolman berikut ini dalam mata pelajjaran matematika disebuah SMK non teknik.
v  Guru matematika SMK nonteknik berusaha agar pengetahuaan siswanya utuh,tidak terpisah-pisah.artinya ,pengetahuan yang satu terkait dengan pengatuhuan yang lain.sebagai contoh ,konsep integral harus dikaitkan dengan konsep turunan.
v  Agar lebih bermakna,pengetahuan yang baru diajarkan dihubungkan dengan situasi nyata, misalnya guru dapat menghubungkan himpunan kosong dengan buku kosong ,yang satu tidak mempuyai anggota ,yang satunya lagi belum ada tulisan didalamnya.
v  Pembelajaran matematika di SMK nonteknik dimulai dari benda konkret ,semi konkret ,baru ke abstrak, guru matematika SMK nonteknik menyadari bahwa siswa yang sudah berada pada tahap operasional formal sekalipun akan lebih mudah mempelajari matematika jika dimulai dari sesuatu yang konkret ataupun yang bisa dipikirkan siswa ,misalnya ,konsep turunan yang dimulai dan konsep kecepatan.
v  Pada taraf tertentu guru menggunakan alat peraga ,seperti menggunakan model-model bangun ruang ketika membahas materi dimensi tiga.
v  Guru mengajar matematika dari hal yang mudah/sederhana ke yang sedang ,kemudian ke yang sedang/rumuit ,hal ini mudah atau sederhana lebih gampang untuk dicerna oleh siswa ,dengan demikian hal-hal yang sedang/rumit bisa diasimilasi dengan mudah ke dalam rangka kognitif yang sudah ada di benaknya ,sebagai contoh guru meminta siswa untuk menghitung 11+13+15+...+19 dengan berbagai cara ,sebelum ia membahas rumus umunya.
v  Kesalahan yang mudah terbentuk di dalam bentuk siswa sangat sukar untuk di perbaiki ,ia diperlukan proses akomodasi untuk memperbaikinya ,oleh karena itu hanya memberitahu saja bahwa ia salah adalah tidak cukup ,guru pertama kali harus memberikan conto-contoh dan pertanyaan-pertanyaan yang dapat menyakinkan siswa bahwa ia salah ,setelah itu guru mendiagnosis kesalahan siswanya ,berdasarkan diagnosa itulah perbaikan dapat dilakukan.





BAB 11
TEORI BELAJAR ALIRAN KOGNITIF ALBERT BANDURA
Siti Mahmudah, Amy Dashinta Ayu Haryah, Azzam Bachtiar, Latif Ariffudin
                                                           
Konsep Utama Teori Belajar A.Bandura
Albert Bandura lahir pada 4 Desember 1925 di Mundare, kota kecil di Alberta, Canada. Dia mendapat gelar B.A dari University of British Colombis, kemudian M.A. pada 1951, dan Ph.D. pada 1952 dari University of Iowa. Dia ikut magang pascadoktoral di Wichita Guidance Center pada 1953 dan kemudian bergabung di Standford University. Pada 1969-1970 dia sempat di Center for Advance Study in the Behavioral Sciences. Bandura kini menjabat sebagai David Starr Jordan Professor of Social Science di Fakultas Psikologi di Universitas Standford.
Saat di University of Iowa, Bandura di pengaruhi oleh Kenneth Spence seorang teoritis Hullian terkemuka, tetapi minat utama Bandura adalah psikologi klinis. Pada saat itu Bandura ingin menjelaskan gagasan  yang dianggap efektif dalam psikoterapi dan kemudian mengkaji dan memperbaiki gagasan itu. Pada periode ini pula Bandura membaca buku Social Learning and Imitation karya Miller dan Dollard (1941). Buku ini amat mempengaruhi dirinya. Penjelasan tentang belajar sosial dan imitatif Miller dan Dollard mendominasi literatur psikologi selama lebih dari dua dekade. Baru pada 1960-an Bandura mulai menuls serangkaian artikel dan buku yang menentang penjelasan lama tentang belajar imitatif dan memperluas topik itu ke apa yang kini dinamakan belajar belajar observasional. Bandura kini dianggap sebagi teoritis dan periset utama di area observasional, topik yang kini sangat populer.
    Menurut Bandura, belajar observasional mungkin menggunakan imitasi atau mungkin juga tidak. Misalnya, saat mengendarai mobil di jalan Anda mungkin melihat mobil di depan Anda menabrak tiang, dan berdasarkan observasi ini Anda mungkin akan berbelok untuk menghindari agar ikut menabrak. Dalam kasus ini Anda belajar dari observasi Anda, namun Anda tidak meniru apa yang telah Anda amati. Apa yang Anda pelajari, kata Bandura, adalah informasi, yang diproses secara kognitif dan Anda bertindak berdasar informasi ini demi kebaikan diri Anda. Jadi belajar observasional lebih kompleks ketimbang imitasi sederhana, yang biasanya hanya berupa menirukan tindakan orang lain.
     Perbedaan belajar dan performa ditujukkan oleh sebuah studi yang dilakukan Bandura (1965). Dalam eksperimen ini, seorang anak melihat sebuah film yang menampilkan seseorang sebagai model yang sedang memukul dan menendang boneka besar.Dalam teori Bandura, model adalah apa saja yang menyampaikan informasi, seperti orang, film, televisi, pemeran, gambar, atau intruksi.
Dalam kasus ini, film itu menunjukkan agresivitas seorang model dewasa. Satu kelompok anak melihat model yang agresif itu diperkuat. Kelompo kedua melihat model yang agresif itu dihukum. Kelompok ketiga melihat konsekuensi netral atas tindakan agresif si model itu; yakni model tidak diperkuat dan tidak dihukum.
Kemudian, anak-anak dalam ketiga kelompok itu dipertemukan dengan sebuah boneka besar, dan tingkat agresivitas mereka terhadap boneka itu diukur. Seperti yang diduga, anak yang melihat model yang diperkuat melakukan tindakan agresif cenderung menjadi anak yang paling agresif; anak yang melihat model dihukum cenderung paling tidak agresif; sedangkan anak yang melihat konsekuensi netral dari model, tingkat agresivitasnya berada diantara posisi dua kelompok lain. Dengan kata lain, apa yang mereka lihat dilakukan atau dialami orang lain akan mempengaruhi perilaku mereka. Anak dalam kelompok pertama mengamati vicarious reinforcement (penguatan pengganti atau tak langsung) dan ini menambah agresivitas mereka; anak dalam kelompok kedua mengamati vicarious punishment (hukuman pengganti atau tak langsung), dan ia menghambat agresivitas mereka. Meskipun anak tidak mengalami langsung penguatan dan hukuman, namun hal itu memodifikasi perilaku mereka. Ini bertentangan dengan pendapat Miller dan Dollard bahwa belajar observasional hanya terjadi jika perilaku nyata organisme diikuti oleh penguatan.

