PSIKOLOGI ABNORMAL SKIZOFRENIA
PSIKOLOGI ABNORMAL SKIZOFRENIA
GAMBARAN UMUM
SKIZOFRENIA
Skizofrenia merupakan gangguan
jiwa dengan gejala mencakup gangguan pada pikiran, perasaan dan perilaku. Pada
DSM IV dan DSM IV-TR, skizofrenia mencakup 2 kelompok gejala, yaitu gejala
positif dan gejala negatif disertai dengan kemunduran fungsi sosial, pekerjaan,
dan hubungan interpersonal yang berlangsung selama paling sedikit 6 bulan.
Gejala-gejala skizofrenia pada umumnya bisa dibagi menjadi
dua kelas:
1.
Gejala-gejala Positif.Termasuk halusinasi,
delusi, gangguan pemikiran (kognitif). Gejala-gejala ini disebut positif karena
merupakan manifestasi jelas yang dapat diamati oleh orang lain.
2.
Gejala-gejala Negatif. Gejala-gejala yang
dimaksud disebut negatif karena merupakan kehilangan dari ciri khas atau fungsi
normal seseorang. Termasuk kurang atau tidak mampu menampakkan/ mengekspresikan
emosi pada wajah dan perilaku, kurangnya dorongan untuk beraktivitas, tidak
dapat menikmati kegiatan-kegiatan yang disenangi dan kurangnya kemampuan bicara
(alogia).
ETIOLOGI
Manusia bereaksi secara
keseluruhan, secara holistik, atau dapat dikatakan juga, secara
somato-psiko-sosial. Dalam mencari penyebab gangguan jiwa, maka ketiga unsur
ini harus diperhatikan. Gangguan jiwa artinya bahwa yang menonjol ialah
gejala-gejala yang patologik dari unsur psike. Hal ini tidak berarti bahwa
unsur yang lain tidak terganggu. Sekali lagi, yang sakit dan menderita ialah
manusia seutuhnya dan bukan hanya badannya, jiwanya atau lingkungannya.
Hal-hal yang dapat mempengaruhi
perilaku manusia ialah keturunan dan konstitusi, umur dan sex, keadaan
badaniah, keadaan psikologik, keluarga, adat-istiadat, kebudayaan dan
kepercayaan, pekerjaan, pernikahan dan kehamilan, kehilangan dan kematian orang
yang dicintai, agresi, rasa permusuhan, hubungan antar amanusia, dan
sebagainya.
Biarpun gejala umum atau gejala
yang menonjol itu terdapat pada unsur kejiwaan, tetapi penyebab utamanya
mungkin di badan (somatogenik), dilingkungan sosial (sosiogenik) ataupun
dipsike (psikogenik). Biasanya tidak terdapat penyebab tunggal, akan tetapi
beberapa penyebab sekaligus dari berbagai unsur itu yang saling mempengaruhi
atau kebetulan terjadi bersamaan, lalu timbullah gangguan badan ataupun jiwa.
Umpamanya seorang dengan depresi, karena kurang makan dan tidur daya tahan
badaniah seorang berkurang sehingga mengalami keradangan tenggorokan atau
seorang dengan mania mendapat kecelakaan.
Sebaliknya seorang dengan
penyakit badaniah umpamanya keradangan yang melemahkan, maka daya tahan
psikologiknya pun menurun sehingga ia mungkin mengalami depresi. Sudah lama
diketahui juga, bahwa penyakit pada otak sering mengakibatkan gangguan jiwa.
Contoh lain ialah seorang anak yang mengalami gangguan otak (karena kelahiran,
keradangan dan sebagainya) kemudian menadi hiperkinetik dan sukar diasuh. Ia
mempengaruhi lingkungannya, terutama orang tua dan anggota lain serumah. Mereka
ini bereaksi terhadapnya dan mereka saling mempengaruhi.
Sumber
penyebab gangguan jiwa dipengaruhi oleh faktor-faktor pada ketiga unsur itu
yang
terus
menerus saling mempengaruhi, yaitu :
1.
Faktor-faktor somatik (somatogenik)
Ø
Neroanatomi
Ø
Nerofisiologi
Ø
Nerokimia
Ø
Tingkat kematangan dan perkembangan organik
Ø
Faktor-faktor pre dan peri – natal
2.
Faktor-faktor psikologik ( psikogenik) :
Ø
Interaksi ibu –anak : normal (rasa percaya dan
rasa aman) atau abnormal berdasarkan kekurangan, distorsi dan keadaan yang
terputus (perasaan tak percaya dan kebimbangan)
Ø
Peranan ayah
Ø
Persaingan antara saudara kandung
Ø
Inteligensi
Ø
Hubungan dalam keluarga, pekerjaan, permainan
dan masyarakat
Ø
Kehilangan yang mengakibatkan kecemasan,
depresi, rasa malu atau rasa salah
Ø
Konsep dini : pengertian identitas diri sendiri
lawan peranan yang tidak menentu
Ø
Keterampilan, bakat dan kreativitas
Ø
Pola adaptasi dan pembelaan sebagai reaksi
terhadap bahaya
Ø
Tingkat perkembangan emosi
3.
Faktor-faktor sosio-budaya (sosiogenik)
Ø
Kestabilan keluarga
Ø
Pola mengasuh anak
Ø
Tingkat ekonomi
Ø
Perumahan : perkotaan lawan pedesaan
Ø
Masalah kelompok minoritas yang meliputi
prasangka dan fasilitas kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan yang tidak
memadai
Ø
Pengaruh rasial dan keagamaan
Ø
Nilai-nilai
Faktor – Faktor
Penyebab
A. Faktor Biologis
a.
Genetika :
Menurut
Cloninger, 1989 gangguan jiwa; terutama gangguan persepsi sensori dan gangguan
psikotik lainnya erat sekali penyebabnya dengan faktor genetik termasuk di
dalamnya saudara kembar, atau anak hasil adopsi. Individu yang memiliki anggota
keluarga yang mengalami gangguan jiwa memiliki kecenderungan lebih tinggi
dibanding dengan orang yang tidak memiliki faktor herediter.
Adanya faktor
keturunan yang menentukan timbulnya skizofrenia. Buktinya adalah penelitian
tentang keluarga-keluarga penderita skizofrenia, terutama anak-anak kembar satu
telur. Angka kesakitan bagi saudara tiri 0,9-1,8%, saudara kandung 7-15%, bagi
anak dengan salah salah satu orang tua yang menderita skizofrenia 7-16%, bila
kedua orang tua menderita skizofrenia 40-68%, bagi kembar dua telur 2-15%, bagi
kembar satu telur 61-86%. Potensi untuk mendapatkan skizofrenia diturunkan
melalui gen yang resesif, potensi ini mungkin kuat, mungkin juga lemah, tetapi
selanjutnya tergantung pada lingkungan individu itu apakah akan terjadi
skizofrenia atau tidak.
b.
Neurobiological
Klien yang
mengalami gangguan jiwa memiliki ciri-ciri biologis yang khas terutama pada
susunan dan struktur syaraf pusat, biasanya klien mengalami pembesaran
ventrikel ke III sebelah kirinya. Ciri lainnya terutama adalah pada klien yang
mengalami Schizofrenia memiliki lobus frontalis yang lebih kecil dari rata-rata
orang yang normal (Andreasen, 1991).
Menurut Candel,
Pada klien yang mengalami gangguan jiwa dengan gejala takut serta paranoid
(curiga) memiliki lesi pada daerah Amigdala sedangkan pada klien Schizofrenia
yang memiliki lesi pada area Wernick’s dan area Brocha biasanya disertai dengan
Aphasia serta disorganisasi dalam proses berbicara (Word salad).
Adanya
Hiperaktivitas Dopamin pada klien dengan gangguan jiwa seringkali menimbulkan
gejala-gejala Schizofrenia. Menurut hasil penelitian, neurotransmitter tertentu
seperti Norepinephrine pada klien gangguan jiwa memegang peranan dalam proses
learning, Memory reiforcement, Siklus tidur dan bangun, kecemasan, pengaturan
aliran darah dan metabolisme. Neurotransmitter lain berfungsi sebagai
penghambat aktivasi dopamin pada proses pergerakan yaitu GABA.(Gamma Amino
Butiric Acid). Menurut Singgih gangguan mental dan emosi juga bisa disebabkan
oleh perkembangan jaringan otak yang tidak cocok (Aplasia). Kadang-kadang
seseorang dilahirkan dengan perkembangan cortex cerebry yang kurang sekali,
atau disebut sebagai otak yang rudimenter (Rudimentary Brain). Contoh gangguan
tersebut terlihat pada Microcephaly yang ditandai oleh kecilnya tempurung otak.
Adanya trauma pada waktu kelahiran,
tumor, Infeksi otak seperti Enchepahlitis Letargica, gangguan kelenjar endokrin
seperti thyroid, keracunan CO (carbon Monoxide)serta perubahanperubahan karena
degenerasi yang mempengaruhi sistem persyarafan pusat.
c.
Biokimiawi tubuh
Beberapazat kimia otaktelah
terlibatdalam skizofrenia, adalah sebagai berikut :
·
Kelebihan dari dopamin neurotransmitter.
·
Sebuah ketidakseimbangan antara neurotransmitter
dopamine dan lainnya, khususnya serotonin.
