GANGGUAN SOMATOFORM DAN DISOSIATIF
Gangguan
somatoform dan disosiatif, berkaitan dengan gangguan kecemasan. Pada gangguan
somatoform, individu mengeluhkan gejala-gejala gangguan fisik, yang terkadang
berlebihan, tetapi pada dasarnya tidak terdapat gangguan fisiologis. Pada
gangguan disosiatif, individu mengalami gangguan kesadaran, ingatan, dan
identitas. Munculnya kedua gangguan ini biasanya berkaitan dengan beberapa
pengalaman yang tidak menyenangkan, dan terkadang gangguan ini muncul secara
bersamaan.
A. GANGGUAN SOMATOFORM (SOMATOFORM DISORDERS)
Kata
somatoform ini di ambil dari bahasa Yunani soma, yang berarti “tubuh”.
Dalam gangguan somatoform, orang memiliki simtom fisik yang mengingatkan pada
gangguan fisik, namun tidak ada abnormalitas organik yang dapat ditemukan
penyebabnya. Gangguan somatoform berbeda dengan malingering, atau
kepura-puraan simtom yang bertujuan untuk mendapatkan hasil yang jelas.
Gangguan ini juga berbeda dengan gangguan factitious yaitu suatu
gangguan yang ditandai oleh pemalsuan simtom psikologis atau fisik yang
disengaja tanpa keuntungan yang jelas. Selain itu gangguan ini juga berbeda
pula dengan sindrom Muchausen yaitu suatu tipe gangguan factitious yang
ditandai oleh kepura-puraan mengenai simtom medis.
Gangguan
somatoform adalah suatu kelompok gangguan yang memiliki gejala fisik (sebagai
contohnya, nyeri, mual, dan pusing) di mana tidak dapat ditemukan penjelasan
medis. Gejala dan keluhan somatik adalah cukup serius untuk menyebabkan
penderitaan emosional yang bermakna pada pasien atau gangguan pada kemampuan
pasien untuk berfungsi di dalam peranan sosial atau pekerjaan. Suatu diagnosis
gangguan somatoform mencerminkan penilaian klinisi bahwa faktor psikologis
adalah suatu penyumbang besar untuk onset, keparahan, dan durasi gejala.
Gangguan somatoform adalah tidak disebabkan oleh pura-pura yang disadari atau
gangguan buatan.
PENGERTIAN DAN GEJALA
1. Pain Disorder
Pada
pain disorder, penderita mengalami rasa sakit yang mengakibatkan ketidakmampuan
secara signifikan;faktor psikologis diduga memainkan peranan penting pada
kemunculan, bertahannya dan tingkat sakit yang dirasakan. Pasien kemungkinan
tidak mampu untuk bekerja dan menjadi tergantung dengan obat pereda rasa sakit.
Rasa nyeri yang timbul dapat berhubungan dengan konflik atau stress atau dapat
pula terjadi agar individu dapat terhindar dari kegiatan yang tidak
menyenangkan dan untuk mendapatkan perhatian dan simpati yang sebelumnya tidak
didapat.
Diagnosis
akurat mengenai pain disorder terbilang sulit karena pengalaman subjektif dari
rasa nyeri selalu merupakan fenomena yang dipengaruhi secara psikologis, dimana
rasa nyeri itu sendiri bukanlah pengalaman sensoris yang sederhana, seperti
penglihatan dan pendengaran. Untuk itu, memutuskan apakah rasa nyeri yang
dirasakan merupakan gangguan nyeri yang tergolong gangguan somatoform, amatlah
sulit. Akan tetapi dalam beberapa kasus dapat dibedakan dengan jelas bagaimana
rasa nyeri yang dialami oleh individu dengan gangguan somatoform dengan rasa
nyeri dari individu yang mengalami nyeri akibat masalah fisik. Individu yang
merasakan nyeri akibat gangguan fisik, menunjukkan lokasi rasa nyeri yang
dialaminya dengan lebih spesifik, lebih detail dalam memberikan gambaran
sensoris dari rasa nyeri yang dialaminya, dan menjelaskan situasi dimana rasa
nyeri yang dirasakan menjadi lebih sakit atau lebih berkurang (Adler et al.,
dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
2. Body Dysmorphic Disorder
Pada
body dysmorphic disorder, individu diliputi dengan bayangan mengenai kekurangan
dalam penampilan fisik mereka, biasanya di bagian wajah, misalnya kerutan di
wajah, rambut pada wajah yang berlebihan, atau bentuk dan ukuran hidung. Wanita
cenderung pula fokus pada bagian kulit, pinggang, dada, dan kaki, sedangkan
pria lebih cenderung memiliki kepercayaan bahwa mereka bertubuh pendek, ukuran
penisnya terlalu kecil atau mereka memiliki terlalu banyak rambut di tubuhnya
(Perugi dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Beberapa individu yang mengalami
gangguan ini secara kompulsif akan menghabiskan berjam-jam setiap harinya untuk
memperhatikan kekurangannya dengan berkaca di cermin. Ada pula yang menghindari
cermin agar tidak diingatkan mengenai kekurangan mereka, atau mengkamuflasekan
kekurangan mereka dengan, misalnya, mengenakan baju yang sangat longgar (Albertini
& Philips daam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Beberapa
bahkan mengurung diri di rumah untuk menghindari orang lain melihat kekurangan
yang dibayangkannya. Hal ini sangat mengganggu dan terkadang dapat mengerah
pada bunuh diri; seringnya konsultasi pada dokter bedah plastik dan beberapa
individu yang mengalami hal ini bahkan melakukan operasi sendiri pada tubuhnya.