Fase kedua studi tersebut didesain untuk menjelaskan perbedaan belajar-performa. Dalam fase ini, semua anak diberi insentif yang menarik agar mereproduksi (meniru)  perilaku dari si model, dan mereka semua melakukannya. Dengan kata lain, semua anak melakukannya dengan cara berbeda-beda, tergantung pada apakah mereka sebelumnya telah melihat model itu diperkuat, dihukum, atau mendapat konsekuensi netral.
   
Konsep teoritis Utama
Mengatakan bahwa  belajar obeservasional terjadi secara independen dari penguatan adalah bukan berartibahwa variabel yang lain tidak mempengaruhinya. Bandura (1986) menyebut empat proses yang mempengaruhi belajar observasional, adalah sebagai berikut :
1.      Proses Atensional
Sebelum sesuatu dipelajari dari model, model itu harus diperhatikan. Bandura menganggap bahwa belajar adalah proses yang terus berlangsung, tetapi dia menunjukkan bahwa hanya yang diamati sajalah yang dapat dipelajari.
Sesuatu hal diperhatikan karena dipengaruhi oleh beberapa sebab. Pertama, kapasitas sensoris seseorang akan mempengaruhi attentional process (proses atensional/proses memperhatikan). Jelas stimuli modeling yang digunakan untuk mengajari orang tuna netra atau tuna rungu akan berbeda dengan yang digunakan untuk mengajari orang yang normal penglihatan dan pendengarannya. Kemudian perhatian selektif pengamat bisa dipengaruhi oleh penguatan di masa lalu. Misalnya, jika aktivitas yang lalu yang dipelajari lewat observasi terbukti berguna untuk mendapatkam suatu penguatan, maka perilaku yang sama akan diperhatikan pada situasi modelling berikutnya.
Berbagai karakteristik model juga akan mempengaruhi sejauh mana mereka akan diperhatikan. Riset telah menunjukkan bahwa model akan lebih sering diperhatikan jika mereka sama dengan pengamat (yakni jenis kelaminnya sama,usianya sama, dan sebagainya), orang yang dihormati atau memiliki status tinggi, memiliki kemampuan lebih, dianggap kuat, dan atraktif.
2.      Proses Retensional
Agar informasi yang sudah diperoleh dari observasi bisa berguna, informasi itu harus diingat atau disimpan. Bandura berpendapat bahwa ada retentional process (proses retensional) dimana informasi disimpan secara simbolis melalui dua cara, secara imajinal (imajinatif) dan secara verbal. Simbol-simbol yang disimpan secara imajinatif adalah gambaran tentang hal-hal yang dialami model, yang dapat diambil dan dilaksanakan lama sesudah belajar observasional terjadi.
Bandura mengatakan bahwa kebanyakan proses kognitif yang mengatur perilaku terutama konseptual (verbal) ketimbang imajinatif, Karena fleksibilitas simbol verbal yang luar biasa, kerumitan dan kepelikan perilaku bisa ditangkap dengan baik dalam wadah kata-kata. Misalnya rute yang dilalui seorang model dapat disimpan dan diingat untuk dipakai lagi nanti secara akurat dengan mengubah informasi visual ke kode verbal yang mendeskripsikan deretan kapan mesti belok kiri atau kanan, ketimbang dengan mengandalkan pada imajinasi visual dari rute itu.
Setelah informasi disimpan secara kognitif, ia dapat diambil kembali, diulangi dan diperkuat beberapa waktu sesudah belajar observasional terjadi. Simbol-simbol yang disimpan ini memungkinkan terjadinya delayes modelling (modelling yang ditunda) yakni kemampuan untuk menggunakan informasi lama setelah informasi itu diamati.    
3.      Proses Pembentukan Perilaku
Proses Pembentukan Perilaku (Behavioral production process) menentukan sejauh mana hal-hak yang telah dipelajari akan diterjemahkan kedalam tindakan atau performa. Seseorang mungkin sudah belajar lewa pengamatan atas monyet, cara melompat bergelantungan dari satu pohon ke pohon  lainnya dengan menggunakan ekor. Dengan kata lain, seseorang mungkin mempelajari sesuatu secara kognitif namun dia tidak msmpu menerjemahkaninformasi itu ke dalam perilaku karena ada keterbatasan.

Menurut Bandura, simbol yang didapat dari modelling akan bertindak sebagai template (cetakan) sebagai pembanding tindakan. Selama proses latihan ini individu mengamati perilaku mereka sendiri dan membandigkannya dengan representasi kognitif dari pengalaman si model. Setiap diskrepansi (ketidakcocoksn) antara perilaku seseorang itu dengan perilaku model akan menimbulkan tindakan korektif. Proses ini terus berlangsung sampai ada proses kesesuaian yang sudah memuaskan antara perilaku pengamat dan model.
4.      Proses Motivasional
 Dalam teori Bandura, penguatan memiliki dua fungsi utama. Pertama ia menciptakan ekspektasi dalam diri pengamat bahwa jika mereka bertindak seperti model yang dilihatnya diperkuat untuk aktivitas tertentu, maka mereka akan diperkuat juga. Kedua, ia bertindak sebagai intensif untuk menerjemahkan belajar ke kinerja. Seperti telah kita lihat diatas, apa yang  dipelajari melalui observasi akan tetap tersimpan sampai si pengamat itu punya alasan untuk menggunakan informasi itu. Kedua fungsi pengamatan itu adalah fungsi informasional. Satu fungsi menimbulkan ekspektasi dalam diri pengamat bahwa jika mereka bertindak dengan cara tertentu dalam situasi tertentu, mereka mungkin akan diperkuat. Fungsi lainnya, motivational processes (proses motivasional) menyediakan motif untuk menggunakan apa-apa yang telah diperoleh.

Menurut Bandura seorang pengamat dapat belajar cukup dengan mengamati konsekuensi dari perilaku orang lain, menyimpan informasi itu secara simbolis, dan menggunakannya jika  perilaku itu bisa bermaat bagnya. Jadi menurutnya, informasi penguatan atau hukuman sama informatifnya dengan penguatan dan hukuman langsung. Berbekal informasi yang diperoleh dari pengamatan terdahulu, seorang individu akan memperkirakan bahwa jika mereka bertindak dengan cara tertentu dalam situasi tertentu, maka akan muncul konsekuensi tertentu. Dengan cara ini, perkiraan konsekuensi itu akan, setidaknya sebagian, menentukan perilaku dalam situasi tertentu.