·
Masalahdalam system reseptor dopamine strategi
beberapa penelitian mendukung peran dopamine dalam skizofrenia. Sebagai contoh,
obat yang meningkatkan kadar dopamine di otak dapat menghasilkan psikosis. Obat
yang mengurangi fungsi dopamine memiliki efek antipsikotik juga. Ini terlihat
dalam obat antipsikotik yang mengurangi jumlah reseptor postsynaptic yang
berinteraksi dengan dopamin.
d.
Neurobehavioral
Kerusakan pada
bagian-bagian otak tertentu ternyata memegang peranan pada timbulnya
gejala-gejala gangguan jiwa, misalnya:
·
Kerusakan pada lobus frontalis: menyebabkan
kesulitan dalam proses pemecahan masalah dan perilaku yang mengarah pada
tujuan, berfikir abstrak, perhatian dengan manifestasi gangguan psikomotorik.
·
Kerusakan pada Basal Gangglia dapat menyebabkan
distonia dan tremor
·
Gangguan pada lobus temporal limbic akan
meningkatkan kewaspadaan, distractibility, gangguan memori (Short time).
Penyebab
skizofrenia karena kelainan susunan saraf pusat, yaitu pada diencephalon atau
kortex otak. Tetapi kelainan patologis yang ditemukan mungkin disebabkan oleh
perubahan-perubahan post mortem atau artefak pada waktu membuat sediaan.
Teori-teori itu dimasukan ke dalam kelompok teori somatogenik, teori yang
mencari penyebab skizofrenia dalam kelainan badaniah.
Skizofrenia
paranoid disebabkan kelainan susunan saraf pusat, yaitu pada diensefalon/ oleh
perubahan-perubahan post mortem/ merupakan artefak pada waktu membuat sediaan.
Gangguan endokrin juga berpengaruh, pada teori ini dihubungkan dengan timbulnya
skizofrenia pada waktu pubertas, waktu kehamilan atau puerperium dan waktu
klimaterium. Begitu juga dengan gangguan metabolisme, hal ini dikarenakan pada
orang yang mengalami skizofrenia tampak pucat dan tidak sehat, ujung
ekstremitas sianosis, nafsu makan berkurang dan berat badan menurun. Teori ini
didukung oleh Adolf Meyer yang menyatakan bahwa suatu konstitusi yang inferior/
penyakit badaniah dapat mempengaruhi timbulnya skizofrenia paranoid (Maramis,
1998).
Menurut Schebel
(1991) dalam Townsend (1998) juga mengatakan bahwa skizofrenia merupakan
kecacatan sejak lahir, terjadi kekacauan dari sel-sel piramidal dalam otak,
dimana sel-sel otak tersusun rapi pada orang normal.
Gangguan
neurologis yang mempengaruhi sistem limbik dan ganglia basalis sering
berhubungan dengan kejadian waham. Waham oleh karena gangguan neurologis yang
tidak disertai dengan gangguan kecerdasan, cenderung memiliki waham yang
kompleks. Sedangkan waham yang disertai dengan gangguan kecerdasan sering kali
berupa waham sederhana (kaplan dan Sadock, 1997).
B. Faktor Psikologis
Menurut Carpenito
(1998), klien dengan waham memproyeksikan perasaan dasarnya dengan mencurigai.
Pada klien dengan waham kebesaran terdapat perasaan yang tidak adekuat serta
tidak berharga. Pertama kali mengingkari perasaannya sendiri, kemudian
memproyeksikan perasaannya kepada lingkungan dan akhirnya harus menjelaskan
kepada orang lain. Apa yang seseorang pikirkan tentang suatu kejadian
mempengaruhi perasaan dan perilakunya. Beberapa perubahan dalam berpikir,
perasaan atau perilaku akan mengakibatkan perubahan yang lain. Dampak dari
perubahan itu salah satunya adalah halusinasi,dapat muncul dalam pikiran
seseorang karena secara nyata mendengar, melihat, merasa, atau mengecap
fenomena itu, sesuai dengan waktu, kepercayaan yang irrasional menghasilkan
ketidakpuasan yang ironis, menjadi karakter yang “Wajib” dan “Harus.
C. Sebab sosio kultural
Kebudayaan
secara teknis adalah ide atau tingkah laku yang dapat dilihat maupun yang tidak
terlihat. Faktor budaya bukan merupakan penyebab langsung menimbulkan gangguan
jiwa, biasanya terbatas menentukan “warna” gejala-gejala. Disamping
mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan kepribadian seseorang misalnya
melalui aturan-aturan kebiasaan yang berlaku dalam kebudayaan tersebut.
Beberapa faktor-faktor kebudayaan tersebut :
·
Cara-cara membesarkan anak
Cara-cara
membesarkan anak yang kaku dan otoriter , hubungan orang tua anak menjadi kaku
dan tidak hangat. Anak-anak setelah dewasa mungkin bersifat sangat agresif atau
pendiam dan tidak suka bergaul atau justru menjadi penurut yang berlebihan.
·
Sistem Nilai
Perbedaan sistem
nilai moral dan etika antara kebudayaan yang satu dengan yang lain, antara masa
lalu dengan sekarang sering menimbulkan masalah-masalah kejiwaan. Begitu pula
perbedaan moral yang diajarkan dirumah / sekolah dengan yang dipraktekkan di
masyarakat sehari-hari.
·
Kepincangan antar keinginan dengan kenyataan
yang ada Iklan-iklan diradio, televisi. Surat kabar, film dan lain-lain
menimbulkan bayangan-bayangan yang menyilaukan tentang kehidupan modern yang
mungkin jauh dari kenyataan hidup sehari-hari. Akibat rasa kecewa yang timbul,
seseorang mencoba mengatasinya dengan khayalan atau melakukan yang merugikan
masyarakat.
·
Ketegangan akibat faktor ekonomi dan kemajuan
teknologi. Dalam masyarakat modern kebutuhan makin meningkat dan persaingan
makin meningkat dan makin ketat untuk meningkatkan ekonomi hasil-hasil
teknologi modern. Memacu orang untuk bekerja lebih keras agar dapat
memilikinya. Jumlah orang yang ingin bekerja lebih besar dari kebutuhan
sehingga pengangguran meningkat, demikian pula urbanisasi meningkat,
mengakibatkan upah menjadi rendah. Faktor-faktor gaji yang rendah, perumahan
yang buruk, waktu istirahat dan berkumpul dengan keluarga sangat terbatas dan
sebagainya merupakan sebagian mengakibatkan perkembangan kepribadian yang
abnormal.
·
Perpindahan perpindahan kesatuan keluarga.
Khusus untuk
anak yang sedang berkembang kepribadiannya, perubahan-perubahan lingkungan
(kebudayaan dan pergaulan). Hal ini cukup mengganggu.
·
Masalah golongan minoritas
Tekanan-tekanan
perasaan yang dialami golongan ini dari lingkungan dapat mengakibatkan rasa
pemberontakan yang selanjutnya akan tampil dalam bentuk sikap acuh atau
melakukan tindakantindakan akan yang merugikan orang banyak.
Tinjauan Skizofrenia
menurut para ahli :
v
Teori Adolf Meyer
Skizofrenia tidak disebabkan oleh suatu
penyakit badaniah. Meyer mengakui bahwa suatu kontitusi yang inferior dapat
mempengaruhi timbulnya skizofrenia.
v
Teori Sigmund Freud
Bila kita memakai formula Freud, maka
pada skizofrenia terdapat:
a.
Kelemahan Ego, dapat timbul karena psikogenik
ataupun somatik.
b.
Superego dikesampingkan sehingga tidak bertenaga
lagi dan id yang berkuasa serta terjadi suatu regesi ke fase narsisme.
c.
Kehilangan kapasitas untuk pemindahan sehingga
terapi psikoanalitik tidak mungkin.
v
Eugen Bleuler
Bleuler mengajukan supaya lebih baik
dipakai istilah "skizzofrenia", karena nama ini tepat sekali
menonjolkan gejala utama penyakit, yaitu jiwa yang terpecah-belah, adanya
keretakan atau disharmoni antara proses berfikir, perasaan dan perbuatan
(schizos = pecah-belah atau bercabang, phren = Jiwa).
Bleuler membagi gejala-gejala
skizofrenia menjadi 2 kelompok:
a.
Gejala-gejala primer:
·
Gangguan proses pikiran.
·
Gangguan emosi.
·
Gangguan kemauan.
·
Otisme.
·
Gejala-gejala sekunder:
·
Waham.
·
Halusinasi.
·
Gejala katatonik atau ganguan psikomotorik yang
lain.
GEJALA-GEJALA
Ada 2
kelompok menurut Bleuler yaitu: primer dan sekunder.
v
Gejala-gejala Primer :
a.
Asosiasi terganggu (gangguan proses pikiran).
Pada skizofrenia, inti gangguan memang terdapat pada proses pikiran.
b.
Afek terganggu. Gangguan ini pada skizofrenia
mungkin berupa:
Ø
Parathimi: apa yang seharusnya menimbulkan rasa
senang dan gembira, tapi pada penderita timbul rasa sedih atau marah.
Ø
Paramimi: penderita merasa senang dan gembira,
akan tetapi ia menangis.
c.
Ambivalensi (Menghendaki 2 hal yang berlawanan
pada waktu yang sama).
d.