Sayangnya, operasi plastik berperan kecil dalam menghilangkan kekhawatiran
mereka (Veale dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Body dysmorphic disorder
muncul kebanyakan pada wanita, biasanya dimulai pada akhir masa remaja, dan
biasanya berkaitan dengan depresi, fobia social, gangguan kepribadian
(Phillips&McElroy, 2000; Veale et al.,1996 dalam Davidson, Neale, Kring,
2004). Faktor social dan budaya memainkan peranan penting pada bagaimana
seseorang merasa apakah ia menarik atau tidak, seperti pada gangguan pola
makan.
3. Hypochondriasis
Hypochondriasis
adalah gangguan somatoform dimana individu diliputi dengan ketakutan memiliki
penyakit yang serius dimana hal ini berlangsung berulang-ulang meskipun dari
kepastian medis menyatakan sebaliknya, bahwa ia baik-baik saja. Gangguan ini
biasanya dimulai pada awal masa remaja dan cenderung terus berlanjut. Individu
yang mengalami hal ini biasanya merupakan konsumen yang seringkali menggunakan
pelayanan kesehatan; bahkan terkadang mereka manganggap dokter mereka tidak
kompeten dan tidak perhatian (Pershing et al., dalam Davidson, Neale, Kring,
2004). Dalam teori disebutkan bahwa mereka bersikap berlebihan pada sensasi
fisik yang umum dan gangguan kecil, seperti detak jantung yang tidak teratur,
berkeringat, batuk yang kadang terjadi, rasa sakit, sakit perut, sebagai bukti
dari kepercayan mereka. Hypochondriasis seringkali muncul bersamaan dengan
gangguan kecemasan dan mood.
4. Conversion disorder
Pada
conversion disorder, gejala sensorik dan motorik, seperti hilangnya penglihatan
atau kelumpuhan secara tiba-tiba, menimbulkan penyakit yang berkaitan dengan
rusaknya sistem saraf, padahal organ tubuh dan sistem saraf individu tersebut
baik-baik saja. Aspek psikologis dari gejala conversion ini ditunjukkan dengan
fakta bahwa biasanya gangguan ini muncul secara tiba-tiba dalam situasi yang
tidak menyenangkan. Biasanya hal ini memungkinkan individu untuk menghindari
beberapa aktivitas atau tanggung jawab atau individu sangat ingin mendapatkan
perhatian. Istilah conversion, pada dasarnya berasal dari Freud, dimana
disebutkan bahwa energi dari instink yang di repress dialihkan pada aspek
sensori-motor dan mengganggu fungsi normal. Untuk itu, kecemasan dan konflik
psikologis diyakini dialihkan pada gejala fisik.
Gejala
conversion biasanya berkembang pada masa remaja atau awal masa dewasa, dimana
biasanya muncul setelah adanya kejadian yang tidak menyenangkan dalam hidup.
Prevalensi dari conversion disorder kurang dari 1 %, dan biasanya banyak
dialami oleh wanita (Faravelli et al.,1997;Singh&Lee, 1997 dalam Davidson,
Neale, Kring, 2004). Conversion disorder biasanya berkaitan dengan diagnosis
Axis I lainnya seperti depresi dan penyalahgunaan zat-zat terlarang, dan dengan
gangguan kepribadian, yaitu borderline dan histrionic personality disorder
(Binzer, Anderson&Kullgren, 1996;Rechlin, Loew&Jorashky, 1997 dalam
Davidson, Neale, Kring, 2004).
5. Somatization Disorder
Menurut
DSM-IV-TR kriteria dari somatization disorder adalah memiliki sejarah dari
banyak keluhan fisik selama bertahun-tahun; memiliki 4 gejala nyeri, 2 gejala
gastrointestinal, 1 gejala sexual, dan 1 gejala pseudoneurological;
gejala-gejala yang timbul tidak disebabkan oleh kondisi medis atau berlebihan
dalam memberikan kondisi medis yang dialami.
Prevalensi dari somatiation disorder diperkirakan kurang dari 0.5% dari populasi Amerika, biasanya lebih sering muncul pada wanita, khususnya wanita African American dan Hispanic (Escobar et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004) dan pada pasien yang sedang menjalani pengibatan medis. Prevalensi ini lebih tinggi pada beberapa negara di Amerika Selatan dan di Puerto Rico (Tomassson, Kent&Coryell dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Somatizaton disorder biasanya dimulai pada awal masa dewasa (Cloninger et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Prevalensi dari somatiation disorder diperkirakan kurang dari 0.5% dari populasi Amerika, biasanya lebih sering muncul pada wanita, khususnya wanita African American dan Hispanic (Escobar et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004) dan pada pasien yang sedang menjalani pengibatan medis. Prevalensi ini lebih tinggi pada beberapa negara di Amerika Selatan dan di Puerto Rico (Tomassson, Kent&Coryell dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Somatizaton disorder biasanya dimulai pada awal masa dewasa (Cloninger et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
6. Kriteria Diagnostik untuk Gangguan Somatoform yang Tidak
Digolongkan
Kriterianya:
Satu atau lebih keluhan fisik (misalnya
kelelahan, hilangnya nafsu makan, keluhan
gastrointestinal atau saluran kemih)
gastrointestinal atau saluran kemih)
a) Salah satu (1)atau (2)
· Setelah pemeriksaan yang tepat, gejala
tidak dapat dijelaskan sepenuhnya oleh kondisi medis umum yang diketahui atau
oleh efek langsung dan suatu zat (misalnya efek cedera, medikasi, obat, atau
alkohol)
· Jika terdapat kondisi medis umum yang
berhubungan, keluhan fisik atau gangguan sosial atau pekerjaan yang
ditimbulkannya adalah melebihi apa yang diperkirakan menurut riwayat penyakit,
pemeriksaan fisik, atau temuan laboratonium.