Ringkasnya kita dapat mengatakan bahwa belajar observasional melibatkan atensi (perhatian), retensi (pengingatan/penyimpanan), kemampuan behavioral, dan insentif. Maka dari itu, jika belajar observasional tidak terjadi, itu bisa lantaran pengamat tidak mengamati model yang relevan, tidak mengingatnya, secara tak bisa melakukannya atau karena tidak punya insentif yang pas untuk melakukannya.  

5.      Determinisme Resiprokal
 Bandura menjelaskan bahwa orang bertindak seperti yang mereka lakukan dipengaruhi oleh beberapa komponen yaitu orang (person, disimbolkan dengan P),  lingkungan (environment/E), dan perilaku (behavior/B). Posisi ini disebut reciprocal determinisme (determinisme resiprokal).
                                                      B

P                                               E
Salah satu deduksi dari konsep ini adalah bahwa kita bisa mengatakan perilaku mempengaruhi seseorang dan lingkungan, atau lingkungan atau orang mempengaruhi perilaku.
6.      Regulasi-Diri Perilaku
Menurut Bandura (1977), “jika tindakan ditentukan hanya dengan imbalan (penghargaan) dan hukuman eksternal, orang akan berperilaku mengikuti ke mana angin bertiup, selalu berubah-ubah arah untuk menyesuaikan diri dengan pengaruh sementara yang mengenai mereka”. Situasi yang dikutip diatas mungkin tidak akan terjadi apabila terdapat penguat eksternal dan hukuman eksternal yang mengontrol perilaku yaitu self-regulated behavior (perilaku yang diatur sendiri). Di antara hal-hal yang dipelajari manusia dari pengalaman langsung atau tidak langsung adalah performance standarts (standart performa), dan setelah standart itu dipelajari, standart itu menjadi basis bagi evaluasi diri. Jika performa atau tindakan seseorang dalam situasi tertentu memenuhi atau melibihi standart, maka  ia akan dinilai positif; jika sebaliknya, ia dinilai negatif.   
Standart seseorang bisa datang dari pengalamannya langsung dengan penguatan dengan meniai tinggi perilaku ayang efektif dalam menghasilkan  pujian dari individu yang relevan dalam kehidupannya, seperti dari orang tuannya. Standart personal juga dapat berkembang secara tak langsung dengan mengamati perilaku yang dilakukan orang lain yang memperoleh penguatan. Menurut Bandura dalam Olson (2008) penguatan instrinsik yang datang dari evaluasi diri lebih berpengaruh ketimbang penguatan yang diberikan orang lain. Ia menambahkan bahwa perialku yang dihargai dirinya sendiri cenderung dipertahankan lebih efektif ketimbang jika perilaku itu diperkuat secara eksternal.

7.       Tindakan Moral
Kode moral (moral code) seseorang berkembang melalui interaksi dengan model. Dalam kasus moralitas, orang tua biasanya memberi contoh aturan moral yang kemudian diinternalisasikan oleh anak. Setelah terinternalisasi, kode moral akan menentukan perilaku (atau pikiran) mana yang akan mendapat hukuman dan mana yang tidak. Menyimpang dari kode moral akan menimbulkan sikap self-contempt (mencela diri) atau penyesalan, dan yang bukan merupakan pengalaman menyenangkan, dan karenanya biasanya orang bertindak sesuai dengan kode moralnya. Bandura mengatakan bahwa rasa mencela diri (penyesalan) setelah melanggar standart akan menjadi sumber motivasi bagi seseorang untuk menjaga perilakunya sejalan dengan standarnya saat berhadapan dengan motif yang bertentangan, serta tidak ada hukuman yang lebih buruk ketimbang pencelaan diri. 

Bandura dalam Olson (2008:372-374) menyebutkan bahwa terdapat mekanisme yang memungkinkan seseorang melanggar prinsip moralnya tanpa merasa  perlu mencela diri atau tanpa merasa bersalah :
a)            Justifikasi Moral : tindakan yang tercela itu mejadi cara untuk mencapai tujuan yang lebih luhr dan karenanya dibenarkan. Contoh dari tindakan ini yakni : “Saya melakukan kejahatan agar bisa memberi makan pada keluarga”.
b)             Pelabelan Eufemistis :  tindakan yang dilakukan untuk membuat tindakan tercela terkesan sebagai tindakan terhormat, kata-kata yang digunakan terkesan lembut dan baik, misalnya tentara “menyingkirkan” orang. Kata menyingkirkan orang dapat diinterpretasikan sebagai pembunuhan  , namun dengan pelabelan eufemistitis tindakan tersebut dilabeli sebagai tindakan yang mulia demi memenuhi kewajiban.
c)              Perbandingan yang Menguntungkan : Dengan membandingkan tindakannya sendiri dengan tindakan yang lebih bengis, seseorang bisa menjadikan tindakan tercelanya tampak lebih baik.
d)             Pengalihan Tanggung Jawab : Beberapa orang dapat melanggarprinsip moral mereka jika mereka merasa diperintah oleh otoritas dan karenanya menganggap tanggung jawab ada di pundak pemberi perintah.
e)              Disfusi Tanggung jawab : ketika dalam satu kelompok seluruh anggotanya melakukan hal yang tercela, maka individu dalam kelompok tersebut merasa tidak bertanggung jawab karena tanggung jawab telah dilakukan oleh anggota lain.
f)              Dehumanisasi : jika beberapa individu dianggap manusia rendahan, mereka bisa diperlakukan secara tidak manusiawi tanpa perlu merasa bersalah.
g)             Atribusi Kesalahan : Seseorang selalu dapat menyebut sesuatu yang dikatakan atau dilakukan korban sebagai alasan bertindak keras atau tercela.
Contoh : korban pemerkosaan ikut bertanggung jawab karena mereka dianggap mengundang tindak pemerkosaan dengan berperilaku dan berpenampilan seksi.