Autisme (Cenderung menarik diri dari dunia luar
dan akan berdialog dengan dunianya sendiri).
v
Gejala-gejala Sekunder:
a.
Waham: Pada skizofrenia, waham sering tidak logis
sama sekali dan sangat bizarre, tetapi penderita tidak sadar hal itu dan bagi
penderita wahamnya merupakan fakta dan tidak dapat diubah oleh siapa pun.
b.
Halusinasi: Pada skizofrenia, halusinasi timbul
tanpa penurunan kesadaran dan hal itu merupakan suatu gejala yang hampir tidak
dijumpai pada keadaan lain.
c.
Ilusi: Munculnya persepsi baru akibat adanya
mental image serta objek luar.
d.
Depersonalisasi: Suatu keadaan dimana dirinya
merasakan berubah.
e.
Negativisme: Sikap yang berlawanan dengan yang
diperintahkan kepadanya, dan dia menolak tanpa alasan.
f.
Automatisasi: Pekerjaan yang dilakukan dengan
sendirinya, tidak terpengaruh dari luar.
g.
Echolalia: Secara spontan menirukan bunyi atau
suara atau ucapan yang didengar dari orang lain.
h.
Mannerisme: Mengulang-ulang perbuatan tertentu
eksesif, biasanya dilakukan secara ritual seperti melakukan seremonial.
i.
Streotipi: Tindakan yang berulang-ulang.
j.
Fleksibilitas cerea: Sikap atau bentuk atau
posisi yang dipertahankan dalam posisi yang kosong.
k.
Benommenheit: Intelektual atau perkembangan yang
lambat.
l.
Katapleksi: Hilangnya tonus otot dan kelemahan
secara sementara serta dicetuskan oleh berbagai keadaan emosional.
Seorang
Penderita dapat digolongkan menjadi:
1.
Skizofrenia simplex. Sering timbul pertama kali
pada masa pubertas. Gejala utamanya adalah kedangkalan emosi dan kemunduran
kemauan. Gangguan proses berfikir biasanya ditemukan, waham dan halusinasinya
jarang sekali ada.
2.
Jenis hebefrenik. Permulaannya perlahan-lahan
atau subakut dan sering timbul pada masa remaja atau antara 15-25 tahun. Gejala
yang mencolok ialah: gangguan proses berfikir, gangguan kemauan dan adanya
depersonalisasi.
3.
Jenis katatonik. Timbul pertama kali antara umur
15-30 tahun, biasanya akut serta didahului oleh stres emosional. Mungkin
terjadi gaduh-gelisah katatonik atau stupor katatonik.
a.
Stupor Katatonik: Penderita tidak menunjukkan
perhatian sama sekali pada lingkungannya.
Gejala-gejalanya:
·
Mutisme, kadang-kadang dengan mata tertutup
·
Muka tanpa mimik.
·
Negativisme: bila diganti posisinya, penderita
menentang.
·
Terdapat grimas dan katalepsi.
b.
Gaduh gelisah katatonik: Terdapat hiperaktivitas
motorik, tetapi tidak disertai dengan emosi dan rangsangan dari luar.
4.
Jenis paranoid. Skizofrenia paranoid agak
berlainan dari jenis-jenis yang lain dalam perjalanan penyakitnya. Jenis ini
mulai sesudah umur 30 tahun. Penderita mudah tersinggung, mudah menyendiri,
agak congkak dan kurang percaya pada orang lain.
5.
Episoda skizofrenia akut.
Timbul mendadak
sekali dan pasien seperti dalam keadaan mimpi. Kesadarannya mungkin berkabut.
Dalam keadaan ini timbul perasaan seakan-akan dunia luar maupun dirinya sendiri
berubah, semuanya seakan-akan punya suatu arti yang khusus baginya.
6.
Skizofrenia residual. Gejala-gejala sekunder
tidak jelas. Keadaan ini timbul sesudah beberapa kali serangan skizofrenia.
7.
Jenis skizo-afektif. Di samping gejala-gejalanya
yang menonjol, secara bersamaan terdapat gejala-gejala depresi atau
gejala-gejala mania. Jenis ini cenderung untuk menjadi sembuh tanpa defek
tetapi mungkin juga akan sering timbul.
KRITERIA SKIZOFRENIA
MENURUT DSM-IV:
A.
Gejala Karakteristik
Dua (atau lebih) berikut,
masing-masing ditemukan untuk bagian waktu yang bermakna selama periode 1 bulan
(atau kurang jika diobati dengan berhasil):
1.
Waham.
2.
Halusinasi.
3.
Bicara terdisorganisasi (misalnya: sering
menyimpang atau inkoheren).
4.
Perilaku terdisorganisasi.
5.
Gejala negative, yaitu: pendataran afektif,
alogia, avolution.
Catatan: hanya satu gejala kriteria A yang diperlukan jika waham
adalah kacau atau halusinasi, yang terdiri dari: suara yang terus menerus
mengomentari perilaku atau pikiran pasien, dua atau lebih suara yang saling
bercakap-cakap satu sama lainnya.
Gangguan delusional didefinisikan
sebagai suatu gangguan psikiatrik dimana gejala utamanya adalah waham. Gangguan
delusional sebelumnya disebut “paranoia” atau “gangguan paranoid”. Tetapi,
istilah tersebut secara tidak tepat menyatakan bahwa waham selalu bersifat
persekutorik, dan tidak demikian halnya. Waham pada gangguan delusional juga
dapat bersifat kebesaran, erotik, cemburu, somatik, dan campuran.
Gangguan delusional harus
dibedakan dari gangguan alam perasaan dan skizofrenia. Walaupun pasien dengan
gangguan delusional mungkin memiliki suatu alam perasaan yang konsisten dengan
isi wahamnya, mereka tidak memiliki bukti meresapnya gejala afektif yang
terlihat pada gangguan alam perasaan. Demikian juga, pasien dengan gangguan
delusional adalah berbeda dengan pasien skizofrenik dalam hal tidak kacaunya
isi waham mereka (sebagai contohnya, “dibuntuti oleh FBI”, dimana tidak dapat dipercaya
tetapi mungkin terjadi, lawan “dikendalikan oleh orang suci”, yang tidak
mungkin). Pasien dengan gangguan delusional juga tidak memiliki gejala lain
yang ditemukan pada skizofrenia, seperti halusinasi yang menonjol, pendataran
afektif, dan gejala tambahan gangguan pikiran.
SEJARAH
Konsep skizofrenia pertama kali diformulasikan oleh dua psikiater
Eropa, Emil Kraepelin dan Eugen Bleuer. Kraepelin pertama kali mengemukakan
teorinya mengenai dementia praecox:, istilah awal untuk skizofrenia, pada tahun
1898. Dia membedakan dua kelompok utama psikosis yang disebutnya endogenik,
atau disebabkan secara internal, penyakit manik-depresif dan dementia praecox.
Dementia praecox mencakup beberapa konsep diagnostik—demensia paranoid,
katatonia, dan hebefrenia—yang dianggap sebagai entitas tersendiri oleh para
ahli klinis pada beberapa dekade ter‑dahalu. Meskipun berbagai gangguan
tersebut secara simtomatik berbeda, Kraepelin yakin .mereka memiliki kesamaan
inti dan istilah dementia praecox mencerminkan apa yang diyakininya merupakan
inti tersebut—yailu terjadi pada usia awal (praecox) dan perjalanan yang
memburuk yang ditandai oleh deteriorasi intelektual progresif (demensia).
Pandangan figur penting
berikutnya, Eugen Bleuler, mencerminkan upaya spesifik untuk mendefinisikan
inti gangguan dan mengubah titik berat Kraepelin pada usia terjadinya gangguan
dan pada perjalanan penyakit dalam definisinya. Pendapat Bleuler berbeda
dengan Kraepelin terkait dua poin utama: ia yakin bahwa gangguan tersebut tidak
selalu terjadi pada usia dini, dan ia yakin bahwa gangguan tersebut tidak akan
berkembang menjadi demensia tanpa dapat dihindari. Dengan demikian, sebutan
dementia praecox tidak sesuai lagi, dan pada tahun 1908 Bleuler mengajukan
istilahnya sendiri, skizofrenia, yang berasal dari bahasa Yunani schizein, yang
artinya "membelah," dan phren, yang artinya "akal pikiran",
untuk mencakupkan apa yang menurutnya merupakan karakteristik utama kondisi
tersebut.
Dengan tidak dianggapnya lagi
usia onset dan perjalanan yang memburuk sebagai ciri-ciri penentu gangguan ini,
Bleuler menghadapi masalah konseptual. Karena simtom-simtom skizofrenia dapat
sangat bervariasi antarpasien, ia harus memberikan semacam justifikasi untuk
mengelompokkan mereka dalam satu kategori diagnostik lunggal. Dengan demikian,
Bleuler perlu menentukan satu denominator umum, atau ciri utama, yang akan
menghubungkan berbagai macam gangguan. Konsep metaforis yang digunakan untuk
menggambarkan hal ini adalah "rusaknya jalinan asosiatif'.