b) Gejala menyebabkan penderitaan yang
bermakna secara klinis atau gangguan dalam fungsi sosial, pekerjaan, atau
fungsi penting lainnya.
c) Durasi gangguan sekurangnya enam
bulan.
d) Gangguan tidak dapat diterangkan
lebih baik oleh gangguan mental lain (misalnya gangguan somatoform, disfungsi
seksual, gangguan mood, gangguan kecemasan, gangguan tidur, atau gangguan
psikotik).
e) Gejala tidak ditimbulkan dengan
sengaja atau dibuat-buat (seperti pada gangguan buatan atau berpura-pura)
Sindrom
Koro dan Sindrom Dhat
Sindrom koro itu adalah gangguan somatoform yang
terkait budaya, ditemukan terutama di Cina, dimana orang takut bahwa alat
genital mereka akan mengerut. Sindrom koro cenderung hanya muncul sebentar dan
melibatkan episode kecemasan takur bahwa alat genitalnya akan mengerut.
Tanda-tanda fisiologis kecemasan yang medekati proposi panic umu terjadi,
mencakup keringat yang berlebihan , tidak dapat bernafas, dan jantung
berdebar-debar.
Sindrom dhat adalah gangguan somatoform yang
terkait budaya, ditemukan terutama di antara pria Asia India, yang ditandai
oleh ketakutan yang berlebih akan kehilangan air mani. Pria dengan sindrom ini
juga percaya bahwa air mani bercampur dengan urine dan dikeluarkan saat buang
air kecil. Ada keyakinan yang tertersebar luas dalam budaya India yaitu bahwwa
hilangnya air mani merupakan sesuatu yang berbahaya karena mengurangi energi
mental dan fisik tubuh.
PANDANGAN
TEORITIS
Teori
modern yang membahas gangguan somatoform, seperti gangguan disosiatif, teori
psikodinamika dan teori belajar.
a. Teori Psikodinamika
Freud
mengembangkan teori pikiran yang mengancam atau yang tidak disadari. Freud
meyakini bahwa ego berfungsi untuk mengontrol impuls seksual dan agresif
yang mengancam atau tidak dapat diterima yang timbul dari id melalui mekanisme
pertahanan diri seperti represi. Control seperti ini menghambat timbulnya
kecemasan yang akan terjadi bila orang tersebut menjadi sadar akan adanya
impuls-impuls itu.
Menurut
teori Psikodinamika , simtom histerikal memiliki fungsi yaitu membrikan orang
tersebut keuntunga primer dan sekundar, yaitu
Primer yaitu
hilangnya kecemasan yang mendasar yang diperoleh dari berkembangnya
simtom-simtom neurotic. Sedangkan sekunder yaitu keuntungan
sampingan yang dihubungkan dengan gangguan neurotis atau lainnya, seperti
ekspresi simpati, perhatian yang meningkat, dan terbebas dari tanggungjawab.
b. Teori Belajar
Teori
psikodinamika dan teori belajar bahwa simtom-simtom dalam gangguan konversi
dapat mengatasi kecemasan. Teoritikus psikodinamika mencari penyebab kecemasan
dalam konflik-konflik yang tidak disadari. Belajar berfokus pada hal-hal yang
secara langsung menguatkan simtom dan peran sekundernya dalam membantu individu
menghindari atau melarikan diri dari situasi yang tidak nyaman atau
membangkitkan kecemasan. Perbedaan dalam pengalaman belajar dapat menjelaskan
bahwa “mengapa secara histories gangguan konversi lebih seringdilaporkan oleh
wanita daripada pria.
c. Teori Kognitif
Penjelasan
kognitif lain berfungsi pada peran dari pikiran yang terdistorsi.
ETIOLOGI
Etiologi dari
Somatization Disorder
Diketahui
bahwa individu yang mengalami somatization disorder biasanya lebih sensitive
pada sensasi fisik, lebih sering mengalami sensasi fisik, atau
menginterpretasikannya secara berlebihan (Kirmayer et al.,1994;Rief et al.,
1998 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Kemungkinan lainnya adalah bahwa
mereka memiliki sensasi fisik yang lebih kuat dari pada orang lain
(Rief&Auer dalam Davidson, Neale, Kring, 2004). Pandangan behavioral dari
somatization disorder menyatakan bahwa berbagai rasa sakit dan nyeri,
ketidaknyamanan, dan disfungsi yang terjadi adalah manifestasi dari kecemasan
yang tidak realistis terhadap sistem tubuh. Berkaitan dengan hal ini, ketika
tingkat kecemasan tinggi, individu dengan somatization disorder memiliki kadar
cortisol yang tinggi, yang merupakan indikasi bahwa mereka sedang stress (Rief
et al., daam Davidson, Neale, Kring, 2004). Barangkali rasa tegang yang ekstrim
pada otot perut mengakibatkan rasa pusing atau ingin muntah. Ketika fungsi
normal sekali terganggu, pola maladaptif akan diperkuat dikarenakan oleh
perhatian yang diterima.