Profil Singkat Albert Bandura
Albert Bandura lahir pada tanggal 4 Desember 1925, di kota kecil Mundare bagianm selatan Alberta, Kanada. Bandura bersekolah di sekollah dasar dan sekolah menengah yang sederhana, namun dengan hasil rata-rata yang sangat memuaskan. Setelah selesai SMA, dia bekerja pada perusahaan penggalian jalan raya Alaska Highway di Yukon.
Dia menerima gelar sarjana muda di bidang psikologi dari University of British of Columbia tahun 1949. Kemudian dia masuk University of Lowa, tempat dimana ia meraih gelar Ph.D  tahun 1952. Baru setelah itu dia menjadi sangat berpengaruh dalam trades behavioris dan teori pembelajaran.
Ketika dia di Lowa, Bandura dipengaruhi oleh Kenneth Spence, seorang teoritisi Hullian terkemuka, tetapi minat utama Bandura adalah Psikolohi Klinis. Pada saat itu Bandura ingin menjelaskan yang dianggap efektif dalam psikoterapi dan kemudian menguji dan memperbaiki gagasan itu. Pada periode ini Bandura membaca buku Social Learning and Imitation karya Miller dan Donald. Selain itu disini dia bertemu dengan Virginia Varns, seorang instruktur sekolah perawat. Mereka kemudian menikah dan dikaruniai dua orang puteri. Setelah lulus, dia meneruskan pendidikannya ke tingkat post doctoral di Wichita Guidance Center di Wichita, Kansas.
Tahun 1953, dia mulai mengajar di Stanford University. Di sini dia kemudian bekerja sama dengan salah satu anak didiknya, Richard Walters. Buku pertama hasil kerja sama mereka berjudul Adolescent Aggression terbit tahun 1959. Pada tahun 1960-an Bandura menulis serangkaian artikel dan buku yang menentang penjelasan lama tentang belajar imitasi dan memperluas topic itu ke hal yang kini disebut belajar observasional.
Bandura menjadi presiden APA tahun 1973, dan menerima APA Award atas jasa-jasanya dalam Distinguished Scienific Contributions tahun 1980. (George Boeree, 1997).
Teori Kogintif Sosial Bandura
Teori kognitif sosial Bandura lebih komprehansif, Bandura berkonsentrasi pada perilaku social, yang berbeda dengan teori Dollard dan Miller sebagai teori belajar social. Bandura memnilih nama Social Cognitive Theory (teori kognitif social). Teori ini mencakup fenomena psikososial, seperti motivasi dan mekanisme pengaturan diri, yang melampaui isu belajar. Dalam kerangka teoritis ini belajar dipahami terutama sebagai akuisisi pengetahuan melalui pemrosesan informasi secara kognitif. Terminology social dalam teori ini menunjukkan teori ini mengakuio asal-usul social dari banyak pemikiran dan tindakan manusia, aspek kognitifnya mengakui kontribusi kausal dari proses pemikiran terhadap motivasi, sikap dan tindakan manusia. (Bandura, 1986)
Popularitas teori Bandura dapat dijelaskan lewat pengakuannya atas keunikan manusia. Teorinya mendeskripsikan manusia sebagai organism yang dinamis dalam memproses informasi dan sebagai organisme yang social. Entah itu secara langsung atau tak langsung, kebanyakan proses belajar  kita biasanya melibatkan orang lain dalam setting soaial. Berdasarkan observasi dan interaksi dengan orang lain inilah kognisi kita, termasuk standar performa dan penilaian moral, terus berkembang. Menurut Bandura (1977), kemampuan manusia untuk membuat symbol membuat mereka “bisa menginterpretasikan kejadian, menganalisis pengalaman sadarnya, berkomunikasi dengan orang lain yang dipisahkan oleh jarak dan waktu, merencanakan, menciptakan, membayangkan dan melakukan tindakan yang penuh pertimbangan”.
Bagi bandura, walaupun prinsip belajar cukup untuk menjelaskan dan meramalkan perubahan tingkah laku, prinsip itu harus memperthatikan dua fenomena penting yang diabaikan atau ditolak oleh paradigma behaviorisme.
Definisi Belajar sosial (social kognitif) adalah perilaku dibentuk melalui konteks sosial. Perilaku dapat dipelajari baik, sebagai hasil reinformecement maupun reiforcement.
Pertama, Bandura berpendapat bahwa manusia dapat berfikir dan mengatur tingkah lakunya sendiri, sehingga mereka bukan semata – mata bidak yang menjadi objek pengaruh lingkungan. Sifat kausal bukan dimiliki sendirian oleh lingkungan, karena orang dan lingkungan saling mempengaruhi.
Kedua, Bandura menyatakan, banyak aspek fungsi kepribadian melibatkan interaksi dengan orang lain. Dampaknya, teori kepribadian yang memadai harus memperhitungkan konteks sosial di mana tingkah laku itu diperoleh dan dipelihara.
Berikut akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai determinan resiprokal, beyond reinforcement, dan self regulation.
1.      Determinis resiprokal
Pendekatan yang menjelaskan tingkah laku manusia dalam bentuk interaksi timbal balik yang terus menerus antara determinan kognitif, behavioral dan lingkungan. Orang menentukan / mempengaruhi tingkah lakunya dengan mengontrol lingkungan, tetapi orang itu juga dikontrol oleh kekuatan lingkungan itu. Determenis resiprokal adalah konsep penting dalam teori belajar sosial Bandura, menjadi pijakan Bandura dalam memahami tingkah laku. Teori belajar sosial memakai saling detirminis sebagai prinsip dasar untuk menganalisis fenomena psiko-sosial di berbagai tingkat kompleksitas, dari perkembangan interpersonal sampai tingkah laku interpersonal serta fungsi interaktif sari organisasi dan sistem sosial.
Gambar berikut menunjukkan Nilai komperhensif dari determinis resiprokal Bandura dibandingkan dengan teori Behaviorisme lainnya.
Bandura: Hubungan antara Pribadi, Lingkungan dan Tingkah laku saling mempengaruhi
2.      Tanpa reinforcement
Bandura memandang teori Skinner dan Hull terlalu bergantung pada reinforcement. Jika setiap unik respon sosial yang orang malah tidak belajar apapun. Menurutnya reinforcement penting dalam menentukan apakah suatu tingkah laku akan terus terjadi atau tidak, tetapi itu bukan satu – satunya pembentuk tingkah laku. Orang dapat belajar melakukan sesuatu hanya dengan mengamati dan kemudian mengulang apa yang dilihatnya. Belajar melalui observasi tanpa ada reinforsement yang terlibat, berarti tingkah laku ditentukan oleh antisipasi konsekuensi, itu merupakan pokok teori belajar sosial.