Bagi Bleuler, jalinan asosiatif
tidak hanya menggabungkan kata-kata, namun juga pikiran. Dengan demikian,
pikiran dan komunikasi yang bertujuan dan efisien hanya dimungkinkan jika
berbagai struktur hipotetis tersebut merupakan satu kesatuan. Teori bahwa
jalinan - asosiatif pada para penderita skizofrenia mengalami kerusakan dapat
digunakan untuk menjelaskan berbagai masalah lain. Bleuler menganggap
kesulitan untuk memusatkan perhatian, contohnya, disebabkan oleh hilangnya
tujuan dalam berpikir, dan pada gilirannya menyebabkan respons-respons pasif
terhadap berbagai objek dan orang-orang di lingkungan sekelilingnya. Dengan
cara yang sama, ia - menganggap blocking, yaitu tampak hilangnya seluruh aliran
pikiran, sebagai gangguan total dalam jalinan asosiatif seseorang.
Meskipun Kraepelin mengakui bahwa
sejumlah kecil pasien yang pada awalnya menunjukkan simtom-simtom dementia
praecox tidak mengalami deteriorasi, ia lebih memilih untuk membatasi kategori
diagnostik ini bagi para pasien yang memiliki prognosis buruk. Karya Bleuler,
secara kontras, mengarah ke konsep skizofrenia yang luas. Ia mendiagnosis
beberapa pasien dengan prognosis yang baik sebagai skizofrenik, dan juga
mendiagnosis banyak pasien, yang akan didiagnosis berbeda oleh para ahli klinis
lain, berdasarkan konsepnya tentang skizofrenia.
Konsep yang Diperluas di Amerika Serikat
Bleuler mcmberikan pengaruh besar
terhadap konsep skizofrenia dalam perkembangannya di Amerika Serikat. Selama
paruh pertama abad ke-20 diagnosis tersebut semakin meluas. Di New York State
Psychiatric Insitute, contohnya, sekitar 20 persen pasien didiagnosis sebagai
skizofrenik pada tahun 1930-an. Angka tersebut meningkat di sepanjang tahun
1940-an dan pada tahun 1952 memuncak hingga mencapai angka 80 persen. Secara
kontras, konsep skizofrenia yang umum di Eropa tetap lebih sempit. Persentase
pasien yang didiagnosis sebagai skizofrenik di Rumah Sakit Maudsley di London,
contohnya, relatif konstan, yaitu 20 persen, dalam kurun waktu 40 tahun
(Kuriansky, Deming, & Garland, 1974).
Penyebab meningkatnya frekuensi
diagnosis skizofrenia di Amerika Serikat dapat diketahui dengan mudah. Beberapa
figur penting di dunia psikiatri AS lebih memperluas konsep skizofrenia Bleuler
yang pada dasarnya sudah luas. Contohnya, pada tahun 1933, Kasanin
menggambarkan sembilan pasien yang didiagnosis menderita dementia praecox.
Pada mereka gangguan tersebut timbul secara mendadak dan penyembuhannya relatif
cepat. Mengamati bahwa gangguan yang mereka alami dapat dikatakan sebagai
kombinasi skizofrenik dan simtom-simtom afektif, Kasanin mengajukan istilah
psikosis skizoafektif untuk menggambarkan berbagai gangguan yang dialami para
pasien tersebut. Diagnosis tersebut kemudian menjadi bagian konsep skizofrenia
di AS dan dicantumkan dalam DSM-I (1952) dan DSM-II (1968).
Konsep
skizofrenia lebih jauh diperluas dengan penambahan tiga praktik-praktik
diagnosis.
1.
Para ia ahli klinis AS cenderung mendiagnosis
skizofrenia bila terjadi waham dan halusinasi. Karena simtom-simtom ini,
terutama delusi, juga terjadi dalam gangguan mood, banyak pasien yang menerima
diagnosis skizofrenia berdasarkan DSM-II sebenarnya mengalami gangguan
mood-(Cooper dkk., 1972).
2.
Para pasien yang dewasa ini akan didiagnosis
mengalami gangguan kepribadian (terutama skizotipal, skizoid, ambang, dan
gangguan kepribadian paranoid, didiagnosis sebagai skizofrenik berdasarkan
kriteria DSM-II.
3.
Para pasien yang mengalami simtom-simtom
skizofrenik yang terjadi secara akut dengan kesembuhan yang cepat didiagnosis
menderita skizofrenia.
Diagnosis DSM-IV-TR
Berawal dari DSM-III (American Psychiatric Association, 1980) dan
berlanjut dalam DSM-IV (American Psychiatric Association, 1994) dan DSM-IV-TR
(American Psychiatric Association, 2000), konsep skizofrenia di AS mengalami
perubahan besar dari definisi terdahulu yang luas melalui lima hal berikut.
1.
Kriteria diagnostik disajikan dalam detail yang
eksplisit dan substansial.
2.
Para pasien yang mengalami simtom-simtom
gangguan mood secara spesifik dipisahkan. Skizofrenia, tipe skizoafektif,
sekarang dicantumkan sebagai gangguan skizoafektif di bagian yang berbeda
sebagai salah satu gangguan psikotik. Gangguan skizoafektif mencakup gabungan
simtom-simtom skizofrenia dan gangguan mood.
3.
DSM-1V-TR mensyaratkan bahwa gangguan terjadi
sekurangkurangnya enam bulan untuk diagnosis ini. Periode enam bulan tersebut
harus mencakup suatu episode akut atau fase aktif selama sekurang-kurangnya
sate bulan, ditandai dengan adanya minimal dua dari hal-hal berikut: waham,
halusinasi, disorganisasi pernbicaran, disorganisasi perilaku yang sangat nyata
atau perilaku katatonik, dan simtom-simtom negatif. (Hanya diperlukan satu dari
simtom-simtom di atas jika wahamnya aneh atau jika halusinasi mencakup
suara-suara yang mengomentari atau mendebat). Sisa waktu yang diperlukan bagi
diagnosis dapat terjadi sebelum atau sesudah fase aktif. Berbagai masalah yang
terjadi pada fase ini mencakup penarikan diri dari hubungan sosial,
hendaya/dalam keberfungsian peran, afek yang tumpul atau tidak sesuai,
kurangnya inisiatif, cara bicara yang membingungkan dan tidak dapat dimengerti,
gangguan dalam kebersihan dan kerapihan diri, keyakinan yang aneh atau pikiran
magis, dan pengalaman perseptual yang tidak wajar. Kriteria-kriteria tersebut
mengeliminasi pasien yang mengalami episode psikotik singkat, yang sering kali
berhubungan dengan stres, dan sembuh dengan cepat. Episode skizofrenik akut
dalam sekarang didiagnosis sebagai gangguan skizofreniform atau gangguan
psikotik singkat, yang juga dicantumkan di suatu bagian barn dalam DSM-IV-TR.
Simtom-simtom gangguan skizofreniform sama dengan skizofrenia, namun hanya
berlangsung selama satu hingga enam bulan. Gangguan psikotik singkat
berlangsung selama satu hari hingga satu bulan dan sering kali disebabkan oleh
stes ekstrem, seperti duka yang sangat dalam.
4.
Beberapa gangguan yang pada DSM-II dianggap
sebagai bentuk ringan skizofrenia sekarang didiagnosis sebagai gangguan
kepribadian, contohnya, gangguan kepribadian skizotipal.
5.
DSM-IV-TR membedakan antara skizofrenia
paranoid, akan dibahas secara singkat nanti, dan gangguan waham. Orang yang
menderita gangguan waham terganggu oleh waham kejaran yang terus-menerus atau
oleh waham cemburu, yaitu tuduhan yang tidak berdasar bahwa pasangan atau
kekasih mereka tidak setia. Waham lain mencakup waham merasa dibuntuti, waham
erotomania (yakin bahwa ia dicintai seseorang, biasanya orang yang sama sekali
tidak dikenal dengan status sosial yang lebih tinggi), dan waham somatik (yakin
bahwa ada organ tubuh yang tidak berfungsi). Tidak seperti orang yang menderita
skizofrenia paranoid, orang yang menderita gangguan waham tidak mengalami
disorganisasi bicara atau halusinasi, dan waham yang dialaminya tidak terlalu
aneh. Gangguan waham jarang ditemukan dan umumnya terjadi pada usia lebih tua
dibanding skizofrenia. Dalam sebagian besar studi keluarga gangguan ini
tampaknya memiliki kaitan dengan skizofrenia, mungkin secara genetik (Kendler
& Diehl,1993).
Apakah kriteria diagnoslik dalam DSM-IV-TR dapat diterapkan
di semua budaya? Data yang berkaitan dengan pertanyaan ini diperoleh dalam
studi World Health Organization di negara-negara industri dan negara berkembang
(Jlablonsky dkk., 1994). Kriteria-kriteria simtomatik tersebut dapat diterapkan
untuk semua budaya. Meskipun demikian, para pasien di negara-negara berkembang memiliki
kejadian yang lebih akut dan perjalanan penyakit yang lebih baik dibanding para
pasien di masyakarat industri. Penyebab temuan yang menarik ini tidak diketahui
(Sasser 6t Wanderling, 1994).
Kategori Skizofrenia dalam DSM-IV-TR
Telah disebutkan sebelumnya bahwa
heterogenitas simtom-simtom skizofrenik mendorong timbulnya usulan mengenai
berbagai subtipe gangguan ini. Tiga ape gangguan skizofrenik yang tercantum
dalam DSM T R—disorgarnsasi, katatonik dan paranoid—pertama kali dikemukakan oleh
Kraepelin bertahun- tahun.