Teori Psikoanalisis
dari Conversion Disorder
Pada
Studies in Hysteria (1895/1982), Breuer dan freud menyebutkan bahwa conversion
disorder disebabkan ketika seseorang mengalami peristiwa yang menimbulkan
peningkatan emosi yang besar, namun afeknya tidak dapat diekspresikan dan ingatan
tentang peristiwa tersebut dihilangkan dari kesadaran. Gejala khusus conversion
disebutkan dapat berhubungan seba-akibat dengan peristiwa traumatis yang
memunculkan gejala tersebut.
Freud
juga berhipotesis bahwa conversion disorder pada wanita terjadi pada awal
kehidupan, diakibatkan oleh Electra complex yang tidak terselesaikan.
Berdasarkan pandangan psikodinamik dari Sackheim dan koleganya, verbal reports
dan tingkah laku dapat terpisah satu sama lain secara tidak sadar.Hysterically
blind person dapat berkata bahwa ia tidak dapat melihat dan secara bersamaan
dapat dipengaruhi oleh stimulus visual. Cara mereka menunjukkan bahwa mereka
dapat melihat tergantung pada sejauh mana tingkat kebutaannya.
Teori Behavioral dari
Conversion Disorder
Pandangan
behavioral yang dikemukakan Ullman&Krasner (dalam Davidson, Neale, Kring,
2004), menyebutkan bahwa gangguan konversi mirip dengan malingering, dimana
individu mengadopsi simtom untuk mencapai suatu tujuan. Menurut pandangan
mereka, individu dengan conversion disorder berusaha untuk berperilaku sesuai
dengan pandangan mereka mengenai bagaimana seseorang dengan penyakit yang
mempengaruhi kemampuan motorik atau sensorik, akan bereaksi. Hal ini
menimbulkan dua pertanyaan : (1) Apakah seseorang mampu berbuat demikian? (2)
Dalam kondisi seperti apa perilaku tersebut sering muncul ?
Berdasarkan
bukti-bukti yang ada, maka jawaban untuk pertanyaan (1) adalah ya. Seseorang
dapat mengadopsi pola perilaku yang sesuai dengan gejala klasik conversion.
Misalnya kelumpuhan, analgesias, dan kebutaan, seperti yang kita ketahui, dapat
pula dimunculkan pada orang yang sedang dalam pengaruh hipnotis. Sedangkan
untuk pertanyaan (2) Ullman dan Krasner mengspesifikasikan dua kondisi yang
dapat meningkatkan kecenderungan ketidakmampuan motorik dan sensorik dapat
ditiru. Pertama, individu harus memiliki pengalaman dengan peran yang akan
diadopsi. Individu tersebut dapat memiliki masalah fisik yang serupa atau
mengobservasi gejala tersebut pada orang lain. Kedua, permainan dari peran tersebut
harus diberikan reward. Individu akan menampilkan ketidakampuan hanya jika
perilaku itu diharapkan dapat mengurangi stress atau untuk memperoleh
konsekuensi positif yang lain. Namun pandangan behavioral ini tidak sepenuhnya
didukung oleh bukti-bukti literatur.
Faktor Sosial dan
Budaya pada Conversion Disorder
Salah
satu bukti bahwa faktor social dan budaya berperan dalam conversion disorder
ditunjukkan dari semakin berkurangnya gangguan ini dalam beberapa abad
terakhir. Beberapa hipotesis yang menjelaskan bahwa gangguan ini mulai
berkurang adalah misalnya terapis yang ahli dalam bidang psikoanalisis
menyebutkan bahwa dalam paruh kedua abad 19, ketika tingkat kemunculan
conversion disorder tinggi di Perancis dan Austria, perilaku seksual yang di
repress dapat berkontribusi pada meningktnya prevalensi gangguan ini.
Berkurangnya gangguan ini dapat disebabkan oleh semakin luwesnya norma seksual
dan semakin berkembangnya ilmu psikologi dan kedokteran pada abad ke 20, yang
lebih toleran terhadap kecemasan akibat disfungsi yang tidak berkaitan dengan
hal fisiologis daripada sebelumnya. Selain itu peran faktor sosial dan budaya
juga menunjukkan bahwa conversion disorder lebih sering dialami oleh mereka
yang berada di daerah pedesaan atau berada pada tingkat sosioekonomi yang
rendah (Binzer et al.,1996;Folks, Ford&Regan, 1984 dalam Davidson, Neale,
Kring, 2004). Mereka mengalami hal ini dikarenakan oleh kurangnya pengetahuan
mengenai konsep medis dan psikologis. Sementara itu, diagnosis mengenai
hysteria berkurang pada masyarakat industrialis, seperti Inggris, dan lebih
umum pada negara yang belum berkembang, seperti Libya (Pu et al., dalam
Davidson, Neale, Kring, 2004 ).