3.      Kognisi dan Regulasi diri
Teori belajar  tradisional sering terhalang oleh ke-tidak-senangan atau ketidak mampuan mereka untuk menjelaskan proses kognitif. Konsep Bandura menempatkan manusia sebagai pribadi yang dapat mengatur diri sendiri (self regulation), mempengaruhi tingkah laku dengan cara mengatur lingkungan, menciptakan dukungan kognitif, mengadakan konsekuensi bagi tingkah lakunya sendiri. Kemampuan kecerdasan untuk berfikir simbolik menjadi sarana yang kuat untuk menangani lingkungan, misalnya dengan  menyimpan pengalaman (dalam ingatan) dalam wujud verbal dan gambaran imajinasi untuk kepentingan tingkahlaku pada masa yang akan datang. Kemampuan untuk menggambarkan secara imajinatif hasil yang diinginkan pada masa yang akan datang mengembangkan strategi tingkah laku yang membimbing ke arah tujuan jangka panjang.
Bandura melukiskan :
Teori Belajar Sosial berusaha menjelaskan tingkahlaku manusia dari segi interaksi timbal-balik yang berkesinambungan antara faktor kognitif, tingkahlaku, dan faktor lingkungan. Dalam proses determinisme timbal-balik itulah terletak kesempatan bagi manusia untuk mempengaruhi nasibnya maupun batas-batas kemampuannya untuk memimpin diri sendiri (self-direction). Konsepsi tentang cara manusia berfungsi semacam ini tidak menempatkan orang semata-mata sebagai objek tak berdaya yang dikontrol oleh pengaruh-pengaruh lingkungan ataupun sebagai pelaku-pelaku bebas yang dapat menjadi apa yang dipilihnya. Manusia dan lingkungannya merupakan faktor-faktor yang saling menentukan secara timbal balik (Bandura, 1977)
Albert Bandura lahir di Mudane Kanada, 4 Desember 1925. Dia adalah seorang psikolog. Ia menerima gelar sarjana muda di bidang psikologi University of British of Columbia pada tahun 1949. Kemudian dia masuk University of Iowa, tempat di mana dia meraih gelar Ph.D tahun 1952. Baru setelah itu dia menjadi sangat berpengaruh dalam tradisi behavioris dan teori pembelajaran.
Tahun 1953, dia mulai mengajar di Standford University. Di sini, dia kemudian bekerja sama dengan salah seorang anak didiknya, Richard Walters. Buku pertama hasil kerja sama mereka berjudul Adolescent Aggression terbit tahun 1959. Bandura menjadi presiden APA tahun 1973, dan menerima APA Award atas jasa-jasanya dalam Distinguished Scientific Contributions tahun 1980.
Teori-teori Albert Bandura banyak di aplikasikan dalam bidang pendidikan terutama pada pembelajaran sosial (social learning theory). Teori pembelajaran sosial ini pada awalnya dinamakan sebagai “Teori Sosial Kognitif” oleh Bandura sendiri (Moore, 2002). Teori pembelajaran sosial menyatakan bahwa faktor-faktor sosial, kognitif dan tingkah laku memainkan peranan penting dalam pembelajaran (Santrock, 2001). Faktor kognitif akan mempengaruhi wawasan pelajar tentang pemahaman; sementara faktor sosial, termasuk perhatian pelajar tentang tingkah laku dan imitasi ibu bapaknya, akan mempengaruhi tingkah laku pelajar tersebut.

Teori Pembelajaran Sosial (Albert Bandura)
Tingkah laku agresif tidak dapat dinafikan merupakan sebahagian daripada tingkah lakuberisiko remaja. Teori Pembelajaran Sosial yang diperkenalkan oleh Albert Bandura sangatrelevan dengan penyelesaian masalah tingkah laku agresif dan keganasan. Menurut Bandura(1977), Teori Pembelajaran Sosial didefinisikan sebagai satu pembelajaran yang berlaku denganmemerhati orang lain melakukan sesuatu atau menjadikan seseorang sebagai model tingkah laku. Ini berarti persekitaran dan juga orang-orang yang signifikan akan mempengaruhi tingkah laku.
Bandura (1977) juga menyatakan seseorang individu akan memerhatikan sesuatu tingkah laku daripada orang lain yang signifikan dengannya dan menyimpan maklumat yang diperhatikan secara kognitif dan seterusnya mempersembahkan tingkah laku tersebut. Justru itu, tingkah laku agresif dipelajari daripada persekitaran social seperti interaksi dengan keluarga, rakan sebaya,media massa dan konsep kendiri individu (Mahmood, 2001).
Di dalam teori Pembelajaran Sosial Bandura (1977), beliau telah membuat analisis yang menyatakan bagaimana manusia belajar melalui pemerhatian. Pembelajaran adalah melalui peniruan, mengajuk dan memadan. Biasanya, setiap individu terutama kanak-kanak akan menilai sesuatu perkara berasaskan kepada perkara yang pernah dilihat oleh mereka daripada orang-orang yang signifikan dan persekitaran. Bandura (1977), mendapati kanak-kanak akan mencontohi tingkah laku agresif selepas menonton filem yang berunsurkan aksi agresif (Eron,1982).
Menurut Maarof (2003), Bandura (1977), menekankan bahawa manusia belajar dengan cara memerhatikan tingkah laku orang lain. Pembelajaran pemerhatian, yang dinamakan juga sebagai pemodelan, terhasil apabila manusia atau anak-anak memerhatikan tingkah laku orang lain atau mereka yang signifikan dan mencatatkan konsekuen tingkah laku tersebut. Kebanyakan pola percakapan, gaya pakaian, tingkah laku negatif dan agresif dan pelbagai tingkah laku dipelajari melalui pemodelan. Anak-anak remaja biasanya menjadikan ibu bapa, pelakon film,ahli sukan, guru dan seumpamanya sebagai model yang menjadi ikutan. Ini menjelaskan kepada kita mengapa tingkah laku berbeda-beda mengikut masyarakat dan budaya.
Albert Bandura(1977), menganggap pemodelan merupakan demonstrasi yang penting tentang peranan kognitif dalam pembelajaran. Namun, tidak semestinya semua tingkah laku model ditiru. Anak-anak cenderung meniru tingkah laku yang diberikan peneguhan positif berbanding dengan tingkah laku yang diberikan hukuman. Sementara itu, sekiranya tidak diketahui peneguhan dan hukuman yang diperolehi, anak-anak atau remaja cenderung meniru tingkah laku model yang berstatus tinggi, menarik, yang disukai, dan berjaya atau malahanmereka mengandaikan bahawa tingkah laku mereka itu sering membawa kepada peneguhan.
Bandura (1977), telah menjalankan satu kajian, hasilnya beberapa orang kanak-kanak prasekolah telah ditunjukkan adegan seorang dewasa yang memukul patung bernama Bobo. Kemudian, apabila kanak-kanak tadi dibiarkan bersendirian dengan patung tadi, mereka telah memukul patung tersebut sebagai mana telah dilakukan oleh orang dewasa tadi. Kadar tingkah laku agresif adalah sama seperti apa yang telah dilakukan oleh orang dewasa pada sebelumnya. Ini menunjukkan bahawa amat mudah bagi kanak-kanak meniru sesuatu perlakuan tanpa mengetahui apakah perlakuan tersebut wajar atau tidak.
Dalam satu kajian lain, Bandura (1977), membuat perbandingan antara tingkah laku ibu bapa yang mempunyai anak yang terlalu agresif dan anak yang terkawal. Teori Bandura(1977),mengatakan bahawa tingkah laku anak sepatutnya selari dengan tingkah laku ibu bapa. Kajian tersebut mendapati ibu bapa yang mempunyai anak yang terkawal terdiri daripada ibu bapa yang tidak agresif dan boleh mengawal tingkah laku mereka, manakala ibu bapa yang mempunyai anak yang terlalu agresif adalah terdiri daripada mereka yang juga bersikap agresif.
Teori pembelajaran sosial menekankan kepada proses peniruan sebagai bertanggung jawab kepada pembelajaran tingkah laku. Pemerhatian tingkah laku orang lain merupakan sebagai proses peniruan yang akan membentuk tingkah laku devian seseorang.
Peniruan melalui pemerhatian merupakan satu proses pembalajaran tanpa melibatkan pengalaman lepas secara langsung (Renfrew, 1997).