SKIZOFRENIA PARANOID
Perjalanan penyakit pada
skizofrenia tipe paranoid agak konstan. Jarang terjadi hendaya dalam kemampuan
fungsi sehari-hari apabila isi waham tidak disentuh. Biasanya fungsi
intelektual dan pekerjaan dapat dipertahankan walaupun gangguan tersebut
bersifat kronik. Fungsi sosial dan kehidupan perkawinannya pada umumnya cukup
terganggu.
Pada skizofrenia paranoid gambaran
utama yang menonjol adalah Waham kejar
atau waham kebesaran, misalnya kelahiran luar biasa (excited birth), urusan
penyelamat bangsa, dunia dan agama, seperti misalnya kenabian atau mesias,
perubahan tubuh atau halusinasi yang mengandung isi kerajaan/kebesaran.
Sebagai tambahan, waham cemburu dapat pula ditemukan. Gambaran
penyertanya meliputi:
·
Kecemasan tak berfokus.
·
Kemarahan.
·
Suka bertengkar/berdebat.
·
Melakukan kekerasan.
·
Kadang ditemukan kebingungan tentang identitas
jenis atau ketakutan bahwa dirinya diduga oleh orang lain sebagai orang-orang
homoseksual.
Onset tipe ini cenderung timbul dalam
usia yang lebih lanjut dibandingkan dengan tipe lainnya, dan ciri-cirinya lebih
stabil dalam jangka panjang. Apabila seseorang penderita skizofrenia tipe
paranoid mempunyai keluarga yang menderita skizofrenia biasanya anggota
keluarganya menderita skizofrenia tipe paranoid.
KRITERIA DIAGNOSTIK SKIZOFRENIA PARANOID:
a.
Waham kejar.
b.
Waham besar.
c.
Waham cemburu.
d.
Halusinasi yang berisi kejaran atau kebesaran.
Diagnosis skizofrenia paranoid
diberikan kepada sejumlah besar pasien yang akhir-akhir ini dirawat di rumah
sakit jiwa. Kunci diagnosis ini adalah adanya waham. Waham kejaran adalah yang
paling umum, namun pasien dapat mengalami waham kebesaran, di mana mereka
memiliki rasa yang berlebihan mengenai pentingnya, kekuasaan, pengetahuan, atau
identitas diri mereka. Beberapa pasien terjangkit waham cemburu, suatu
keyakinan yang tidak herdasar bahwa pasangan seksual mereka tidak setia. Waham
lain yang disebutkan terdahulu, seperti merasa dikejar atau dimata-matai, juga
dapat terlihat jelas.
Halusinasi pendengaran yang jelas
dan nyata dapat rnenyertai waham. Para pasien yang menderita skizofrenia
paranoid sering kali mengalami ideas of reference; mereka memasukkan berbagai
peristiwa yang tidak penting ke dalam kerangka waham dan mengalihkan
kepentingan pribadi mereka ke dalam aktivitas tidak berarti yang dilakukan
orang lain. Contohnya, mereka mengira bahwa potongan percakapan yang tidak
sengaja mereka dengar adalah percakapan tentang diri mereka, bahwa sering
munculnya orang yang sama di suatu jalan yang biasa mereka lalui berarti mereka
sedang diawasi, dan bahwa apa yang mereka lihat di televisi atau baca di
majalah dengan satu atau lain cara merujuk pada mereka. Para individu yang
mengalami skizofrenia paranoid selalu cemas„.argumentatif, marah, dan kadang
kasar. Secara emosional mereka responsive, meskipun mereka kaku, formal, dan
intens kepada oranglain. Mereka juga lebih sadar dan verbal disbanding para
pasien skizofrenia tipe lain. Bahasa yang mereka gunakan meskipun penuh rujukan
pada delusi, tidak mengalamai disorganisasi. Bila ada pasien skizofrenia yang
mengalami masalah hukum, biasanya mereka dari kelompok yang menderita subtipe
paranoid.
PREVERENSI
PENANGANAN BIOLOGIS
Terapi Kejut dan Psychosurgery.
Pertemuan umum para pasien di
rumah rumah sakii jiwa di awal abad ke-20, ditambah minimnya staf profesional,
menciptakan sualu iklim yang memungkinkan, atau mungkin bahkan didorong secara
halus, eksperimentasi berbagai intervensi biologis yang radikal. Di awal tahun
1930-an praktik menimbulkan koma dengan memberikan insulin dalam dosis tinggi
diperkenalkan. oleh Sakel (1938), yang mengklaim bahwa 3/4 clari para pasien
skizofrenia yang ditanganinya menunjukkan perbaikan signifikan. Berbagai temuan
terkemudian oleh para peneliti lain kurang mendukung hal itu, dan terapi
koma-insulinyang berisiko serius terhadap kesehatan, termasuk koma yang ticlak
dapat disadarkan dan kematian—secara bertahap ditinggalkan.
Perawatan di rumah sakit
Pada umumnya pasien dengan
gangguan delusional dapat diobati dengan rawat jalan, tetapi ada alasan
tertentu dimana diperlukan perawatan di rumah sakit , yaitu : Pertama
diperlukan pemeriksaan medis dan neurologis yang lengkap menunjukkan kondisi
medis nonpsikiatris yang menyebabkan gangguan delusional. Kedua jika pasien
tidak mampu mengendalikan impulsnya, sehingga dapat melakukan tindakan-tindakan
kekerasan. Ketiga jika perilaku pasien tentang waham telah mempengaruhi fungsi
kehidupannya, sehingga kemampuannya untuk dapat berfungsi dalam keluarga dan
masyarakat berkurang. Dengan demikian memerlukan intervensi profesional untuk
menstabilkan hubungan sosial atau pekerjaan.
Jika dokter yakin bahwa pasien
akan baik jika diobati di rumah sakit, harus diusahakan untuk membujuk pasien
supaya menerima perawatan di rumah sakit; jika hal tersebut gagal, komitmen
hukum mungkin diindikasikan. Seringkali, jika dokter meyakinkan pasien bahwa
perawatan di rumah sakit adalah diperlukan, pasien secara sukarela masuk ke
rumah sakit untuk rnenghindari komitmen hukum.
Farmakoterapi
Dalam keadaan gawat darurat,
pasien yang teragitasi parah harus diberikan suatu obat antipsikotik secara
intramuskular. Walaupun percobaan klinik yang dilakukan secara adekuat dengan
sejumlah pasien belum ada, sebagian besar klinisi berpendapat bahwa obat
antipsikotik adalah obat terpilih untuk gangguan delusional. Pasien gangguan
delusional kemungkinan menolak medikasi karena mereka dapat secara mudah
menyatukan pemberian obat ke dalam sistem wahamnya. Dokter tidak boleh
memaksakan medikasi segera setelah perawatan di rumah sakit, malahan harus
menggunakan beberapa hari untuk dapat membina hubungan yang baik dengan pasien.
Dokter harus menjelaskan efek samping potensial kepada pasien, sehingga pasien
kemudian tidak menganggap bahwa dokter berbohong.
Riwayat pasien tentang respon medikasi
adalah pedoman terbaik dalam memilih suatu obat. Biasanya obat diberikan dalam
dosis rendah dan ditingkatkan secara perlahan-lahan. Jika respon gagal dalam
masa percobaan selama 6 minggu, dapat dicoba antipsikotik dari golongan lain.
Adakalanya pasien dengan gangguan psikotik menolak pemberian medikasi ini,
karena mereka memasukkan hal ini ke dalam sistem wahamnya, misalnya pasien
curiga ada racun di dalam obat yang diberikan. Dalam hal ini perlu
kebijaksanaan dokter untuk menjelaskan kepada pasien secara perlahan-lahan,
bahwa sama sekali tidak ada niat untuk berbuat jahat pada dirinya.
Beberapa dokter menyatakan bahwa
pimozide (oral) atau serotonin-dopamin antagonis mungkin efektif dalam
mengatasi gangguan delusional terutama pada pasien dengan waham somatik.
Penyebab kegagalan tersering adalah ketidakpatuhan.
Jika pasien tidak merespon
terhadap pengobatan antipsikotik, obat harus dihentikan. Dapat digunakan anti
depresan atau anti konvulsan. Percobaan dengan obat-obat tersebut
dipertimbangkan jika pasien memiliki ciri suatu gangguan afektif.
Hasil dari pengobatan dengan
serotonin-dopamin antagonis (contoh : clozapin [Clozaril], olanzapine
[Zyprexa], dan risperidone) berhubungan dengan pengobatan sebelumnya. Pada
beberapa kasus berespon baik terhadap SSRIs (selective serotonin reuptake
inhibitors), terutama pada kasus-kasus gangguan morfologi tubuh.
PENANGANAN PSIKOLOGIS
Psikoterapi
Elemen terpenting dari suatu
psikoterapi adalah menjalin hubungan yang baik antar pasien dengan ahli
terapinya. Terapi individual tampaknya lebih efektif daripada terapi kelompok.
Terapi suportif berorientasi tilikan, kognitif dan perilaku seringkali efektif.