Faktor Biologis pada
Conversion Disorder
Meskipun
faktor genetic diperkirakan menjadi faktor penting dalam perkembangan
conversion disorder, penelitian tidak mendukung hal ini. Sementara itu, dalam
beberapa penelitian, gejala conversion lebih sering muncul pada bagian kiri
tubuh dibandingkan dengan bagian kanan (Binzer et al.,dalam Davidson, Neale, Kring,
2004). Hal ini merupakan penemuan menarik karena fungsi bagian kiri tubuh
dikontrol oleh hemisfer kanan otak. Hemisfer kanan otak juga diperkirakan lebih
berperan dibandingkan hemisfer kiri berkaitan dengan emosi negatif. Akan
tetapi, berdasarkan penelitian yang lebih besar diketahui bahwa tidak ada
perbedaan yang dapat diobservasi dari frekuensi gejala pada bagian kanan versus
bagian kiri otak (Roelofs et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
TERAPI
Case
report dan spekulasi klinis saat ini menjadi sumber informasi penting dalam
membantu orang-orang yang mengalami gangguan ini. Pada analisa kasus, bukanlah
ide yang baik untuk meyakinkan mereka yang mengalami gangguan ini bahwa gejala
conversion yang mereka alami berhubungan dengan faktor psikologis. Pengetahuan
klinis lebih menyajikan pendekatan yang lembut dan suportif dengan memberikan
reward bagi kemajuan dalam proses pengobatan meeka (Simon dalam Davidson,
Neale, Kring, 2004). Para terapis behaviorist lebih menyarankan pada mereka
yang mengalami gangguan somatoform, beragam teknik yang dimaksudkan agar mereka
menghilangkan gejala-gejala dari gangguan tersebut.
Terapi untuk
Somatization Disorder
Para
ahli kognitif dan behavioral meyakini bahwa tingginya tingkat kecemasan yang
diasosiasikan dengan somatization disorder dipicu oleh situasi khusus. Akan
tetapi semakin banyak pengobatan yang dibutuhkan, bagi orang yang “sakit”
sekian lama maka akan tumbuh kebiasaan akan ketergantungan untuk menghindari
tantangan hidup sehari-hari daripada menghadapi tantangan tersebut sebagai
orang dewasa. Dalam pendekatan yang lebih umum mengenai somatization disorder,
dokter hendaknya tidak meremehkan validitas dari keluhan fisik, tetapi perlu
diminimalisir penggunaan tes-tes diagnosis dan obat-obatan, mempertahankan
hubungan dengan mereka terlepas dari apakah mereka mengeluh tentang penyakitnya
atau tidak (Monson&Smith dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Terapi untuk
Hypochondriasis
Secara
umum, pendekatan cognitive-behavioral terbukti efektif dalam mengurangi hypochondriasis
(e.g. Bach, 2000; Feranandez, Rodriguez&Fernandez, 2001, dalam Davidson,
Neale, Kring, 2004). Penelitian menujukkan bahwa penderita hypochondriasis
memperlihatkan bias kognitif dalam melihat ancaman ketika berkaitan dengan isu
kesehatan (Smeets et al., dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Cognitive-behavioral therapy dapat bertujuan untuk mengubah pemikiran
pesimistis. Selain itu, pengobatan juga hendaknya dikaitkan dengan strategi
yang mengalihkan penderita gangguan ini dari gejala-gejala tubuh dan meyakinkan
mereka untuk mencari kepastian medis bahwa mereka tidak sakit (e.g.
Salkovskis&Warwick, 1986;Visser&Bouman, 1992;Warwick&Salkovskis,
2001 dalam Davidson, Neale, Kring, 2004).
Terapi untuk Pain
Disorder
Pengobatan
yang efektif cenderung memiliki hal-hal berikut:
· Memvalidasikan bahwa rasa nyeri itu
adalah nyata dan bukan hanya ada dalam pikiran penderita.
· Relaxation training
· Memberi reward kepada mereka yang
berperilaku tidak seperti orang yang mengalami rasa nyeri
Secara
umum disarankan untuk mengubah fokus perhatian dari apa yang tidak dapat
dilakukan oleh penderita akibat rasa nyeri yang dialaminya, tetapi mengajari
penderita bagaimana caranya menghadapi stress, mendorong untuk mengerjakan
aktivitas yang lebih baik, dan meningkatkan kontrol diri, terlepas dari
keterbatasan fisik atau ketidaknyamanan yang penderita rasakan.
Penanganan Gangguan
Somatoform secara umum
Pendekatan
behavioral untuk menangani gangguan konversi dan somtoform lainnya menekankan
pada menghilangkan sumber dari reinforcement sekunder (keuntungan
sekunder) yang dapat dihubungkan dalam keluhan-keluhan fisik. Terapis behavioral
dapat bekerja secara lebih langsung dengan si penderita gangguan somatoform,
membantu orang tersebut belajar dalam menangani stress atau kecemasan dengan
cara yang lebih adaptif.
Teknik
kognitif-behavioral paling sering pemaparan terhadap pencegahan respond
an restrukturisasi kognitif. Secara sengaja memunculkankerusakan yang
dipersepsikan di depan umum, dan bukan menutupinya melalui penggunaan rias
wajah dan pakaian. Dalam restrukturisasi kognitif, terapis menantang keyakinan
klien yang terdistorsi mengenai penampilan fisiknya dan cara meyemangati mereka
untuk mengevaluasi keyakinan mereka dengan bukti yang jelas. Penggunaan antidepresan,
terutama fluoxetine(Prozac) dalam menangani beberapa tipe gangguan
somatoform.
B. GANGGUAN DISOSIATIF
Disosiasi
psikologis adalah perubahan kesadaran mendadak yang mempengaruhi memori dan
identitas. Para individu yang menderita gangguan disosiatif tidak mampu
mengingat berbagai peristiwa pribadi penting atau selama beberapa saat lupa
akan identitasnya atau bahkan membentuk identitas baru.