AplikasiDalam Bidang Pendidikan
Teori-teori Albert Bandura banyak di aplikasikan dalam bidang pendidikan terutama pada pembelajaran sosial (social learning theory). Teori pembelajaran sosial ini pada awalnya dinamakan sebagai “Teori Sosial Kognitif” oleh Bandura sendiri (Moore, 2002). Teori pembelajaran sosial menyatakan bahwa faktor-faktor sosial, kognitif dan tingkah laku memainkan peranan penting dalam pembelajaran (Santrock, 2001). Faktor kognitif akan mempengaruhi wawasan pelajar tentang pemahaman; sementara faktor sosial, termasuk perhatian pelajar tentang tingkah laku dan imitasi ibu bapaknya, akan mempengaruhi tingkah laku pelajar tersebut.
Teori pembelajaran sosial menganggap manusia sebagai makhluk yang aktif, berupaya membuat pilihan dan menggunakan proses-proses perkembangan untuk menyimpulkan peristiwa serta berkomunikasi dengan orang lain. Perilaku manusia tidak ditentukan oleh pengaruh lingkungan dan sejarah perkembangan seseorang atau bertindak pasif terhadap pengaruh lingkungan. Dalam banyak hal, manusia adalah selektif dan bukan entiti yang pasif, yang boleh dipengaruhi oleh keadaan lingkungan mereka.
Bandura (1977) menyatakan bahwa "Learning would be exceedingly laborious, not to mention hazardous, if people had to rely solely on the effects of their own action to inform them what to do. Fortunately, most human behavior is learned observationally through modeling: from observing others one form an idea of her new behavior are performed, and on later occasion this coded information serves as a guide for action".
Teori Bandura menjelaskan perilaku manusia dalam konteks interaksi timbal balik yang berkesinambungan antara kognitif, perilaku dan pengaruh lingkungan. Kondisi lingkungan sekitar individu sangat berpengaruh pada pola belajar sosial jenis ini. Contohnya, seorang yang hidupnya dan dibesarkan di dalam lingkungan judi, maka dia cenderung untuk memilih bermain judi, atau sebaliknya menganggap bahawa judi itu adalah tidak baik.
Teori belajar ini juga dikembangkan untuk menjelaskan bagaimana seseorang belajar dalam keadaan atau lingkungan yang sebenarnya. Bandura (1977) menghipotesiskan bahwa tingkah laku (B = behavior), lingkungan (E = environment) dan kejadian-kejadian internal pada pelajar yang mempengaruhi persepsi dan aksi (P = perception) adalah merupakan hubungan yang saling berpengaruh atau berkaitan (interlocking). menurut Albert Bandura lagi, tingkah laku sering dievaluasi, iaitu bebas dari timbal balik sehingga boleh mengubah kesan-kesan personal seseorang. Pengakuan sosial yang berbeda mempengaruhi konsepsi diri individu.
Teori belajar sosial menekankan, bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada seseorang secara kebetulan; lingkungan-lingkungan itu kerap kali dipilih dan diubah oleh orang itu melalui perilakunya sendiri. Menurut Bandura, sebagaimana (Kardi, S., 1997: 14) bahwa “sebagian besar manusia belajar melalui pengamatan secara selektif dan mengingat tingkah laku orang lain”. Inti dari teori pembelajaran sosial adalah pemodelan (modelling), dan permodelan ini merupakan salah satu langkah paling penting dalam pembelajaran terpadu.
Ada dua jenis pembelajaran melalui pengamatan (observational learning).
Pertama, pembelajaran melalui pengamatan dapat terjadi melalui kondisi yang dialami orang lain atau vicarious conditioning. Contohnya, seorang pelajar melihat temannya dipuji atau ditegur oleh gurunya kerana perbuatannya, maka ia kemudian meniru melakukan perbuatan lain yang tujuannya sama ingin dipuji oleh gurunya. Kejadian ini merupakan contoh dari penguatan melalui pujian yang dialami orang lain atau vicarious reinforcement.
 Kedua, pembelajaran melalui pengamatan meniru perilaku suatu model meskipun model itu tidak mendapatkan penguatan atau pelemahan pada saat pengamat itu sedang memperhatikan model itu mendemonstrasikan sesuatu yang ingin dipelajari oleh pengamat tersebut dan mengharapkan mendapat pujian atau penguatan apabila menguasai secara tuntas apa yang dipelajari itu. Model tidak harus diperagakan oleh seseorang secara langsung, tetapi kita dapat juga menggunakan seseorang pemeran atau visualisasi tiruan sebagai model.
Menurut Bandura, perlakuan seseorang adalah hasil interaksi faktor dalam diri (kognitif) dan lingkungan. Untuk menjelaskan pandangan ini, beliau telah mengemukakan teori tentang imitasi. Bersama dengan Walter (1963) dia mengadakan penelitian pada anak-anak dengan cara menonton orang dewasa memukul, mengetuk dengan tukul besi dan menumbuk sambil menjerit-jerit ‘sockeroo’ dalam film. Setelah menonton film anak-anak ini diarah bermain di ruang permainan dan terdapat patung seperti yang ditayangkan dalam film. Setelah kanak-kanak tersebut melihat patung tersebut, mereka meniru aksi-aksi yang dilakukan oleh orang yang mereka tonton dalam film.
Pendekatan teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral ditekankan pada perlunya conditioning (pembiasaan merespons) dan imitation (peniruan).
Prosedur-prosedur Social learning:
Conditioning
Prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku sosial dan moral pada dasarnya sama dengan prosedur belajar dalam mengembangkan perilaku-perilaku lainnya, yakni dengan; Reward (hadiah), Punishment (hukuman). Dasar pemikirannya: Sekali seorang mempelajari perbedaan antara perilaku-perilaku yang menghasilkan ganjaran (reward)dengan perilaku-perilaku yang mengakibatkan hukuman (punishment), sehingga dia bisa memutuskan sendiri perilaku mana yang akan dia perbuat.
Imitation
Imitation (peniruan). Dalam hal ini, orang tua dan guru diharapkan memainkan peran penting sebagai seorang model/tokoh yang dijadikan contoh berperilaku sosial dan moral. Kualitas kemampuan peserta didik dalam melakukan perilaku social hasil pengamatan terhadap model tersebut, antara lain bergantung pada ketajaman persepsinya mengenai ganjaran dan hukuman yang berkaitan dengan benar dan salahnya perilaku yang ia tiru dari model tadi. Selain itu, tingkat kualitas imitasi tersebut juga bergantung pada persepsi peserta didik “siapa “ yang menjadi model. Maksudnya, semakin piawai dan berwibawa seorang model, semakin tinggi pula kualitas imitasi perilaku social dan moral peserta didik tersebut. Jadi dalamSocial Learning, anak belajar karena contoh lingkungan. Interaksi antara anak dengan lingkungan akan menimbulkan pengalaman baru bagi anak-anak. 