Ahli terapi tidak boleh setuju atau menantang waham pasien, walaupun ahli
terapi harus menanyakan waham untuk menegakkan diagnosis. Dokter dapat
menstimulasi motivasi untuk mendapatkan bantuan dengan menekankan kemauannya
untuk membantu pasien mengatasi kecemasan dan iritabilitasnya, tanpa menyatakan
bahwa waham yang diobati. Ahli terapi tidak boleh secara aktif mendukung
gagasan bahwa waham adalah kenyataan.
Kejujuran ahli terapi sangat
penting. Ahli terapi harus tepat waktu dan terjadwal, tujuannya adalah agar
tercipta suatu hubungan yang kuat dengan pasien dan pasien dapat percaya
sepenuhnya pada ahli terapinya. Kepuasan yang berlebihan malahan dapat
meningkatkan permusuhan dan kecurigaan pasien karena disadari bahwa tidak semua
kebutuhan dapat dipenuhi. Ahli terapi dapat menghindari kepuasan yang
berlebihan dengan tidak memperpanjang periode perjanjian yang telah ditentukan,
dengan tidak memberikan perjanjian ekstra kecuali mutlak diperlukan, dan tidak
toleran terhadap bayaran.
Ahli terapi tidak boleh membuat
tanda-tanda yang meremehkan waham atau gagasan pasien, tetapi dapat secara
simpatik menyatakan pada pasien bahwa keasyikan mereka dengan wahamnya akan
menegangkan diri mereka sendiri dan mengganggu kehidupannya yang konstruktif.
Jika pasien mulai ragu-ragu dengan wahamnya, ahli terapi dapat meningkatkan tes
realitas dengan meminta pasien memperjelas masalah mereka.
Terapi keluarga
Jika anggota keluarga hadir,
klinisi dapat memutuskan untuk melibatkan mereka di dalam rencana pengobatan.
Tanpa menjadi terlihat berpihak pada musuh, klinisi harus berusaha mendapatkan
keluarga sebagai sekutu di dalam proses pengobatan. Sebagai akibatnya, baik
pasien dan anggota keluarganya perlu mengerti bahwa konfidensialitas
dokter-pasien akan dijaga oleh ahli terapi dan dengan demikian membantu pasien.
Hasil terapi yang baik tergantung
pada kemampuan dokter psikiatrik untuk berespon terhadap ketidakpercayaan
pasien terhadap orang lain dan konflik interpersonal, frustasi, dan kegagalan
yang dihasilkannya. Tanda terapi yang berhasil mungkin adalah suatu kepuasan
penyesuaian sosial, bukannya menghilangkan waham pasien.
Pelatihan Keterampilan Sosial
Pelatihan keterampilan sosial
dirancang untuk mengajari para penderita skizofrenia bagaimana dapat berhasil
dalam berbagai situasi inlerpersonal yang sangat beragam—antara lain membahas
pengobatan mereka dengan psikiater, memesan makanan di restoran, mengisi
formulir lamaran kerja dan belajar melakukan wawancara kerja (kadang disebut
rehabilitasi pekerjaan), mengatakan tidak terhadap tawaran membeli obat di
pinggir jalan, belajar tentang seks yang aman, membaca jadwal perjalanan
bis—berbagai perilaku yang bagi sebagian besar di antara kita dilakukan begitu
saja dan hampir tidak pernah kita pikirkan dalam kehidupan sehari-hari. Bagi
para penderita skizofrenia, keterampilan kehidupan tersebut bukan hal yang
dapat dilakukan begitu saja; para individu semacam itu harus berusaha keras
untuk menguasainya atau kembali menguasainya. Dengan melakukan hal-hal tersebut
memungkinkan orang yang bersangkutan mengambil bagian lebih besar dalam hal-hal
positif yang terdapat di luar tembok-tembok institusi mental sehingga
meningkatkan kualitas hidup mereka (Heinssen, Liberman, & Kopelowicz, 2000;
Liberman, Eckman, Kopelowicz, & Stolar, 2000).
Dalam demonstrasi pelatihan
keterampilan sosial terdahulu, Bellaek, Hersen, dan lamer (1976) merekayasa
berbagai situasi sosial bagi tiga pasien skizofrenik kronis dan kemudian
mengamati apakah mereka berperilaku secara pantas. Contohnya, seorang pasien
diminta untuk mengumpamakan bahwa ia baru saja sampai di rumah dari suatu
liburan akhir minggu dan melihat bahwa rumpul di halaman rumahnya telah,
dipotong. Ketika ia turun dari mobil, tetangga sebelah rumahnya mendekatinya
dan berkata bahwa ia telah memotong rumput di haiaman rumah pasien karena ia
juga telah memotong rumput di halaman rumahnya sendiri. Pasien kemudian harus merespons
situasi tersebut. Sesuai perkiraan, pada awalnya pasien tidak terlalu hal dalam
memberikan respons yang pantas secara sosial, yang dalam kasus ini dapat berupa
semacam ucapan terima kasih. Pelatihan berlanjut. Terapis mendorong pasien
unluk memberikan respons, memberi komentar yang membantu upaya mereka. Jika
perlu, terapis juga memberikan contoh perilaku yang pantas sehingga pasien
dapat mengamati kemudian mencoba menirukannya.
Kombinasi permainan peran,
modeling, dan penguatan positif menghasilkan perbaikan signifikan pada ketiga
pasien tersebut. Bahkan terjadi generalisasi dalam berbagai situasi sosial yang
tidak dilatih dalam pelatihan tersebut. Studi ini dan berbagai studi lain yang
dilakukan dengan kelompok pasien yang lebih besar mengindikasikan bahwa para
pasien yang mengalami gangguan parah dapat diajari perilaku sosial baru yang
membantu mereka berfungsi lebih baik—tingkat kekambuhan yang lebih sedikit,
keberfungsian sosial yang lebih baik dan kualitas hidup yang lebih tinggi
(Kopelowicz dkk., 2002). Beberapa studi tersebut patut dicatat (a.l,Liberman
dkk., 1998; Marder dkk., 1996) karena menunjukkan berbagai manfaat dalam
periode selama dua tahun setelah terapi. Pelatihan keterampilan sosial dewasa
ini biasanya merupakan salah satu komponen berbagai penanganan skizofrenia yang
lebih dari sekadar memberikan obat-obatan saja, termasuk terapi keluarga untuk
mengurangi ekspresr emosi. Kita beralih ke pembahasan mengenai hal itu.
Terapi Kognitif-Behavioral.
Kita beralih ke beberapa
pendekatan kognitif-behavioral dalam penanganan skizofrenia. Sebelumnya
diasumsikan bahwa tidak ada gunanya mencoba mengubah berbagai distorsi
kognitif, termasuk delusi, pada para pasien skizofrenik. Meskipun demikian,
suatu literatur klinis dan eksperimental yang sedang berkembang dewasa ini
menunjukkan bahwa berbagai keyakinan maladaptif pada beberapa pasien
kenyataannya dapat diubah dengan berbagai intervensi kognitif-behavioral
(Gaiety, Fowler, & Kuipers, 2000).
Terapi personal (Personal Therapy).
Walaupun berbagai studi mengenai
penurunan EE dalam keluarga cukup membesarkan hati, sebagian besar pasien masih
tetap kembali dirawat di rumah sakit, dan kemajuan klinis dari mereka yang
mampu tetap tinggal di masyarakat masih jauh dari harapan (Hogarty dkk.,
1997a). Apalagi yang dapat dilakukan untuk mengeluarkan pasien skizofrenik dari
rumah sakit untuk meningkatkan kesempatan mereka hidup lebih lama di luar
lingkungan rumah sakit, terlepas dari apakah mereka tinggal dengan keluarga
mereka atau tidak? Pertanyaan ini mendorong dilakukannya berbagai upaya bcrikut
ini oleh salah satu kelompok yang telah mempublikasikan berbagai temuan
positif, meskipun terbatas, mengenai penurunan EE (Hogarty dkk., 1995, 1997a,
1997b).
Apa yang disebut Hogarty dkk.
sebagai "terapi personal" adalah suatu pendekatan kognitif behavioral
berspektrum luas terhadap multiplisitas masalah yang dialami pia pasien
skizofrenia yang telah keluar dari rumah sakit. Terapi individualistik ini
dilakukan secara satu per satu maupun dalam kelompok kecil (lokakarya). Satu
elemen utama dalam pendekatan ini, berdasarkan temuan dalam penelitian EE bahwa
penurunan jumlah reaksi emosi para anggota keluarga menurunkan tingkat
kekambuhan setelah keluar dari rumah adalah mengajari pasien bagaimana
mengenali afek yang tidak sesuai. jika diabaikan, afek yang tidak sesuai dapat
semakin berkembang dan menyebabkan berbagai distorsi kognitif dan perilaku
social yang tidak sesuai.
Para pasien juga diajari untuk
memerhatikan tanda-tanda kekambuhan meskipun kecil, seperti penarikan diri dart
kehidupan sosial atau intimidasi yang tidak pantas kepada orang lain, dan
mereka mempelajari berbagai keterampilan untuk mengurangi masalah-masalah
tersebut. Perilaku semacam itu, jika tidak terdeteksi, sangat mungkin akan
menghambat upaya pasien untuk hidup sesuai aturan sosial konvensional, termasuk
bekerja dan membangun serta mempertahankan hubungan sosial. Terapi tersebut
juga mencakup terapi perilaku rasional emotif untuk membantu pasien mencegah
berbagai frustrasi dan tantangan yang tidak terhindarkan dalam kehidupan
menjadi suatu bencana dan dengan demikian membantu mereka menurunkan kadar
stres.