Secara
umum gangguan disosiatif (dissociative disorders) bisa didefinisikan
sebagai adanya kehilangan (sebagian atau seluruh) dari integrasi normal (di
bawah kendali sadar) yang meliputi ingatan masa lalu, kesadaran identitas dan
peng-nderaanan segera (awareness of identity and immediate sensations),
serta control terhadap gerak tubuh.
Dalam
penegakan diagnosis Gangguan Disosiatif harus ada gangguan yang menyebabkan
kegagalan mengoordinasikan identitas, memori persepsi ataupun kesadaran, dan
menyebabkan gangguan yang bermakna dalam fungsi sosial, pekerjaan dan
memanfaatkan waktu senggang.
Gejala
utama gangguan ini adalah adanya kehilangan (sebagian atau seluruh dari
integrasi normal (dibawah kendali kesadaran) antara lain:
· ingatan masa lalu
· kesadaran identitas dan penginderaan
(awareness of identity and immediate sensations)
· kontrol terhadap gerakan tubuh
PENGERTIAN DAN GEJALA
1. Amnesia Disosiatif
Amnesia
disosiatif adalah hilangnya memori setelah kejadian yang penuh stres. Seseorang
yang menderita gangguan ini tidak mampu mengingat informasi pribadi yang
penting, biasanya setelah suatu episode yang penuh stres.
Pada
amnesia total, penderita tidak mengenali keluarga dan teman-temannya, tetapi
tetap memiliki kemampuan bicara, membaca dan penalaran, juga tetap memiliki
bakat dan pengetahuan tentang dunia yang telah diperoleh sebelumnya.
Perkembangan
Klinis amnesia disosiatif:
· Hilangnya
daya ingat (sebagian / seluruh), biasanya mengenai kejadian-kejadian penting
(stressful, traumatik) yang baru terjadi, tidak disebabkan gangguan mental
organic, kelupaan, kelelahan, intoksikasi.
· Individu
tiba-tiba menjadi tidak dapat mengingat kembali informasi personal yang penting
(biasanya setelah mengalami beberapa peristiwa stressful).
· Selama
periode amnesia, perilaku atau kemampuan individu mungkin tidak berubah,
kecuali bahwa hilangnya memori menyebabkan beberapa disorientasi, tidak
mengenali identitas (asal, teman, keluarga, dll)
· Hilangnya
memori
· Bisa
hanya untuk peristiwa tertentu atau seluruh peristiwa kehidupan
· Biasanya
berlangsung dalam periode waktu tertentu, bisa beberapa jam sampai dengan
beberapa tahun
· Memori
biasanya kembali muncul secara tiba-tiba juga, lengkap seperti sebelumnya
(hanya sedikit kemungkinan untuk kambuh)
· Hilangnya
memori tidak sama dengan yang disebabkan oleh kerusakan otak atau karena
ketergantungan obat.
2. Fugue Disosiatif
Fugue
disosiatif adalah hilangnya memori yang disertai dengan meninggalkan rumah dan
menciptakan identitas baru. Dalam fugue disosiatif, hilangnya memori lebih
besar dibanding dalam amnesia disosiatif. Orang yang mengalami fugue disosiatif
tidak hanya mengalami amnesia total, namun tiba-tiba meninggalkan rumah dan
beraktivitas dengan menggunakan identitas baru.
Perkembangan klinis Fugue Disosiatif:
· Gangguan
di mana individu melupakan informasi personal yang penting dan membentuk
identitas baru, juga pindah ke tempat baru.
· Individu
tidak hanya mengalami amnesia secara total, namun juga tiba-tiba pindah
(melarikan diri) dari rumah dan pekerjaan, serta membentuk identitas baru.
· Biasanya
terjadi setelah seseorang mengalami beberapa stress yang berat (konflik dengan
pasangan, kehilangan pekerjaan, penderitaan karena bencana alam).
· Identitas
baru sering berkaitan dengan nama, rumah, pekerjaan bahkan karakteristik
personality yang baru. Di kehidupan yang baru, individu bisa sukses walaupun tidak
mampu untuk mengingat masa lalu.
· Recovery biasanya lengkap dan individu biasanya
tidak ingat apa yang terjadi selama fugue.
3. Gangguan Depersonalisasi
Gangguan
depersonalisasi adalah suatu kondisi dimana persepsi atau pengalaman seseorang
terhadap diri sendiri berubah. Dalam episode depersonalisasi, yang umumnya
dipicu oleh stres, individu secara mendadak kehilangan rasa diri mereka. Para
penderita gangguan ini mengalami pengalaman sensori yang tidak biasa, misalnya
ukuran tangan dan kaki mereka berubah secara drastis, atau suara mereka
terdengar asing bagi mereka sendiri. Penderita juga merasa berada di luar tubuh
mereka, menatap diri mereka sendiri dari kejauhan, terkadang mereka merasa
seperti robot, atau mereka seolah bergerak di dunia nyata.
Perkembangan klinis gangguan
Dipersonalisasi:
· Gangguan
di mana adanya perubahan dalam persepsi atau pengalaman individu mengenai
dirinya.
· Individu
merasa “tidak riil” dan merasa asing terhadap diri dan sekelilingnya, cukup
mengganggu fungsi dirinya.
· Memori
tidak berubah, tapi individu kehilangan sense of self.
· Gangguan
ini menyebabkan stress dan menimbulkan hambatan dalam berbagai fungsi
kehidupan.