Kelebihan Dan Kekuranga  Teori Belajar Sosial
Kelebihan
1.      Berfokus pada situasi yang mempengaruhi perilaku
Satu karakteristik dari struktural, trait, dan teori organisme adalah bahwa mereka menempatkan penyebab perilaku utama di dalam diri seseorang dan oleh karena itu teori ini meramalkan bahwa seseorang akan bertindak sama pada situasi yang berbeda. Dengan begitu Freud, mengharapkan seorang anak dengan superego yang kuat menjadi sangat sulit dikontrol dalam kebanyakan situasi. Pada hal yang sama Piaget relatif tidak tertarik pada kenyataannya bahwa konservasi diperoleh untuk area tertentu sebelum yang lainnya atau memperoleh sebagian pengetahuan baru boleh jadi diperlihatkan di dalam situasi yang lainnya. Teori belajar, pada lawannya telah mengambil cara berpendirian berperilaku seseorang pada kenyataannya jenis tipikal dari situasi ke situasi yang lain, tergantung pada stimulus dan penguat yang ditemukan pada masing-masing situasi dan pada pengalaman masa lalu apakah yang diperoleh seseorang pada situasi tersebut.
2.      Berfokus pada alat pengamatan, perilaku sosial emosional dan motivasi
Walaupun banyak ahli teori yang mengakui bahwa pikiran dalam suatu konteks sosial, mereka tidak banyak menyediakan keterangan yang detail. Pembatasan ini adalah suatu masalah yang serius. Ada 2 pertanyaan inti di sini yaitu: pertama, bagaimana pengalaman sosial mempengaruhi perkembangan kognitif? Berkenaan dengan pertanyaan pertama, teori belajar sosial menguraikan bagaimana modeling, instruksi dari lainnya dan pelajaran seolah mengalami sendiri tentang hukuman dan penguatan mengabarkan informasi untuk anak-anak. Banyak informasi baru yang datang dari yang lainnya dibanding dari trial and error yang langsung dialami oleh dunia fisik. Bahkan gaya pengolahan informasi, seperti pengambilan keputusan yang mengikuti kata hati dapat ditiru. Kedua, bagaimana cara pengembangan teori mempengaruhi pemahaman peristiwa sosial anak-anak? Berkenaan dengan pertanyaan ini, jawaban Bandura adalah perkembangan kognitif pengertian sosial dengan cara berikut ketika anak-anak menjadi semakin terampil dalam mengambil keputusan, mewakili peristiwa secara simbolis, menggunakan strategi memori dan menyusun kembali pengetahuan yang lalu, hal ini menjadi lebih efisien pada pemahaman perilaku yang mereka amati.
3.      Memberikan pengertian tentang gejala-gejala perkembangan anak.
4.      Memberikan pengertian mengenai peranan interaksi antara lingkungan dengan anak, misalnya : ibu dengan anaknya yang sedang belajar bahasa.
Kelemahan
1.      Perhatian tentang perkembangan kognitif tidak cukup
Teori Bandura lebih lengkap dibandingkan teori belajar sebelumnya karena itu menekankan bahwa lingkungan dan perilaku seseorang dihubungkan melalui sistem kognitif orang tersebut. Bagaimanapun, alam dari sistem kognitif, bagaimana itu berkembang, dan bagaiman pengembangan ini mempengaruhi penelitian belajar mengutamakan untuk keberhasilan. Walaupun teori ini telah bebas mengadopsi teori pengolahan informasi yang telah diperhitungkan dari pemikiran, hanya gambaran umum yang diperhitungkan, seperti penyajian simbolis, perhatian, penyimpanan informasi, konstruksi aturan dan verifikasi.