Selain itu, pasien juga sering
diajari teknik-teknik relaksasi otot sebagai suatu alat bantu untuk belajar
mendeteksi kecemasan atau kemarahan yang berkembang secara perlahan kemudian
menerapkan keterampilan relaksasi untuk mengendalikan berbagai emosi tersebut
secara lebih baik. Asumsi yang berlaku adalah ketidakteraturan emosional
merupakan bagian dari berbagai diathesis biologis dalam skizofrenia dan suatu
faktor yang harus diterima dan dihadapi pasien dalam hidupnya dan bukan
dihilangkan (atau disembuhkan) seluruhnya. Namun, juga terdapat fokus kuat
untuk mengajarkan keterampilan sosial spesifik serta mendorong pasien untuk
telap meneruskan pengobatan mereka dalam moda pemeliharaan, yaitu, dengan dosis
yang umumnya lebih rendah dari dosis yang diperlukan dalam fase penyakit yang
akut dan paling parah.
Terapi individual Hogarty juga
mencakup berbagai elemen non behavioral, terutama penerimaan yang hangat dan
empatik atas gangguan emosional dan kognitif pasien bersama dengan ekspektasi
yang realistik, namun optimistik bahwa hidup dapat menjadi lebih baik. Secara
umum, para pasien diajari bahwa mereka memiliki kerentanan emosional terhadap
stres, bahwa pikiran mereka tidak selalu sejernih yang seharusnya, bahwa mereka
harus tetap meneruskan pengobatan, dan bahwa mereka dapat mempelajari berbagai
macam keterampilan agar dapat menjalani hidup secara maksimal. Ini bukan
penanganan jangka pendek; penanganan ini dapat berlangsung selama 3 tahun
dengan sesi terapi setiap satu atau dua minggu sekali.
Perlu dicatat bahwa fokus terapi
ini sebagian besar terletak pada pasien, tidak pada keluarga. Sementara itu,
fokus dalam berbagai studi keluarga adalah mengurangi tingginya EE dalam
keluarga pasien—yang merupakan suatu perubahan lingkungan dari sudut pandang
pasien—tujuan terapi pribadi adalah mengajarkan keterampilan coping internal
kepada pasien, berbagai cara baru dalam berpikir tentang dan mengendalikan
berbagai reaksi afektif terhadap tantangan apa pun yang terdapat di
lingkungannya.
Terakhir, hal penting dalam
terapi ini adalah apa yang disebut Hogarty dkk. sebagai "manajemen
kritisisme dan penyelesaian konflik". Istilah tersebut merujuk pada cara
menghadapi umpan balik negatif dan orang lain dan cara menyelesaikan berbagai
konflik interpersonal yang merupakan bagian tak terhindarkan dalam berhubungan
dengan orang lain. Mengajari pasien keterampilan penyelesaian masalah
sosial—cara mengatasi berbagai lantangan yang tidak terhindarkan yang dihadapi
oleh setiap orang dalam berhubungan dengan orang lain—merupakan, bagian dari
elemen terapi ini (D'Zurilla & Goldfried, 1971). Berbagai menunjukkan bahwa
bentuk intervensi ini dapat membantu banyak pasien skizofrenik tetap hidup di
luar rumah sakit dan berfungsi dengan lehih baik, dengan hasil yang paling
positif dicapai oleh mereka yang dapat hidup bersama keluarga mereka sendiri
(Hogarty dkk., 1997a, 19976).
Terapi Reatribusi (Reatribution Therapy).
Kita baru saja mengkaji karya
Hogarty dkk. yang mencakup berbagai upaya untuk menerapkan terapi perilaku
rasional emotif untuk membantu para pasien skizofrenik agar tidak terlalu
menganggap sebagai suatu bencana bila segala sesuatu tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Juga terdapat bukti-bukti bahwa beberapa pasien dapat didorong untuk
menguji berbagai keyakinan delusional mereka dengan cara yang sama seperti yang
dilakukan oleh yang normal. Melalui diskusi kolaboratif (dan dalam konteks
berbagai moda intervensi lain, termasuk pemberian obat-obatan antipsikotik),
beberapa pasien dibantu untuk memberikan suatu makna nonpsikotik terhadap
berbagai simtom paranoid sehingga mengurangi intensitas dan karakteristiknya
yang berbahaya, sama dengan yang dilakukan dalam terapi kognitif Beck untuk
depresi dan pendekatan Barlow terhadap gangguan panik (Beck & Rector, 2000;
Drury dkk., 1996; Haddock dkk., 1998). Dengan peringatan bahwa pendekatan yang
cukup intelektual ini mungkin hanya tepat bagi minoritas pasien skizofrenia,-berikut
ini adalah contoh awal pendekatan tersebut yang diambil dari salah satu kasus
kami sendiri.
Seorang laki-laki didignosis
menderita skizofrenia paranoid, terutama karena berbagai keluhannya mengenai
"titik-titik tekanan" di keningnya dan berbagai bagian lain di
tubuhnya. Ia yakin bahwa titik-titik tekanan tersebut merupakan sinyal yang
berasal dari kekuatan luar untuk membantunya mengambil berbagai keputusan.
Delusi paranoid tersebut tidak hilang oleh terapi obat dan berbagai pendekatan
psikoterapeutik lain. Terapis, setelah meneliti riwayat kasus laki-laki
tersebut, mengajukan hipotesis bahwa pasien menjadi sangat cemas dan tegang
ketika ia harus mengambil keputusan, dan kecemasannya terwujud dalam bentuk
ketegangan otot di beberapa bagian tubuh tertentu, dan bahwa pasien salah
mengartikan ketegangan tersebut sebagai titik-titik tekanan, sinyal dari
ruh-ruh yang membantu. Pasien dan terapis sepakat untuk menggali kemungkinan
bahwa titik-titik tekanan tersebut sebenarnya merupakan bagian dari reaksi ketegangan
terhadap situasi-situasi tertentu Untuk tujuan ini terapis memutuskan
'Mengajari pasien relaksasi otot mendalarn, dengan harapan bahwa relaksasi akan
membuatnya mampu mengendalikan berbagai kelegangannya, termasuktekanan.
Namun, penting juga meminta si
pasien mempertanyakan sistem delusionalnya. Maka, dalam sesi pertama terapis
meminta pasien untuk mengulurkan tangan kanannya, mengepalkan lengan dengan
kuat, dan melengkungkan pergelangan tangannya ke bawah sehingga kepalan
tangannya menekuk ke arah dalam lengannya. Tujuannya adalah menimbulkan rasa
legang di bagian depan lengannya; hal itulah yang terjadi, dan si pasien
mengamati bahwa perasaan tersebut mirip dengan titik-titik tekanan yang
dirasakannya.
Pelatihan relaksasi ekstensif
membuat klien mulai dapat mengendalikan kecemasannya dalam berbagai situasi di
rumah sakit dan pada saat yang sama mengurangi intensitas titik-titik tekanan.
Seiring ia mampu mengendalikan perasaannya, secara bertahap ia mampu menganggap
titik-tilik tekanan tersebut sebagai suatu "sensasi," dan secara umum
pembicaraannya mulai terlepas dari nada paranoid yang terdahulu.
Pelatihan relaksasi tampaknya
memungkinkan pasien menguji hipotesis non-paranoid tentang titiktitik tekanan
yang dirasakannya dan menemukan kebenaran hipotesis tersebut sehingga
menghapuskan keyakinan terhadap sensasi-sensasi tersebut yang telah berperan
dalam paranoia yang dideritanya. (Davison, 1966).
Contoh Kasus :
Kasus 1 :
Joe adalah siswa yang baik di
sepanjang masa SMA-nya. Ia anggota tim futbol, mempertahankan ranking yang
bagus dan mendapatkan pujian pada tiap semesternya.
Ia ramah dan populer. Menjelang
akhir semester pertama di maktab (college)-nya, semuanya mulai berubah. Joe tak
lagi makan bersama dengan kawan-kawannya, pada kenyataannya ia mulai berkurung
diri di dalam kamarnya. Ia mulai mengebaikan kesehatan pribadinya dan berhenti
menghadiri kuliah. Joe mengalami kesulitan untuk berkonsentrasi dan harus
membaca kalimat yang sama secara berulang-ulang. Ia mulai percaya bahwa
kata-kata dalam naskah bukunya memiliki makna yang khusus baginya dan dengan
sesuatu cara memberitahukannya sebuah pesan untuk menjalankan sebuah misi
rahasia. Joe mulai menyangka bahwa kawan sekamarnya bersekongkol dengan telepon
dan komputernya untuk mengawasi kegiatannya. Joe menjadi takut jika kawan
sekamarnya tahu akan pesan dalam naskah bukunya dan kini mencoba untuk
menipunya. Joe mulai percaya teman sekamarnya dapat membaca pikirannya, pada
kenyataannya siapapun yang ia lewati di aula atau di jalanan dapat mengatakan
apapun yang ia pikirkan. Saat Joe sedang sendirian di kamarnya, ia dapat
mendengar bisikan mereka yang ia percayai sedang mengawasinya. Ia tak dapat
memastikan apa yang mereka katakan tapi ia yakin bahwa mereka membicarakannya.