· Biasanya
terjadi setelah mengalami stress berat, seperti kecelakaan atau situasi yang
berbahaya.
· Biasanya
berawal pada masa remaja dan perjalanannya bersifat kronis (dalam waktu yang
lama).
4. Gangguan Identitas Disosiatif
Gangguan
identitas disosiatif suatu kondisi dimana seseorang memiliki minimal dua atau
lebih kondisi ego yang berganti-ganti, yang satu sama lain bertindak bebas.
Menurut DSM-IV-TR, diagnosis gangguan disosiatif (GID) dapat ditegakkan bila
seseorang memiliki sekurang-kurangnya dua kondisi ego yang terpisah, atau
berubah-ubah, kondisi yang berbeda dalam keberadaan, perasaan dan tindakan yang
satu sama lain tidak saling mempengaruhi dan yang muncul serta memegang kendali
pada waktu yang berbeda.
Perkembangan Gangguan Indentitas
Disosiatif:
· Individu
memiliki setidaknya dua kepribadian yang berbeda (adanya perbedaan dalam
keberadaan, feeling, perilaku), bahkan ada yang bertolak belakang.
· Adanya
dua atau lebih kepribadian yang terpisah dan berbeda pada seseorang. Setiap
kepribadian memiliki pola perilaku, hubungan dan memori masing-masing.
· Kepribadian
yang asli dan pecahannya kadang dapat menyadari adanya periode waktu yang
hilang, adanya kepribadian yang lain. Suara dari kepribadian yang lain sering
bergema, masuk ke kesadaran mereka tapi tidak diketahui milik siapa.
· Gap
dalam memori mungkin terjadi jika suatu kepribadian tidak berkaitan dengan
kepribadian yang lain.
· Keberadaan
pribadi-pribadiyang berbeda menyebabkan gangguan dalam kehidupan seseorang dan
tidak dapat disembuhkan seketika oleh obat-obatan.
· Biasanya
muncul di awal masa kanak-kanak (adanya trauma berat di masa kanak-kanak),
namun jarang didiagnosis sampai masa remaja. Lebih berat dari bentuk gangguan
disosiatif lainnya
· Wanita
> pria
Secara
singkat kriteria DSM-IV-TR untuk gangguan identitas disosiatif ialah:
a. Keberadaan dua atau lebih
kepribadian atau identitas
b. Sekurang-kurangnya dua kepribadian
mengendalikan perilaku secara berulang
c. Ketidakmampuan untuk mengingat
informasi pribadi yang penting.
ETIOLOGI
Istilah
gangguan disosiatif merujuk pada mekanisme, dissosiasi, yang diduga menjadi
penyebabnya. Pemikiran dasarnya adalah kesadaran biasanya merupakan kesatuan
pengalaman, termasuk kognisi, emosi dan motivasi. Namun dalam kondisi stres,
memori trauma dapat disimpan dengan suatu cara sehingga di kemudian hari tidak
dapat diakses oleh kesadaran seiring dengan kembali normalnya kondisi orang
yang bersangkutan, sehingga kemungkinan akibatnya adalah amnesia atau fugue.
Pandangan
behavioral mengenai gangguan disosiatif agak mirip dengan berbagai spekulasi
awal tersebut. Secara umum para teoris behavioral menganggap dissosiasi sebagai
respon penuh stres dan ingatan akan kejadian tersebut.
Etiologi GID. Terdapat dua teori besar mengenai
GID. Salah satu teori berasumsi bahwa GID berawal pada masa kanak-kanak yang diakibatkan
oleh penyiksaan secara fisik atau seksual. Penyiksaan tersebut mengakibatkan
dissosiasi dan terbentuknya berbagai kepribadian lain sebagai suatu cara untuk
mengatasi trauma (Gleaves, 1996).
Teori
lain beranggapan bahwa GID merupakan pelaksanaan peran sosial yang dipelajari.
Berbagai kepribadian yang muncul pada masa dewasa umumnya karena berbagai
sugesti yang diberikan terapis (Lilienfel dkk, 1999; Spanos, 1994). Dalam teori
ini GID tidak dianggap sebagai penyimpangan kesadaran; masalahnya tidak terletak
pada apakah GID benar-benar dialami atau tidak, namun bagaimana GID terjadi dan
menetap.
SINDROM DISOSIATIF
YANG TERKAIT DENGAN BUDAYA
Ada
kesamaan antara konsep barat akan gangguan disosiatif dengn sindrom – sindrom
tertentu yang terkait dengan budaya yang di temukan di lain dunia. Contohnya,
zar-Istilah yang di gunakan negara – Negara Afrika Utara dan Timur Tengah
menggambarkan penguasaan roh – roh dalam diri orang yang mengalami tahap
disosiatif. Saat tahap ini terjadi individu terlibat dalam perilaku yang tidak
biasa, mulai dari berteriak – teriak hingga membenturkan kepalanya ke dinding.
Perilaku ini di sebut abnormal. Karena di percaya bahwa hal tersebut di control
oleh roh – roh.
PANDANGAN-PANDANGAN
TEORITIS
Gangguan
disosiatif merupakan fenomena yang sangat mengagumkan dan menarik. Bagaimana
perasaan seseorang akan identitas dirinya bias menjadi sangat terdistorsi
hingga orang tersebut membangun kepribadian ganda, kehilangan banyak potongan
dari ingatan pribadi, atau membentuk sebuah identitas baru.