Implikasi Teori Albert Bandura
A.    Analisis Kasus Menurut Kajian Teoritis
Kategori belajar terdiri atas ketrampilan sensomotor yakni tindakan yang bersifat otomatis. Teori Bandura mengandung banyak implikasi bagi pendidikan. Bandura percaya bahwa segala sesuatu yang dapat dipelajari melalui pengalaman langsung juga bisa dipelajari secara tak langsung lewat observasi. Bandura juga percaya bahwa model akan amat efektif jika dilihat sebagai memiliki kehormatan, kompetensi, status tinggi atau kekuasaan. 
Belajar asosiasi yaitu hubungan antara urutan kata dan objek, ketrampilan pengamatan motoris yakni hubungan antara belajar sensomotor dengan belajar asosiasi. Belajar konseptual yakni gambaran mental secara umum dan abstrak tentang situasi atau kondisi, belajar cita-cita dan sikap, serta belajar memecahkan masalah yang menuntut kemampuan memanipulasikan ide-ide yang abstrak.
B.     Implikasi Teori-Teori Belajar Dalam Pendidikan
Kebanyakan yang diajarkan di sekolah adalah tingkah laku yang komplek, bukan hanya simpel respons. Tingkah laku yang komplek ini dapat diajarkan melalui proses shaping atau succesive approximation, beberapa tingkah laku yang mendekati respons terminal. Proses ini dimulai dengan penetapan tujuan, kemudian diadakan analisis tugas, langkah-langkah kegiatan murid dan reinforcement terhadap respon yang diinginkan.
Suatu bentuk belajar yang tidak dapat dinamakan dengan classical conditioning maupun operant conditioning. Dalam modelling, seseorang yang belajar mengikuti kelanjutan orang lain sebagai model. Tingkah laku manusia lebih banyak dipelajari melalui modelling atau imitasi dari pada melalui pengajaran langsung.
Prosedur-prosedur pengendalian atau perbaikan tingkah laku
a)      Memperkuat tingah laku bersaing
Dalam usaha mengubah tingkah yang tidak diinginkan diadakan penguatan tingkah laku yang diinginkan misalnya dengan kegiatan kerjasama, membaca dan bekerja disatu meja untuk mengatasi kelakuan-kelakuan menentang, melamun dan hilir-mudik
b)      Extincsi
Dilakukan dengan membuang atau meniadakan peristiwa penguat tingkah laku. Extincsi dapat dipakai bersama metode lain seperti modelling dan sosial reinforcemenr. Extincsi berlangsung terutama jika reinforcement adalah perhatian. Apabila murid memperhatikan kesana-kemari, maka perubahan Extincsi guru-murid akan menghentikan tingkah laku murid tersebut.
c)      Satiasi
Adalah suatu prosedur menyuruh seseorang melakukan perbuatan berulang-ulang sehingga ia menjadi lelah dan jera. Contoh : seorang guru yang memergoki muridnya menyuruh anak merokok sampai habis satu pak sehingga murid itu bosan
d)     Perubahan Lingkungan
Beberapa tingkah laku dapat dikendalikan oleh perubahan kondisi stimuli yang mempengaruhi tingkah laku itu. Jika murid terganggu oleh suara gaduh diluar kelas ketukan jendela dapat menghentikan gangguan itu.
e)      Hukuman
Untuk memperbaiki tingkah laku hukuman hendaknya diterapkan di kelas dengan bijaksana. Hukuman dapat mengatasi tingkah laku yang tidak diinginkan dalam waktu singkat, untuk itu perlu disertai dengan reinforcement. Hukuman menunjukkan apa yang tidak boleh dilakukan murid, sedangkan reword menunjukkan apa yang mesti dilakukan oleh murid.
BAB 12
TEORI BELAJAR DONALD O. HEBB
Abdul Rouf, Ihya’ Ulumuddin

Neuropsychology:
1)        Konsep/Prinsip/Asumsi Dasar
Hebb membangun teori cell assembly dan phase sequence (hubungan dan gabungan antarsel). Hubungan satu sel syaraf otak dengan sel syaraf otak lain melalui impuls yang dikirim membuat bagian syaraf terstimulasi lebih aktif.Stimulus-respon dalam teori asosiasi dan fungsi stimulus-respon dalam teori fungsionalis merupakan sistem kognitif yang melibatkan otak dan syaraf dalam kesatuan kinerja. Lokalisasi otak (enriched environment) menempatkan individu dalam lingkungan yang menstabilkannya untuk memperoleh banyak pengetahuan baru.
Dalam Olson & Heiggenhanhn (2009) teori utama Hebb adalah pertemuan antarsel dan tahap rangkaian. Sebuah pertemuan sel adalah paket neural yang berasosiasi dengan objek lingkungan. Jika paket neural distimulasi dalam ketidakhadiran objek yang berasosiasi, sebuah ide dari objek tersebut dicobakan. Tahap rangkaian adalah sebuah seri dari sel yang saling berhubungan. Jika beberapa kejadian khusus terjadi bersama-sama dalam sebuah lingkungan, mereka terwakili pada tingkat neural sebagai sebuah tahap rangkaian.
2)        Tipe belajar
Tipe belajar Hebb berdasar pada teori R. Y. Cajal tentang kondisioning yang terjadi karena adanya aliran dalam sistem syaraf. Hebb memformulasikan hipotesis mekanisme biologis yang disebut teori belajar Hebbian.
3)        Mekanisme belajar
Teori belajar Hebbian dibagi dalam dua bagian:
a)      Koneksi dua sel yang berhubungan secara simultan lebih kuat. Jika individu diberi stimulus terus menerus, maka akan menguasai.Sistem otaknya terbiasa menerima stimulus tersebut.
b)      Belajar diartikan sebagai penambahan tegangan formasi dalam sel syaraf otak. Terdapat dalam long termmemorypadatingkatbiomolekular. Sedangkanshort termmemory merupakanaktivitas yang tetapdandapatdipertahankanmelaluiimpulsmendadakantarselmeskipun stimulus awalnyahilang. Semuaterbentukolehmekanismesinapsis.
Menurut Hebb terdapat dua macam pembelajaran yaitu:
a)        Pembangunan lambat pertemuan antarsel dan tahap rangkaian pada permulaan awal kehidupan.
b)        Pembelajaran yang lebih berwawasan pada masa dewasa.
Belajar berasosiasi dengan memperkuat koneksi (respon reaksi dalam otak). Dengan adanya hubungan stimulus dengan respon, mekanisme belajar terjadi. Di dalam otak terdapat biological plausability sebagaisistem neural net modelling/sistem jaring laba-laba pada otak.
4)        Aplikasi dalam Kehidupan Nyata dari Teori Hebb
Selama proses pembelajaran awal, sebuah lingkungan yang kaya akan stimulus akan menjadi sangat penting untuk seorang anak, termasuk bermacam-macam objek penglihatan, suara tekstur, bentuk, objek, dan yang lainnya. Semakin kompleks lingkungan, akan semakin banyak terwakili dalam tingkat neurologis. Semakin banyak terwakili dalam neurologis, semakin banyak anak tersebut berpikir. Hebb menyarankan agar anak-anak diberi lingkungan dengan bermacam-macam stimulus atau varietas.



 Tim Penyusun Naskah Modul Psikologi Belajar 
Psikologi 6 G1 UIN Sunan Ampel Surabaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Saran dan komentar anda akan sangat membantu dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas kami dalam berbagi.