Kasus 2 : Analisis Film A Beautiful Mind
Film A Beautiful Mind
menggambarkan kisah perjuangan seorang ahli matematika genius yang bernama John
Forbes Nash, yang berhasil menciptakan konsep ekonomi yang kini dijadikan
sebagai dasar dari teori ekonomi kontemporer. Selama Perang Dingin berlangsung,
Nash mengidap schizophrenia paranoid yang membuatnya hidup dalam halusinasi dan
selalu dibayangi ketakutan hingga ia harus berjuang keras untuk sembuh dan
meraih hadiah Nobel tahun 1994, kala ia memasuki usia senja.
Kisah dibuka dengan Nash muda di
tahun 1948 yang memulai hari-hari pertama kuliahnya di universitas bergengsi,
Princeton University. Sejak awal, Nash -lelaki sederhana dari dusun Virginia
digambarkan sebagai pribadi penyendiri, pemalu, rendah diri, introvert
sekaligus aneh. “Aku tak terlalu suka berhubungan dengan orang dan rasanya tak
ada orang yang menyukaiku, ujar Nash berkali-kali.” Di balik segala
kekurangannya, Nash juga digambarkan sebagai laki-laki arogan yang bangga akan
kepandaiannya. Ini ditunjukkannnya dengan cara menolak mengikuti kuliah yang
dianggapnya hanya menghabiskan waktu dan membuat otak tumpul. Sebagai gantinya,
Nash lebih banyak meluangkan waktu di luar kelas demi mendapatkan ide orisinal
untuk meraih gelar doktornya dan diterima di pusat penelitian bergengsi,
Wheeler Defense Lab di MIT.
Di tengah persaingan ketat, Nash
mendapat teman sekamar yang sangat memakluminya, Charles Herman yang memiliki
keponakan seorang gadis cilik Marcee. Nash yang amat terobsesi dengan
matematika-sampai-sampai menulis berbagai rumus di kaca jendela kamar dan
perpustakaanakhirnya secara tak sengaja berhasil menemukan konsep baru yang
bertentangan dengan teori bapak ekonomi modern dunia, Adam Smith. Konsep inilah
yang dinamakannya dengan teori keseimbangan, yang mengantarkannya meraih gelar
doktor. Mimpi Nash menjadi kenyataan. Tak hanya meraih gelar doktor, ia
berhasil diterima sebagai peneliti dan pengajar di MIT.
Hidup Nash mulai berubah ketika
ia diminta Pentagon memecahkan kode rahasia yang dikirim tentara Sovyet. Di
sana, ia bertemu agen rahasia William Parcher. Dari agen rahasia ini, ia diberi
pekerjaan sebagai mata-mata. Pekerjaan barunya ini membuat Nash terobsesi
sampai ia lupa waktu dan hidup di dunianya sendiri.
Adalah Alicia Larde, seorang
mahasiswinya yang cantik, yang membuatnya sadar bahwa ia juga membutuhkan
cinta. Ketika pasangan ini menikah, Nash justru semakin parah dan merasa terus
berada dalam ancaman bahaya gara-gara pekerjaannya sebagai agen rahasia. Nash
semakin hari semakin terlihat aneh dan ketakutan, sampai akhirnya ketika ia
sedang membawakan makalahnya di sebuah seminar di Harvard, Dr Rosen seorang
ahli jiwa menangkap dan membawanya ke rumah sakit jiwa. Dari situlah terungkap,
Nash mengidap paranoid schizophrenia. Beberapa kejadian yang dialami Nash selama
ini hanya khayalan belaka. Tak pernah ada teman sekamar, Herman dan
keponakannya yang menggemaskan, Marcee ataupun Parcher dengan proyek
rahasianya.
Untungnya, Alicia adalah seorang
istri setia yang tak pernah lelah memberi semangat pada suaminya. Dengan
dorongan semangat serta cinta kasih yang tak pernah habis dari Alicia, Nash
bangkit dan berjuang melawan penyakitnya.
ANALISA:
Dari film tersebut dapat
diketahui bahwa John Nash menderita skizofrenia paranoid, yang ditandai dengan
simpton – simpton/ indikasi sebagai berikut:
1.
Adanya delusi atau waham, yakni keyakinan palsu
yang dipertahankan.
·
Waham Kejar (delusion of persecution), yaitu
keyakinan bahwa orang atau kelompok tertentu sedang mengancam atau berencana
membahayakan dirinya, dalam film tersebut yaitu agen pemerintah dan mata – mata
rusia. Waham ini menjadikannya paranoid, yang selalu curiga akan segala hal dan
berada dalam ketakutan karena merasa diperhatikan, diikuti, serta diawasi.
·
Waham Kebesaran (delusion of grandeur), yaitu
keyakinan bahwa dirinya memiliki suatu kelebihan dan kekuatan serta menjadi
orang penting. John Nash menganggap dirinya adalah pemecah kode rahasia terbaik
dan mata – mata/agen rahasia.
·
Waham Pengaruh (delusion of influence), adalah
keyakinan bahwa kekuatan dari luar sedang mencoba mengendalikan pikiran dan
tindakannya. Adegan yang menunjukkan waham ini yaitu ketika disuruh membunuh
isterinya, ketika disuruh menunjukkan bahwa dia jenius, dan ketika diyakinkan
bahwa dia tidak berarti oleh para teman halusinasinya.
2.
Adanya halusinasi, yaitu persepsi palsu atau
menganggap suatu hal ada dan nyata padahal kenyataannya hal tersebut hanyalah
khayalan. John Nash mengalami halusinasi bertemu dengan tiga orang yang secara
nyata tidak ada yaitu Charles Herman (teman sekamarnya), William Parcher (agen
pemerintah) dan Marcee (keponakan Charles Herman). Selain itu juga laboratorium
rahasia, dan juga nomer kode yang dipasang pada tangannya.
3.
Gejala motorik dapat dilihat dari ekpresi wajah
yang aneh dan khas diikuti dengan gerakan tangan, jari dan lengan yg aneh.
Indikasi ini sangat jelas ketika John Nash berkenalan dengan teman – temannya
dan juga jika dilihat dari cara berjalannya.
4.
Adanya gangguan emosi, adegan yang paling jelas
yaitu ketika John Nash menggendong anaknya dengan tanpa emosi sedikitpun.
5.
Social withdrawl (penarikan sosial), John Nash
tidak bisa berinteraksi sosial seperti orang – orang pada umumnya, dia tidak
menyukai orang lain dan menganggap orang lain tidak menyukai dirinya sehingga
dia hanya memiliki sedikit teman.
Dalam film tersebut John Nash
dibawa ke rumah sakit jiwa dan mendapatkan perawatan ECT (Electroshock Therapy)
atau terapi elektrokonvulsif 5 kali seminggu selama 10 minggu. ECT merupakan
terapi yang sering digunakan pada tahun 1940 – 1960 sebelum obat antipsikotik
dan anti depresan mudah diperoleh. Cara kerja terapi ini yaitu mengalirkan arus
listrik berdaya sangat rendah ke otak yang cukup untuk menghasilkan kejang yang
mirip dengan kejang epileptik. Kejang inilah yang menjadi terapetik bukan arus
listriknya. Sebelum dilakukan ECT pasien disuntikkan insulin sebagai pelemas
otot yang akan mencegah spasme konvulsif otot-otot tubuh dan kemungkinan
cedera. Efek samping penggunaan ECT adalah kelupaan atau gangguan memori. Efek
samping ini dapat dihindari dengan menjaga rendahnya arus listrik yang
dialirkan.
Setelah menjalani perawatan di
rumah sakit jiwa, John Nash menjalani perawatan di rumah dengan Obat
Psikoterapetik. Obat ini harus terus diminum secara teratur oleh penderita
skizofrenia. Meskipun obat ini tidak dapat menyembuhkan skizofrenia, namun obat
– obat antipsikotik akan membantu penderita untuk menghilangkan halusinasi dan
konfusi, serta memulihkan proses berpikir rasional. Cara kerja obat – obat
antipsikotik yaitu menghambat reseptor dopamin dalam otak. Efek dari pemakaian
obat tersebut yaitu : Sulit berkosentrasi, menghambat proses berpikir, tidak
memiliki gairah seksual.
Selain terapi biologis, John Nash
juga mendapat terapi dari isterinya yaitu berupa dukungan sosial yang diberikan
kepadanya, rasa empati, penerimaan, mendorong untuk mulai berinteraksi sosial
(dengan tukang sampah), dan dorongan untuk tidak berputus asa dan terus
berusaha. Terapi Sosial ini sangat membantu penderita skizofrenia dalam
menghadapi peristiwa – peristiwa yang menjadi stressor bagi penderita.
DAFTAR PUSTAKA
Davidson, Gerald C, dkk. 2006. Psikologi Abnormal, edisi
ke-9. Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada.
Nolen, Susan and Hoeksoma. 2006. Abnormal Psychology, fourth
edition. McGraw-Hill Higher Education.
Butcher, James N., et al. 2007. Abnormal Psychology Core
Concepts. Allyn & Bacon.
Nevid, Jeffrey S., et al. 1999. Abnormal Psychology in
Changing World, fourth edition. Prentice Hall College Div.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Saran dan komentar anda akan sangat membantu dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas kami dalam berbagi.