Pandangan
Psikodinamika
Amnesia
disosiatif dapat menjadi suatu fungsi adaptif dengan cara memutus atau
mendisosiasi alam sadar seseorang dari kesadAran akan pengalaman yang
traumatis. Gangguan disosiatif melibatkan pengguna represi srcara besar –
besaran yang menghasilkan terpisahnya impuls yang tidak dapat diterima dan
ingatan yang menyakitkan dari ingatan seseorang. Dalam amnesia dan fugue
disosiatif, ego melindungi dirinya sendiri dari kebanjiran kecemasan dengan
mengeluarkan ingatan yang menggangu atau dengan mendisosiasi impuls menakutkan
yang bersifat bIseksual atau agresif. Pada kepribadian ganda, orang mungkin
mengekspresikan impuls – impuls yang tidak dapt di terima ini melalui
pengembangan kepribadian pengganti. Pada depersonalisasi orang berada di luar
dirinya sendiri aman dengan cara menjauhi dari pertarungan emosional di dalam
dirinya.
Pandangan Kognitif
& Budaya
Teoritikus
belajar dan kognitif memandang disosiasi sebagai suatu respons yang dipelajari,
meliputi proses tidak berpikir tentang tindakan atau pikiran yang menggangu
dalam rangka menghindari rasa bersalah dan malu yang di timbulkan pleh
pengalaman. Kebiasaan tidak berpikir tentang masalah– masalah tersebut secara
negative dikuatkan dengan adanya perasaan terbebas dari kecemasan atau dengan
memindahkan perasaan bersalah atau malu.
Disfungsi Otak
Perbedaan
dari aktivitas metabolisme otak antara orang dengan gangguan depersonalisasi
dan subjek yang sehat. Penemuan ini yang menekankan pada kemungkinan adanya
disfungsi di bagian otak yang terlibat dalam persepsi tubuh, dapat membantu
menjelaskan perasaan terpisah dari tubuh yang di asosiasikan dengan
depersonalisasi.
TERAPI
Gangguan
disosiatif menunjukkan, mungkin lebih baik dibanding semua gangguan lain,
kemungkinan relevansi teori psikoanalisis. Dalam tiga gangguan disosiatif,
amnesia, fugue dan GID, para penderita menunjukkan perilaku yang secara sangat
meyakinkan menunjukkan bahwa mereka tidak dapat mengakses berbagai bagian
kehidupan pada masa lalu yang terlupakan. Oleh sebab itu, terdapat hipotesis
bahwa ada bagian besar dalam kehidupan mereka yang direpres.
Terapi
psikoanalisis lebih banyak dipilih untuk gangguan disosiatif dibanding
masalah-masalah psikologis lain. Tujuan untuk mengangkat represi menjadi hukum
sehari-hari, dicapai melalui penggunaan berbagai teknik psikoanalitik dasar.
Terapi
GID. Hipnotis umum digunakan dalam penanganan GID. Secara umum, pemikirannya
adalah pemulihan kenangan menyakitkan yang direpres akan difasilitasi dengan
menciptakan kembali situasi penyiksaan yang diasumsikan dialami oleh pasien.
Umumnya seseorang dihipnotis dan didorong agar mengembalikan pikiran mereka
kembali ke peristiwa masa kecil. Harapannya adalah dengan mengakses kenangan
traumatik tersebut akan memungkinkan orang yang bersangkutan menyadari bahwa
bahaya dari masa kecilnya saat ini sudah tidak ada dan bahwa kehidupannya yang
sekarang tidak perlu dikendalikan oleh kejadian masa lalu tersebut.
Terdapat
beberapa prinsip yang disepakati secara luas dalam penganganan GID, terlepas
dari orientasi klinis (Bower dkk, 1971; Cady, 1985; Kluft, 1985, 1999; Ross,
1989). Tujuannya adalah integrasi beberapa kepribadian. Setiap kepribadian
harus dibantu untuk memahami bahwa ia adalah bagian dari satu orang dan kepribadian-
kepribadian tersebut dimunculkan oleh diri sendiri.
Terapis
harus menggunakan nama setiap kepribadian hanya untuk kenyaman, bukan sebagai
cara untuk menegaskan eksistensi kepribadian yang terpisah dan otonom. Seluruh
kepribadian harus diperlakukan secara adil. Terapis harus mendorong empati dan
kerjasama diantara berbagai kepribadian. Diperlukan kelembutan dan dukungan
berkaitan dengan trauma masa kanak-kanak yang mungkin telah memicu munculnya
berbagai kepribadian.
Tujuan
setiap pendekatan terhadap GID haruslah untuk meyakinkan penderita bahwa
memecah diri menjadi beberapa kepribadian yang berbeda tidak lagi diperlukan
untuk menghadapi berbagai trauma, baik trauma di masa lalu yang memicu
disosiasi awal, trauma di masa sekarang atau trauma di masa yang akan datang.
DAFTAR PUSTAKA
V. Mark Durank &
Dvid H.Barlow.2006.Psikologi Abnormal. Jilid 1 dan 2.Yogyakarta:Pustaka
Pelajar
Nevid S.Jeffrey dkk.
2005. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT.Gelora Aksara
Davidson, Gerald,
dkk. 2006. Psikologi Abnormal. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada Press
Tomb, David. A. 2000.
Psikiatri Edisi 6. Jakarta: EGC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Saran dan komentar anda akan sangat membantu dalam meningkatkan kualitas dan kuantitas kami dalam berbagi.